Share

Enam

Odelia mengerling jail, menggoda Angga. Senyum jail gadis itu sama sekali tak luntur sejak Angga masuk hingga Angga duduk di ruang rawatnya. Sedangkan Angga, dia tak berkutik apalagi mengeluarkan suara lantaran di ruangan ini juga ada kedua orang tua Odelia.

"Pak, kangen banget yah sama saya sampai-sampai gak nanya saya ada di mana? Ditelpon juga gak diangkat-angkat."

Angga tak menjawab pertanyaan menggoda dari Odelia, itu semua karena orang tua Odelia. Dia tadi sudah berkenalan dengan orang tua Odelia, dan ternyata ayah gadis itu mengenalnya karena bekerja di perusahaan ayahnya.

"Lia, jangan digodain pak Angga-nya," tegur Sena.

Sontak gelak tawa Odelia pun terdengar dan kali ini benar-benar menyebalkan, Angga rasanya ingin meraup wajah Odelia dengan kedua telapak tangannya yang besar.

"Maafin Odelia, yah, Pak. Dia emang kayak gitu, pintar godain orang," ucap Sena merasa bersalah.

Angga tersenyum kikuk. Tadi saat dia sampai di rumah Odelia, yang dia dapatkan rumah itu kosong, lampu rumah bagian teras dan ruang tamu dinyalakan, dan pintu gerbang rumah gadis itu dikunci. Angga yang kalut dengan rasa rindunya berpikir jika gadis itu mungkin saja pergi atau pindah rumah, tapi kala dia akan pulang, ponselnya berdering nyaring dan si penelpon yang merupakan Odelia itu mengatakan kalau dia ada di rumah sakit saat ini. Begitu juga dengan Ify yang mengirimkan dia pesan sebelum pukul delapan malam seperti yang dia perintahkan tadi, atau lebih tepatnya Ify mengirimkan informasi perihal keberadaan Odelia pukul 5 sore.

Pria itu semakin kalut lagi saat mendengar Odelia di rumah sakit dan sesampainya di ruang rawat Odelia, Angga menghembuskan napasnya lega melihat Odelia walau gadis itu terbaring di ranjang pesakitan, Angga bahkan tak memperhatikan keadaan ruangan Odelia yang ternyata ada orang tua Odelia, dia langsung menghampiri Odelia tadi dan bertanya keadaan gadis itu.

Ah, betapa malunya Angga jika mengingat hal itu.

"Gak pa-pa, Bu, sedikit-sedikit saya udah mulai terbiasa sama sifat Odelia yang ini," balas Angga.

"Saya gak tahu kalau Pak Angga itu dosen anak saya," ujar Gilang. Papa Odelia itu memang tahu anak bosnya seorang dosen di salah satu universitas di kota, tapi dia tak tahu kalau Angga adalah dosen anaknya.

"Gak usah pakai embel-embel 'pak,' Pak Gilang, panggil Angga aja."

Gilang tersenyum, anak bosnya memang sopan persis seperti bosnya bahkan istri bosnya yang merupakan ibu Angga pun juga sopan.

"Kalau saya panggil 'sayang' boleh gak, Pak?"

Angga seketika menoleh pada gadis itu, sementara kedua orang tua Odelia melongo tak percaya. Anak mereka memang sangat pintar menggoda orang.

"Kamu sakit tapi masih bisa godain saya," ungkap Angga.

Odelia tertawa, benar-benar tak terlihat seperti orang sakit pada umumnya.

"Obat saya biar sembuh, 'kan cuma godain Bapak aja," kata Odelia lagi membuat Angga menggelengkan kepalanya pelan. Kalau saja di sini tak ada orang tua Odelia, dapat dipastikan Odelia akan dia omeli habis-habisan.

"Maklumi, ya, Pak Angga, dia kehabisan obat, tadi siang baru ditebus sore ini," kata Sena membuat Odelia memberengut kesal, bibirnya mengerucut tak terima dikatai gila secara tak langsung oleh mamanya.

***

"Pak Angga ngapain ke sini?"

Selepas magrib tadi, Angga memang pulang dan Odelia sama sekali tidak tahu kalau pria itu akan kembali lagi, dia hanya berpamitan pada mama papanya kemudian diantar papanya ke depan.

"Hush, kamu dijenguk malah nanya kayak gitu," tegur Sena bahkan memukul kecil paha Odelia.

"Kan cuma nanya, Ma," kata Odelia tak terima ditegur. Pasalnya selepas magrib tadi Angga baru saja pulang dan selepas isya pria itu datang lagi.

Sena hanya mendelik mendengar balasan anaknya, dia melihat pada Angga yang diam tapi kemudian tersenyum ke arah dosen anaknya itu. Angga pun juga ikut tersenyum membalas senyum Sena. Angga menyadari satu hal, kalau senyum ajaib yang didapatkan Odelia itu berasal dari mamanya, senyum Odelia dan mamanya hampir sama hanya saja mungkin yang lebih bagus adalah Odelia.

"Pak Gilang kemana, Bu?" Angga yang tak tahu harus mengatakan apa, pun bertanya.

"Oh, itu, papanya Lia tadi keluar bentar."

Sebenarnya Angga canggung berhadapan dengan orang tua Odelia, entah kenapa. Mungkin saja karena selama ini dia sering mengomel pada Odelia, jadinya bingung ingin memulai obrolan seperti apa, ditambah lagi dia yang baru mengenal Odelia seminggu yang lalu.

Setelahnya tak ada lagi obrolan, Angga diam, Sena diam, sementara Odelia sibuk memakan anggur yang dibawa Angga tadi padanya.

Melihat Odelia yang memakan anggur dengan lahapnya, Angga tersenyum kemudian bertanya, "Enak, anggurnya?"

Sadar yang ditanya Angga adalah dia, Odelia menoleh kemudian mengangguk cepat. Anggurnya memang sangat enak, tak begitu asam dan sangat manis. Ini pertama kalinya Odelia memakan anggur seenak ini, biasanya anggur yang dia makan itu lebih banyak asamnya dibandingkan manisnya.

"Ewenak, Pwak. Bwapwak belwi hi mwana?" tanya Odelia dengan mulut yang dipenuhi oleh anggur. Benar-benar Odelia tak seperti orang sakit.

Angga terkekeh geli mendengar pertanyaan Odelia, walau begitu dia masih mengerti. "Ayah saya bawa dari Jepang," jawab Angga.

Kunyahan Odelia terhenti mendengar jawaban dosennya. Apa tadi? Dari Jepang? Yang Odelia tahu, buah dari Jepang itu sangat mahal karena buahnya berkualitas tinggi. Selain itu, beberapa buah juga bersifat musiman atau tidak bisa dipanen sepanjang tahu. Sedangkan Sena meringis mendengar jawaban Angga. Dengan santainya Angga malah menjawab seperti itu.

Odelia menelan anggur yang sudah halus di mulutnya dengan susah payah, dia melihat Angga dengan tatapan horornya, seakan tak percaya kalau buah yang dia makan berasal dari Jepang.

"Harganya berapa, Pak?"

Angga mengernyit. Masalah anggur saja Odelia sampai bertanya harga padanya.

"Saya gak tahu, ayah saya yang bawa, dia nyuruh saya bawain untuk kamu."

"Pak Angga ini pasti buah mahal, si Lia biar makan buah busuk juga gak pa-pa," timpal Sena.

"Ih, Mama," protes Odelia.

Hal itu membuat Angga terkekeh.

"Itu anggur Ruby Romawi, saya gak tahu harganya berapa, karena ayah saya yang beli."

"Ini pasti mahal, gue mana bi—" ucapan Odelia terhenti kala mendengar salam dari papanya.

"Waalaikumsalam."

Mereka bertiga serempak menjawab salam Gilang. Odelia yang melihat kedatangan papanya langsung berbinar dan tersenyum senang.

"Papa, bawa pesanan Lia?"

Baru saja papanya melangkah menghampirinya, Odelia sudah bertanya pesanannya.

Gilang menggeleng, dia benar-benar tak percaya kalau anaknya ini tengah sakit, pasalnya kelakuan anaknya saat sakit dan sehat sama saja, tak ada bedanya. Gilang pun menyodorkan pesanan Odelia pada si pemesan, hal itu membuat Odelia berbinar senang.

"Kebab favorit gue ini," gumamnya membuat Sena tersenyum, begitu juga dengan Gilang dan Angga yang melihat Odelia.

Suasana hening beberapa detik, sampai suara Angga membuat ketiganya berpusat pada pria itu.

"Pak Gilang, izinkan saya menjaga Odelia."

Hah? Gilang bahkan terdiam tak tahu harus mengatakan apa pada anak bosnya. Ini anak bosnya meminta Odelia menjadi pasangan hidupnya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status