"Ma, ini ada telpon dari Mas, Ridwan," Vina mengulurkan hpnya pada Rista. "Kok tumben Mas-mu nelpon? Ada apa?" tanya Rista pelan. "Mba Eca masuk rumah sakit kata, Mas," Vina memberitahukan pada Rista. Rista terkejut mendengar apa yang dikatakan anak bungsunya itu, lalu mengambil HP itu dari Vina. "Assalamualaikum, Wan, ada apa, Nak? Eca kenapa kok masuk rumah sakit?" "Ceritanya panjang, Ma, Mama sama Vina bisa kerumah sakit sekarang nggak, Ma? Jagain Eca sebentar, aku ada urusan.""Iya, Nak, Mama kesana sekarang, ya." Rista lantas buru-buru untuk bersiap-siap ke rumah sakit bersama Vina. Sesampainya, di rumah sakit, Rista langsung menanyakan dimana ruangan tempat Eca dirawat pada resepsionis RS tersebut. Eca dan di Vina diantar sampai depan pintu kamar. "Assalamu'alaikum, Nak," sapa Rista dari daun pintu. Ridwan yang sedang duduk di kursi tepat di samping Eca sambil terus menggenggam tangan Eca dan mengusap kepalanya pelan lalu menoleh ke sumber suara. "Waalaikumsalam, Ma,"
"Maksud kamu apa, Wan? Kamu nggak ada uang untuk ongkos taksol? Taksi online maksudmu?" tanya Rista tak percaya. Kenapa anaknya naik taksol. Kan anaknya punya mobil. Semua berkelit di pikiran Ristta. "Kamu kenapa naik taksol, Nak? Kan kamu punya mobil, mobilmu mana?" lagi Rista dibuat penasaran. "Mobilku ditahan sama Rara, Ma," jawab Ridwan lirih. Eca yang mendengar itu pun merasa syok, tidak terima bahwa apa yang dimiliki Ridwan disita oleh Rara. Bagaimana bisa Rara menguasai harta yang dimiliki Ridwan, Eca memang belum mengetahui semuanya, sebab tadi Eca hanya fokus dengan rasa sakitnya. "Jadi tadi kamu minta mobil itu karena Mbak Rara menahan mobilmu, Mas? Kok bisa?" sekarang Eca pun bersuara mencari jawaban atas rasa penasarannya. "Terus? Uang kamu kok bisa nggak ada? Kenapa kamu nggak ambil di ATM lagi, Mas?" tanya Eca lagi. Rista menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan apa yang diucapkan oleh Eca. "Iya, Nak. Kenapa kamu nggak ambil uang di ATM?" Rista membenarkan kemba
Ridwan menerima kunci itu lalu menuju parkiran dan melajukan sepeda motor itu ke butik. Tak butuh waktu lama Ridwan sampai di sana, namun belum habis tadi rasa syok Ridwan melihat saldo ATMnya yang menghilang bak ditelan bumi. Sekarang Ridwan kembali dibuat syok melihat butiknya. "Apa-apaan, ini?!" tanya Ridwan sambil membuka helmnya lalu mendekati butik itu. Rahang Ridwan seketika mengeras tanda menahan emosi yang sudah memuncak melihat bacaan yang tertulis sangat besar di depan butik. Butik ini dijual! Silahkan hubungi nomor yang tertera dibawah ini. Ridwan benar tidak percaya melihat butik itu dijual, bagaimana bisa Rara menjual aset tanpa berkomunikasi terlebih dahulu denganya. Bertahun-tahun dia mengelola butik ini, seorang kenyataannya justru butik ini sudah ingin dijual. Tanpa berpikir lama lagi Ridwan kembali menghubungi Rara. Sayang sekali, lagi dan lagi Rara tak kunjung menerima telpon dari Ridwan. Rara tengah sibuk meeting bersama designernya untuk merancang produk t
"Di Rumah Sakit Eca butuh aku di sana, tapi…." Hari sudah sore, Eca sangat gelisah di rumah sakit, sebab Ridwan tak kunjung datang. "Coba kamu telpon Masmu, Vin. Kok belum pulang kemari dia?" Eca menyuruh Vina. "Mbak aja lah. Aku nggak berani." "Ya sudah, sini HP kamu!" Eca mengulurkan tangannya meminta Vina memberikan hpnya. "HP Mbak kan ada, pake HP mbak aja, kenapa?" "Nomorku masih di blok sama Masmu itu."Jawab Eca dengan warna juteknya. "Lagian kenapa di telpon-telpon sih, Ca? Biar saja kapan Ridwan mau pulang. Bisa jadi sekarang dia lagi bersama Hanum. Kamu itu harus ngerti jadi istri. Jangan terlalu curigaan terus. Nanti suamimu bisa nggak betah kalau kamu kekang terus, dia punya anak dan istri lain juga. Nggak cuma kamu aja istrinya!"Rista berkata dengan nada sinis. "Mama kenapa sih, Ma? Kok sekarang jadi kaya nggak suka banget sama aku? Aku juga lagi hamil anaknya Mas Ridwan lho, calon cucu Mama. Mama pikir aku nggak ngertiin Mas Ridwan selama ini? Kurang ngerti apa
"Jadi … Rara sudah tau kalau Eca istri kamu?!"tanya Rista lagi. Lagi Ridwan tertunduk dan mengangguk kecil. "Ini nggak bener, Wan. Dari awal juga Mama sudah bilang sama kamu, Wan. Pikir-pikir lagi jika mau menikah. Rara itu wanita cerdas. Dia tidak akan tinggal diam jika hidupnya merasa terusik. Sekarang terbukti, kan? Sekarang kamu mau apa dengan hubungan ini? Kamu masih mau lanjutin juga?" tanya Rista tegas. Sekarang justru mata Eca yang membulat sempurna mendengar pertanyaan mertuanya barusan. "Maksud Mama bicara seperti itu apa, Ma?" tanya Eca menyela pembicaraan Mertua dan suaminya. Rista dan Ridwan menoleh bersamaan ke arah Eca. Namun Rista tidak menjawab pertanyaan Eca. Rista justru bertanya kembali kepada Ridwan. "Gimana, Wan?" tanya Rista lagi. Lagi dan lagi Ridwan hanya menarik nafas panjang. "Sudah lah, Ma. Sekarang ini aku fokus dulu sama Eca. Kasian dia lagi sakit." Ridwan mencoba mencari alasan agar tak lagi di introgasi oleh Rista. "Terus sekarang gimana? K
Hanum tengah asyik belajar di kamar, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar. Ternyata Rara di luar ingin masuk untuk mengajak Hanum bicara dari hati ke hati. Kurang lebih lima hari Hanum tak bersua Papanya, alasan yang diberikan Rara ialah. Papa lagi ada urusan penting jadi nggak bisa diganggu dulu dan nggak bisa pulang dulu. Rara berbohong. Sementara Ridwan tak juga menghubungi Hanum karena kesibukan merawat Eca selama di rumah sakit. "Kakak lagi belajar, ya? Bunda ganggu dong?""Iya, Bunda, lagi ada tugas dari sekolah. Tapi udah siap, Kok." Imbuh Hanum sambil membereskan Buku-bukunya. "Oh, syukurlah Kakak sudah siap. Bunda mau ngomong sebentar sama Kakak, boleh?"Hanum menoleh sebentar, lalu kembali membereskan Buku-bukunya. "Boleh dong, Bun. Memangnya bunda mau ngomong apa?" Hanum berjalan mendekati Rara yang tengah duduk di sofa sambill menatap wajah teduh anak semata wayangnya itu. Hati Rara berat sekali untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya. Rara takut jika nanti
Rara membawa Hanum kedalam pelukannya, bibir Rara bergetar menahan tangis. Bagaimana agar kerapuhan itu tidak tampak di hadapan Hanum"Terima kasih sudah dewasa, Nak." Ujar Rara. Senyum Hanum terukir di dalam pelukan bundanya. "Jika bukan Kakak menemukan tulisan Bunda, tidak mungkin Kakak bisa menjadi dewasa ini, Bun." Gumam Hanum. ****"Mau kemana, Mas? Kok udah rapi?" tanya Eca saat melihat Ridwan yang sudah bersiap-siap. "Mau pulang ke rumah, kangen Hanum." Sahut Ridwan jujur. "Kan ini minggu, Mas. Kok kamu pulang sih!"Ridwan yang tengah mengenakan kancing kemejanya menoleh, menatap Eca. "Mas udah satu minggu sama kamu lho, masa iya hari ini Mas nggak boleh pulang juga? Mas kangen Hanum." Tukas Ridwan. "Kangen Hanum apa kangen istri tanpa rahimmu itu?" celetuk Eca dengan muka masamnya. Kali ini Ridwan menatap Eca tajam. Rahangnya mengeras mendengar hinaan yang dilontarkan Eca pada Rara. "Jaga ucapan mu! Dia itu istriku juga. Meskipun dia tanpa rahim, tapi dia wanita y
Rara sedang yang tengah berada di kamar menatap lembar kertas putih di tangannya yang baru ia dapatkan dua hari lalu, di kejutkan dengan kedatangan Hanum. "Bun, di bawah Oma dama Papa." Hanum mengatakan dengan nafas yang naik turun. Senang ia naik ke lantai dua dengan sedikit berlari. "Sejak kapan, Kak?" tanya Rara. "Itu Bun, baru datang. Coba bunda lihat dari balkon." titah Hanum. Rara menarik nafasnya pelan. Ada rasa gugup yang hinggap secara tiba-tiba. "Kenapa Mama datang kesini juga." Hati Rara berucap. Rara menyikapi gorden kamarnya sedikit untuk melihat kebawah. Tampak Ridwan sedang berjalan bersama Rista yang hampir sampai di teras rumah. "Oyo, Kak, kita turun." Ajak Rara. Rara dan Hanum melangkah menuju ruang bawah. "Assalamu'alaikum, Cucu Oma," sapa Rista pada Hanum. Rara hanya menjawab salam meraka dalam hati. Tak sedikitpun Rara berniat mengambil tangan mertuanya untuk di cium, sebagai tanda hormat. Sebab rasa hormatnya sudah hilang saat mengetahui perselingkuhan