Hubungan Ridwan dan Eca sudah mulai membaik, entah ada angin apa Ridwan pun masih merasa tak percaya jika Eca sudah mulai mau untuk mengurus kelvin. Mau bergadang untuk menemani kelvin, meskipun tetap Ridwan yang lebih banyak begadangnya, tidak masalah bagi Ridwan. Eca sudah mau membantu saja dan juga Eca mau mengASIhi Kelvin itu sebuah anugrah untuk Ridwan saat ini. Setidaknya, Ridwan merasa aman jika nanti Ridwan di saat berangkat kerja. Karena Kelvin sudah dirawat langsung oleh Mamanya."Sayang, Mas berangkat dulu ya. Doain semoga Mas dapat kerjaan ya, biar bisa nafkahi kamu kamu sama anak kita." Ucap Ridwan. Eca tersenyum, lalu berkata. "Iya, Mas aku do'ain, semoga lancar, ya." Tutur Eca lalu meminta tangan Ridwan utuk di cium. Ridwan pun membalas dengan mengecup kening Eca dan mencium pipi Kelvin penuh cinta. "Papa berangkat kerja dulu ya, Nak. Jangan rewel di rumah sama Mama ya, do'ain Papa sayang ya, Biar Papa di terima nanti dan dapat kerjaan." Ridwan berbicara dengan anak ba
Meskipun begitu Vina tetap tergila-gila padanya. Kemarin entah angin apa, Deon menawarinya untuk ikut ke puncak, dengan senang hati Vina menerima dan tak ingin menolak kesempatan itu. Kapan lagi bisa camping bersama laki-laki yang sudah sangat lama ia incar. "Siap, Ma. Makasih ya, Ma," Vina mencium pipi Rista dan mencium tangan Rista lalu pamit keluar untuk segera berangkat. Rista berjalan keluar mengikuti anak gadisnya, namum saat sampai di ruang tengah, ada sebuah mobil pick up masuk ke halaman rumah Rista dari balik kaca jendela. Ridwan yang tengah duduk di teras menunggu ojek onlinenya datang pun kaget, lalu berdiri. "Mobil siapa itu, Ma? Kok ke sini?" tanya Vina penasaran. "Nggak tau Mama juga, apa mobil teman Mas Mu kali, Vin." ujar Rista. Sampai di teras Rista lalu menanyakan pada Ridwan. "Siapa, Wan? Kok pagi-pagi ada yang kemari?" tanya Rista. "Nggak tau Ma, siapa? Teman mu bukan Vin? Kan mau ke puncak?" Tanya Ridwan balik. "Bukan ih, mana ada temenku pake mobil kaya g
Ridwan dengan sedikit ragu membuka amplop itu, perlahan demi perlahan amplop itu terbuka dan menampakkan isinya dari sisi dalam. Ridwan semakin merasa gundah gulana melihat kertas putih di dalam itu. "Apa ini sebenarnya?" lirih Ridwan. "Cepetan, Wan! Lama bangat bukanya." Desak Rista yang sudah tidak sabar ingin segera tahu isi surat itu. "Sebenarnya ini apa, Pak? Surat ini dari siapa?" tanya Ridwan pada Boneng dan Ucup sebelum mengeluarkan kertas di dalamnya. "Bapak silahkan baca sendiri, Pak. Nanti bapak akan tau isinya dan pengiriman surat itu." Ujar Ucup. "Sini, Wan! Lama bangat kamu buka kaya beginian. Tinggal dibuka, di baca, udah!" Rista merebut itu dari Ridwan lalu mengeluarkan surat itu. "Ya sabar dong, Ma. Kan juga mau di baca itu." Protes Ridwan. "Kelamaan." Sungut Rista. Rista membaca bait demi bait dari surat itu. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, tulang belulangnya terasa bergerak, persendiannya terasa lemah tak berfungsi. Rista menjatuhkan surat
"Eh, Mbak! Apa lagi yang ingin Mbak Ambil? Mas Ridwan bahkan tidak dapat apa-apa dari apa yang sudah dia perjuangkan bertahun-tahun. Sekarang Mbak datang-datang membawa masalah baru." Ketusnya berucap pada Rara. "Masalah itu kalian yang buat, bukan saya! Paham! Jadi jika ingin hidup aman, maka belajarnya untuk mendapati sesuatu itu dari cara yang baik dan halal. Bukan dari cara merampas uang orang diam-diam." Sindir Rara. Ridwan tak banyak bicara, dia hanya diam tertunduk di kursi. Sebab apa yang Rara katakan itu benar. "Apa maksud Mbak merampas uang orang lain? Nggak ada di sini yang seperti itu. Tidak usah merasa Mbak punya segalanya trus seenaknya menuduh keluargaku yang tidak-tidak." Sungut Vina lagi membela diri. "Anak kecil tapi tukang pembohong akut! Mencari pembelaan untuk melindungi keluarganya." Sindir Rara telak. "Mas! Angkut motornya!" perintah Rara pada Ucub dan Boneng. "E--eh! Apa-apaan ini, Mbak? Ngapain motornya di angkut?" Vina mencegah dua orang itu untuk tida
"Ma, Mama nggak apa-apa? Mas, ini gimana?" tanya Vina panik."Coba bawa Mama masuk dulu sana." Titah Ridwan."Mama kuat berdiri nggak, Ma? Aku bantuin yuk!" Vina memapah Rista masuk ke dalam rumah. Rista mencoba berdiri dengan sekuat tenaga di bantu Vina masuk ke rumah. Dia terus memegang dadanya karena masih syok. Ini sungguh tidak pernah terpikirkan oleh Rista bakal seperti ini. Rista tidak menyangka bahwa kecurangannya selama ini akan terendus juga. Rista pikir setelah Ridwan dan Rara berpisah, tentu itu tidak akan menjadi perkara lagi. Ternyata Rara mengetahuinya. Rista terus berpikir, dari mana Rara menemukan semua bukti itu, "ah, sudah lah. Yang jelas saat ini bagaimana caranya agar bisa agar Rara tak lagi menagih hutang dan tidak menjadikan rumah ini sebagai jaminannya, tapi bagaimana?" Rista terus membatin.Sampai di dalam, Ridwan baru menyadari akan berangkat untuk interview ke kantor. Dia lalu merogoh saku celananya guna, mengambil HP, dan terdapat ada pilihan panggilan
"Eh, Pak, Maaf, saya sudah membuat Bapak menunggu." Ujar Ridwan merasa tidak enak hati."Nggak apa-apa, Mas, saya paham ... sepertinya Mas lagi ada masalah keluarga, makanya saya menunggu tadi di depan." Ucap driver ojol itu. "Terima kasih, Pak." Ujar Ridwan."Sama-sama, Mas." Driver ojol itu menjawab dengan senyuman ramahnya.Ridwan akhirnya berangkat menuju tempat dimana ia akan di interview bersama ojol tersebut. Jalanan kota cukup macet, sehingga untuk sampai ke tempat tujuan memakan waktu kurang lebih hampir satu jam. Tepat pukul 09.50 menit Ridwan akhirnya sampai di kantor tersebut. Setelah membayar ongkos dan mengucapkan terimakasih, Ridwan masuk ke dalam untuk menemui bos perusahaan. Terlihat dari luar bangunan gedung kantor yang cukup megah dari luar. Ridwan membawa langkahnya masuk ke dalam. Baru sampai di depan pintu masuk, Ridwan sudah di sambut oleh resepsionis kantor dan menyapa ridwan dengan ramah. "Selamat pagi, Pak, ada yang bisa kita bantu?" tanya perempuan itu
"Bagaimana, Pak Ridwan? Saya sebenarnya Sudah banyak yang saya minta untuk saya interview, memang kebanyakan dari mereka menolak. Di tempat ini Bapak tidak tinggal di kota. Melainkan di Desa. Di mana pabrik itu berdiri di tengah-tengah perkebunan masyarakat desa setempat yang mayoritas kehidupan mereka dari perkebunan sawit." Tutur Alvino lagi. "Kalau saya boleh tau, saya akan di tempatkan di mana jika saya menerima pekerjaan ini, Pak?" tanya Ridwan ragu."Bapak akan saya tempatkan di Sumatra, Pak, tepatnya di jambi." Kata Alvino."Jambi?!" dengan banyak pertimbangan, Ridwan pun akhirnya menerima pekerjaan itu. Setelah selesai bertanya banyak hal untuk pekerjaan itu. Akhirnya Ridwan pamit keluar dan pulang. "Baik, pak Ridwan. Senang bekerja dengan anda. Semoga Bapak betah, ya, nanti di sumatra." Ucap Alvino."Alhamdulillah, akhirnya dapt kerjaan juga." Gumam Ridwan senang. Waktu sudah menunjukkan hampit tengah hari, Ridwan kembali pulang menggunakan ojol, namun sebelumnya Ridwan in
Assalamu'alaikum," sapa ridwan saat samapi di rumah."Waalaikumsalam, Nak." sahut Rista dari belakang.Ridwan tak melihat ada Eca di luar. "Mana Eca, Ma? Mama gimana kabarnya?" "Istrimu di kamar nggak keluar-keluar dari tadi. Makan juga belum itu istrimu." Ujar Rista memberi tahu kan pada Ridwan.Ridwan lalu menuju kamarnya untuk melihat keadaan Eca di dalam. Baru sampai di pintu kamar, Ridwan mendengar suara cekikikan seperti Eca sedang tertawa. "Eca kenapa? Kok ketawa sendiri?" Pikir Ridwan.Ridwan membuka pintu kamarnya, tapi pintunya di kunci dari dalam. "Lho, kok di kuncinya?" Ridwan mengambil kunci cadangan yang selalu ada di dalam dompetnya. Ridwan lalu membuka pintu itu perlahan, yang pertama kali yang Ridwan lihat adalah box bayi tempat Kelvin tidur. Di sana langsung tampak Kelvin tengah terlelap tidur. "Tidurnya nyenyak sekali, Nak?" Gumam Ridwan, namun saat menoleh ke tempat tidur, betapa Ridwan terkejut melihat pemandangan itu. Eca yang masih tidak menyadari ada Ridwan d