Iya! Aku masih muda Mas! Aku nggak mau menghabiskan waktu ku untuk hidup susah denganmu. Kalau kamu nggak sanggup memenuhi kebutuhanku untuk apa aku menyia-nyiakan hidupku mengabdi pada laki-laki kere seperti kamu yang nggak punya apa-apa."Seperti di hantam ribuan duri yang tajam di dada Ridwan menerima kata demi kata dari Eca. Sungguh, bukan jawaban ini yang Ridwan harapkan. Ridwan sudah sangat salah menilai Eca. Padahal Ridwan ingin memberi kabar baik bahwa dia di terima kerjaan dengan gaji yang cukup lumayan besar dan juga sebagai posisi yang bagus di perusahaan itu. Tapi sepertinya Ridwan tidak lagi berniat memberi tahu kan Eca. Biarlah dia pergi jika itu maunya. "Baik. Jika kamu maunya seperti itu. Silahkan kamu cari laki-laki yang jauh lebih baik dariku. Silahkan kamu cari laki-laki mapan diluar sana untuk memenuhi kebutuhanmu. Aku harap kamu tidak menyesali kata-kata yang sudah kamu ucapkan barusan." Ujar Ridwan tenang. Tak lagi ada emosi. Habis sudah tenaga Ridwan selama in
"Wan, baby sitter itu mahal, Wan, gajinya. Paling murah dua atau tiga jutaan, Wan. Emangnya kamu punya gaji berapa buat bayar baby sitter? Kamu itu kenapa lagi sih Ca. Suami udah dapat kerjaan juga bukanya bersyukur kok malah mau pergi begini. Nggak kasian sama anak kamu, Ca?" "Mama nggak usah khawatir, Ma. Aku sanggup untuk bayar Baby sitter dan gaji jauh lebih cukup." Eca sejenak memberhentikan aktivitasnya, mendengar penuturan Ridwan barusan rasa ingin tau Eca menggebu-debu. Di Terima sebagai apa Ridwan di sana, dan berapa gaji yang Ridwan Terima sampai Ridwan sanggup membayar baby sitter. Eca menghilangkan rasa malunya demi ingin tahu Ridwan bekerja sebagai apa dan di gaji berapa. Eca merutuki dirinya sendiri tadi kenapa tidak menanyakan terlebih dahulu tetang lamaran kerjaan Ridwan hari ini. "Palingan juga kamu kerja sebagai karyawan bawahan, Mas. Nggak usah sok ingin memanasiku, Mas, pakai ingin nyewa baby sitter segala. Kamu pikir biar aku bertahan di sini begitu? Aku ngg
"Jadi istri itu yang bener! urus anak yang bener! urus suami yang bener! Jangan cuma mau enaknya saja, dulu kau tergila-gila sama anakku karena dia punya segalanya, kan? sekarang kau berulah karena dia sudah tidak punya apa-apa! Jangan lagi kau bersikap seprti itu, ingat itu! Jadi lah istri yang mau menerima keadaan pasangan itu dalam susah dan senang. Yang mau menemani dalam setiap keadaan. Bukan hanya mau pas di saat ada, lalu disaat sudah tak punya apa-apa kau mau pergi meninggalkan suamimu? Itu namanya perempuan kurang ajar! Kalau ada masalah itu di omongin baik-baik. Bukan malah dikit-dikit kabur dan pergi dari rumah. Istri durhaka kamu." Rista berkata panjang lebar dengan intonasi yang cukup tinggi, sebab dari kemarin dia sudah sangat emosi melihat tingkah Eca yang tak menghargai Ridwan sama sekali. "Gimana aku mau bicara baik-baik kalau Mas Ridwan aja nggak pernah ngajak bicarain baik-baik!" imbuh Eca mencari pembelaan. "Itu karena kau bikin ulah! Dari awal melahirkan aja kau
Wajahnya Eca terlihat berpikir, dalam hatinya begumam. "Apa? tinggal di desa? dan di kebun. Aduh! mana mungkin aku betah di sana. Apa sih kerjanya, dari tadi juga bukanya di jawab!" "Hmm, emangnya kamu kerjanya apa sih, Mas. Kok sampai harus keluar kota?""Mas di terima sebagai kepala staf di salah satu pabrik cabang yang ada di Sumatra. Pabrik yang bergerak di bidang pengolahan minyak kelapa sawit. Tepatnya di jambi. Alhamdulillah juga, Mas di gaji cukup besar di sana, lebih kurang hampir 10 juta per bulan, itu belum termasuk tunjangan, bonus akhir tahun dan THR. Apa kamu siap tinggal di sana menemani Mas, kita mulai dari nol lagi? Kamu siap?" tanya Ridwan lagi. Wajah Eca tak bisa di tebak oleh Ridwan. Ridwan masih menatap wajah istrinya menunggu jawaban apakah Eca mau apa tida ikut bersamanya di sana. "Ya ikutlah, Ca. Di mana-mana juga istri itu ikut kemana suaminya kerja. Kalo kamu nggak ikut, siapa yang ngurusi ridwan nanti di sana?" cerocos Rista mengingatkan Eca agar mau ikut
Ridwan masih terus menatap wajah istrinya. "Boleh apa?" tanya Ridwan penasaran.Eca memutar-mutarkan ujung bajunya dengan jari telunjuk dan ibu jari. Eca juga menggigit bibir bawahnya, menandakan bahwa dia benar-benar gugup saat ini untuk menyampaikan maksud dan tujuannya."Hmm... Apa boleh aku tinggal di rumah Ibu saja, Mas? ucap Eca sambil tertunduk.Ridwan mengerutkan keningnya, mendengar permintaan istrinya, selama ini justru dia tidak pernah ingin tinggal di rumah orang tuanya, alasannya adalah di kampung dan rumah orangtuanya kecil. Tapi sekarang mengapa Eca justru minta tinggal di sana."Kenapa lagi kamu, Ca? Kenapa tiba-tiba ingin tinggal di rumah Ibu? Kemarin aja kamu masih terus menolak untuk tinggal di sana.""Biar aku ada yang bantuin jaga Kelvin, Mas. Begitu saja. Nggak ada apa-apa." Kilah Eca."Kan di sini ada Mama yang bisa bantuin kamu, kenapa harus ke rumah Ibu? Jika kamu ingin main dan menjenguk Ibu tidak masalah. Tapi untuk tinggal kamu hanya boleh di sini. Apalag
Perasaan Iwan tidak pernah berbuat kesalahan kerja di sini. Apa lagi selama ini Iwan belum pernah masuk di ruangan Rara sebagai atasan. Sudah hampir empat tahun Iwan mengabdi di Hanum collection, baru kali ini dia di minta masuk ke ruang Rara. Iwan benar-benar degdegan rasanya saat ini."Ya nggak tau aku, Wan. Tadi cuma di kasih taunya begitu. Disuruh datang ke sana, cepetan gih!" Neti mendorong tubuh ridwan untuk segeran masuk ke ruangan Rara. Ridwan membawa langkahnya menuju ke ruang di mana dia tadi minta untuk datang. "Soga buka apa-apa," Ridwan berkata dalam hatinya. Tok! Tok! Took!"Assalamu'alaikum, Bunda," suara Iwan di balik pintu menyapa, Rara. "Masuk, Wan." Seru Rara.Iwan masuk ke ruangan itu dengan perasaan gugup. Entah kenapa Iwan merasa ada yang akan di sampai kan Rara tentang masalah yang pernah Rara hadapi, dimana Iwan mengetahui itu."Duduk, Wan." Titah Rara lagi."Iya, Bun." Ridwan lalu menarik kursi yang ada di depan meja kerja Rara.Ridwan hanya duduk, tidak
Ini motor untuk kamu antar paket. Kamu boleh bawa pulang juga. Nanti motor kamu yang itu di rumah aja, kamu pakainya motor yang ini aja mulai sekarang ya.""Ta--ta--tapi, Bun, ini maksudnya gimana ya? Aku nggak ngerti, Bun.""Gak ada maksud apa-apa ini, Wan. Kamu pake aja udah. Ya. Nggak usah sungkan. Motor itu untuk kamu sekarang. Untuk kamu antar paket ke mana-mana. Kamu boleh juga bawa pulang motor itu, ya." Ujar Rara. "Tapi nanti dengan yang lain bagaimana, Buu? Saya takut mereka nanti jadi tidak suka sama saya, Bun. Kok saya dapat motor dari bunda." Tutur Iwan. "Nggak ada yang seperti itu, nanti bilang saja, kalo kamu hanya pake aja. Beres kan? Kalo teman-teman yang lain mau pake juga boleh kalau kamu mau. Udah kan? Nggak ada masalah kak?" "Ini beneran, Bun? Tapi dalam rangka apa aku di kasih motor, Bun?" tanya Iwan lagi memastikannya. "Dari pada motor itu rusak nanti, Wan nggak di pakai, lebih baik kamu yang pakai. Iya kan?" Iwan hanya tersenyum terpaksa, dan mengangguk kec
Entah kenapa Rara belum bisa ikhlas berbagi Hanum untuk ke sana kemari meskipun itu adalah Oma dan papa kandungnya. Apakah Rara egois jika belum bisa menerima kenyataan jika Hanum akan membersamai wanita itu. Bahkan Rara menyebut namanya saja enggan sekali. Apa lagi Rara harus mengijinkan Hanum akan bertemu dengan wanita itu. "Bun," Hanum menyentuh lembut tangan Rara. Rara terkejut dari lamunannya. "Eh, iya, Kak, maaf. Hmm, kenapa mendadak sekali, Kak? Kenapa nggak bilang dari kemarin-kemarin jika Kakak mau ke sana? Kan belum libur sekolah ini?" selidik Rara. Rara penasaran sekali kenapa anaknya tiba-tiba minta ke rumah omanya."Besok, Papa mau pergi, Bun. Jadi, Kakak mau nginap di sana sebelum Papa pergi ke luar kota." Lagi, kening Rara mengkerut kecil. Rasa penasaran Rara kembali membuncah. "Kenapa Mas Ridwan tiba-tiba mau ke luar kota? Apa mereka ingin menghindari dari hutang yang tadi pagi aku tagih? Apa mereka ingin menghilang dari tanggung jawab? Ah! Tidak mungkin seperti i