Sesampainya di mobil, Rara menyala mesin mobilnya dan berlalu pergi tanpa pamit dengan satupun. Sudah hilang rasa hormat Rara atas pengkhianatan suaminya. Vina dan Rista hanya bisa melihat dari balik jendela tanpa berani mengantarkan keluar. Sementara Ridwan hanya tertunduk lemah di kamar. "Arrggghhh! Kacau! Semuanya kacau!" rutuk Ridwan. Ridwan mengepal tanganya menghantam dinding kamar itu. Dia kesal, entah apa yang Ridwan kesalkan, padahal dia yang berbuat curang tetapi justru Ridwan sendiri yang seperti kebakaran jenggotnya. Ridwan benar-benar kalut dan kacau."Vina!" teriak Ridwan memanggil adik bungsunya. Vina yang tengah kebingungan di luar terperanjat mendengar teriakan Ridwan. "Ma, Mas kenapa? Aku takut, Ma," Ujar Vina pada Rista. "Sudah sana! Kamu temui, Masmu itu!" titah Rista. Dengan rasa takut yang teramat Vina melangkahkan kakinya menuju kamar Ridwan. Pintu kamar yang masih terbuka seperti sebelum Rara pergi, pembuat Vina bisa langsung menangkap sosok kakak tert
1[Mas, itu maksudnya apa Bunda bikin Give Away begitu? Itu kenapa perhiasanku bisa sama Bunda?]Ridwan yang baru sampai di garasi hendak turun mendadak dibuat bingung saat membaca pesan dari Eca, give away apa yang dimaksud? [Kamu ngomong apa? Mas nggak ngerti.][Coba mas buka grup karyawan! Bunda mau ngadain giveAway tentang hubungan kita.]Mata Ridwan membulat sempurna membaca pesan itu. Tanpa membalasnya Ridwan kembali mengambil hpnya yang terkhusus untuk keluarganya, yang disitu tercantum grup-grup yang ada di WA. Sementara HP untuk selingkuhannya dia simpan di balik jok kemudi. Tidak lupa Ridwan matikan terlebih dahulu. Saat pesan WA itu dibuka Ridwan benar-benar tidak habis pikir mengapa Rara seperti ini. Berbagai macam komentar masuk membalas pesan Rara. Banyak dari mereka yang tercengang atas apa yang Rara adakan di grup ini. [Bun, ini maksudnya apa, ya? Mas Ridwan itu yang dimaksud Pak Bos?][Bun, ini teh beneran? Emangnya Pak Bos teh selingkuh? Kunaon eta?] timpal Nenen
Bunda, apa boleh aku kerumah besok untuk memberi bukti yang Bunda cari? Aku punya banyak bukti, Bun. Bukan hanya satu, tapi ada beberapa.]Rara membaca pesannya, mata Rara membulat sempurna seperti tidak percaya. Namun, sesaat kemudian senyum terukir di bibir Rara membaca pesan itu. "Bukan hanya satu? Itu berarti anak ini sudah tau lama perselingkuhan Mas Ridwan.""Mas, kita lihat sampai sejauh mana kamu bersembunyi." Gumam Rara. Tengah asik berbalas pesan, pintu kamar Rara diketuk. "Assalamualaikum, Bunda," sapa Ridwan dari daun pintu. Rara terperanjat kaget. "Masih punya muka dia kembali kesini!" Lagi Rara bergumam. Rara hanya menjawab salam itu dalam hati. Ridwan yang sadar Rara tak membukakan dia pintu, berinisiatif untuk masuk sendiri. Meskipun terpatah-patah langkah Ridwan mendekati Rara, Ridwan sudah bertekad menyelesaikan malam ini masalahnya. "Bun," lirih Ridwan. Rara tak menggubris panggilan suaminya, Rara tetap fokus dengan HPnya berbalas pesan dengan Iwan. Ridw
Semenjak hari itu, wajah Eca selalu mengganggu di pikiran Ridwan, saat sedang di butik pun Ridwan sering menatap wajah cantik Eca yang dijadikan PP WAnya kala itu. "Ah sial! Gadis ini bikin aku tergila-gila."Rutuk Ridwan. Sekuat tenaga Ridwan mengusir rasa itu, namun setiap saat juga bayangan Eca selalu datang. Sementara Eca sama sekali tak lagi melirik Ridwan setelah kejadian hari itu. Eca hanya memberi perangkap satu kali, namun tak disangka umpanya kena. Malam itu Ridwan menghubungi Eca diam-diam tanpa sepengetahuan Rara. Satu kali panggilan itu terabaikan, hingga panggilan ketiga kalinya Eca menjawab. "Halo Mas, ada apa?" tanya Eca dengan santai tanpa suara yang dibuat manja seperti hari itu. Eca mengira bahwa Ridwan menghubunginya perihal pekerjaan. Ternyata Eca salah, Ridwan menghubunginya perihal masalah hati. "Ca, kamu lagi apa? Aku ganggu nggak?" tanya Ridwan. "Hmm, ini mau keluar, Mas, malam mingguan." Jelas Eca. "Oh, mau pergi ya, sama cowoknya? Maaf ya, aku gang
Malam telah larut, Rara masih berlanjut pertengkarannya dengan Ridwan. Ridwan masih terus membujuk Rara untuk menerima keadaan, namun Rara masih teramat sakit untuk menerima kenyataan ini. Sungguh Ridwan benar-benar tak memikirkan perasaan Rara sedikit pun. "Sudah lah, Mas! Aku sudah capek dari tadi mendengar permintaanmu! jangan paksa aku untuk menerima keadaan ini. Kamu benar-benar ya! Nggak ada sedikitpun memikirkan perasaan aku! Dasar laki-laki egois!" hardik Rara. Rara mengambil posisi untuk segera tidur, sementara Ridwan hanya menatap istrinyaistrinya tanpa berbicara lagi. Ridwan pun hendak tidur, namun seketika Rara bangun dan meraih selimut dan bantal untuk tidur di sofa bawah. Ridwan yang menyadari istrinya turun pun tersentak bangun. Ridwan tau bahwa Rara saat ini kondisi hatinya sedang tidak baik-baik saja, bahkan tidur satu ranjang pun istrinya enggan. Padahal dua malam yang lalu mereka masih bercanda ria saat hendak tidur, namun sekarang sudah berbeda. "Bun, kenapa
"Bunda, Bunda nggak Papa?" tanya Iwan panik. Bagaimana tidak, Rara tiba-tiba seperti orang hilang tenaga, lemah lunglai ketika meluruhkan dirinya ke lantai. Rara terus memegang dadanya menahan sesak yang kian menghantam. Kenyataan yang didapati ternyata benar-benar membuat Rara tidak percaya. "Lalu Ardi? Bagaimana mungkin Ardi tidak tahu? Ardikan suaminya Eca?" di tengah keterpurukan Rara banyak pikiran-pikiran lain memutar di kepalanya. "Minum dulu, Bun." Iwan datang dari belakang menyodorkan segelas air putih. Rara menerimanya dan meneguk air itu hingga tandas. "Bagaimana, Bun? Udah enakkan belum?" tanya Iwan. Rara masih memegang dadanya, rasa sakit itu kian parah, seperti ada gumpalan yang menyumbat di ulu hati. Rara mengangguk kecil, meskipun tubuhnya gemetaran menahan sakit dan amarah. "Bunda tenang dulu, Bun. Maaf ya kalo ini bikin bunda jadi….""Nggak apa-apa, Wan." Rara memotong pembicaraan Iwan. "Hm, iya Bun," sahut Iwan tidak enak hati. Merasa bersalah melihat ma
Ca! Kamu belum bangun?" suara Rista dari luar kamar mengganggu Eca yang tengah rebahan di kamar.Tok tok tok! Lagi pintu kamar diketuk dari luar dengan cukup keras "Eca!" lagi Rista memanggil dari luar. Dengan malas Eca berdiri membukakan pintu kamar. "Iya, Ma, ada apa?" tanya Eca dengan wajah yang dibuat seperti habis bangun tidur. "Ya ampun Ca, kamu itu sudah hamil besar lho, kok yo bangun siang-siang begini. Bangun pagi, Ca! Banyak gerak biar nanti mau lahiran itu gampang. Gak cuma dibawa rebahan aja di kamar." Cerocos Rista dengan suara yang sedikit meninggi, yang sontak bikin kuping Eca panas mendengar ocehan Mamanya Ridwan tiap hari. "Maaf, Ma. Semalam aku nggak bisa tidur. Jadinya kesiangan." Alasan Eca. "Kenapa kamu nggak bisa tidur? Kepikiran Rara sudah tahu hubunganmu sama Ridwan?" sindir Rista yang sontak membuat Eca memerah mangan emosi. "Ngapain aku mikirin itu, Ma. Orang Mas Ridwan yang tergila-gila sama aku. Bukan aku yang merebut mas Ridwan." ujar Eca penuh per
Tok! Tok! Tok! "Assalamualaikum, Kak." Sapa Rara dari luar. Hanum berdiri membukakan pintu kamar untuk Rara. "Waalaikumsalam, Bun." Sahut Hanum saat menampakkan dirinya dari balik pintu. "Kakak nggak papa?" tanya Rara. "Seperti yang Bunda lihat, Bun." Jawab Hanum dengan muka yang masih ditekuk. "Bunda boleh masuk, Kak?" Rara meminta izin pada Hanum. "Boleh, Bun." Jawab Hanum dengan memberi anggukkan kecil. Rara melangkahkan kakinya masuk ke kamar Hanum. Mata Rara menelisik kamar itu, ternyata tidak ada yang harus dikhawatirkan, kamar Hanum terlihat biasa saja. Hanya tempat tidur yang sedikit berantakan, itu pasti dari semalam Hanum hanya berbaringan ditempat tidur.Hanum masih berdiri dibalik pintu. Rara yang sudah sampai di ranjang tidur Hanum menoleh kebelakang, "Kak, ayo sini!" titah Rara. Hanum mendekati Rara lalu memeluknya erat. Tangis Hanum pecah, dalam isak tangisnya dia berkata. "Kenapa Papa punya perempuan lain, Bun? Kenapa Papa jahat banget sama Kakak?" Celoteh Han