Masuk"Itu tidak mungkin benar, kan, Dario?" Gianna masih terduduk lemas di ujung sofa di ruangan Dario. Tangannya di pelipism, berharap pijitan di sana bisa mengurangi rasa sakit yang menusuk di kepalanya. "Aku hanya salah lihat, kan? Itu tidak mungkin Enrio, kan?"Ujung mata Dario melirik Seth yang duduk di samping Gianna. Berusaha mengurangi ketegangan di tubuh sang mama dengan memijit-mijit lembut di telapak tangan yang satunya. "Mati atau tidak, dia bukan ancaman buatku.""Tapi ancaman besar untuk Seth," lanjut Gianna dengan penuh emosi. "Lagipula dia hanya anak haram.""Jika Seth bisa membuktikan dirinya dengan baik, kurasa juga tak akan menjadi ancaman. Benar bukan, keponakan?"Kepala Gianna berputar dengan cepat, menatap sang putra. "Apa sejak awal kau tahu kalau dia masih hidup?"Seth menatap sang paman dan menganggup pelan. Yang membuat Gianna menarik tangan dari pegangan Seth. Tangannya terangkat, tetapi terlalu sayang untuk mem
Rasa mual dan badannya yang mendadak terasa tidak sehat membangunkan Rhea pagi itu. Gejolak di perutnya terasa semakin tak tertahankan dan memaksanya turun dari ranjang untuk memuntahkan isi perutnya ke lubang toilet. Menguras perutnya hingga tak ada yang tersisa yang bisa dimuntahkannya.Saat akhirnya muntahan tersebut selesai, tubuhnya yang lemah terasa semakin letih. Dan saat itulah ia merasa familiar dengan situasi tersebut. Wajahnya seketika memucat dan seluruh tubuhnya membeku. Melompat berdiri dan mendekati Dario yang baru saja terbangun dan duduk di tepi ranjang,“Ada apa?” Dario mengernyit dengan Rhea yang tiba-tiba berdiri di hadapannya dengan ketegangan yang tak bisa disembunyikan.“Apa tadi malam kau menggunakan pengaman?”Kernyitan Dario semakin dalam ketika melirik tempat sampah di samping ranjang mereka dan mengangguk pelan.Rhea mengikuti arah pandangan Dario dan kelegaan mengaliri tenggorokannya dengan cepat. Ya
“Aku tahu, keponakan,” jawa Dario setelah keheningan yang panjang sempat membekukan keduanya. Ujung jemari pria itu kemudian menyentuh tombol merah. “Jadi, kau atau aku yang akan menemuinya?”“Apa yang kau inginkan?”“Terkadang, kejujuran yang menyakitkan lebih baik daripada kebohongan yang … menyakitkan juga?” kekeh Dario. Menarik lengan Rhea dan menyapukan lumatan yang panjang sebelum melepaskan wanita itu. “Aku punya waktu lima belas menit untuk bersabar menunggu istriku di ranjang,” ucapnya sambil menggenggamkan ponsel ke dalam tangan wanita itu. Dengan seringai tipisnya, pria itu melenggang masuk ke dalam kamar. Rhea menatap nanar ponsel dalam genggamannya yang layarnya sudah gelap. Matanya mulai berkaca. Dario benar-benar tak membiarkannya untuk bernapas. Waktunya hanya lima belas menit untuk mengakhiri apa pun itu yang masih tersisa antara dirinya dan Enrio. Perasaannya pada pria itu tak akan pernah berubah.Lebih dari satu menit
Enrio akhirnya mengingat semuanya. Ingatan itu tiba-tiba menerjang kepalanya dengan keras setelah wanita itu pamit pulang dan akan datang keesokan harinya sepulang dari kantor. Sampai kemudian, perawat paruh baya bernama May yang menjaganya saat ia bangun pada hari itu menceritakan semuanya.Menceritakan semua hal yang sudah dilakukan Rhea untuk dirinya agar tetap mendapatkan perawatan yang layak. Satu-satunya orang yang tak menyerah di saat dokter pun menyerah padanya. Dan wanita itu membawanya lari dari kota besar untuk menyembunyikan dirinya. “Apa Dario tahu aku masih hidup?” tanyanya siang itu pada Sethh yang menyempatkan melihatnya sebelum berangkat ke kantor.“Paman sudah tahu?”“Katakan saja.”“Berapa banyak?”“Berapa banyak yang kau ketahui, sebaiknya kau katakan, Seth,” geram Enrio dengan nyala hijau yang berkilat di matanya.Seth menelan ludahnya. “Paman Dario mengancam akan menyakiti paman jika Rhea
“Tidak, Dario. Kau berjanji tak akan menemuinya.”“Bukan tidak akan, tapi belum.”Rhea menyentakkan tangan Dario di pinggangnya.“Dan percayalah, satu-satunya hal yang menghalangiku menampakkan diri di hadapannya hanya apa yang sudah kujanjinkan padamu. Aku tak suka berhutang apa pun.”Kelegaan mulai mengaliri dadanya. Meski kepercayaannya terhadap Dario setipis tisu, setidaknya ia tak akan bermain-main dengan emosi pria itu. Menuruti apa pun yang diinginkan Dario darinyalah satu-satunya jalan agar pria itu tidak menggila.“Lalu untuk apa kau ke rumah sakit.”“Mengambil hasil tes anakmu. Ah, anak kita.” Dario menarik tubuh mereka agar lebih merapat. Karena kali ini ia menggunakan sopir, ia bisa menyibukkan diri dengan wanita ini. “Hasilnya sudah pasti, kan?”Rhea tak bisa mengelak. Sopir yang bergerak memutar cermin ke arah lain dan fokus ke arah jalanan, makan Dario akan fokus pada dirinya.***
Angela tersenyum melihat sepasang antingnya yang masih berada di meja kaca tersebut. Tangannya terulur memungut kedua benda berkilau itu ketika mendengar suara pintu yang dibuka dari samping. Dengan senyum yang melebar, wanita itu menoleh. "Dario?"Senyum Angela membeku. Wajahnya mengeras melihat bukan Dario yang keluar dari kamar pria itu. "Apa yang kau lakukan di sini, Rhea?"Rhea masih membeku, jawaban macam apa yang akan diberikannya pada Angela. Atau apakah ia perlu menjawabnya?Dengan wajah merah padam oleh kemarahan, Angela menghambur ke hadapan wanita itu. "Kenapa kau keluar dari kamar Dario sepagi ini?"Dan ia memang tak perlu menjawabnya. Rhea pun berjalan ke samping. Urusan Dario dengan Angela sama sekali bukan urusannya. Jika tak ingin membiarkan tunangannya memergoki dirinya berada di tempat ini, seharusnya Dario tidak memberikan akses seperti ini pada Angela. Atau pada dirinya. Atau pria itu yang mendatangi apartemennya."Kau belum menjawab pertanyaanku, Rhea." Angela me







