“Kenapa, Mas?”Harena mengkerut kening saat melihat Dharmatiio yang datang ke apartementnya dalam keadaan mabok, lebih terkejut lagi saat bibirnya diisambar Dharmatio secara tidak santai, langkahnya terdorong mundur seiring langkah kakak iparnya itu melangkah maju.“Kamu mabok?”Harena melebarkan kedua matanya saat tangan besar itu berada di kedua bokongnya, dan diremas. Ini pertama kalinya kakak iparnya itu menyentuhnya secara brutal seperti saat ini. Ada perasaan takut, senang dan keenakan.“Cindya sayang ….”Racauan Dharmatio membuat Harena menaikkan sebelah alisnya, “Maaf aku mabok. Aku kelepasan tadi pas di rumah Karen. Niatnya aku hanya ingin minum sedikit, sedikit seperti ini … tapi ternyata aku terjebak dalam permainan truth or dare sialan itu.”Harena menaikkan sebelah alisnya, mengunci bibirnya, menikmati setiap sentuhan dan racauan yang diucapkan oleh Dharmatio secara tidak sadar. Ia yakin, Dharmatio minum melebihi kapasitas.Kakak iparnya itu bukan peminum, tetapi jika sud
“Mas, diminum dulu.”Cindya memberikan minuman coklat hangat kepada suaminya yang sangat lesu pada malam ini, ia memilih untuk duduk di kursi sebelah kanan Dharmatio yang meneguk sedikit demi sedikit coklat yang dibuatkan olehnya.Saat Dharmatio datang beberapa menit yang lalu dengan wajah lesu, lelah dan letih, membuat Cindya mengambil inisiatif atas gerakan hatinya yang berkata ‘dia itu suamimu’. Cindya menyarankan suaminya untuk membersihkan diri, setelahnya baru di ajak ke ruang makan untuk dibuatkan minuman hangat.Echa? Di jaga oleh Arlantio yang happy karena bisa berinteraksi dengan adik perempuannya itu, tidak ada paksaan. Arlantio melakukannya karena suka.“Kerjaan lagi berat di kantor?” tanya Cindya dengan suaranya yang lembut, mengusap punggung Dharmatio dengan penuh perasaan, kedua matanya memperhatikan wajah sang suami yang tidak bersemangat dari sebelum-sebelumnya.Cindya hanya terdiam setelah pertanyaannya tidak mendapatkan jawaban dari sang suami, ia cukup sadar diri d
Dharmatio membaringkan tubuhnya pada sofa berwarna putih, menutup setengahh wajahnya dengan lengannya. Ini bukan di rumahnya, ia sangat sadar saat ini sedang di apartement milik Harena yang ia sewa selama lima bulan. Hanya lima bulan.“Loh, Mas? Sudah pulang?” Harena melangkahkan kaki ke dapur untuk mengambil minum, tenggorokannya sangat kering karena baru bangun dari tidur siangnya. Kedua matanya memperhatikan Dharmatio yang sepertinya sedang mencoba untuk tertidur.“Mau makan apa? Aku mau pesan makan buat makan malam,” ujarnya memecahkan keheningan, pertanyaannya tidak membuat Dharmatio bergerak sedikitpun.“Tidak perlu, aku nanti makan di rumah,” jawab Dharmatio tanpa mengalihkan tangannya yang sengaja menutupi kedua matanya, lebih tepatnya menutup pandangannya untuk tidak melihat wujud Harena.Sedangkan Harena menghela nafasnya perlahan, merogoh saku celana pendeknya, lalu membuka aplikasi pesan-antar makanan. “Aku pesenin cemilin sama kopi,” tuturnya, dan hanya ditanggapi dengan
“Maaf ya, baby. Kemaren istriku tidak bisa ditinggal, sepertinnya saat ini juga aku tidak bisa lama-lama, ada meeting dan aku harus hadir,” ujar Dharmatio dengan suara pelan, memainkan rambut wanita yang sedang bersamanya saat ini.“Mas baru dateng loh, aku masih kangen,” ucap wanita itu dengan nada bicaranya yang manja, mendongak untuk bertemu tatap dengan kedua mata Dharmatio yang sedang menatapnya. “Memangnya tidak bisa diundur jadwalnya?” lanjutnya, kedua matanya seolah berbicara ‘please’.Sayangnya, Dharmatio bukan pria yang menyalurkan seluruhnya untuk wanita. Ia bisa tegas, dan tahu mana yang harus diprioritaskan. Bujuk rayu, tatapan yang seperti anak kucing itu tidak akan membuatnya mengindahkan atau meng-iya-kan.Pria itu menggelengkan kepala, “Maaf ya, Harena. Tidak bisa. Meeting ini penting, dan sudah dijadwalkan dari seminggu yang lalu. Jadi tidak bisa diundur seenaknya, lagipula Mommy ikut andil.”Harena berdecak kesal setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Dharmatio, i
Dharmatio menggigit bibirnya, melangkah mondar mandir di kamarnya dengan kening yang mengkerut, alis bertaut. Obrolannya dengan Arlantio tadi siang benar-benar membuatnya terus berpikir hingga tengah malam.Kedua matanya memperhatikan wanita yang tertidur menghadap ke box bayi yang berada di celah antara ranjang dan lemari.“Kecerdasan kamu nurun ke Arlan, Cindya. Tidak mudah untuk dibohongi, tetapi aku harus melakukannya. Maaf kalau nanti kamu tersakiti,” monolognya dengan suara pelan, menghela nafas lalu menyugar surai panjangnya.Pria itu memilih untuk pergi dari kamar, ia melangkahkan kakinya ke rooftop rumahnya yang jarang disinggahi olehnya. Ruang terbuka, tanpa orang lain yang menemani, memang itu yang diinginkan oleh Dharmatio supaya pikirannya lebih terbuka dan tidak terburu-buru dalam bertindak.Dharmatio duduk di salah satu bangku yang ada di rooftop, mengeluarkan sebatang rokok dari bungkus rokok yang ia simpan dalam saku. Entah sejak kapan dirinya menjadi perokok aktif, ya
“Di block? Sialann. Dharma sialann. Kamu sedang mempermainkanku?”Harena mengerang kesal, ia melempar benda pipih itu ke atas ranjang, ke sisi kirinya. Nomornya baru saja diblokir oleh Dharmatio, setelah dirinya mengirim pesan kepada kakak iparnya itu terkait pertemuan besok.Wanita itu duduk di ujung ranjang dengan kedua mata yang menatap tajam cermin yang memantulkan dirinya. Alis bertaut, bibir merah menyala itu menyunggingkan senyum villain, tangan yang mencengkram kuat ujung ranjang, dress berwarna putih yang sengaja memperlihatkan bahunya.Harena tidak tahu jika Dharmatio akanj menghabiskan waktu dengan keluarga kecil pria itu, ia hanya tahu Dharmatio akan menemuinya hari ini setelah dua hari kemarin intens, bahkan dirinya dan kakak iparnya itu melakukan hubungan layaknya suami-istri.Jika mengingat itu, senyum di kedua sudut bibir wanita tidak bisa ditahan. “Memang, pesona aku lebih menggoda dibandingkan istrimu yang tidak seberapa itu,” monolognya, seolah cermin itu adalah Dha