Arka tetap duduk di tempatnya, tidak tampak goyah sedikit pun. Tatapannya tenang, bahkan bibirnya masih melengkung tipis. “Tenang, Sha. Jangan panik.”“Arka, dengar aku! Kalau mama lihat kamu di sini, habis kita berdua. Aku ....” Sasha menelan ludah, tubuhnya gemetar hebat. “Aku nggak bisa bayangin apa yang bakal terjadi. Tolong, sembunyi dulu.”Arka menggeleng pelan. Ia bangkit, lalu berdiri dengan tegap, tatapannya mengunci mata Sasha. “Kamu tinggal buka pintunya. Biarkan aku yang atur sisanya.”Sasha terperangah. “Apa? Arka, jangan gila! Kamu mau sengaja nunjukkin diri? Kamu tahu nggak itu sama aja bunuh diri?!”Arka menunduk sedikit, mendekatkan wajahnya agar hanya Sasha yang mendengar suaranya. “Percaya sama aku. Aku nggak akan biarin mama punya kesempatan buat nyakitin kamu. Kalau dia lihat aku di sini, aku bisa cari alasan. Kalau dia belum sempat masuk, aku bisa pergi l
Arka hanya tersenyum samar, tangannya masih menahan genggaman lembut di jari Sasha. “Karena aku mau jadi orang yang pertama kali bikin kamu ngerasa ... layak dicintai.”Sasha terpaku beberapa detik. Air matanya masih jatuh, tapi kali ini bercampur dengan senyum kecil yang muncul tanpa bisa ia tahan. Rasa bahagia yang begitu sederhana, makanan kesukaan dari masa lalu, syal yang selama ini ia kira hilang, semuanya menumpuk, membuat dadanya terasa penuh.Tanpa sadar, tubuhnya bergerak spontan. Ia berjingkrak kecil, lalu memeluk Arka erat-erat, seolah seluruh perasaan yang membuncah tak lagi bisa ditahan.“Arka,” suaranya parau di bahu pria itu. “Kamu nggak tahu, aku bahagia banget. Rasanya ... aku kayak balik jadi diriku yang dulu lagi.”Arka sempat terkejut, tubuhnya menegang sepersekian detik. Tapi kemudian, tangannya perlahan membalas, melingkari punggung Sasha dengan hangat. Pelukannya bukan sekadar balas
Mata Sasha membesar ketika melihat sebuah kotak makan sederhana dengan logo kedai lama yang pernah ia kenal. Tangannya ragu-ragu saat Arka mendorong kotak itu ke arahnya.“Coba buka,” ucap Arka pelan, nadanya tenang tapi matanya penuh perhatian.Dengan jari yang bergetar, Sasha membuka kotak tersebut. Begitu tutupnya terbuka, aroma khas langsung menyeruak: perpaduan wangi rempah dan manis gurih yang familiar.Sasha tertegun. “Ini ... nasi uduk sama tempe orek, terus ada sambal kacangnya juga—” Suaranya tercekat, hampir berbisik.Arka mengangguk kecil, bibirnya melengkung samar. “Iya. Dari warung kecil deket panti dulu, kan? Aku sempet lewat sana. Untung masih buka sampai malam. Katanya, udah lama nggak ada yang beli ini buat kamu.”Air mata Sasha mendesak naik tanpa bisa ia tahan. Tangannya menutup mulut rapat, tubuhnya gemetar. “Arka, kok, kamu bisa tahu? Ini makanan kesukaanku dari dul
Sasha terperanjat. Tubuhnya bergetar saat matanya membelalak ke arah cermin. Ia bisa melihat pantulan seseorang berdiri di belakangnya—Arka.“Arka ...?” suaranya nyaris patah, bergetar antara kaget dan bingung. Ia buru-buru menoleh, dan benar, pria itu bersandar santai di kusen pintu kamar dengan tangan terlipat di dada. Wajah tampannya tampak menyunggingkan senyuman tipis, membuat lesung pipit tipis tercipta di sana.Kacamata yang selalu setia bertengger ketika ia bekerja, kini masih terpasang di atas hidung bangirnya, membuat ketampanan Arka jauh lebih berkharisma.Untuk sesaat, Sasha terdiam. Tatapannya tanpa sadar memanjang, meneliti garis rahang tegas Arka, hidung bangirnya, hingga kilatan tenang di matanya yang bersembunyi di balik lensa kacamata. Ada sesuatu pada sosok Arka malam itu yang terasa begitu menawan di matanya, berbeda dengan Reno yang selalu menjaga jarak dengan tatapan datar.Sasha buru-buru mengalihkan
Arka membuka pintu kamarnya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya masih menenteng dua paper bag besar. Suara pintu yang berderit pelan tenggelam dalam kesunyian lantai atas rumah itu. Tanpa menyalakan lampu utama, ia hanya menekan saklar lampu meja, membuat cahaya kuning redup menyebar di ruangan.Dengan langkah mantap, ia meletakkan kedua paper bag itu di atas meja kerjanya. Suara plastik dan kertas beradu memenuhi ruangan sebentar, lalu hening kembali. Arka berdiri sejenak, menatap paper bag itu seakan sedang menimbang sesuatu.Matanya meredup. Ia menyandarkan kedua tangannya di meja, jemarinya menekan permukaan kayu dengan kuat. “Sebentar lagi, semuanya akan terbukti. Tunggu sampai semua bukti kuat aku dapatkan, kalian akan selesai,” gumam Arka dengan tanganyang terkepal dengan kuat.Namun setelah itu, bibirnya justru melengkung tipis, membentuk sebuah senyum samar—dingin, penuh rahasia, dan nyaris tidak terbaca. Senyum itu bukan milik seorang dokter yang pulang lelah setela
Suara langkah pelan menuruni tangga membuat Sasha tersentak. Lamunannya seketika buyar, wajah Reno yang hangat dalam khayalannya pun lenyap. Yang tersisa hanyalah dirinya sendiri di ruang makan yang sunyi, berdiri di depan meja panjang yang penuh hidangan mewah.Langkah itu semakin jelas, ritmenya mantap, tegas, hingga akhirnya sosok Reno muncul di ambang pintu ruang makan. Ia mengenakan kemeja putih dengan beberapa kancing terbuka di bagian atas, lengan tergulung hingga siku. Wajahnya tetap sama—dingin, datar, seolah tak menyisakan ruang untuk keintiman yang barusan Sasha khayalkan.Sasha buru-buru meletakkan serbet di meja, mencoba mengatur ekspresi wajahnya agar tidak tampak linglung. “M—Mas,” sapanya pelan, hampir berbisik.Reno hanya melirik sekilas, tatapannya singgah sebentar lalu berpindah pada hidangan di meja. “Sudah siap?” tanyanya singkat, suaranya tenang tapi penuh jarak.Sasha mengangguk cepat. “Suda