LOGIN“Arka!” Sasha menatapnya dengan wajah memerah antara gugup dan marah. Ia refleks mendorong dada Arka, tapi dorongan itu sama sekali tak menggerakkan pria setinggi dan setegap dirinya.
Arka hanya terkekeh kecil, nada suaranya rendah namun lembut. “Aku bercanda,” ujarnya sambil berbalik menuju meja. Ia meletakkan kantong makanan di atas meja, membuka bungkus burger, lalu mendorong satu ke arah Sasha. “Makanlah, aku tahu kamu belum makan apa pun sejak tadi. Kalau mau sedih juga butuh tenaga, kan?”
Sasha mencebik kecil disertai senyuman malu, namun juga ada getar yang tidak bisa Ia sembunyikan dari tatapannya. Getar kesakitan yang memang timbul, karena terus ditekan dan terus dicaci tanpa ada yang bisa melihat dia sebagai manusia.
“Jangan nangis lagi, hmmm,” ucap Arka pelan, mengusap lembut pipi Sasha yang mulai kembali memerah.
Arka tahu, pernikahan Sasha dan juga Reno tidak pernah berlandaskan ci
“Jawab pertanyaan gue, apa yang terjadi? Kenapa harus siapin ruang USG?”Brata mengangkat tangan lagi, mencoba mencegah Arka meloncat pada kesimpulan yang salah.“Itu hanya optional, Ka. Antisipasi saja. Kita lihat perkembangannya nanti setelah dia benar-benar sadar. Tapi,untuk saat ini? Nggak ada indikasi bahaya. Nggak ada cedera, nggak ada trauma, dan tekanan darahnya sudah naik sedikit.”Brata menghela napas pendek, memastikan para perawat sudah sedikit menjauh dari mereka. Setelah memastikan Sasha stabil untuk sementara, ia mendekat pada Arka.Sangat dekat.Arka mengerutkan kening. “Apa lagi?”Brata menatap kanan-kiri, lalu membungkuk sedikit.Ia menurunkan suaranya sampai hanya Arka yang bisa mendengar.“Ka,gue ngerti kalian suami-istri baru. Gue paham,fase bulan madu itu masih jalan.”Brata menepuk bahu Arka pelan. “Tapi meski lagi naik dan semanga
“Nggak!Kamu kebangetan, ih!Kenapa nggak berhenti tadi?” keluh Sasha lirih. Suaranya nyaris tenggelam oleh detak hujan yang jatuh di kaca mobil, tubuhnya masih melekat pada Arka, seolah tulangnya belum kembali utuh setelah dua jam terakhir dipaksa menyerah oleh pria itu.Arka terkekeh pelan, suara rendahnya menggetarkan dada Sasha tempat ia bersandar. “Kamu yang minta,” jawabnya santai sambil mengusap punggung Sasha yang masih naik turun menahan napas.“Aku minta cuma sekali,” protes Sasha kecil, pipinya memanas ketika mengingat bagaimana ia sendiri yang akhirnya memohon agar Arka tidak berhenti. “Kamu yang lanjut terus—”“Kamu yang mulai gemeteran dan narik aku lagi,” balas Arka cepat, nada menggoda namun juga manja. Ia menunduk sedikit, menyentuhkan bibirnya pada pelipis Sasha. “Aku cuma ngikutin istri aku.”“Isshhh…!” Sasha mendesis menangg
Arka menahan senyumannya sendiri ketika mendengar permintaan Sasha, terlebih saat melihat wajahnya merah seperti udang rebus.Mobil yang dibawa Arka dengan segera meninggalkan bibir pantai, menuju bukit yang menjadi tempat pertama mereka menyatu dan memiliki hubungan yang jauh hingga sekarang.Disisi lain, setelah bertemu dengan Sasha di sebuah minimarket SPBU, Ratna kembali ke rumahnya dengan perasaan dongkol. Sepanjang perjalanan, tangannya terus menggenggam kemudi terlalu kuat, seolah ingin melampiaskan kekesalan lewat benda pertama yang bisa ia remukkan.Sasha yang biasanya menunduk patuh, selalu sopan, selalu meminta maaf bahkan ketika bukan salahnya, tiba-tiba saja tadi berani melawan.Itu bukan Sasha yang Ratna kenal.Bahkan Ratna bisa melihat jelas kalau ada keberanian di mata Sasha. Keberanian yang tidak pernah ada selama bertahun-tahun Sasha menjadi menantunya. Ada sorot yang tidak lagi memohon, tidak lagi takut, tidak lagi merasa ren
Perjalanan menuju pantai berlangsung lebih hening daripada sebelumnya. Arka berkendara pelan, sesekali melirik Sasha yang hanya memandang keluar jendela tanpa bersuara. Wajah Sasha sedikit murung, seperti ia sama sekali tidak menikmati apa yang terjadi saat ini.Sasha hanya diam menikmati terpaan angin yang menerbangkan setiap helaian rambutnya. Ia masih tenggelam dalam lamunan, sampai ia tidak menyadari kalau Arka sudah memarkir mobil di titik paling dekat dengan bibir pantai.Arka menghembuskan napas lega.“Akhirnya sampai juga,” ucapnya sambil tersenyum kecil.Ia melepas sabuk pengaman dan bersiap turun untuk membuka pintu Sasha.Namun Sasha tetap diam, tanpa ada reaksi apa punsama sekali. Hal itu membuat Arka menoleh ke arahnya.Beberapa kali Arka memanggil Sasha masih saja diam dan tidak bereaksi apa pun.“Sayang, kamu kenapa?”tanya Arka cemas.Sasha masih diam. Dan ketika panggilan ketiga,
Ratna seketika membeku mendengar ucapan Arka. Ia tidak pernah melihat sisi ini darinya kalimat penuh penekanan dan juga penuh ambisi untuk menghancurkannya.Saat tubuh Ratna membeku, Arka menjauhkan wajahnya dari sisi Ratna, namun masih dengan raut wajah yang sama seperti sebelumnya.“Jangan takut, aku tidak akan mengambilnya sekaligus. Mungkin secara perlahan, sampai kalian memasrahkan semuanya sendiri dengan sukarela,” pungkas Arka, lalu beralih pada Sasha yang masih diam di tempat.“Ayo,kita berangkat, Sayang. Maaf, ya, kamu harus mengalami gangguan dari orang yang nggak waras seperti ini,” ucap Arka, seraya menggandengnya pergi meninggalkan Ratna yang masih mematung.Sasha menggandeng Arka, dan sedikit merebahkan kepalanya di lengan Arka ketika melangkah keluar. Arka mengusap pelan pipinya, dengan hati yang bergemuruh menahan kemarahan.Di luar, udara sore yang mulai dingin menyambut mereka.Arka masih menggen
Ratna menyeringai melihat Sasha yang hanya membeku mendengar semua cercaannya. Beruntung, di dalam minimarket itu tidak begitu ramai dan hanya ada mereka berdua, jadi tidak ada satu pun yang bisa mendengarkan percakapan mereka yang tengah berdebat dengan nada yang ditekan.“Kenapa? Nggak terima? Emang, iya, kan? Arka itu nggak ada otaknya karena harus nikahin perempuan kosong macam kamu. Nggak bisa kasih keturunan, nggak bisa kasih kehormatan, kedudukan, apalagi ngasih yang jauh lebih dari itu.”Sasha menghela napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Senyum tipis mulai terbit di bibirnya, sesaat sebelum ia mulai bicara.“Jadi, menurut Anda, Arka itu nggak punya otak karena memilih perempuan kosong yang nggak bisa berbuat apa pun? Nggak bisa hamil dan sebagainya? Begitu?”“Iyalah, jelas,” sahut Ratna cepat, dagunya terangkat tinggi seolah ucapannya adalah kebenaran mutlak. “Arka itu buta karena kamu. Dia cuma dibodohi sama tampang polosmu. Kalau dia pakai sedikit saja otaknya, dia ng







