Share

bab 2 Dirawat di Rumah Sakit

# Bab 2

POV Lilis

Aku terbangun di sebuah tempat dengan nuansa serba putih. Bau obat-obatan menyengat menusuk hidung.

Kepalaku terasa berdenyut. Saat hendak memijat kepalaku, seketika tersadar tanganku sebelah kiri dipasang selang infus. Sudah jelas saat ini aku berada di rumah sakit.

Samar aku dengar, seorang wanita dan pria sedang berbicara di balik pintu yang sedikit terbuka.

"Mungkin karena menyembunyikan kondisinya, sehingga kesehatan tubuhnya dan janin tidak terpantau. Yang dibutuhkan putri bapak saat ini, ialah dukungan moril dari orang terdekatnya. Nanti saya juga akan berikan vitamin untuk menguatkan janinnya. Saya permisi dulu," kata seorang wanita, yang sepertinya seorang dokter.

"Baik, Dok. Terimakasih." Itu suara Ayah yang menjawab.

Aku mengusap perut yang masih rata. Apa iya aku sudah lalai terhadap janin di dalam perutku? Bagaimanapun janin ini tidak berdosa. Aku tidak akan menggugurkannya, karena aku bukan pemb*nuh.

"Maafkan Ibu ya, Sayang. Ibu janji, akan lebih memperhatikan makanan yang Ibu makan. Supaya kamu tercukupi asupan nutrisi dan gizinya." Aku bergumam lirih sambil mengusap perutku.

Bunyi pintu terbuka membuatku mengalihkan pandanganku ke arah pintu.

"Kamu sudah sadar?" Ayah bergegas menghampiriku.

Aku mengangguk. "Haus." Aku mencoba berbicara, walau tenggorokan terasa sakit.

Ayah menyodorkan segelas air minum yang ada sedotannya, supaya aku mudah meminumnya.

"Apa sudah baikan? Apa ada yang sakit?" tanya Ayah. Ada sedikit nada khawatir yang kudengar, meski wajahnya masih datar. Ayah pasti masih kecewa.

"Aku udah enggak apa-apa, Ayah." Aku sungguh merasa tidak enak hati dengan Ayah.

"Apa Ayah masih marah padaku?" tanyaku hati-hati.

"Ayah tidak marah padamu. Ayah hanya kecewa. Kamu tidak bisa menjaga kehormatan yang paling berharga bagi seorang wanita." Wajah Ayah masih nampak gores kekecewaan di sana.

"Apa kau sudah siap bercerita?" tanya Ayah pelan.

Aku hanya bisa diam saja sambil menundukkan kepala.

"Lis, Ayah tahu kamu masih belum siap untuk berbicara. Tapi kamu tidak akan bisa melakukannya sendiri. Masalah tidak akan selesai kalau kamu hanya diam saja. Meskipun mulutmu diam, tapi perutmu yang akan berbicara nantinya." Ayah menjelaskan dengan pelan.

Inilah Ayah, beliau orang yang bijak. Ayah lebih suka menyelesaikan masalah dengan dipikir dan dibicarakan dahulu, bukannya langsung dengan tindakan.

"Apa kamu masih ingin diam? Apa kamu tak ingin menuntut keadilan untukmu dan janin dalam perutmu?" tanya Ayah beruntun.

Aku menggigit bibirku. Merasa sangat rapuh seketika. Sadar diri kalau aku belum bisa berdiri di atas kaki sendiri. Masih butuh penopang untukku bisa meraih cita-cita.

Aku akan memberitahukan kebenarannya kepada Ayah. Mencari keadilan untukku dan anak yang di perutku.

"Ayah, apa ... Ibu dan Kak Laras sudah tau kondisiku?" Seketika aku teringat dengan Ibu dan Kak Laras. Mereka sudah tau atau belum mengenai kehamilanku.

"Belum. Ayah tak tega pada ibumu. Biar nanti kita bicarakan pelan-pelan padanya. Supaya bisa menerima dengan lapang."

Aku langsung bernafas lega mendengarnya. Kemarin Ibu sempet drop karena darah rendah. Aku takut beliau drop lagi.

"Jadi, bisa kamu katakan siapa laki-laki yang sudah menghamilimu?" tanya Ayah tak sabar.

"Dia ... kakak ipar, Yah. Kak Evan." Aku menunduk. Perasaanku sungguh tak karuan. Perasaan takut, marah, bersalah dan cemas, tercampur aduk dalam diri ini.

Kulihat rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal. Aku takut keluarga kami akan hancur tercerai berai.

"Kamu yakin dengan ucapanmu, Lis?" tanya Ayah ingin memastikan lagi.

"Yakin, Yah." Aku mengangguk mantap. Aku sudah bertekad tidak akan diam terus.

"Kapan dan di mana dia melakukan itu padamu?"

"Ayah ingat saat Ayah, Ibu dan Kak Laras ke tempat Budhe Rara untuk menjenguk suaminya, Pakdhe Riyanto yang sedang sakit?"

Ayah mengangguk. Wajah Ayah semakin serius mendengarkan aku bercerita. Mataku sudah berembun, tapi aku harus tetap kuat agar masalah ini tidak berlarut-larut.

"Saat itu Kak Evan datang karena dihubungi oleh Kak Laras untuk datang ke rumah dan menjagaku. Karena cuaca sedang hujan lebat dan ada petir. Ayah, Ibu dan Kak Laras terpaksa menunda kepulangan dan menginap di sana."

Aku berhenti sejenak karena masih merasa takut bercerita tentang itu kembali. Tanpa terasa air mata sudah membasahi pipi. Aku hanya berharap semoga aku kuat untuk menyelesaikan ceritaku.

"Saat itulah Kak Evan melakukannya. Di kamarku, di atas kasurku, tempat yang menjadi privasiku, Yah. Setiap malam aku harus teringat kejadian yang sangat menjijikan itu. Hiks ..." Aku sudah tidak sanggup bercerita.

Ayah langsung memelukku. Saat itulah aku langsung menumpahkan semua tangisku. Aku menangis sepenuhnya dengan perut Ayah kugunakan untuk menutup mulutku, agar suaranya tidak sampai keluar kamar inap ini. Aku tetap bisa mengeluarkan semua perasaan yang ada di hati ini.

Setelah puas menangis dan merasa sedikit lega, aku melepaskan diri dari pelukan Ayah.

Kulihat wajah Ayah yang biasanya lembut, menjadi datar. "Evan ..." geram Ayah dengan suara rendah. "Tak kusangka, ternyata aku membawa serigala masuk ke dalam rumah." Mata Ayah berkilat. Wajahnya mengeras dan memerah. Nafasnya sedikit memburu.

"Ayah percaya padaku?" Aku takut Ayah masih belum yakin dengan pernyataanku. Atau malah berpikir kalau aku yang menggoda kakak ipar.

Aku akui kalau kakak ipar memang tampan. Kata Kak Laras, Kak Evan dulu menjadi incaran banyak wanita. Bahkan banyak yang bersedia merendahkan diri, hanya demi bisa kencan satu malam dengannya.

Sungguh kekagumanku padanya bukan berarti aku menyukainya lebih. Aku hanya menganggapnya kakakku sendiri karena dia baik, penyayang, dan perhatian. Dia bahkan membantuku mengerjakan PR saat Ayah sedang sibuk dengan pekerjaannya.

"Ayah percaya dengan putri Ayah sendiri. Ayah jauh lebih mengenal putri Ayah dibanding orang lain." Wajah Ayah sedikit melembut, matanya seperti sedang menerawang.

"Ayah masih ingat, dulu Ayah yang mengganti popokmu, memandikanmu, dan menemanimu bermain. Dari kamu baru bisa tengkurap, sampai bisa berjalan sendiri, karena ibumu harus meluangkan lebih banyak waktu untuk kakakmu di rumah sakit."

Aku ingat saat usiaku empat tahun, Ayah mengajariku cara memakai baju sendiri, memakai sepatu sendiri, dan menasehatiku agar bisa mandiri. Karena Ibu harus menjaga kakak yang kondisinya masih belum stabil.

Apa aku cemburu? Pasti cemburu dan iri. Tapi Ayah menguatkanku, dengan berkata bahwa itu juga untuk kebaikanku. Kalau kakak sembuh, nanti aku jadi ada teman bermain. Aku tentu saja langsung setuju.

Benar saja, setelah kakak sembuh aku jadi ada teman bermain selain Ayah. Kakak selalu bersamaku kecuali saat sedang bersekolah. Dari situ aku jadi yakin kalau ayah dan ibu membagi rata sayangnya untukku dan kakak.

"Kamu tenang saja. Ayah akan memikirkan jalan keluarnya. Bagaimanapun banyak hati yang harus dijaga. Ini menyangkut dengan kedua putri Ayah," ucap Ayah membuyarkan lamunanku tentang masa lalu.

"Terima kasih Ayah. Lilis nggak tahu harus bagaimana kalau tidak ada Ayah. Lilis pikir Ayah nggak akan percaya denganku. Mungkin Lilis-"

"Ssssttt! Putri Ayah kuat. Putri Ayah harus bisa menatap ke depan. Ingat, Nak! Kamu tidak sendiri." Ayah mengelus kepalaku. "Untuk Evan, Ayah akan buat dia mengaku." Wajah Ayah berubah menjadi keras lagi.

"Lilis!"

Aku dan Ayah langsung menengok ke arah suara.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status