# Bab4POV Ayah (Pak Arifin)Akhir-akhir ini, aku merasa Lilis, putri bungsuku sedikit aneh. Dia jadi pendiam, murung dan lebih suka menyendiri di kamar. Perasaan ini mengatakan ada yang tidak baik.Dari kecil Lilis paling dekat denganku dari pada ibunya. Tentu saja tahu perubahan sekecil apa pun dari Lilis. Aku harus segera mencari tahu penyebab perubahan dari putri bungsuku ini.Setelah menyelesaikan pekerjaan yang terpaksa dibawa pulang, aku menengok putri bungsuku itu di kamarnya. Saat pintu kamar terbuka, kudapati anakku duduk dengan kepala menelungkup di atas meja belajarnya. Ternyata dia tertidur saat sedang belajar.Aku mengangkat Lilis untuk dipindahkan ke kasur. Tak sengaja menyenggol beberapa buku sampai jatuh. Saat hendak membereskannya, ada benda putih panjang yang menyembul dari salah satu buku. Ternyata dari sebuah buku diary.Aku tarik benda putih itu. Mataku melebar, jantungku tiba-tiba berdebar kencang, pikiranku sudah kemana-mana. Bagaimana bisa Lilis mempunyai bend
bab 5 POV LilisPagi ini aku bersiap untuk sarapan, supaya bisa fokus mengikuti pelajaran di sekolah. Sudah ada Ibu dan Ayah di ruang makan. Ayah masih membaca koran, belum memulai sarapannya. Sedang Ibu, menyiapkan sarapan di atas meja.Terlihat Kak Devan berjalan mendekat. Aku baru ingat kalau rumah ini kedatangan anggota baru. Pipiku merona melihat pemandangan segar di pagi hari. Kak Devan mengenakan kemeja baby blue yang dimasukkan dalam celana hitam formal pas badan, dan rambut hitam yang disisir ke belakang rapi, menambah kesan maskulin dan dewasa.Wajahku berubah terkejut dan menegang melihat siapa yang berada di belakang Kak Devan, Kak Laras dan suaminya. Mereka ikut sarapan di sini. Tumben sekali. Aku langsung menunduk enggan untuk menatap, melirik pun tak sanggup.Ayah yang mengetahui gerak-gerikku, mencairkan suasana dengan berdehem. "Cepat duduk dan sarapan! Ada yang ingin Ayah sampaikan pada Laras dan Evan setelah sarapan."Ketiga orang tersebut langsung duduk. Ayah dudu
bab 6 (Jamuan Makan Malam 2)POV Lilis"Lilis!"Deg!Suara bariton rendah ini ... kenapa dia ada di sini? Badan ini membeku, tapi kaki gemetar. Ingin rasanya lari, namun seakan ada paku di kaki yang menancap ke bumi. Aku tak tau kalau bisa se-trauma ini dengan dia."Berhenti di sana!" teriakku sambil mengangkat tangan.Dia langsung berhenti dengan mata terbelalak. Sekarang kami berjarak tiga meter. Aku menatap sekeliling dan ternyata ada beberapa siswa yang sedang menatap kami, kemudian berlalu pergi. Langsung saja aku mengubah ekspresi di wajah ini, agar tak ada yang kepo."Lis, aku ..." katanya dengan lirih.Aku masih memerhatikan apa yang akan dia lakukan, meskipun masih merasa takut. Kemudian dia membuka tas kerjanya, mengeluarkan sebuah kotak bekal berwarna kuning polos dan menyodorkannya padaku."Ini ... terimalah." Aku masih diam saja.Saat dia hendak melangkah, aku langsung mengangkat tangan lagi, agar dia berhenti melangkah. "Tetap di sana!" desisku."Lis, ini bekal dari Ibu,
bab7 (Awal)POV LilisSuasana langsung hening dan senyap. Wajah Kak Evan tegang dan pucat. Kak Laras memicingkan matanya menatap Kak Evan. Om Rifan dan Tante Maya saling berpandangan. Ibu memandang Ayah dengan tatapan seolah bertanya. Sedang Kak Devan, memandangku dengan pandangan yang sulit diartikan.Bagaimana denganku? Jangan tanyakan lagi. Tentu saja keringat dingin sudah mengalir di dahi dan di telapak tangan. Dudukku sudah gelisah tak menentu.Tiba-tiba Ayah terkekeh sambil duduk di kursi yang sebelumnya ditempati. Semua orang memandang Ayah dengan heran, termasuk aku."Aku hanya bercanda. Lilis memang tak suka buah apel. Tak suka buah apel, bukan berarti alergi, bukan? Boleh saja, kan, kalau Lilis makan buah apel untuk kesehatan 'dia'?" ucap Ayah dengan menekankan kata 'dia'. Pernyataan Ayah barusan membuat beberapa orang di ruangan ini memasang raut wajah lega."Pak Arif ini, bercandanya ada-ada saja. Tentu saja boleh, dong. Malah itu bagus juga untuk kulit," ucap Tante Maya
POV Lilis"Milik siapa testpack itu? Apa itu punya kamu, Laras?" tanya Tante Maya dengan mata berbinar. Mungkin melihat dua buah garis di testpack itu. Semua tahu kalau Tante Maya sangat menunggu kehadiran cucu pertamanya."Bukan. Itu bukan punyaku," jawab Kak Laras dengan lesu."Oh." Wajah Tante Maya langsung berubah kecut. Mungkin sangat berharap benda pipih bergaris dua itu milik menantunya.Kasihan sekali Kak Laras. Apa setelah janin ini lahir, aku berikan saja pada kakak kandungku? Tapi, apa Kak Laras bersedia merawat dengan senang hati? Sedang dia saja bukan wanita mandul. Hanya belum saja dititipi anak oleh Allah.Astaghfirullah. Bagaimana bisa aku berpikiran seperti itu? Ini anakku sendiri, mana mungkin diberikan seenaknya pada orang lain. Menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran yang bukan-bukan."Lalu ini punya siapa?" tanya Ibu sambil mengacungkan testpack yang lebih ditujukan ke Ayah. "Apa ada anggota keluarga kita yang sedang ha-""Itu milik Lilis." Perkataan Ibu langs
Bab 9 (Bertanggung Jawab)POV LilisMeski wajahnya tetap datar, tapi dari matanya memancarkan penyesalan. Aku menangis dengan perasaan antara lega dan bersalah. Lega, karena dia telah mengakui perbuatannya dan merasa bersalah, kepada Kak Laras.Ibu dan Tante Maya mendadak lemas. Ibu dipapah oleh Kak Devan, sedang Tante Maya dibantu oleh Om Rifan untuk kembali duduk.Kak Laras berteriak dengan histeris dan kalap, tak terima dengan pernyataan suaminya. "Tega kamu, Evan. Kamu tega hianati aku!" Wajahnya yang cantik dengan polesan make up, kini bercampur dengan air mata. "Kamu pasti dijebak oleh Lilis, kan, Evan? Cepat bilang saja!" Sungguh bucinnya Kak Laras, sudah jelas suaminya salah, masih menyalahkan orang lain."Apa benar sepeti itu, kalau kamu dirayu atau dijebak oleh Lilis?" tanya Ayah memastikan."Aku melakukan itu karena kekhilafanku sendiri. Lilis sama sekali tak menggoda atau merayuku. Aku ... memang menginginkan tubuh Lilis saat itu."Tubuhku bergetar mendengar pengakuannya.
Bab 10 (keputusan Lilis)POV LilisApa dia pikir aku ini pencetak anak untuknya? Seenaknya berkata tanpa disaring dulu. Cukup sudah aku membiarkan dia menjelek-jelekkanku dari tadi."Aku tidak mau! Cukup, Kak! Dari tadi kamu menghinaku. Mengatakan kalau aku menggoda dan merayu suamimu, menyuruh untuk meng*g*rkan kandunganku, mengatakan aku aib keluarga. Kakak pikir aib ini ulah siapa? Ulah suamimu yang tak bermoral. Andai suamimu bisa menahan n*fsunya pada adik iparnya sendiri, aib ini nggak akan ada. Sekarang, kamu ingin aku menikah dengan suamimu, kemudian setelah anak dalam kandunganku lahir, aku harus bercerai dan memberikan anakku pada kalian? Aku tak sudi. Lebih baik aku diasingkan, membesarkan anakku sendiri, tanpa campur tangan kalian." Aku mengatakan dengan berapi-api. Hancur hatiku ketika mereka ingin mengatur hidupku."Sebaiknya pikir-pikir lagi, Lis. Kalau mau mengikuti saran Kakak, kamu masih bisa melanjutkan sekolah, kuliah, dan meraih cita-cita yang diimpikan. Banyak ha
Bab 11POV EvanAku Evan Pramudya Sakti, anak bungsu dari dua bersaudara. Mempunyai kakak bernama Elan Fadil Firdaus, hanya beda lima tahun denganku. Aku sudah menikah dengan Laras, adik tingkatku dulu saat kuliah.Awal aku mengenal Laras adalah saat dia magang di kantor perusahaan orang tuaku. Ternyata kita satu divisi dan dia menjadi bawahanku. Aku kagum dengan apa yang ada pada dirinya. Dia cantik, cerdas, mandiri, pemberani, tidak cerewet, dan tidak terlalu agresif pada laki-laki.Akhirnya aku menjatuhkan pilihanku pada Laras, untuk ke jenjang pernikahan. Dia sangat sesuai dengan kriteriaku. Jauh dari definisi wanita yang sering disebut dengan kata 'merepotkan'.Sampai aku bertemu dengan Lilis, adik iparku sendiri. Dia kebalikan dari Laras. Manja, cerewet, penurut, sangat peduli dengan sekitar, tingkahnya juga sangat menggemaskan.Lilis memang manja, tapi dia sangat perhatian. Perhatian yang tidak dia buat-buat, murni dari hatinya. Mampu menggeser sedikit pribadiku yang sangat din