Share

bab 3 Devan Mahendra Putra

# Part3

POV Lilis

"Lilis!"

Ibu tiba-tiba masuk sambil berteriak memanggil namaku dan langsung memeluk..

"Kamu kenapa, Sayang? Kenapa bisa sampai dirawat di rumah sakit? Kamu sakit apa?" tanya Ibu beruntun.

Kulihat di belakang Ibu, Kak Laras berjalan mengikuti. Sepertinya Kak Laras ke sini bersama Ibu. Ayah langsung merubah raut wajahnya yang tadinya mengeras, menjadi biasa saja.

"Sudah dibilangin supaya jangan terlalu banyak kegiatan sekolah, masih saja ngeyel," ejek Kak Laras.

Untungnya mereka belum tahu mengenai kondisiku. Berarti Ayah belum memberi tahu mereka. Biarlah mereka tahunya aku kecapaian karena banyak kegiatan sekolah. Ini lebih baik.

"Laras, adeknya lagi sakit, bukannya di perhatiin malah diejek." Ibu menepuk bahu Kak Laras.

"Iya, Ibu." Kak Laras memutar bola matanya malas. "Kamu sudah makan belum? Obatnya sudah diminum?" tanya Kak Laras padaku.

Aku menggelengkan kepalaku.

"Makanan dari rumah sakit belum datang. Mungkin sebentar lagi. Sekalian dokter akan periksa keadaan Lilis," terang Ayah.

Tidak lama datang dokter bersama dua perawat, yang satu membawa makanan pasien dan yang satunya lagi membawakan catatan pasien.

Aku melihat Ayah sekilas memberi kode lewat mata kepada dokter, untuk tak mengatakan apa pun perihal kesehatanku. Sepertinya Ibu dan Kak Laras tak menyadarinya.

Ibu sibuk mengelus dan memijat punggung tanganku yang tak dipasang selang infus, sedang Kak Laras langsung mengambil makanan pasien yang dibawakan perawat.

"Bagaimana keadaan anak saya, dok?" tanya Ibu merusak acara kode-kode mereka.

"Putri Ibu sudah lebih baik. Jaga pola makannya, dan banyak makan-makanan bergizi. Terpenting jangan sampai telat makan!" ucap dokter menasihati.

"Kalau begitu, saya permisi dulu." Dokter dan kedua perawat itu keluar ruangan.

"Sini Kakak suapin! Ayok, dibuka mulutnya!" Kak Laras menyodorkan sendok berisi makanan lembek di depan mulutku. Yang jadi masalah itu mau nyuapin, tapi cara ngomongnya kaya tukang kredit panci lagi nagih. Untung saja Kak Laras bukan jadi dokter. Seandainya jadi dokter, pasti banyak pasien yang kabur.

Sifatnya yang cuek dan dingin, tapi sebenarnya sangat perhatian dan baik, membuat orang segan kepadanya. Hanya sifat usil dan keras kepalanya yang sangat melekat dalam dirinya. Sehingga agak susah diatur.

Usia Kakakku itu 23 tahun, beda tujuh tahun denganku. Kak Laras sudah menikah dengan Kak Evan selama dua tahun. Sampai sekarang, mereka belum dititipi anak oleh Allah.

"Laras, apa Evan sudah diberitahu tentang kondisi Lilis?" tanya Ibu.

Tubuhku menegang mendengar nama suami Kak Laras disebut. Aku masih belum siap bertemu dia.

"Aku udah kasih tahu Evan, Bu. Tapi kata Evan, dia harus menyelesaikan pekerjaannya dulu. Nanti dia akan mengajak Papa dan Mama juga buat jenguk Lilis," terang Kak Laras.

Ayah sepertinya menyadari gelagatku yang tidak tenang. Kemudian Ayah berdehem.

"Biarkan saja, kalau memang suamimu masih sibuk. Ayah takut kalau mereka menjenguk Lilis, nanti kamar Lilis berubah jadi pasar malam." Ayah berusaha menenangkan perasaanku.

Ibu dan Kak Laras tertawa. Aku juga ikut tertawa, meski dengan dibuat-buat. Agar tak membuat mereka curiga.

Selama di rumah sakit, Ibu dan Kak Laras yang bergantian menjagaku. Ayah akan menjenguk saat dia pulang dari pabrik.

Ayah memiliki pabrik minuman kemasan, yang dipasok ke perusahaan orang tua Kak Evan. Makanya, aku takut kalau masalahku ini akan merusak hubungan kerja sama antara Ayah dan orang tua Kak Evan.

Om Rifan dan Tante Maya, orang tua Kak Evan, datang menjenguk di hari kedua aku dirawat. Mereka sangat baik. Bahkan, menganggap aku putri bungsu mereka sendiri.

Kak Elan, kakaknya Kak Evan juga datang. Dia membawa bunga matahari, bunga kesukaanku.

Selama tiga hari aku dirawat di rumah sakit. Hari ini aku sudah diizinkan pulang. Selama itu pula, Ibu dan Kak Laras masih belum tahu tentang kehamilanku.

Ayah mengantarkanku ke kamar dan membawakan tas berisi pakaian yang dipakai saat di rumah sakit. Ibu akan memasak untuk makan malam, sedang Kak Laras kembali ke tempat kerjanya.

"Kamu istirahat saja dulu. Jangan memikirkan hal berat." Ayah mencium keningku, kemudian menarik selimut sampai batas leher.

Aku menarik tangan Ayah ketika Ayah hendak beranjak.

"Terima kasih, Ayah."

Ayah memberikan senyum hangat, dan berlalu ke luar kamar. Aku berusaha memejamkan mataku. Aku harus banyak istirahat agar kondisiku segera pulih dan janinku selalu sehat. Tak lama kemudian aku larut ke dalam mimpi.

*****

Aku terbangun saat hari menjelang sore. Mandi mungkin bisa membuat tubuh ini lebih segar. Selesai berpakaian, gegas aku ke ruang tamu. Tadi Ibu bilang kalau ada seseorang sedang menungguku, tapi Ibu tidak mau kasih tau siapa orangnya Membuat penasaran saja.

Di ruang tamu, berdiri seorang laki-laki yang membelakangiku. Dari posturnya, aku sedikit kenal, tapi siapa, ya? Aku masih mengira-ngira siapa orang yang sedang membelakangi ini.

Saat dia berbalik menghadapku, mulutku terbuka saking terkejutnya. Dia ....

"Kak Devan!"

Aku langsung berlari memeluknya. Menumpahkan semua rindu di dalam dada. Ingin bercerita tentang pahitnya hidupku akhir-akhir ini.

Tanpa terasa aku menangis kencang, masih sambil memeluknya. Aku merasa seperti menemukan tempat yang pas untuk meluapkan sakit hati ini.

Ya, Kak Devan Mahendra Putra, anak dari Paman Hisyam dan Bibi Desi, sepupu jauh dari Ayah. Dulu sempat dititipkan di sini oleh orang tuanya saat akan masuk SMA, karena tak sanggup menghadapi tingkah anaknya yang seperti preman.

Berkat didikan Ayah, Kak Devan mulai berubah sedikit demi sedikit. Yang tadinya suka berkelahi seperti preman, mulai berkurang, kecuali terdesak. Meski pun pakaian masih urakan, tapi dia sudah tidak bersikap bar-bar lagi dan juga mulai rajin belajar.

Setelah lulus SMA, Kak Devan melanjutkan kuliah di luar negeri. Terakhir yang aku dengar, Kak Devan meneruskan perusahaan orang tuanya sehingga menjadi perusahaan yang maju dan terkenal.

Menyadari posisi yang ambigu, aku langsung melepas pelukan dan mundur beberapa langkah. Pipi ini memanas, rasa malu sudah tak bisa kutahan. Aku menunduk dengan menghapus air mata di wajah.

"Kenapa dilepas? Bukannya kamu kangen banget sama aku, sampai-sampai nangis kencang seperti itu?" Kak Devan berkata sambil menaik turunkan alisnya.

Astaga! Kenapa dengan tingkah tengil seperti itu malah membuat dia semakin tampan. Di usianya yang kedua puluh lima tahun, laki-laki yang dulunya urakan dan bar-bar, kini menjelma menjadi laki-laki yang tampan, mempesona dan berkharisma. Kulit putih bersih, rahang tegas tanpa jambang, hidung mancung dan mata yang menatap dengan tegas.

"Aku tahu, aku tampan. Bisa nggak, kamu hapus air liur kamu?" kata Kak Devan dengan seringai mengejek.

Lupakan apa yang tadi aku bilang tentang dia. Aku langsung mengambil bantal sofa dan melempar ke arah Kak Devan. Sayangnya tak kena.

Sejenak aku melupakan masalah yang terjadi. Aku tertawa lepas meski badan masih agak lemas. Berlanjutlah kegiatan kami dengan ngobrol dan bercerita pengalaman masing-masing. Tidak berselang lama, Ibu memanggil untuk makan malam.

Selesai makan malam aku langsung masuk ke kamar dan belajar. Karena besok sudah harus berangkat ke sekolah lagi dan tak ingin tertinggal banyak pelajaran. Kak Dinar sendiri katanya akan tinggal di sini untuk sementara waktu. Lebih tepatnya aku kurang tau.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status