Share

Bab 4 | Sulit Menggapainya

Lantunan ayat suci terdengar begitu menenangkan jiwa. Tidak ada yang bisa menolak merdunya ayat suci. Setiap ayat memiliki arti yang berbeda, terdapat juga selingan doa-doa yang ditujukan untuk semua orang, terutama Humaira.

Ya, hari ini acara tahlil tujuh harian Humaira. Tidak menyangka bahwa Humaira sudah tujuh hari pergi meninggalkan semua orang, meninggalkan bayi cantik. Hal yang paling menyedihkan adalah saat Nazira belum bisa melihat ibu kandungnya secara langsung. Namun, semua orang yakin jika Humaira tak pergi dari hati anak perempuannya. Wanita itu akan selalu terkenang di hati sang anak.

“Mbak Zahra, masih ada yang kurang?” tanya Wati, salah satu tetangga yang membantu memasak untuk acara hari ini.

“Kayaknya nggak ada Mbak Wat. Nanti kalau ada yang kurang, bisa bilang ke Bi Jum. Atau kalau nggak, bisa langsung bilang ke saya saja,” ujar Zahra sambil melihat kebutuhan yang akan digunakan hari ini.

Seperti hari sebelumnya, Zahra menjadi tokoh penting dalam acara tujuh harian ini. Satu hari sebelum acara, Zahra sudah berbelanja keperluan dapur, baik dari bumbu-bumbu, beras, kelapa, bahkan kebutuhan protein untuk hari ini. Selain itu, dia juga dibantu Papa Wira —Papa Gibran— dan Papa Bagas untuk mencari kambing. Beruntung, ada tetangga yang memiliki kenalan hingga tak terkendala apa pun.

“Baik kalau begitu, Mbak. Saya ke belakang dulu membantu yang lain.”

Zahra mengangguk sambil mengulas senyum. “Terima kasih ya Wat. Oh ya, jangan sungkan kalau mau amil suguhan sama minum. Itu semua saya siapkan untuk orang yang rewang hari ini.”

Wati turut mengangguk. “Iya, Mbak Zahra. Saya permisi dulu.”

Setelah memastikan dapur aman, Zahra yang masih mengenakan gamis lengkap dengan kerudungnya kembali ke depan. Dia duduk di sebelah Mama Tanida dan Mama Nadira. Mereka melantunkan ayat-ayat suci bersama.

“Semuanya aman, Sayang?” tanya Mama Tania dengan halus.

“Aman Tante,” jawab Zahra.

“Kok Tante, Mama sayang. Sekarang saya juga Mama kamu,” bisik Tania menahan tawa melihat wajah kikuk menantunya.

Meskipun sudah resmi menyandang status sebagai menantu, Zahra beberapa kali salah memanggil. Ya mau bagaimana, dia sudah terbiasa memanggil Tania dengan sebutan Tante.

“Eh, i–iya, Ma,” ralat Zahra dengan kikuk.

Tes, tanpa terasa satu tetes air mata mengalir membasahi pipinya. Sekelebat ingatan tentang kebersamaan membuat dirinyanya merindukan Humaira. Zahra kembali mengingat bagaimana Humaira membelanya saat dirinya difitnah oleh teman-teman. Saat SMA, Humaira pernah membantu dirinya terbebas dari hukuman karena ketahuan membolos dan masih banyak lagi kenangan indah bersama Humaira.

Humaira adalah sosok kakak yang diidam-idamkan seluruh adik. Jika salah, Humaira tidak segan menegur dengan keras. Seandainya benar, Humaira juga tak segan membela, meski banyak yang menentang. 

"Kenapa sayang?" tanya Mama Nadia. Dia mendengar tangis tertahan dari sisi sebelahnya. "Ikhlas sayang," ucap Mama Nadia dengan mata mulai memanas. Ia langsung menarik Zahra ke dalam dekapan hangatnya. 

"Kita sama-sama berusaha ikhlas, ya," ucap Mama Nadia sambil menepuk pelan punggung Zahra yang bergetar. "Kita kuat. Kita tidak boleh membuat jalan Humaira terasa berat di sana."

Ya, memang berat untuk Zahra. Namun, Zahra harus kembali kuat. Benar yang dikatakan sang Mama. Dia memiliki Nazira. Tanggung jawabnya bertambah saat ini. Bayi mungil itu masih memerlukan dirinya untuk mengisi posisi ibu. Zahra tak akan mengatakan dirinya 'menggantikan' posisi ibu. Sampai kapan pun, Ibu kandung Nazira hanya satu, Humaira. Jika nantinya dia akan dipanggil dengan sebutan Ibu, Zahra tidak akan menolak.

Di sisi lain, Gibran tengah memandang Nazira yang tengah tertidur. Bayi mungil itu terlihat tak terganggu dengan kehadirannya. Ia mulai hafal kapan Nazira bangun dan kapan waktunya tidur dan sebentar lagi adalah waktu bagi Nazira untuk bangun. Gibran sudah tak sabar lagi melihat Nazira membuka kedua matanya.

"Sayang," ucap Gibran dengan lembut saat Nazira perlahan membuka kedua mata dan merengek. 

Dengan cekatan, Gibran menimang Nazira. Sebagai seorang ayah, Gibran menyadari dirinya sedikit abay dengan Nazira saat bersedih atas kepergian sang istri. Namun, sekarang dirinya sudah mulai terbiasa. Ya, meski terasa berbeda karena kali ini yang ia lihat pertama kali setelah bangun tidur adalah sandaran sofa.

"Masyaallah, Anak Ayah cantik sekali," puji Gibran sambil menggesekkan hidungnya dengan hidung Nazira.

"Eeeerghhh."

Gibran mengulas senyum mendengar suara Nazira. Ia menganggap Nazira tengah bercerita pada dirinya. Tentu saja dengan suka rela Gibran menimpali suara bayi Nazira. Huh, akhirnya dia bisa lebih dekat dengan Nazira.

"Apa sayang? Kangen Bunda ya?" Gibran tersenyum miris saat menyadari pertanyaan yang itu memancing kesedihannya sendiri. "Sama, ayah juga kangen sama Bunda. Tapi tidak apa-apa, kita berdoa untuk Bunda, ya."

Mata Nazira berkedip-kedip, bibirnya mengulas senyum, lalu mengeluarkan suara bayinya lagi. "Ergehh."

Gibran mengulas senyum tipis melihat tingkah lucu Nazira. Rasanya, ia harus bisa tersenyum setelah satu Minggu berlalu. Nazira adalah obat untuk dirinya. Jika tidak mengingat ada Nazira, Gibran akan gila. Mungkin saja dia dengan nekat menyusul istri tercinta. Beruntung lelaki itu masih memiliki orang-orang yang memberikan dukungan secara moril.

"Kita berdoa untuk Bunda, ya." Gibran meraih tangan mungil milik Nazira. "Semoga jalan Bunda dilapangkan, semoga Bunda Husnul khatimah, semoga bunda ditempatkan di tempat yang indah, dan semoga kelak kita bisa berkumpul dengan Bunda lagi, aamiin." Gibran menggerakkan tangan Nazira ke arah muka.

"Oh ya, Nazira harus terus ingat Bunda ya." Gibran mencolek hidung mungil Nazira hingga bayi cantik itu terkekeh. "Nazira tidak boleh lupa. Kalau Nazira lupa sama Bunda, nanti bundanyanya sedih, ya.

"Satu lagi, kamu hanya memiliki Bunda Humaira, Sayang." Gibran menatap Nazira dengan lekat. Kali ini, terlihat ekspresi serius sangat mendominasi. "Kamu harus ingat kalau Bunda kamu hanya Bunda Humaira. Tidak ada lagi Bunda yang lain. Kamu mengerti, kan?"

Entah mengapa, kali ini Nazira tak tersenyum. Justru bibir Nazira melengkung ke bawah Bayi mungil itu seakan tidak setuju dengan perkataan sang ayah. Setelah itu, terdengar suara tangis yang memecah keheningan kamar.

"Sayang, maafin ayah ya. Tadi ayah terlalu keras ya suaranya," ucap Gibran penuh sesak. Ia kembali menggendong Nazira, berusaha menenangkan sang ayah dengan mengayuhnya pelan.

"Ayah tidak marah sama Nazira." Gibran kembali mengulas senyum tipis. "Cup cup cup, sayangnya ayah."

Gibran kembali menimang Nazira. Di sore hari ini, dia memilih menikamgi waktu bersama Nazira. Tadi pagi, dia sudah menyambut dan menemani para pembaca Al-Qur'an —yang memang diundang sejak pagi— bersama Papa Wira dan Papa Bagas.

"Mas."

Suara itu, suara itu membuat kegiatan Gibran terhenti. Lelaki itu terpaku di tempat. Dia seperti mendengar Humaira memanggil dirinya. Bahkan, Gibran sampai memejamkan mata saat suara itu kembali terdengar.

"Mas Gibran."

Diam-diam, tangan Gibran yang menopang punggung Nazira mengepal. Dia berusaha mencari kekuatan dengan mengepalkan tangan. Di sisi lain, dia juga mencoba menyadarkan diri bahwa Humainya—sang istrinya sudah berada di tempat yang lebih indah.

"Mas Gibran."

"Astaghfirullah."

Gibran langsung mengucapkan istighfar saat merasakan seseorang menepuk lengan kanannya. Saat membuka mata, lagi-lagi dia melihat sosok Humaira berdiri di depannya.

'Ya Allah, sadarkanlah hambamu ini. Jauhkan hal-hal yang membuat hamba melakukan kesalahan,' ucap Gibran di dalam hati. Matanya masih menatap ke rah depan dengan lekat.

Tik.

Suara jentikan berhasil menarik Gibran dari lamunan. Beberapa kali Gibran mengerjakan mata. Helaan nafas panjang terdengar saat Gibran sepenuhnya sadar bahwa yang ada di depannya adalah Zahra—adik kembar identik dari Humaira.

"Kenapa?!" tanya Gibran dengan suara datar. Senyum yang sejak tadi diperlihatkan untuk Nazira, kini lenyap tak tersisa. Yang ada hanyalah ekspresi datar yang selalu didapatkan oleh Zahra.

Zahra mengulas senyum mendengar pertanyaan sang suami. Dia sudah tidak terkejut lagi mendengar suara dingin dari sang suami.

"Nazira waktunya mandi." Zahra tetap mengulas senyum. Kini, tatapannya beralih pada Nazira yang tengah menatap dirinya. "Mas juga perlu mandi. Nanti bisa menyambut tamu dengan Papa," ucap Zahra mengingatkan.

Tanpa satu patah kata, Gibran memberikan Nazira pada Zahra. Setelah memastikan sang anak aman, Gibran baru meninggalkan ruangan. Dia tak bisa berada di satu ruangan dengan Zahra dalam waktu yang lama. Wajah keduanya sangat mirip. Orang awam akan kesulitan untuk membedakan, tetapi tidak dengan dirinya. Pada akhirnya, dia akan tetap memandang Zahra sebagai Humaira, ah … lebih tepatnya adik dari mendiang istriny.

Berbeda dengan Gibran, Zahra masih setia menatap punggung sang suami yang mulai menjauh. Kepalanya menunduk, kedua matanya mulai berembun hingga terasa panas. 

"Ya Allah, perlukah mengatakan hal itu pada Nazira yang tidak mengetahui apa-apa. Aku juga tidak akan berniat jahat pada Nazira dengan menggantikan sosok ibu. Tetapi perlukah mengatakan itu?"

Air mata Zahra tak bisa dibendung lagi. Tanpa Gibran tahu, dirinya mendengar suara yang dikatakan Gibran pada Nazira. Awalnya, Zahra sangat bahagia karena Nazira dan Gibran kembali dekat setelah berpisah selama seminggu. Namun, interaksi terakhir yang menyebutkan tidak ada Bunda lain selain Humaira membuatnya tercengang. Ternyata, benar-benar sulit mendobrak hati Gibran.

"Allah …."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status