Share

Bab 5 | Surat Perjanjian

Matahari mulai terbenam, menunjukkan cahaya jingga yang sangat cantik. Kesibukan semakin terlihat jelas saat waktu pelaksanaan kirim doa semakin dekat. Orang yang paling sibuk selama acara adalah Zahra. Wanita itu seolah tak memiliki lelah dan terus bergerak memastikan segalanya.

"Mbak, nggak ada yang kurang, kan?" tanya Zahra pada Mbak Wati yang mendapatkan tugas sebagai penanggung jawab dapur.

Mbak Wati yang tengah memotong semangka menengadahkan kepala. "Nggak ada Mbak. Lauknya sudah, nasinya juga sudah."

"Camilan? Buah?"

Mbak Wanti menengadahkan kepala. "Sudah siap Mbak. Ini tinggal potong semangkanya saja."

Zahra bisa bernafas lega pada akhirnya. Setelah sekali lagi memastikan semuanya, dia baru bisa bernafas lega. Zahra memilih untuk kembali ke kamar. Dia ingin memanggil Gibran dan memandikan Nazira, sebelum dirinya mandi.

"Mas, bangun." Zahra sebanyak tak tega membangunkan tidur Gibran. Namun, dia harus melakukannya. Zahra takut tamu datang, tuan rumah justru tidak ada.

"Enghhh," lenguh Gibran saat merasakan tidurnya terganggu. "Kenapa?" tanyanya saat melihat Zahra berdiri tidak jauh dari dirinya.

"Sudah sore, Mas. Lebih baik Mas Gibran siap-siap. Takutnya nanti tamu datang, tuan rumahnya belum ada," jelas Zahra. Jujur, dia masih ingat peristiwa menyakitkan tadi sore. Dia hanya mencoba mengabaikan semua rasa sakitnya.

"Hm."

Setelah menjawab itu, Gibran beranjak dan berjalan menuju kamar mandi. Lelaki itu bergegas membersihkan diri. Sementara itu, Zahra mulai disibukkan dengan membangunkan putri cantiknya.

Setiap celotehan lucu yang keluar dari mulut Nazira, selalu Zahra jawab. Zahra ingin mulai membiasakan Nazira mendengar kata-kata baru yang keluar dari mulut di sekitarnya. Bahkan, Zahra tak segan menegur jika ada seseorang yang berkata kasar atau jorok di dekat Nazira.

"Mas, bajunya sudah aku siapkan," ucap Zahra sambil menunjuk baju Koko warna maroon dan sarung hitam di gantungan. 

Jujur saja, Zahra mengucapkan itu dengan perasaan tak tentu. Zahra takut Gibran akan mengabaikan perkataannya dan memiliki mengenakan pakaian lain. Tidak masalah juga bagi Zahra. Akan tetapi, tetap terasa menyesakkan bagi dirinya.

"Hm."

"Ya?" Zahra mengerjakan mata sambil menatap Gibran. Dia hanya takut salah dengar. "Ma–maksud kamu?"

"Apa?" Gibran tak ambil pusing dengan pertanyaan Zahra. Dia lebih memilih bergegas bersiap dan meninggalkan kamar setelah selesai.

Tatapan mata Zahra terus mengajak pada pintu gamar. Bibir bawahnya ia gigit cukup kuat. Zahra mencoba meredam perasaan ingin berteriak. Jujur, perlakuan Gibran menimbulkan letupan-letupan bahagia di hati Zahra. Dia merasa dihargai. Semoga saja ini pertanda baik untuk hubungan mereka ke depannya.

"Dek, doakan Buna ya supaya Ayah bisa bersikap seperti itu terus," ucap Zahra dengan senyum merekah. Ia sudah tidak bisa lagi menyembunyikan perasaan bahagianya.

Hari semakin larut, lantunan ayat kursi dan doa-doa yang terdengar tadi sudah berhenti. Acara hari ini telah berakhir dengan lancar. Tidak ada kendala berarti selama pengajian berlangsung. Nazira, bayi kecil itu juga tidak rewel saat dibawa di tengah-tengah pengajian. Bagi mungil itu seakan tahu bahwa orang-orang yang berkumpul hendak mendoakan bundanya.

Pak Herman mengulas senyum sambil mengulurkan tangannya. "Saya turut berduka atas meninggalnya Nyonya Humaira Pak Gibran."

"Terima kasih Pak Herman," ucap Gibran pada salah satu rekan kerjanya. "Mohon doa terbaiknya untu almarhum istri saya."

"Pasti Pak Gibran," sahut nyonya Berta, istri dari Tuan Herman. 

Gibran akhirnya kembali ke ruang tengah setelah basa basi dengan Nyonya Berta dan Tuan Herman. Lelaki itu mengambil tempat duduk di samping Zahra yang tengah menggendong Nazira.

"Gimana Bran perasaan kamu?" tanya Papa Wira pada anak tunggalnya.

Gibran menatap semua orang, lalu mengulas senyum segaris. "Seperti yang Papa lihat. Aku berusaha waras untuk Zira."

"Kamu juga jangan lupa kalau sudah memiliki tanggung jawab baru," imbuh Mama Tania sambil menatap Zahra yang menundukkan kepala.

"Hem."

Gibran memutuskan kembali ke kamar terlebih dahulu. Tidak lama setelah itu, Zahra mengikuti dengan Nazira yang masih terbangun. Sepertinya, hari ini Nazira akan melewatkan jadwal tidurnya. Gadis kecil itu masih ingin bermain dengan kedua orang tuanya.

"Perlu aku siapkan baju ga—

Gibran menoleh sekilas, lalu menjawab dingin, "Tidak usah! Kamu urus saja Nazira." 

Lelaki itu sudah hendak menuju kamar mandi. Namun, langkahnya berhenti, seperti ada sesuatu yang tertinggal. Hal itu tertangkap jelas di mata Zahra.

"Kenapa, Mas?" tanya Zahra dengan kening mengerut. "Ada yang ketinggalan?"

"Saya ingin bicara dengan kamu. Pastikan kamu belum tidur saat saya kembali!" jawab Gibran tanpa sibuk balik badan menatap Zahra.

Setelah itu, barulah Gibran benar-benar beranjak ke kamar mandi. Dia meninggalkan Zahra yang terlihat dilanda kebingungan. Baru kali ini Gibran berbicara cukup panjang pada dirinya dan hal itu semakin memantik rasa penasarannya, meski tidak bisa dipungkiri ada perasaan tak nyaman yang menyelinap.

"Ayah mau bicara apa ya Kak?" tanya Zahra pada putrinya yang menatap dirinya. "Eh … tangannya nggak boleh masuk mulut, ya. Kan kotor, belum cuci tangan kita," larang Zahra sambil menarik tangan Nazira menjauh dari area mulut.

Zahra direngkuh kegelisahan setiap detik. Setelah selesai mandi, Gibran beranjak dari kamar belum kembali lagi hingga sekarang. Saat ia bertanya pada orang rumah, mereka mengatakan Gibran di ruang kerja. 

Ingin menyusul, Zahra mendadak ragu hingga mengurungkan niat. Dia belum pernah ke ruang kerja Gibran sama sekali. Maka dari itu, dia memutuskan untuk kembali lagi ke kamar. Lagi pula, Nazira sudah harus tidur. Zahra takut tidak tidur tepat waktu membuat Nazira terbiasa.

Ceklek.

Jantung Zahra rasanya berhenti berdetak saat itu juga. Dia bisa mencium harum parfum yang mulai ia kenal. Ia bingung harus melakukan apa saat ini. Jujur saja, satu ruangan dengan Gibran membuat suasana canggung, meski sudah satu minggu lamanya.

“Bisa kita bicara sebentar?” tanya Gibran dengan nada dingin. Sudah menjadi kebiasaan jika berbicara dengan Zahra. Dia tak bisa berpura-pura berbicara lembut.

Saat itu juga, Zahra langsung membuka kedua matanya. Dia langsung menegakkan posisinya dan bersandar di kepala ranjang. “Bisa Mas. Mau bicara ap—”

“Buka!” titah Gibran sambil memberikan amplop coklat. Setelah itu, Gibran mendudukkan diri di sofa. “Silakan baca baik-baik. Jika ada yang kurang paham, silakan bertanya!”

Entah mengapa perasaan Zahra sangat resah. Berulang kali ia mengatur nafas. Jantungnya benar-benar berdetak cepat. Nyatanya, kekhawatiran Zahra terbukti kebenarannya saat dia melihat beberapa lembar kertas dengan judul SURAT PERJANJIAN.

Mata Zahra langsung menatap Gibran yang tengah melipat kedua tangan di dada sambil menatap dirinya. Dia bisa merasakan sengatan perih saat matanya tanpa sadar menatap satu kalimat pembuka. Senyum mirisnya terlihat begitu samar, hingga Gibran sendiri tak mampu melihatnya.

“Apa maksudnya semua ini, Mas?” tanya Zahra dengan mata mulai mengembun. “Bisa tolong jelaskan? Aku benar-benar tidak paham,” ucap Zahra memaksakan diri menatap Gibran.

“Saya ingin membuat perjanjian dengan kamu!” Gibran menghela nafas panjang. “Maaf Zahra, saya harus mengatakan ini, meskipun terdengar menyakitkan. Saya tidak bisa menganggap kamu lebih. Setiap kali melihat kamu, saya justru melihat Humaira. Di mata saya, hanya ada Humaira, begitu pula dengan hati saya yang sepenuhnya milik Humaira.

“Maka dari itu, saya membuat perjanjian itu. Saya hanya tidak ingin kamu terlalu berharap pada pernikahan ini. Setiap poin sudah jelas tertera di kertas itu. Kamu tidak berhak mengatur kehidupan pribadi saya, begitupun sebaliknya. Kamu masih bisa menjalankan aktivitas kamu seperti biasanya, asalkan tidak melupakan tanggung jawab untuk Nazira.

“Jika suatu saat kamu bertemu dengan lelaki yang bisa membahagiakanmu, maka saya akan melepaskan kamu. Saya tak ingin memenjarakan kamu. Silakan lakukan apa pun yang kamu lakukan.”

Zahra memang mengharapkan Gibran berbicara panjang lebar dengan dirinya. Akan tetapi, bukan dalam konteks menyakitkan, seperti ini. Kata yang keluar dari mulut Gibran bagaikan belati yang menghunus tajam ke jantungnya.

“Saya juga akan tetap menjalankan kewajiban saya pada kamu, kecuali hal itu. Tidak perlu saya menjelaskan lebih detail apa yang saya maksudkan,” imbuh Gibran semakin menyakiti perasaan Zahra.

Senyum getir terlihat di wajah Zahra yang tengah menunduk. Tangannya sampai bergetar saat matanya membaca setiap kata yang tertulis di kertas ini. Rasanya, Zahra ingin menyobek dan melemparkan kertas ini ke arah Gibran. Namun, tangannya terlalu bergetar untuk melakukannya. Tenaganya seperti terkuras habis.

“Apa perlu ada surat perjanjian?” tanya Zahra dengan bibir bergetar.

Gibran menghela nafas. Dia tahu jika keputusan ini menyakiti Zahra. Dia melakukan ini bukan tanpa alasan. Keputusan ini juga melindungi Zahra agar tidak terluka lebih jauh lagi.

“Maaf, tapi itu sudah keputusan saya.”

Apa yang harus dirinya lakukan saat ini? Menandatangani surat perjanjian ini? Bukankah artinya dia menyetujui setiap isinya dan bersiap berpisah dengan Nazira jika Gibran menemukan sosok wanita yang mampu menggetarkan hatinya lagi?

Tidak! Zahra tidak bisa kehilangan Nazira. Dia tak masalah jika berjauhan dengan Gibran meski Gibran adalah cinta pertamanya, tetapi tidak dengan Nazira. Dia sudah terlanjur sayang dengan gadis kecilnya.

“Bolehkah aku menambahkan satu poin?” tanya Zahra dengan bergetar. Mata sembabnya menatap Gibran.

Diam-diam, Gibran merasakan hatinya diterpa perasaan tak nyaman melihat mata lembab Zahra. Namun, secepatnya Gibran mengenyahkan perasaan itu. Dia lebih memilih mengalihkan tatapan agar tak melihat mata Zahra.

“Mas, aku boleh menambahkan satu point?” tanya Zahra mengulang.

“Tentu. Kamu boleh menambahkan poin di dalam surat perjanjian itu.”

Perempuan itu mengulas senyum, lalu mengangguk. “Kalau begitu, aku cuma mau menuliskan izinkan aku berjuang untuk mendapatkan hati kamu,” ucap Zahra dengan bersungguh-sungguh. Matanya terus menatap Gibran dengan tatapan lekat.

“Zahra kamu ak—”

“Biarkan aku berjuang dulu, Mas.” Zahra mengulas senyum manis. “Jika aku gagal, aku akan dengan sendirinya menyerah atas kamu.”

Gibran akhirnya menghela nafas panjang. Dia tidak bisa menolak karena Zahra juga tak menolak setiap poin yang ia tuliskan. Gibran hanya berharap Zahra tak akan tersakiti kedepannya.

Semenatara itu, Zahra mulai membubuhkan tanda tangan di kertas dengan air mata mengucur jelas. Hatinya terus berdoa agar keyakinannya tidak berakhir hampa. Semoga Tuhan mendengarkan setiap doanya. Semoga Tuhan membukakan hati Gibran agar bisa menerima dirinya.

‘Semoga aku bisa menjalankan amanahmu, Mbak.’

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status