Masuk'Dimana Kamu, Brian?' keluh hati Evara.
Tiga tamparan sudah diterimanya hari ini. "Kamu harus melawan, Eva!" Terngiang ucapan Brian di telinga Evara. Plak!!! Evara membalas tamparan Athena dengan sekuat tenaganya. "Kamu yang lancang, Atha! Kamu adikku! Beraninya Kamu menampar orang yang sudah memberimu makan!" Teriaknya setinggi langit. Ia murka juga gelisah. Brian tidak kunjung datang padahal malam semakin merangkak naik. 'Apa Kamu ingin meninggalkanku, Brian? Tolong, jangan siksa Aku seperti ini..' Airmata Evara mulai mengalir turun di pipinya yang memerah karena 3 kali tamparan. "Kalau saja Brian tau kelakuanmu, Atha. Apa Kamu mau menanggung akibatnya?" isak Evara. Air mata terus mengalir di pipinya. Tiga kali tamparan membuat pipinya terasa memar. Tapi bukan itu yang membuatnya menangis. 'Kamu kenapa, Brian? Apa yang telah terjadi padamu? Apa Kamu baik - baik saja, Sayang?' Safira dan Athena mulai cemas. Apa Evara akan melaporkan kekerasan mereka pada suaminya?Safira dan Athena tidak berani menggunakan tangannya jika ada Brian. Tatapan tajam Brian dan kepalan tangannya yang selalu siap membuat mereka takut. Tubuh Brian yang tinggi dan atletis tidak sepadan dengan tubuh kecil Athena. Apalagi ia pincang. Bagaimana nasib Evara sekarang? "Aku pulang, Athena! Pernikahan Kita sebaiknya perlu dipikirkan lagi!" Dengus Viona seraya melangkah keluar. "Tunggu, Sayang!" Athena mengejarnya seperti anjing penjaga. "Ibu! Tolong beri pengertian pada Viona!" Teriak Athena. Safira ikut berlari keluar. Evara tertawa sinis. Hati dan pikirannya tak lagi sinkron. Ia marah tapi juga mencemaskan suaminya. Pasti ada sesuatu yang terjadi tapi ia tidak ingin memikirkan hal yang terburuk. Safira dan Athena masuk tanpa Viona. Gadis itu benar -benar pergi karena marah. "Ini salahmu, Eva!" Lagi - lagi itu yang keluar dari mulut Athena. "Bagaimana kalau Viona membatalkan pernikahannya denganku?" Cercanya. "Itu bagus. Apa Dia mau setiap hari memberimu makan, Atha? Hanya sekali ini saja ia tidak sudi." Cibir Evara. Entah darimana keberanian itu datang meski sudah 3 kali tamparan mendarat di pipinya. "Tentu Dia mau karena Dia sudah.." Ucapan Athena terhenti. Evara menatap adiknya dengan tajam. "Sudah apa, Atha?" Katanya seraya mendekat. Tatapannya yang dingin dan tajam membuat Athena kehilangan kata - katanya. Ia juga bergerak mundur tanpa ia sadari. 'Ada apa dengan Evara? Dia kelihatan aneh dan menakutkan!' hatinya berseru. "Dia sudah apa, Atha?!" Ulang Evara. "Eva! Apa yang Kamu lakukan? Kamu membuat Athena kehilangan akal!" Bela Safira. Evara tidak peduli dengan ucapan ibunya. "Dia sudah apa, Atha? Dia sudah hamil jadi terjebak denganmu?" tebak Evara. Athena tersentak. Tebakan yang tepat mengenai sasaran. "Hebat Kamu, Atha. Kamu menghamili anak orang sebelum menikah! Dan Ibu, Ibu bangga pada anak seperti ini?" rutuk Evara. Evara tersenyum sinis. "Aku dan Brian akan keluar dari sini. Silahkan Kalian hidup bersenang - senang berdua, ah bukan, bertiga, ah bukan juga, berempat dengan anak yang dikandung Viona! Aku jijik hidup bersama orang - orang tidak bermoral seperti Kalian!" Plak! Tamparan ke empat. "Aku akan mematahkan kakimu jika Kamu berani keluar dari sini!" Bentak Safira. "Mana suamimu yang selalu melindungimu itu? Sepertinya ia tidak akan pernah kembali!" umpat Safira. Athena ikut mendorong tubuh Evara sampai membentur tembok. Dada Evara terasa sesak memikirkan kemungkinan yang terburuk. 'Kamu nggak papa kan, Brian? Kamu mencintaiku, kan? Dimana Kamu, suamiku?' Kali ini ia tidak merasa takut pada Ibu dan adiknya. Ia lebih takut kalau sesuatu yang buruk terjadi pada Brian. Evara maju dan balas mendorong Athena. Athena yang tidak menyangka pembalasan kakaknya langsung jatuh terjengkang. "Atha!" Safira langsung menolong anak kesayangannya itu. "Masuk ke kamarmu, Eva! Kamu sudah gila!" Bentaknya pada Evara. ************** Ariana berdiri di depan foto Brian yang tergantung di tengah ruangan. "Maafin Mama, Brian. Kalau saja Mama bisa menebus kesalahan Mama padamu." Isaknya. Semalam ia nyaris tidak bisa tidur. Ia tidak percaya kalau anak sulungnya sudah pergi untuk selamanya. Adamis masuk ke kamarnya saat tengah malam untuk melihat keadaan mamanya. Ia menghampiri Ariana untuk menghiburnya, "Mama belum tidur?" Tanyanya. "Mama nggak bisa tidur, Dami. Wajah Kakakmu selalu menempel di sini setiap Mama memejamkan mata." Keluh Ariana. Ia menunjuk matanya yang sembab. Penyesalan terbesarnya adalah membuat Brian tidak bahagia di akhir hidupnya. "Dami akan peluk Mama sampai Mama tertidur." Bujuk Adamis. "Apa Mama bisa?" tanya Ariana tidak yakin. "Mama pasti bisa. Kak Brian juga sedih kalau melihat Mama begini." sahut Adamis. Ariana mulai bersandar di dada bidang Adamis. Merasakan kehangatannya dan aroma tubuh yang sama dengan Brian. 'Mama merindukanmu, Brian Putra Bamari.' bisik hatinya seraya memejamkan matanya. Ariana akhirnya tertidur dalam pelukan anak bungsunya, Adamis. "Nyonya, Mas Sony memaksa ingin bertemu." Lapor salah seorang pelayan yang menghampirinya. Sony? Ariana mengenalnya. Ia adalah asisten pribadi sekaligus sahabat Brian. Kenapa Sony ingin bertemu dengannya? Sony dan Brian berpisah saat Brian memutuskan untuk menikah. Brian melarang Sony mengikutinya. "Jangan Kamu ikut sengsara gara - gara Aku." Begitu cerita Sony saat Brian memintanya untuk tetap bekerja di Bramantyo Corporation. "Suruh Dia ke sini." Titah Ariana. Ia tetap memandangi foto Brian, seakan tidak pernah ada puasnya. Pelayan itu mengangguk. Tidak lama Sony memasuki ruangan. "Selamat pagi, Nyonya." Salamnya memberi hormat. "Apa Kamu tidak bekerja?" Tanya Ariana tanpa menoleh. "Dari sini Saya akan langsung ke kantor, Nyonya." "Hm." Hanya itu reaksi Ariana. "Nyonya, Saya hanya ingin mengabarkan sesuatu sebelum Saya berangkat ke kantor." "Kabar tentang apa?" tanya Ariana tanpa mengalihkan pandangannya dari foto Brian. "Brian dan istrinya, Nyonya." sahut Sony sedikit ragu. Ariana menoleh dengan cepat. Ia langsung menangkap sosok Soni yang berdiri agak jauh di sampingnya. "Mendekatlah dan bicaralah." titah Ariana. Sony mendekat dengan langkah sedikit ragu. "Nyonya, Istri Brian, Evara.." "Aku tau namanya Evara." Potong Ariana tidak sabar. Evara yang langsung ia tolak saat mendengar namanya. "Nyonya, Evara hamil anak Brian." Dug - dug, dug dug.. Sony memejamkan matanya. Jantung Sony berdegup lebih cepat. Ia menantikan reaksi Ariana yang akan meledak karena marah. "Akhirnya!" Sony terkejut dan membuka matanya. Tidak ada ledakan amarah. Ariana kembali menatap foto Brian. "Akhirnya Mama dapat membayar semua kesalahan Mama, Sayang." Katanya dengan air mata yang kembali meluncur deras. Kali ini air mata penuh kelegaan. Adamis muncul dengan pakaian lengkap. Ia sudah siap berangkat ke kantor. Sebelumnya Ia berencana ke rumah Evara untuk memberikan kabar duka cita ini. "Mama kenapa?" tanya Adamis cemas. Adamis yang melihat mamanya menangis bergegas menghampiri dan memeluknya. "Dengar, Nak. Kakakmu akan punya anak! Mama dapat membayar semua kesalahan Mama lewat anak itu!" Serunya bahagia. Adamis tertegun. Brian akan memiliki anak? "Sony! Kamu tau rumah Evara?" Tanya Ariana. Sony mengangguk. Brian pernah mengajaknya ke rumah Evara. Sambutan ibu dan adiknya sungguh tidak baik. "Antar Aku ke sana!" tegas Ariana. Ariana setengah berlari ke kamarnya. Ia ingin segera ke rumah Evara untuk mengajak menantunya itu pindah ke rumah ini. "Mama! Apa Mama yakin?" panggil Adamis. Tidak ada sahutan dari Ariana. Adamis mengejar Ariana ke kamarnya. Ariana hanya mengambil tasnya. Ia tidak ingin mengganti pakaiannya yang serba hitam dan sudah kumal karena air mata. "Mama, bahkan Dia belum tau kalau Kak Brian sudah meninggal." Beritahu Adamis. Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia mencemaskan reaksi Evara. *************Malam mulai datang. Waktu bergulir dengan cepat tapi tidak untuk Adamis dan Evara. Mereka mulai merasa lelah dan ingin beristirahat. Terutama Evara. Ia merasa perutnya nyaris kram tapi ia tetap harus bertahan. Sudah hampir jam sembilan malam saat akhirnya tamu terakhir pulang. Mereka adalah anak - anak buah Adamis di kantornya. Termasuk Robby dan Sony. "Kekasihmu itu.. Tidak datang?" Tanya Evara ketika Adamis mengajaknya beristirahat dan mengganti pakaian mereka. Ia berbicara dengan suara pelan. Adamis menautkan alisnya. "Kekasihku? Siapa maksudmu?"Adamis menatap Evara yang langsung mengalihkan pandangannya. Adamis menjadi gemas. Ia langsung menarik lengan Evara dengan keras. "Aa!" Evara menjerit karena terkejut. Tahu - tahu ia sudah ada dalam pelukan Adamis. Pipi Evara langsung memerah menyadari tatapan tajam Adamis. Wajah mereka begitu dekat. Nafas mereka juga saling menyapu wajah masing - masing. Evara mulai merasa malu dan takut sekaligus. Apa Adamis marah padanya? Evara
Evara bangun dari sofa yang ia duduki bersama Athena. Ia melihat Ariana tampil sangat cantik dengan gaun yang sama dengan Safira. Ariana melihat Safira dan mencoba menyapa, "Besan sudah datang."Safira memaksakan senyum. Entah kenapa sejak datang tadi ia terus menerus merasa insecure. Ariana mengamati Safira yang sedang dirias. Safira cantik tapi kecantikannya tidak sebanding dengan Evara. Athena juga tampan tapi ia juga tidak mirip dengan ibunya. "Athena itu seperti jiplakan Ayahku, Ma. Dia tampan, kan?"'Meski sayang, kakinya cacat.'Bagaimanapun Evara sangat menyayangi adiknya. Ia tiba - tiba merasa sedih. Ia merasa bersalah karena itu yang dibebankan padanya sejak kecil. Ariana jadi berpikiran aneh. 'Kalau Athena seperti Ayahnya, lalu Eva mirip dengan siapa?'"Ayo Kita turun, Sayang. Banyak tamu yang menanyakanmu."Evara menatap Ariana dengan perasaan gelisah. Ia belum mampu menghadapi tamu - tamu yang datang."Aku menunggu Ibu." Katanya dengan nada memohon. Tiba - tiba Safi
"Eva akan menikah? Bagaimana bisa?" Safira menatap undangan virtual yang baru diterimanya. Evara akan menikah dengan Adamis. 'Bukannya dia itu adik si Brian?'"Atha! Eva akan menikah!" Beritahunya pada Athena. "Aku tau, Bu. Aku juga dapat undangannya." Sahut Athena malas. Sudah hampir seminggu ia menikah tapi Viona tidak mengizinkannya untuk datang ke rumahnya. "Beri ruang dan waktu untukku, Sayang. Aku juga merindukanmu." Bujuk Viona melalui ponselnya. "Aku nggak bisa melawan keinginan bayi ini. Apa dayaku?"Viona pura - pura mengeluh. Athena hampir putus harapan. Ia mulai merasa Viona sedang mempermainkannya. Athena mulai menyesal telah memberikan kartu yang diberikan oleh Evara sebagai hadiah pernikahannya pada Viona. "Aku akan datang untuk mengambil kartu itu, Vion."Viona merasakan suara Athena yang datar. Ia pura - pura tidak mengerti apa yang Athena maksud. "Kartu? Kartu apa maksudmu, Sayang?"Viona membuat suaranya terdengar manja. Athena mendengus, "Kartu yang diber
"Aku berhenti kerja, Leon. Tolong ambil sisa gajiku bulan ini. Semuanya untukmu."Evara sedang menjawab telpon dari sahabatnya, Leoni. "Apa aku nggak salah dengar, Eva? Kamu berhenti bekerja? Bukannya Kamu tidak ingin diam saja di rumah? Kandunganmu juga belum kelihatan."Evara baru hamil 5 minggu saat Brian berpulang. Sekarang sudah 2 bulan sejak kepergian Brian. "Aku akan menikah, Leon. Calon suamiku melarangku bekerja di sana lagi."Leoni langsung speechless. Ia kehilangan kata - katanya untuk beberapa saat. Evara menautkan alisnya. Tidak ada sahutan dari Leoni. "Leon? Kamu masih di situ?"Leoni langsung sadar. "Dengan siapa Kamu menikah, Eva? Selamat, ya. Apa Dia setampan dan sebaik Brian?"Evara yang terdiam sekarang. "Eva? Apa Aku menyinggungmu? Maafkan Aku. Eva?"Suara Leoni makin membuat Evara merasa tidak nyaman. "Aku tutup dulu, Leon." Katanya sambil memutus sambungan telponnya. Leoni menjadi kebingungan. Apa suami Evara yang sekarang itu tidak sebanding dengan Brian
Adamis semakin kesal. Di suasana seperti ini mamanya tetap mengingat Evara. Evara sendiri duduk di ruang keluarga. Ia nyaris sampai ke ruang tamu saat hatinya mulai ragu. 'Sebaiknya Aku menunggu di sini aja. Nggak ada kepentingaku sama sekali.' kata hatinya. Adamis bangun dan mengatakan, "Sebentar, Ma."Adamis berjalan ke belakang untuk mencari Evara. Setidaknya sejenak ia terbebas dari gencaran tatapan Alea dan keluarganya. Ia menemukan Evara duduk sendirian di ruang keluarga. Ia terkejut melihat Adamis datang dan menghampirinya. "Kenapa Kamu malah duduk di sini? Mama memanggilmu." Omel Adamis. Tanpa menunggu jawaban dari Evara, Adamis langsung berbalik. Dengan ragu Evara melangkah mengikuti langkah Adamis yang terlihat enggan. Ia mencoba membenahi letak gaunnya. 'Apa Aku tidak akan membuat Mama malu?' kata hatinya gelisah. Pemandangan di ruang tamu membuatnya gugup. Memang tidak ada yang memperhatikan kedatangannya selain Ariana. Semua mata sedang tertuju pada Adamis. "Na
Merasa malu karena terpergok, Evara berusaha melepaskan tangan Adamis. Adamis juga langsung melepaskan tangannya. Evara mendekati Ariana. "Tadi Aku mau jatuh jadi Adamis memegangku, Ma."Evara berusaha menjelaskan. Ia takut Ariana salah paham. "Aku mau mandi dulu." Kata Adamis sambil membalikkan tubuhnya dan kembali naik ke atas. "Nggak papa, Sayang. Apa Kamu udah enakan? Mama ingin mengatakan sesuatu padamu dan Dami." Kata Ariana lembut. Evara mulai cemas. Apa yang ingin Ariana katakan? Apa Ariana ingin menegurnya karena ia tadi terlalu dekat dengan Adamis? "Tapi.. Tapi..""Tenang aja, Sayang. Mama nggak akan menggigitmu."Ariana tertawa melihat Evara tersipu malu. Ariana mengajak Evara menuju pantry. Melihat kesibukan di sana dan aroma masakan yang mulai menyebar membuat Evara heran. 'Ada apa, ya?' "Alea ingin melamar Dami. Lucu, ya? Perempuan kok melamar laki - laki?" Kata Ariana seperti menebak apa yang sedang Evara pikirkan. Ariana tertawa geli tanpa menyadari perasaan E







