Lisa menarik nafas panjang lalu memegang bahu kekasihnya.
"Aku tahu kamu nggak akur sama mereka tapi kalau mas terus arogan takutnya mas nggak bakal dapat warisan!" Lisa mencoba menasehati kekasihnya karena ia tak ingin sang kekasih kehilangan segalanya. "Kamu nggak usah khawatir karena aku pasti bisa mengendalikan kedua orang tuaku." Aril yang percaya diri membuat Lisa tenang. "Kalau begitu kapan kita menikah? Aku nggak mau jadi pacarmu terus, dulu alasanmu karena ingin menjaga perasaan kakakku tapi sekarang semua orang sudah tahu hubungan kita." Lisa menuntut janji manis yang pernah dikatakan Aril padanya. "Secepatnya tapi nggak sekarang karena aku masih banyak urusan di kantor." Aril kembali mengumbar janji manis. "Oke tapi jangan lupa buang kakakku jauh-jauh dan aku juga nggak mau mengurus anak-anakmu." Lisa mengutarakan keinginannya. "Kamu tenang saja karena aku juga nggak suka sama anak-anak." Aril menyanggupi permintaan kekasihnya. "Terimakasih banyak ya sayang." Lisa yang senang mengecup setiap inci wajah kekasihnya. "Sudah hentikan nanti kalau aku kepengen kamu nggak sanggup menghadapi kegagahanku," ucap Aril. "Marathon sampai 10 jam lagi juga oke mas." Lisa yang nakal menyentuh alat iparnya. "Kamu memang pintar membangkitkan suasana." kemudian Aril yang terbawa suasana menunggangi sang adik ipar. Lalu di tengah-tengah pergulatan mereka di ruang tamu tiba-tiba ada yang mengetuk pintu utama. Tok tok tok! "Ssst! Sialan!" Aril kesal pada orang yang mengganggu mereka. "Sudah mas biarkan saja, kalau orangnya nggak sabar pasti dia bakalan pulang," ujar Lisa. "Kamu benar juga." kemudian Aril kembali mengaduk terowongan semut iparnya. Tok tok tok! "Assalamualaikum, nak Aril tolong buka pintunya." ucap Sinta ibu sambung Lisa dan Ruby. "Astag, tunggu sebentar mas." Lisa yang kesal meminta jeda pada sang kekasih. "Tanggung dikit lagi!" Aril menolak karena masih ketagihan. Sementara sang mertua yang tak sabar menunggu di luar akhirnya memutar handle pintu yang tidak terkunci. Ketika pintu telah terbuka lebar sang mertua berteriak histeris. "Astaghfirullahaladzim!!" Santi syok melihat perbuatan senonoh keduanya. "Kalau pintu nggak dibuka artinya kamu nggak boleh masuk goblok!" Lisa yang marah menyudahi aktivitas bergairah mereka. Kemudian Lisa memakai bajunya lalu mendekat ke ibu sambungnya. "Aril adalah suami kakakmu tapi kamu malah berzina sama dia?" Santi yang marah menampar wajah putrinya. Plak! "Kenapa ibu menampar, Lisa!" Aril membentak ibu mertuanya. "Itu karena dia sudah berzina sama kamu!" pekik Santi. "Itu urusan kami berdua!" Aril membentak ibu mertuanya. "Betul, lagian kamu bukan siapa-siapa jadi aku minta sekarang juga kamu pergi dari sini!" Lisa yang geram mengusir ibu sambungnya. "Istigfar nak! Ibu tahu ibu hanya orang lain tapi ibu kembalilah ke jalan yang benar," ucap Santi. "Diam karena nafasmu lebih bau dari ta*!" Lisa yang arogan membuat ibu sambungnya pusing. "Baiklah tapi sekarang dimana kakakmu dan apa dia sudah tahu semua ini?" tanya Santi. "Dia sudah tahu dan sekarang posisinya ada di rumah sakit jadi buruan jenguk anak kesayanganmu itu jangan pernah datang ke sini lagi!” ucap Lisa. "Baik, ibu akan pergi tapi ibu akan datang lagi membawa RT RW biar kalian diadili," ucap Sinta. "Tolol! Buat apa kamu ngadu-ngadu sama orang lain?" Lisa yang kesal memukul kepala ibu sambungnya. Lalu Aril yang ikut emosi mencekik leher mertuanya hingga matanya membulat sempurna. "Kalau sampai ada yang datang kesini gara-gara kamu, aku bakal menghabisimu!" setelah menggertak Aril melepaskan tangannya yang menjerat leher mertuanya. "Kalian pasti menyesal karena sudah menzolimi semua orang." Setelah itu Santi pergi karena tak ingin berurusan lebih lama dengan keduanya. "Ibumu benar-benar menyebalkan dan selalu bikin aku naik darah," ucap Aril. "Dia bukan ibuku," ujar Lisa. "Kalau aku jadi kamu aku juga nggak bakal menganggap dia ibu," ucap Aril. "Tapi mas saat ini semua orang sudah tahu hubungan kita, aku harap cintamu nggak berubah dan kamu nggak boleh meninggalkan aku,” pinta Lisa. "Kenapa kamu ngomong begitu?" tanya Aril. "Karena aku takut kamu pergi aku yakin semua orang akan menasehatimu agar mempertahankan rumah tanggamu karena kalian sudah punya anak." Lisa mengutarakan kekhawatirannya. "Aku nggak akan pernah mendengarkan kata-kata siapapun kecuali kamu." penjelasan Aril membuat Lisa tersipu malu. "Kalau itu benar cepat ceraikan kakakku, setelah kalian resmi berpisah kita berdua harus menjadi suami istri yang sah di mata negara dan agama." Lisa terus mendesak Aril untuk segera berpisah dengan kakaknya. "Beres tapi kamu harus selalu cantik, berat badanmu nggak boleh lebih dari 50 kilo, terus kulitmu wajib putih mulus serta aset-asetmu harus ketat dan kenyal." Aril berharap Lisa dapat memenuhi keinginannya. "Siap, semua akan aku lakukan asal mas mampu kasih modal," ucap Lisa. "Soal uang kamu nggak perlu khawatir karena aku pasti memberikan berapapun yang kamu minta," ujar Aril. "Oke mas!"Lisa mengangguk setuju meski hatinya berontak dan marah. Kalau mas Aril selalu menuntut aku buat awet muda berarti cintanya nggak akan bertahan lama dan kalau sampai firasatku benar mulai sekarang aku harus menguras uangnya biar aku punya modal hidup sampai tua, batin Lisa."Tuan sudah nggak ada, nyonya." ucap Sumanto dengan suara bergetar "Ya, Tuhan! Nggak mungkin, kamu jangan bercanda sama saya ya!" Lasmini tidak percaya dengan apa yang di katakan Sumanto. "Serius nyonya, sekarang kita harus bagaimana? Apa kita tetap bawa tuan ke rumah sakit?" tanya Sumanto. "Nggak usah." Aril yang baru datang melarang rencana Sumanto. "Kenapa tuan? Tuan besar meninggal tiba-tiba padahal tadi masih baik-baik saja," ucap Sumanto. "Papa memang punya penyakit jantung, dari pada repot-repot ke rumah sakit lebih baik kalian siapkan kasur di depan biar aku hubungi pak RT buat memberi tahu kalau papa meninggal." kemudian Aril menghubungi RT setempat dan memberitahu kabar duka tersebut. "Gimana nyonya?" Sumanto menanyakan pendapat Lasmini. "Ya sudah ikuti apa kata Aril saja." Lasmini yang berduka tak dapat berpikir jernih. Ia juga mempasrahkan segalanya karena hanya Aril anaknya satu-satunya. "Papa angkat ke depan pak Sumanto, terus yang lain siapkan kasur kar
"Ayo kita tidur, besok baru kita beli barangnya sama temanmu itu," ucap Aril."Iya mas," Lisa mengangguk setuju.Setelah itu keduanya tidur dengan posisi saling berpelukan.Pada keesokan harinya Lisa memesan racun Batrachotoxin pada temannya yang berprofesi sebagai apoteker."Bagaimana, barangnya bisa di pesan nggak?" tanya Aril."Iya mas, satu jam lagi mereka akan antar kesini," ucap Lisa."Bagus, aku juga sudah minta tolong sama orang rumah buat menaruh racun itu ke kopi papa," ujar Aril."Memangnya ada yang mau mas? Bukannya meraka semua berpihak sama om, Rahman?" Lisa kurang percaya dengan orang suruhan Aril."Tenang saja dia akan tepat janji dan nggak mungkin berkhianat padaku karena dia adalah art yang kukirim khusus buat memata-matai rumah orang tuaku," ucap Aril."Kapan mas mengirimnya kesana?" tanya Lisa lebih lanjut."Tadi pagi, aku minta dia dari yayasan art langgananku," ujar Aril."Baiklah, kalau gitu kita makan siang sekarang karena aku sudah lapar," ucap Lisa."Oke." ke
"Pasti kakak akan marah kalau tahu aku datang kesini," ucap Lisa. "Biarkan saja lagipula kamu adiknya, saudaranya adalah keluargaku juga, sebenarnya aku ingin sekali kamu tinggal disini agar kakakmu punya teman biar ada juga yang menjaga keponakanmu jujur aku kasihan sekali melihat kakakmu yang begadang setiap malam tapi aku nggak bisa membantu karena besoknya aku harus kerja.” penuturan Aril membuat Ruby berpikir kalau selama ini ia sudah salah faham pada keduanya. Apa mungkin aku yang terlalu cemburu? Tapi menurutku tindakan mereka tetap nggak bisa di bilang wajar karena Lisa bukan anak kecil, Lisa juga sudah kelas XI SMA andaikan dia SD aku masih memakluminya, batin Ruby. Ruby yang termenung disapa oleh adiknya yang tanpa sengaja melihatnya berdiri di mulut pintu dapur. “Kakak ngapain disitu? Sini gabung sama kami.” kata-kata sang adik cukup janggal di telinga Ruby. Kok dia memperlakukan aku seperti orang lain? sebenarnya aku yang terlalu sensitif atau memang dia yang
Sesampainya keduanya di pinggir kolam renang Ruby kembali menghajar adiknya.Plak!"Bodoh! kamu pikir yang kamu lakukan tadi normal?" Ruby geleng-geleng kepala. "Tidak! Perbuatanmu murahan, siapapun yang melihatnya pasti akan berpikir kalau kamu dan suamiku punya hubungan gelap, aku heran kenapa kamu bersikap tolol kayak begini, padahal kamu cantik dan masih kelas XI SMA tapi kelakuanmu mirip seperti perempuan panggilan!" Ruby memarahi adiknya habis-habisan. Sementara Aril yang mendengar teriakan adik iparnya buru-buru menyusul ke kolam renang. “Ngapain kamu terus menekan dan memarahi adikmu? Aku lihat dari tadi kamu makin keterlaluan, hanya karena dia duduk di pangkuanku kamu malah ingin membunuhnya?" Aril memarahi istrinya di depan adik iparnya“Mas!” “Ssst! Panggil aku Aril,” ucap Aril."Kok gitu?" Ruby tak mengerti dengan maksud suaminya. "Pokoknya mulai sekarang kita saling panggil nama karena wajahmu sudah terlihat lebih tua dariku, walaupun kita beda 5 tahun tapi aku kelih
Ruby menganggukkan kepala lalu lanjut bertanya pada adiknya."Iya, apa yang kalian bicarakan?" Ruby ingin tahu topik obrolan keduanya. "Cuma soal kegiatan sekolahku, lagian waktu itu kami nggak sengaja bertemu di kolam, mas Aril datang saat aku lagi telponan sama temanku kak." Lisa menjelaskan segala pada kakaknya."Oh, gitu ya. Tapi sekali lagi kakak minta maaf karena udah nggak bisa tepat janji sama kamu," ucap Ruby."Maksud kamu apa, Ruby?" suara Aril mengejutkan keduanya."Kakak menyuruhku pergi mas, katanya aku nggak jadi pindah sekolah kesini." kemudian Lisa bangkit dari sofa lalu menggandeng lengan iparnya. "Apa alasannya? Kenapa kamu mengusir adikmu sendiri???" Aril yang terlihat kesal membuat istrinya bingung. "Aku pikir alasan mas cuek dan pasang muka masam padaku beberapa hari ini karena Lisa ada disini," ucap Ruby. "Omong kosong, mana mungkin aku nggak suka sama Lisa apalagi dia adalah adikmu, bilang saja kamu yang nggak nyaman dia ada disini." Aril yang manipulatif me
"Me-mereka sendiri yang mau pergi." Lasmini yang ketakutan tak berani jujur pada suaminya. "Mama benar pa, aku dan anak-anaklah yang mau pergi." Ruby tak ingin membongkar kebusukan mertuanya."Kamu boleh pergi tapi tidak dengan cucu-cucuku, kalau kamu sanggup berpisah dengan mereka silahkan angkat kaki dari rumah ini," ucap Rahman. "Saya nggak mungkin meninggalkan anak-anak saya disini, pa." Ruby tak ingin berpisah dengan ketiga putrinya. "Mungkin saja lagipula setelah pasangan suami istri bercerai yang paling bertanggung jawab mengurus anak-anaknya adalah dari pihak suami, berarti kamu nggak punya tanggung jawab atas ketiga putrimu lagi." Rahman yang tegas membuat menantunya tak berani melangkahkan kaki."Papa benar dan sebenarnya tadi mama juga sudah membujuk Ruby agar tetap disini sama kita walaupun sekarang dia bukan menantu kita lagi." Lasmini berpura-pura baik di hadapan suaminya."Nggak usah ngomong apa-apa karena aku tahu sama isi kepalamu."Rahman yang ketus membuat istrin