Share

Bab 5: Mengantar Kue

Mataku masih tajam memperhatikan obat yang sudah tidak ada isinya itu. Karena penasaran, aku membuka handphoneku, lalu searching ke internet mencari tahu jenis obat apa ini, dan digunakan untuk siapa?.

Tangan ini mulai mengetik di tombol pencarian, setelah menunggu beberapa detik akhirnya informasi tentang obat triazolam ini muncul, mataku melotot sempurna di depan layar handphone.

"Obat tidur … "

Kecurigaan ku mulai timbul, apa mungkin ibu tertidur seperti tadi karena diberikan obat tidur oleh Lula. Kubuang pikiran negatif yang menyerang kepalaku, bisa saja Lula sendiri yang mengkonsumsinya, tadi Lula juga tertidur nyenyak.

Pikiranku mengembang entah ke mana, hidup ini terasa begitu berat, mungkin jika aku ingin mengumpulkan air mata, sudah penuh tong kosong yang sering dipakai sebagai penampung air di kamar mandi.

Sosok Dimas seketika terbayang, mengingat perilakunya yang begitu baik, tuturnya yang lemah lembut, suara merdunya saat mengumandangkan azan di masjid seakan menjadi hiburan sebentar untuk hati yang kesepian.

Lalu bayangan itu hilang, saat kusadari siapa diri ini, tak pantas untuk perempuan sepertiku menginginkan sosok Dimas yang begitu hebat.

"Ayah datang … ayah datang."

Suara ibu berhasil membuyarkan semua lamunanku. Bersegera aku mengambil piring lalu kuisi nasi beserta telur dan mie goreng untuk makan kami bersama.

Setiap suapan nasi yang kuberikan, selalu ibu makan dengan lahap. Kupandangi wajahnya yang keriput, ada guratan rindu yang begitu besar untuk ayah di sana, kepergian ayah seakan membawa separuh jiwa ibu melayang bersamanya.

Jika ditanya berapa kadar kesedihanku, mungkin angka 100 tak bisa mengukurnya, aku begitu sedih bahkan sempat terpukul menyadari kenyataan hidup yang kujalani, tapi tak ada gunanya meratapi, bangkit adalah jalan yg harus kutempuh. Sejauh apapun aku berjalan, satu hal yang dapat membuatku bertahan, cahaya terang akan ada di depan sana.

Suara pintu yang dibanting terdengar dari depan, tak lama kemudian Lula datang sambil mengumpat, wajahnya tampak begitu kesal. Ia langsung masuk kamar dan mengunci pintu.

********

Pagi ini aku bangun lebih awal, karena ada pesanan kue Ibunya Dimas yang harus kuselesaikan. Waktu berjalan begitu cepat, baru saja aku bangun sekitar jam 4 pagi, setelah beberapa aktivitas pekerjaan rumah kulakukan, jam dinding sudah menunjukkan jam 6 pagi.

Kue brownies pandan dan coklat dengan toping keju dicampur buah Cherry menghias diatasnya. Aku bergegas mengantar ke rumah Dimas, takut jika terlambat .

"Mau kemana ka?" tanya Lula.

Sejak kapan Lula sudah bangun, aku sampai tak menyadarinya, saking asyiknya mengadon kue.

"Ke rumah Dimas mengantar kue pesanan Ibunya"

"Aku ikut ya, biar ku bawakan satu."

"Boleh, ini bawakan yang coklat," sahutku, seraya memberikan kue brownies coklat kepada Lula.

"Tumben Lula mau bantu aku," suara hatiku.

"Nanti kalau Ibunya Dimas tanya ini kue buatan siapa, bilang aja buatan Kaka sama aku," titahnya bak ratu.

"Kenapa begitu, kamu kan gak ada bantu aku," bantahku.

"Ya harus gitu dong, aku kan pingin terlihat baik dan rajin di mata mertua ku nanti, Ibunya Dimas," celotehnya.

"Astaghfirullah, jadi kamu bantu aku, karena mau dibilang baik dan rajin."

"Ya iyalah, buat apa juga capek-capek kalau gak ada untungnya."

Mendengar jawaban Lula, geram rasanya hati ini, tapi kutahan, bagaimana bisa seorang adik begitu tak peduli dengan kakak dan ibunya. Sekeras itukah hatimu Lula.

"Ya sudah, ayo kita pergi, nanti terlambat."

Aku dan Lula bergegas menuju rumah Dimas yang jaraknya tidak terlalu jauh, sehingga kami hanya jalan kaki saja. Ibu masih tertidur lelap, biasanya jam 9 pagi baru ibu bangun dan meminta makan. Aku harus menyiapkan makanan sebelum jam 9 karena kalau tidak, ibu akan mengamuk karena kelaparan.

Sesampainya di rumah Dimas keadaan masih sepi, hanya beberapa tetangga yang ada di rumah, mereka membantu menyiapkan makanan untuk acara tasyakuran. Aku dan Lula menyerahkan pesanan kue brownies itu kepada Ibu Dimas.

"Terima kasih Dinda sudah membuatkan kue untuk acara Umi hari ini, pasti kue nya enak."

"Iya Umi, sama-sama, saya senang bisa membantu Umi."

Lula melempar pandangan ke arahku, seakan memberi kode agar aku berbicara, namun aku tak mengerti apa yang ia maksud, sampai akhirnya Lula menginjak kakiku dengan kencang dan berkata.

"Lula juga bantu bikin kue itu Umi," sahut nya.

"Oh ya, Masya Allah, sudah cantik baik pula," sanjung ibunya Dimas.

Lula tersenyum manis ke arah mereka, dan ia langsung mengangkat kakinya yang tadi berada di atas kakiku.

"Ini 50 ribu Dinda, uang sisa pembayaran kuenya." Ibunya Dimas menyerahkan uang, tanpa aba-aba dariku Lula langsung mengambil uang itu.

"Terima kasih banyak Umi," jawab Lula, matanya melirik ke arahku dengan tatapan tajam, seolah ingin berkata ini uang buatku.

Aku terdiam, mengumbar senyum palsu, sedangkan dadaku terasa panas dan sedikit sesak.

"Assalamualaikum Dinda." Suara Dimas dari arah belakang.

Aku terkejut mendengar sapaan darinya, perasaan kagum itu muncul kembali kepermukaan setelah kulihat wajah teduhnya. Hidungnya yang mancung, mata bulat, dan alis tebal serta peci yang menghias di kepalanya membuat ia tampil begitu memukau dalam pandangan mataku.

"Dinda," Sapanya lagi.

Aku terkejut, jantungku berdetak semakin kencang, aku tak berani menatapnya.

"I … iya," sahut ku agak gagap.

"Besok kamu ada pesanan kue tidak?" tanyanya langsung.

"Tidak Mas, besok saya mau ke tempat Tante Maya saja membantu laundry nya."

"Kalau kamu bisa, di sekolah saya 2 hari lagi mengadakan acara khataman Al-Qur'an, jadi kami perlu kue kukus sebanyak 150 bungkus, kamu bisa buatkannya."

"Bisa dong mas Dimas, Lula yang akan buat." 

Lula? Sejak kapan Lula bisa buat kue kukus, baru saja aku ingin menolak karena kue sebanyak itu pasti memerlukan waktu yang cukup lama membuatnya apalagi dengan barang seadanya, dan peralatan di dapurku tak lengkap untuk membuat kue yang diminta Dimas.

"Maaf Mas Dimas, peralatan kue kukus di rumah tidak ada, jadi saya gak bisa membuatkan," tolakku.

Lula menatapku dengan marah, namun ia berusaha menutupinya di hadapan Dimas, agar terlihat baik.

"Kalau begitu, kamu bisa bikin kuenya di rumah ini, Umi punya alatnya, iya kan Umi?" Dimas memberikan tawaran baru.

"Iya, tenang aja kamu Dinda, kalau kamu mau bikin kue kukus, bisa ko pakai peralatan di rumah Umi," tambah Ibunya Dimas.

"Betul tuh Ka Dinda, nanti aku bantuin," sosor Lula, dengan topeng wajah baiknya.

Akhirnya aku mengiyakan tawaran Dimas. Meski tak dapat kupungkiri, aku takut terlalu dekat dengan keluarga ini, aku takut salah menafsirkan kebaikan mereka, aku takut jatuh cinta dan tak dapat merawatnya.

"Orang gila … orang gila … orang gila!" suara teriakan anak-anak terdengar jelas di telinga kami. Firasatku tidak enak, jangan-jangan orang yang mereka teriaki itu adalah ibu, tapi tadi ibu masih dalam keadaan tertidur saat kami pergi ke sini, sedangkan rumah sudah Lula kunci. Jadi siapa yang mereka teriaki dengan sebutan orang gila.

Aku, Lula dan Ibunya Dimas langsung menuju halaman rumah, melihat siapa yang anak-anak itu teriaki. Langkah kupercepat, ada perasaan was-was yang menjelma menjadi kekhawatiran terlihat dari raut wajahku yang berubah.

Benar saja dugaanku, dia adalah ibu, aku langsung berlari memeluknya, dan meminta untuk anak-anak berhenti menghina dan mencibir ibuku. Tak bisa kubendung lagi air mata ini, hingga ia terjatuh dengan sendirinya. Lula yang melihat aku dan ibu hanya terdiam, ia tampak malu, akhirnya ia memutuskan untuk pulang kerumah lebih dulu.

Aku menenangkan ibu yang menangis dipelukanku. Kuajak dia berpindah posisi dari duduk ke berdiri, kemudian kudekap tubuhnya yang kurus, sambil membenarkan bajunya yang robek.

"Dinda, ayo bawa Ibumu masuk rumah dulu," ucap ibunya Dimas.

"Gak usah Umi, Dinda pulang saja sama ibu."

"Jangan, ayo masuk, biar kamu tenangkan Ibumu di dalam rumah Umi saja, biar gak jadi bahan pembicaraan tetangga," sarannya lagi.

Aku memapah tubuh ibu memasuki rumah Dimas, kududukan ibu di lantai yang sudah berlapis karpet bermerk yang alasnya terasa lembut.

Ibunya Dimas menyiapkan makanan dan kue yang disuguhkan di hadapan ibu. Lalu Dimas yang dari tadi hanya memperhatikan kami kini menghampiri ibu, dan  duduk di sebelahnya, dengan ramah ia menyapa ibu. Namun respon yang ibu berikan tak pernah terpikirkan olehku, sepersekian detik aku dibuatnya terkejut, ibu langsung memeluk Dimas dengan erat, sampai ia terlihat susah untuk bernafas. Tidak hanya itu, ibu juga meneriaki Dimas dengan sebutan ayah.

Melihat itu, spontan aku berusaha melepaskan pelukan ibu kepada Dimas, cengkraman tangan ibu lumayan kuat, aku membisikan kata-kata yang biasanya mujarab membuat ibu tenang.

"Ibu … Ibu ini Dinda, Dinda sayang Ibu, lepaskan ya Bu tangannya."

Perlahan kulihat ibu melepas pelukannya, saat memegang tangan ibu, mataku tak sengaja menatap ke arah mata Dimas, membuat bola mata kami saling beradu pandang meski hanya beberapa detik.

"Dimas … " panggil ibunya.

Seorang perempuan dengan gamis berwarna biru muda, dan jilbab panjang yang menjulur berwarna senada, dengan anggunnya berjalan ke arah kami, wajahnya tertutup oleh cadar.

"Assalamualaikum," sapanya dengan santun. Kulihat ia membawa bungkusan plastik besar entah berisi apa.

"Siapa wanita ini?" tanyaku dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status