Share

Bab 8: Payung untuk Dinda

Mencintai adalah seni hati. Setiap insan pasti pernah menjumpai, ketika tidur tak karuan, rindu yang terus meluap, dan perasaan bersatu menjadi sebuah ambisi kuat untuk memiliki. Namun tidak, mencintai tak harus memiliki, karena cinta datang dengan sendirinya dan mungkin saja ia akan pulang dengan sendiri.

Mencintaimu adalah logika yang mampu dikalahkan hati…

Mencintaimu adalah candu yang kadang membuatku tak sadar diri…

Percayalah aku akan berusaha agar cinta ini tak ternodai, sebelum waktu yang akan bersimpati.

Waktu terasa berhenti saat mata ini tak sengaja menatap wajah teduhnya membuat kedua manik mata kami saling beradu. Tapi tak lama, mungkin 3 menit, karena akhirnya aku tersadar bahwa apa yang kulakukan salah. Tak sepantasnya mata ini memandangnya terlalu dalam, bahkan kekhusyukan itu bisa membuatku terluka. Ia bukan milikku.

"Maaf …" Aku berkata kepadanya dengan wajah yang tertunduk, mencoba menguasai perasaanku, agar ia bisa terkendali dengan selayaknya.

"Aku yang seharusnya minta maaf, karena memayungimu tanpa izin."

"Terima kasih Mas Dimas."

"Sama-sama, ini bawa saja payungnya jika kamu mau pulang, jangan sampai kehujanan, kalau kamu sakit siapa nanti yang akan jaga ibu."

Ucapannya membuat jantungku bergetar hebat, ada rasa aneh yang muncul di dalam hati ini, apakah ini benih cinta yang tumbuh dari rasa kekaguman, atau hanya karena jiwaku yang kesepian.

Perhatian yang diberikan Dimas meski terlihat sepele tapi begitu terasa di hati. Aku bahkan merasa seperti melayang di angkasa berputar di gemerlap sinar bintang, dan menari dengan perasaan riang gembira. Bak anak yang bermain di bawah rintik hujan tanpa harus dimarahi orang tua.

Aku membawa payung yang diberikan Dimas, kemudian mengambil sepeda yang kuletakkan di samping toko, sebelah tanganku memegang payung dan satunya menuntun sepeda. Perlahan air dari langit mulai berkurang, sampai akhirnya benar-benar berhenti, saat itulah hujan reda.

Di tengah perjalanan aku berpapasan dengan perempuan yang kulihat kemarin di rumah Dimas, ia dibonceng seorang perempuan yang usianya lebih muda dari pada aku, ku taksir mungkin usianya sekitar 17 tahun.

Perempuan bercadar yang kutahu bernama Aisyah itu, tersenyum ke arahku meski tak terlihat bibirnya, tapi dari anggukan kepala dan kerutan matanya menjadi alasanku untuk tersenyum balik. Perempuan itu benar-benar membuatku merasa minder jika berada di dekatnya.

Tinggal beberapa kayuhan lagi aku tiba di rumah. Ku tatap rumah kecil tempat aku dibesarkan dulu. Meski terlihat sudah tua dan sebagian kayunya lapuk tapi berjuta kenangan terpatri di dalamnya.

Aku mengetuk pintu, dan memanggil Lula. Sebelum pintu terbuka, sekilas tampak dari jauh Tante Maya berlari ke arahku dengan tergesa-gesa. Aku tak memperhatikannya lagi karena pikiranku sekarang di penuhi keinginan bertemu ibu, mengecek keadaanya, setidaknya hal itu yang bisa kulakukan, agar perasaan bersalah tak bisa berbuat banyak untuknya bisa sedikit terobati. Aku yakin ketulusan cinta yang diberikanku untuk ibu akan terasa meski ibu dalam kondisi gangguan jiwa.

Pintu dibuka, pemandangan yang tak diterima oleh mataku saat kutatap Lula dengan penampilannya, rambut berwarna merah, lipstik yang merekah, serta baju yang sedikit terbuka dibagian dadanya.

"Penampilan apa ini?"

"Aku mau bikin konten, jadi Kakak gak usah protes."

"Malu Lula, kamu memakai baju seperti kurang kain, ayo ganti."

"Eh Kakak bawel deh."

"Kalau gak mau ganti, aku gak akan ngasih kamu uang lagi, ganti baju yang tertutup, bikin konten yang bagus."

"Ngancam aku nih!"

"Aku gak mau kamu jadi bahan pembicaraan orang Lula."

"Iya… iya, nanti ku ganti, puas!"

"Ibu mana?" Aku bertanya kepada Lula, karena suara ibu tak terdengar.

"Di kamar."

Aku menuju kamar ibu, ternyata ibu masih tertidur. Melihatnya sedamai itu membuat hatiku lega. Aku mendekatinya, memegang kepala dan membelai sebagian rambutnya yang sudah ditumbuhi uban.

"Dinda… Dinda!" Suara teriakan memanggil namaku terdengar dari luar. Suaranya seperti Tante Maya.

Suara langkah kaki terdengar mendekat ke arah kamar ibu, aku memalingkan wajah menatap pintu, benar saja ternyata Tante Maya sudah berada di depan pintu kamar dengan wajah begitu panik dan penuh kekhawatiran serta nafas yang ngos-ngosan.

"Tolong Tante Dinda."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status