Share

Bab 7:Hujan

Rasa penasaran yang besar membuatku mencari video viral Lula, aku membuka aplikasi yang bergambar kamera itu, mengklik link yang diberikan oleh Annisa lewat aplikasi hijau.

Kali ini mataku melotot sempurna, video yang berdurasi 7 menit itu berseliweran di beberapa story' penghuni dunia maya. Tak sabar melihat video viral itu, aku langsung mengkliknya. Video itu berisi Lula dengan pakaian seksinya sedang berjoget di trotoar jalan, kemudian seorang wanita menghampirinya dan mencaci makinya dengan sebutan wanita jalang, hingga mereka akhirnya berkelahi, yang kemudian dilerai oleh seorang laki-laki. Video itu hanya sampai di situ dengan caption "Pelakor vs Istri sah".

Tunggu dulu, aku menstop video di bagian wajah laki-laki yang datang di bagian akhir video, sepertinya aku pernah melihat orang ini. Tapi di mana?

Aku mencoba mengingat-ingat kembali, akhirnya wajah lelaki itu tersinkron dengan wajah lelaki yang mengantar Lula pulang tadi. Ada hubungan apa Lula dengan lelaki itu?. 

Jantungku terasa berhenti saat itu juga, video macam apa ini, emosi ku mulai naik, mataku memerah selaras dengan suhu tubuhku yang mulai memanas. Aku mengetuk keras pintu kamar Lula sambil berteriak.

"Lula buka pintu !"

Tak ada jawaban dari sana, aku semakin keras dan beruntun mengetuk pintu yang terbuat dari kayu itu. Hingga akhirnya pintu dibuka dan Lula berdiri berhadapan denganku.

"Kenapa sih teriak, aku gak mau di ganggu!"

Aku menyodorkan video yang ada di handphoneku kepadanya.

"Lihat ini, video apa ini!"

"Oh itu," jawabnya santai.

"Cuma oh itu doang ! Apa kamu gak malu Lula, video ini viral di mana-mana, apa bener kamu jadi pelakor!"

Mendengar ucapanku Lula tertawa terbahak-bahak. Aku pun jadi pusing dibuatnya. Emosiku bak bom yang sudah meledak, apalagi setelah Lula merespon pertanyaanku dengan tertawa.

"Kenapa kamu tertawa, aku serius !"

"Itu cuman settingan doang, agar cepat viral."

"Astaghfirullah Lula, settingan … kenapa kamu bikin video kayak gitu."

"Iya lah, siapa juga yang mau jadi pelakor, banyak kali cowok yang masih single di luar sana yang naksir sama aku."

"Terus kenapa bikin video itu?" Mataku menatap Lula tajam bak ingin menelannya saat itu juga.

"Ya agar cepat virallah, kalau aku buat video yang baik-baik gak mungkin bisa viral secepat ini."

"Jadi hanya karena ingin viral kamu bikin video itu."

"Ya iya lah, semenjak video itu viral followers ku jadi bertambah banyak."

Aku terdiam, tak bisa ku mengerti jalan pikiran Lula. Ia begitu berambisi ingin terkenal, bak artis yang dipuja dan dihormati.

"Aku mau istirahat, jangan ganggu !" Lula kembali ke dalam kamarnya.

Kepalaku kini benar-benar terasa pusing. Badan pun rasanya mau ambruk. Bukan hanya fisik yang lelah tapi pikiran juga.

Aku merebahkan tubuh ini ke atas kasur tipis, sejenak memejamkan mata dan melupakan semua yang terjadi, berharap ketika bangun nanti semuanya berubah menjadi lebih baik.

*****

Suara ketukan pintu membangunkanku dari tidur, aku berdiri dan berjalan menuju pintu, memutar gagangnya dan membukanya.

"Assalamualaikum Dinda."

"Waalaikumussalam."

Ternyata Ibunya Dimas yang bertamu ke rumah, ia sudah berdiri di depan pintu, aku langsung mempersilahkannya masuk.

"Jadi gini Din, Dimas tadi menawarkan kamu pekerjaankan, nah besok kamu sudah bisa kerja, toko ATKnya dekat pondok pesantren Nurul Jannah."

"Iya Umi, saya kerjanya dari jam berapa umi?"

"Besok kamu bisa datang jam 9, dan pulang jam 3 sore, insya Allah gaji sebulannya 2 juta, kamu mau kan?" 

Mendengar gaji 2 juta, aku sangat senang, karena sebelumnya aku belum pernah digaji sebanyak itu. Dalam pikiranku, dengan jumlah uang segitu bisa ditabung untuk biaya ibu ke psikiater.

"Iya Umi, Dinda mau."

"Alhamdulillah, oh iya saya kesini juga sekalian mau menengok Ibu Susi."

"Ibu ada di kamar Umi, tadi beliau tidur."

"Oh kalau gitu nanti aja, saya gak mau mengganggu tidurnya, saya pamit pulang dulu ya, terima kasih Dinda."

"Sama-sama Umi."

Ibunya Dimas beranjak pergi keluar rumah. Aku mengantarnya sampai ke depan pintu, lalu setelah ia tak terlihat lagi, kututup pintunya dan langsung masuk ke dalam rumah untuk menjenguk ibu yang masih tertidur pulas di kamarnya. Semoga ini menjadi awal yang baik.

*******

Hari ini pertama kali aku bekerja, pakaian berwarna biru dan jilbab berwarna hitam menjadi pilihanku.

"Lula, jaga ibu ya, aku mau kerja dulu, jam 3 sore aku baru pulang."

"Hah kerja? Lama sekali."

"Iya, aku kerja di toko ATK, jam kerjanya dari jam 9 sampai jam 3."

"Digaji berapa?"

"Insya Allah 2 juta perbulan."

"Lumayan, ok aku akan jaga ibu, tapi setiap bulan Kaka harus ngasih aku 500 ribu."

"Lula! Itu Ibu kita, kenapa kamu perhitungan sekali, lagian uang itu nanti aku sisihkan untuk ibu ke psikiater."

"Ya sudah kalau gak mau, aku juga gak mau jaga Ibu." Ia membuang muka seolah tak perduli dengan keadaanku dan Ibu.

"Ya… ya, nanti kukasih 500 ribu perbulan buat kamu, aku pergi dulu, makanan buat kalian sudah kusiapkan di atas meja"

"Gitu dong."

Setelah bernegosiasi dengan Lula, aku menghela nafas berat, namun aku tak boleh menyerah dengan keadaan, jangan sampai keegoisan Lula menjadi toksik di pikiranku.

Aku mengayuh sepeda menuju toko ATK yang letaknya berdekatan dengan pondok pesantren Nurul Jannah, di mana Dimas menjadi salah satu guru di sana.

Sepeda kuparkir di samping toko yang berukuran minimalis ini. Toko itu sudah terbuka dengan satu orang karyawan yang berjaga di sana.

"Assalamualaikum, saya Dinda, karyawan baru di sini." Aku menyapa seorang lelaki yang sedang berdiri di depan alat fotocopy.

Karyawan itu menoleh ke arahku.

"Oh iya, saya Putra, ayahnya Dimas sudah memberitahu saya tentang kamu."

"Oh iya, tolong bimbingannya, karena saya belum pernah bekerja di toko."

"Santai aja, sambil jalan sambil belajar, lagian label harga sudah ada di setiap barang, jadi kamu gak perlu khawatir."

Tampak ia tersenyum manis menunjukkan gigi gingsulnya. Aku yang melihat itu membalas senyuman tanda keramah tamahan.

Aku beruntung, ternyata bekerja di toko menyenangkan, setidaknya tanganku tidak secapek saat mencuci pakaian yang begitu banyak di laundry.

Siang menjelang sore, langit tampak mengubah wajahnya menjadi mendung, matahari seakan bersembunyi dari peraduannya, lalu hujan turun begitu derasnya, aku lupa lagi membawa payung. Sambil menatap air hujan turun aku berdoa di antara suara petir yang menggelegar. Aku pernah mendengar salah satu waktu di ijabahnya doa adalah ketika hujan turun.

"Ya Allah dengan segenap jiwaku yang berada di genggamanMu, sembuhkan lah ibu, sadarkanlah Lula, dan berilah kami takdir yang terbaik dalam kehidupan kami."

Begitu khusyuk aku meminta sampai tak sadar kalau Dimas sudah berada di depan toko.

"Dinda," Sapanya.

Aku melirik ke depan toko, melihat Dimas yang sudah berdiri di sana, entah sejak kapan. Mungkin saat aku menikmati hujan dan mengamini setiap doa, aku tak menyadari kedatangannya.

"I… iya."

"Kamu pulang jam 3 kan, ini sudah hampir jam 3."

"Iya, tinggal 15 menit lagi."

"Gimana betah ajakan kerja di sini."

"Insya Allah betah, aku malahan seneng banget bisa bekerja di sini."

"Alhamdulillah kalau begitu, Putra mana?" tanya Dimas, matanya tampak mencari kanan dan kiri.

"Putra ada di belakang, dia sedang mengecek stok barang dengan komputer nya."

"Ok, aku kesana dulu."

Aku mengangguk tanda setuju. Kulihat jam di dinding, dan melihat hujan yang belum juga reda. Pikiranku teringat ibu yang ada di rumah, apakah Lula sudah memberikan ibu makan.

Menghitung beberapa detik lagi, aku sudah bisa pulang, aku menghampiri Putra dan Dimas yang ada di belakang.

"Aku pulang duluan ya, itu sudah jam 3." Aku berpamitan kepada mereka berdua yang sedang asyik berbicara, entah membicarakan apa.

"Tapi masih hujan," jawab Putra yang menoleh ke arahku.

"Gak papa, aku khawatir dengan Ibuku."

"Ya sudah, hati-hati, besok kerja lagi ya."

"Siap."

Aku bersiap untuk pulang, mengambil tas yang kuletakkan di dalam lemari kecil khusus pegawai. Kulihat langit yang masih berair, tak papa mandi hujan, anggap saja nostalgia waktu kecil saat bermain dengan hujan.

Kaki ini melangkah ke luar toko, sebelah sandal yang kupakai sudah basah terkena air, tiba-tiba air hujan seakan berhenti di sekitarku, aku menengadah ke atas, payung berwarna biru telah berada di atas kepalaku. Siapa yang memayungi ku?.

Aku memutar balik badan 180 derajat ke arah belakang, sepasang mata teduh menatap ku, sepersekian detik aku terpana, tak ada kata terucap di mulut ini. Pemilik mata coklat itu memegang payung dengan senyuman yang mampu melelehkan hatiku yang beku. Kini kami berada dalam satu payung, di mana ia yang memayungiku.

"Jangan mandi hujan, nanti kamu sakit." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status