Share

Bab 6: Sapu Tangan dari Dimas

Aku memandangi wajah perempuan yang bercadar itu, meski wajahnya tertutup tapi aku melihat aura kecantikan terpancar dari Sinar matanya. Alis yang tebal, bulu mata lentik seolah menggambarkan secantik apa perempuan yang sekarang sudah berada di hadapan kami ini.

"Aisyah, mari duduk." Ibunya Dimas menghampiri Aisyah sambil merangkul pundaknya, mereka terlihat akrab.

"Iya Umi, tadi Aisyah datang dari pondok, ini ada hadiah buat Umi." ia memberikan bungkusan plastik berwarna hitam. Entah apa isinya, aku pun tak tahu.

Perempuan yang dipanggil Aisyah itu duduk bersebrangan denganku, ia tersenyum meski tak terlihat dari bibirnya namun dari matanya yang berkerut menandakan senyum tulus dari wajahnya.

Sesekali aku memperhatikannya, mencuri pandang, ia tampak begitu anggun dari berbagai sisi. Entah karena aku menyukai cara berpakaiannya atau memang karena inner beauty yang terpancar dari dalam dirinya.

Keadaan mulai membaik, ibu terlihat sudah tenang, beberapa undangan pun mulai berdatangan, aku khawatir ibu membuat ulah lagi di sini,yang bisa berdampak buruk untuk acara Ibunya Dimas, apalagi saat banyak orang berkumpul, kadang membuat ibu merasa terganggu dan seakan terancam. Padahal faktanya tidak. Hanya pikiran ibu saja yang sedang dalam keadaan tidak baik.

Aku berpamitan dengan Ibunya Dimas untuk pulang ke rumah.

"Umi, Dinda sama Ibu pulang dulu ke rumah, terima kasih banyak atas bantuan Umi, semoga pernikahan Umi dan Abinya Dimas selalu bahagia hingga surga"

"Amin, terima kasih juga Dinda sudah bersedia membuatkan kue untuk acara Umi, ini dibawa makanannya untuk di rumah." Ibunya Dimas menjabat tanganku dan memberikan tiga kotak makanan yang isinya sangat menggiurkan lidah untuk menyantap dan menikmatinya.

"Biar aku bantu bawakan nasi kotak ini ke rumahmu Din" Dimas menawarkan diri.

"Gak papa mas, aku bisa ko."

"Jangan begitu, kamu jaga Ibu, biar aku yg bawakan nasinya." 

"Baiklah, terima kasih banyak."

Kami bertiga berjalan menuju rumah kecilku yang jaraknya tidak terlalu jauh. Ibu yang dari tadi kugandeng tertawa sepanjang jalan.

Sesampainya di rumah, aku membuka pintu yang ternyata tidak dikunci Lula, namun aku tak menemukan Lula di dalamnya. "Kemana Lula pergi."

Akhir-akhir ini Lula sangat aneh, ia sering sekali berpakaian seksi dengan dandanan yang menor, katanya ia ingin bikin konten untuk akun sosmednya, siapa tau jadi artis katanya, meski level selebgram.

Aku mengantar ibu masuk kedalam kamar, sedangkan Dimas menunggu di luar. Dimas begitu baik kepadaku, ia sering sekali menolongku meski tak dapat kupungkiri kebaikannya menjadi pupuk yang menyuburkan benih kagum menjadi cinta di dalam diriku. Ah, aku terlalu berharap, hati-hati jatuh Dinda, aku mencoba menyadarkan diriku sendiri dengan realitas yang ada.

"Terima kasih Mas." Aku menghampiri Dimas yang duduk di teras rumah dengan nasi kotak yang dibawakannya.

"Sama-sama Din." 

"Oh ya, kalau boleh saran, kenapa Ibumu gak dibawa kerumah sakit jiwa atau ke psikiater aja ".

"Sebenarnya aku sudah lama menginginkan itu, agar Ibu bisa diobati di sana, dan aku berharap banget Ibu bisa segera sembuh, tapi … "

"Tapi apa Din?"

"Tapi aku gak punya biaya untuk bawa Ibu kesana, sedangkan pekerjaan saja aku tidak menentu."

Mataku tampak berembun, aku gak boleh nangis di hadapan Dimas, harus ditahan.

"Bagaimana kalau kamu kerja di toko Abi aja, kebetulan Abi lagi mencari satu karyawan lagi untuk jaga tokonya." Dimas memberikan saran sekaligus pekerjaan.

Tes tes ... beberapa air jatuh dari kelopak mataku, mendengar tawaran dari Dimas membuatku terharu.

Dimas mengocek kantong yang berada di samping bajunya, lalu ia mengambil saputangan yang berwarna biru dari saku bajunya.

"Ini, hapus air matamu."

Dimas memberikan sapu tangannya, aku mengambilnya dan melab di bagian wajah yang sudah basah akibat air yang jatuh dari kedua mata ini. Sapu tangannya sangat harum, dan lembut.

"Ambil aja saputangan itu, anggap hadiah dari aku, jangan nangis lagi ya, aku paling gak tahan lihat perempuan menangis." ucap Dimas dengan bahasanya yang lembut.

"Te… terima kasih."

"Tetap tersenyum Din, bahagia  selalu buat kamu. Aku pulang dulu ya Din, takut Umi mencari, assalamualaikum."

"Waalaikumussalam,"

Aku berdiri mematung, terpana dengan apa yang telah terjadi, baru kali ini hatiku terasa sejuk seakan bunga layu yang baru tersiram air. Sapu tangan yang diberikan Dimas kupegang erat, sesekali kuusapkan ke wajah merasakan sensasi lembut pada tiap kainnya. Mataku masih memperhatikan arah jalan Dimas pulang, sampai punggungnya tak terlihat lagi. Aku tak tahu kenapa hati ini memilihmu, bahkan saat logika berkata jangan, hati ini terus mengiba bahwa aku harus berjuang, pantang mengibarkan bendera putih sebelum janur kuning melambai di antara aku dan kamu. Meski mungkin saja takdir berkata kita berjodoh atau tidak, aku tetap bahagia pernah mencintaimu meski dalam diamku.

Dari jauh tampak Lula sedang dibonceng seorang lelaki menggunakan motor,  ia berpakaian terbuka, rok pendek dan baju kaos tak berlengan, wajah yang penuh polesan make up, berhenti tepat di depan rumah, lelaki itu langsung pergi setelah melambaikan tangan kepada Lula.

"Siapa itu? Kamu dari mana aja?" Cercaku langsung dengan berbagai pertanyaan.

"Mau tau aja, bukan urusan Kaka !" Jawabnya ketus sambil berlalu masuk kerumah tanpa salam dan permisi.

"Lula tunggu!"

"Apa lagi !"

"Kamu dengan siapa tadi, Jawab pertanyaan Kaka !"

"Gak penting, terserah Lula dong mau jawab atau enggak, Lula capek mau istirahat." Ia masuk ke kamar dan langsung membanting pintu.

Aku mengetuk pintunya beberapa kali, namun tak di hiraukan nya. Lama-lama aku yang bisa stress kayak gini akibat ulahnya.

Rasanya kesal sekali, ingin ku lampiaskan semua emosi ini, tapi tak bisa, aku hanya mampu memendamnya. Ingin sekali rasanya berteriak, mengamuk, mengeluarkan semuanya yang membuat dada ini sesak, tapi sekali lagi kondisi tidak mengizinkannya, sehingga hanya air mata yang bisa mengungkapnya.

Suara Lula tertawa terbahak terdengar jelas dari dalam kamarnya. Aku mendekatkan telingaku sampai menempel di dinding pintu kamar Lula, terdengar Lula yang sepertinya sedang berbicara dengan seseorang, mungkin lewat telepon. Aku tak paham apa yang mereka bicarakan, yang bisa kutangkap hanya ucapan dari Lula. Ia mengatakan "Selebgram, YouTube dan video viral".

Aku terkejut ketika handphone yang ku pegang dari tadi bergetar dan mengeluarkan bunyi.

"Ya Jamalu...ya Jamalu…" ternyata saat ku lihat panggilan dari nomor yang tertera di layarnya tertulis nama Annisa.

'Assalamualaikum sa, ada apa?' tanyaku kepada sahabatku itu.

'Wa'alaikumussalam Din, kamu udah buka sosmed?' tanyanya langsung membuatku bingung, tumben dia menanyakan hal itu.

'Belum, emang kenapa?'

'Beneran kamu gak tau Din.'

'Iya beneran sa, memang ada apa sih?' Telepon dari Annisa membuatku penasaran. Berita apa yang ada di sosmed.

'Lula viral Din'

'Viral, maksudnya?' Aku bertanya lagi, seolah tak percaya apa yang dikabarkan oleh Annisa.

'Coba deh kamu buka sosmedmu, dia masuk Tribun.'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status