Share

Bab 4: Harta Yang Paling Berharga

"Harta yang paling berharga adalah keluarga

Istana yang paling indah adalah keluarga

Puisi yang paling bermakna adalah keluarga

Mutiara tiada tara adalah keluarga

Selamat pagi Emak

Selamat pagi Abah

Mentari hari ini berseri indah

Terima kasih Emak

Terima kasih Abah

Untuk tampil perkasa bagi kami putra putri yang siap berbakti "

Lirik lagu harta berharga yang dinyanyikan oleh artis Bunga Citra Lestari itu, terngiang di kepalaku, padahal lagu itu baru saja kudengar beberapa hari ini, ketika tetanggaku menyalakan musik dengan suara yang nyaring bunyinya sampai menggema di rumahku.

Setelah pulang dari bank untuk mengambil uang transferan konsumen kemarin, dan mengurus pembuatan ATM, aku singgah sebentar di toko Bu Minah, untuk membeli roti kesukaan ibu.

"Eh Dinda, mau beli apa?" sapa Bu Minah dengan ramah.

"Beli roti coklat ini Bu," kataku sambil menunjukkan roti coklat yang kupegang, aku mengambil 3 roti coklat kesukaan ibu dan Lula, mereka pasti senang.

"Oh itu, satunya  Rp.3500 Din, biar untuk kamu ibu kasih 3, Rp.10.000 aja," sahut Bu Minah

"Jangan Bu, nanti Ibu gak ada untungnya."

"Gak papa, sekali-kali aja boleh tuh." Senyum Bu Minah.

"Terima kasih banyak Bu, oh ya sekalian, aku mau beli tepung, gula, margarin, telur sama perisa pandan dan coklat Bu." 

"Wah banyak banget Din, kamu mau bikin kue ya."

"Iya Bu, alhamdulillah, pesanan Uminya Dimas, katanya mau ada acara besok."

"Ibu kagum sama kamu Din, sudah cantik, pekerja keras, baik hati pula, andai ibu punya anak cowok yang dewasa udah ibu jodohkan sama kamu," goda Bu Minah.

"Ah Ibu bisa aja," sahutku dengan senyuman.

"Jadi semuanya totalnya berapa Bu?"

"Semuanya jadinya 80 ribu Din."

"Ini Bu uangnya." Aku menyerahkan uang 100 ribu satu lembar, kemudian Bu Minah memberikan uang 20 ribu sebagai kembaliannya.

Kucek semua barang yang telah kubeli, setelah kurasa cukup aku kembali mengayuh sepedaku menuju ke rumah.

"Assalamualaikum," sapa ku, setelah beberapa kali mengetuk pintu depan. Tak ada yang menyahut, aku menengok ke jendela Lula yang terbuka. Ternyata Lula tertidur di kamarnya, dengan headset yang masih terpasang di telinga. Aku berusaha membangunkannya dari balik jendela kamarnya, beberapa kali kupanggil namanya namun ia tak bangun juga. Rumah tampak sepi, aku jadi khawatir dengan keadaan ibu.

"Lula … Lula bangun," teriakku dari balik jendela.

Rupanya suaraku sama sekali tak dapat membangunkannya, akhirnya aku berinisiatif mengambil batu kecil dan kulempar hingga mengenai kayu ranjang tidurnya, Lula terkejut mendengar bunyi itu, ia bangun dan mencari asal bunyi yang membangunkannya. Aku memanggilnya langsung.

"Lula buka pintunya!"

Matanya menatap ke arah jendela di mana aku berada, tatapannya tajam, ada warna kemerahan di sana, ia tampak kesal dan marah mengetahui bahwa akulah yang telah membangunkan tidur siangnya.

"Ganggu Lula tidur aja, iya sebentar!" sahutnya dengan wajah ketidaksenangan.

Akhirnya pintu dibukakan, aku masuk dan mengucap salam namun tak ada jawaban.

"Salam itu wajib dibalas Lula, karena itu hak seorang muslim untuk muslim lainnya" 

"Kaka ini baru datang udah ceramah, Lula ngantuk !" bantah nya dengan mulut yang menganga akibat menguap.

"Ko sepi, Ibu mana?" tanyaku langsung.

"Tu tidur dikamarnya," sahut Lula.

"Mana uang 50 ribunya Kak, kan aku sudah jaga Ibu." Ia mengulurkan tangannya, sambil mendesak.

"Iya tunggu sebentar, aku mau liat Ibu dulu."

Aku beranjak pergi ke kamar ibu yang bersebrangan dengan kamar Lula, tampak ibu tertidur lelap dengan posisi duduk.

"Tumben Ibu tidur jam segini, biasanya ia pasti meminta makan atau berbicara sendiri kalau tidak ia bernyanyi dan bersenandung," Batinku.

Aku merogoh kantong yang ada di jaket pemberian ayah dulu, mengambil uang 50 ribu, dan memberikannya kepada Lula.

"Dari tadi kek uangnya di kasih, jadi kan aku bisa cepat beli skincare," sahut Lula, bukannya berterima kasih ia malah mengumpat.

"Ini aku bawakan roti coklat kesukaan kamu dan Ibu"

"Iya, taruh aja disana, nanti aku bisa ambil sendiri."

"Kamu mau kemana?"

"Mau keluarlah, beli skincare, aku gak mau wajahku kusam kayak wajah Kaka, mana ada nanti orang yang suka kalau wajah gak terawat."

"Wajah cantik karena make up dan skincare banyak Lula, tapi hati yang cantik itu susah dicari, apalagi wajah cantik ditambah hati cantik langka itu"

Lula tak merespon ucapanku, ia kembali ke kamar. Tak lama kemudian ia keluar dengan menggunakan kaos lengan pendek dan celana jeans pendek sampai lutut, rambut yang terurai, serta bau parfum yang sangat menyengat.

"Aku pergi dulu keluar Kak."

"Tunggu!"

"Ada apa lagi?"

"Pakai jilbab Lula, sebagai seorang muslimah jilbab wajib dipakai, itu perintah Allah bukan perintah Kaka."

"Malas ah … gerah, panas."

"Jangan begitu, kalau kamu sayang ayah, setiap kamu keluar rumah pakai pakaian tertutup dan jilbab, karena jika seorang anak perempuannya menutup aurat maka berkurang beban ayah saat ditanya dihadapan Allah nanti."

"Kaka bawel banget sih, pakai bawa ayah segala lagi," jawabnya dengan tatapan penuh kekesalan, pergi berlalu begitu saja, apa yang kuucapkan bak angin yang menerbangkan kapas begitu ringan dan tak berguna baginya.

Aku menghela nafas panjang dan berat, kapan Lula bisa berubah, aku rindu Lula kecil yang sopan, berkata lemah lembut, rupanya kemiskinan mampu membuatnya berubah sedemikian rupa.

Suara ibu membuatku tersadar, ia mengamuk sambil berucau dengan kata-kata yang tidak bisa kumengerti.

"Ibu… ibu ini Dinda." Aku mencoba menenangkan ibu dengan mengusap lembut rambutnya.

"Lapar … lapar !" Teriaknya.

"Ada roti kesukaan ibu." Aku mengambil roti yang kubelikan di warung Bu Minah tadi, berusaha menenangkan ibu.

Ibu langsung mengambil roti yang ada di tanganku, dan memakannya begitu lahap, seperti orang yang tidak diberi makan selama sehari.

Aku ke dapur mencek makanan yang ada di sana, ternyata masih ada telur dan mie goreng yang masih tertata seperti pagi tadi, seakan tak ada yang menyentuh untuk memakannya, utuh seperti semula sebelum ku pergi. apakah ibu tidak dikasih makan sama Lula?.

Tiba-tiba mataku tertuju pada salah satu sudut dapur dekat dengan tempat aku menaruh bumbu-bumbu masakan, di sana tampak satu bungkus obat yang sudah terbuka. Aku mengambil bungkus obat itu, mengamati bungkusnya yang tertera nama "triazolam".

"Obat apa ini," pekik ku dalam hati.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status