Home / Rumah Tangga / Adikmu Bukan Adikku Mas / Bab 3 Kedatangan Parasit

Share

Bab 3 Kedatangan Parasit

Author: Reg Eryn
last update Last Updated: 2022-10-26 10:37:55

 

 

Prang!

 

Meja kaca dihadapanku hancur lebur berantakan. Mas Dendi baru saja mengangkat dan membantingnya.

 

 

"Heiiii! Kamu marah jangan coba-coba banting barangku, ya! Kamu pikir belinya pake daun jambu?" teriakku.

 

Meja yang kubeli dengan jerih payahku harus hancur seperti ini!

Enak sekali dia.

 

"Aku, tak peduli!" pungkasnya. Dia lalu berjalan menuju kamar tanpa membereskan hasil perusakannya. 

 

Enak saja dia! Sudah menghancurkan, main tinggal begitu aja. Emang dipikir aku sudi untuk membereskan ini semua?

 

Minta dibina ini suami. Jika tidak bisa dibina, maka harus dibinasakan.

 

Kuikuti dia masuk ke dalam kamar. Kita sambung perkelahian ini. Biar tahu punya istri macan sepertiku.

 

"Mas! Bereskan itu ulahmu!" teriakku di ambang pintu.

 

Kulihat dia bergeming.

 

"Mas, punya telinga nggak? Beresin itu hasil perbuatanmu," kataku lagi. Sekarang aku sudah berada di hadapannya.

 

Dia masih tetap diam, duduk di atas kasur. Kutarik pergelangan tangannya. Dia bangkit dan mengikutiku.

 

Setelah mencapai depan pintu, langsung saja kudorong tubuhnya agar lebih menjauh dari kamar.

 

Lalu aku berlari dan masuk ke dalam kamar. Tak lupa mengunci pintu.

 

"Bereskan itu semua. Dan malam ini, kau tidur di luar bersama nyamuk-nyamuk nakal itu!" teriakku dari dalam. Agar dia mendengarnya.

 

"KETERLALUAN KAU MELIAAAA!" teriaknya frustasi.

 

Hahahah. Rasakan!

 

Berani membentakku dan hampir menamparku demi adiknya, maka harus siap tidur bersama nyamuk!

 

Aku berbaring di kasur. Tak kuhiraukan teriakkannya. Lebih baik tidur, besok harus bangun dan berbelanja orderan para reseller.

 

*

 

Pagi...

 

Sudah jam 7 pagi, aku juga sudah selesai memasak untuk sarapanku sendiri.

 

Untuk Mas Dendi, sengaja tak kusiapkan. Biarkan saja dia membeli makan menggunakan uangnya. Mulai sekarang, tidak akan ada lagi sarapan yang tersedia jika ia hanya memberikanku uang satu juta yang hanya bertahan sepuluh hari.

 

Jika dia bisa hura-hura untuk keluarganya, maka aku harus tega padanya.

 

Tadi aku sempat mengecek ruang tamu, dan ternyata serpihan kaca sudah bersih. Tak ada lagi berserakan di lantai.

 

Mas Dendi juga kulihat tidur nyenyak di sofa. Sebenarnya ada kamar yang satunya, tapi belum ada kasurnya. Jadi tidak mungkin dia mau tidur di lantai.

 

"Mana sarapanku?" tanyanya menatap meja yang hanya tersedia nasi goreng yang sedang kulahap.

 

Malas menjawabnya. Aku tetap diam saja. Pertengkaran tadi malam, membuat moodku memburuk.

 

"Kau, punya telinga kan, Mel?" bentaknya mulai emosi.

 

"Nggak ada sarapan. Uangmu nggak cukup untuk membeli bahan makanan sampai sebulan," ujarku santai.

 

"Kan masih ada uangmu? Pakai saja dulu untuk membelinya!" serunya.

 

"Sudah kubeli. Tapi hanya untukku, bukan untukmu. Karena tidak ada ceritanya istri menafkahi suami. Apalagi suaminya mampu seperti kamu!" sahutku, lalu kembali menyuapkan nasi.

 

"Akkhh. Aku lapar, mau berangkat kerja! Masa tidak sarapan sih!" gerutunya.

 

"Mau bagaimana lagi. Uangmu kan nggak cukup untuk membelinya." Aku kembali menyuapkan nasi goreng di hadapanku hingga tandas.

 

"Melia ... Kau memang benar-benar keterlaluan!" geramnya. Giginya sudah saling beradu. Mungkin emosinya sudah kembali ke ubun-ubun.

 

Sabodo! 

 

Emang gue pikirin!

 

Lebih baik kutinggalkan saja dia.

 

"Melia Dwirahma...." Dia kembali berteriak lebih kencang. Mungkin meluapkan emosinya.

 

Aku mempercepat jalan menuju motor. Hari ini terlalu banyak barang yang akan kubawa. Tak sempat meladeni suami sepertinya.

 

Kupacu motor dengan kecepatan sedang. Setelah satu jam lebih, aku sampai di tempat tujuan. Pasar Sambu, tempatnya berbelanja pakaian serba lengkap.

 

Semua barang yang kucari sudah kudapatkan, dan sudah kususun di atas keranjang.

 

Tidak punya mobil, jadi harus menggunakan kendaraan yang apa adanya. Meskipun muatan melebihi kapasitas. Menggunung tinggi, bahkan sama tinggi seperti posisi dudukku. Kanan kiri keranjang, sudah dipenuhi karung yang berisi pakaian.

 

Kadang, jika tidak bisa membawanya sekaligus, aku akan menitipkannya pada angkot, atau becak online.

 

Aku tidak melewati jalan raya, karena takut kena razia. Jadi dengan pelan-pelan kususuri jalan tikus yang berada di kota medan ini.

 

Tak masalah lambat, yang penting selamat.

 

Orang jawa bilang, "Alon-alon asal kelakon."

 

Saat sudah bermuatan seperti ini, aku akan mengendarai sepeda motor ini dengan kecepatan sangat pelan. Takut menyenggol para pengguna jalan yang lain.

 

Bisa habis aku kalau sampai melukai mereka.

 

Bokon9 rasanya sudah sangat panas, kebas. Untungnya aku sudah sampai lagi di rumah. Sudah jam satu siang. Ternyata aku berbelanja cukup lama juga.

 

Kulihat pintu rumah masih terbuka. Berarti Mas Dendi masih berada di rumah. Apakah dia tidak bekerja?

 

Motor kuparkirkan di halaman depan gudang tempatku mempacking barang. Kebetulan posisinya tepat di samping rumahku, berdempetan.

 

Sepatu siapa ini? Mas Dendi mana punya sepatu seperti ini.

 

"Udah, di sini aja kau. Nanti hapemu abang belikan." Suara suamiku sepertinya sedang berbicara dengan seseorang.

 

"Benar ya, Bang!" Itu suara Rama. Bisa-bisanya dia sudah sampai sini.

 

"Ekhem!" Pura-pura aku berdehem agar mereka tahu keberadaanku.

 

Rama dan Mas Dendi hanya melihatku sekilas. Bahkan adik iparku yang tampannya seperti Dude Harlino, jika dilihat dari lubang pipet, tidak menyapa ataupun menyalamiku.

 

Dasar!  Tak tahu toge!

 

Aku berjalan melewati mereka yang sedang duduk di ruang tamu. Haus rasanya melihat kelakuan mereka.

 

"Mel, Rama mau tinggal di sini untuk mencari kerja-"

 

"Uhukk!" Aku langsung terbatuk saat dia belum menyelesaikan kalimatnya. Ternyata suamiku menyusulku ke dapur hanya untuk mengatakan ini.

 

Oh, kita lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan pada adik benalumu itu!

Enak saja main datang lalu numpang! Emang dia pikir di sini tempat penampungan? 

 

 

Bersambung

 

 

Tinggalkan jejak di bawah ya..  😉😉

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
Diana Susanti
astaghfirullah,,, kok sama persis,,,, uangku perhiasan waktu masih bujang sama suamiku juga dipinjam untuk bangun rumah tepat nya untuk beli genteng
goodnovel comment avatar
Syamsimar Burhan
Assalamualaikum,... Klu dlm agama mmg benar... bahwa Suami wajib menafkahi Istrinya.
goodnovel comment avatar
Alex Sudjudi
jejak telapak kaki, sandal atau sepatu ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Adikmu Bukan Adikku Mas   Bab 46

    "Mel, maafkan aku!" ujar lelaki yang ternyata Mas Dendi.Semenjak kejadian dia bertengkar dan adiknya ditangkap polisi, aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Mengapa sekarang dia muncul lagi dihadapanku?Aku heran, darimana dia tahu aku tinggal di sini. Padahal, selama pindah, tak pernah sekalipun aku memberi tahunya tinggal di mana.Apa jangan-jangan dia memata-mataiku?"Maaf, untuk apa?" tanyaku malas.Malas jika harus bertemu dengannya. Malas segalanya bila berurusan dengan yang namanya mantan. Jika sudah menjadi mantan, maka semuanya telah usai bagiku."Untuk segala yang sudah kulakukan padamu dulu. Aku menyesal telah melepaskanmu demi adik tak tahu diri itu!" ucapnya dengan mimik wajah yang penuh dengan penyesalan.Semuanya sudah terlambat. Untuk apa lagi dia meminta maaf. Toh, tidak akan merubah segalanya yang sudah terjadi."Sudahlah. Lagi pula, semuanya sudah berlalu.""Tapi, aku benar-benar menyesal, Mel. Bila waktu bisa diputar kembali. Aku, ingin memperbaiki segalanya. Dan

  • Adikmu Bukan Adikku Mas   Bab 45

    Sesuai dengan ucapannya. Bang Ilyas membawaku dan Karin melihat rumah baru kami. Hari ini, dia libur bekerja karena sudah berjanji untuk melihat-lihat rumah tersebut. Dan jika cocok, maka langsung bayaran.Rumah ini cukup besar. Apalagi jika hanya untuk kami berdua tinggal. Bahkan menurutku, terlalu besar. Hanya rumah, sementara ruko seperti yang kami bicarakan sebelumnya, tidak ada."Rumah dulu, Dek. Nanti, kita bangun ruko di samping. Tanahnya juga kebetulan masih luas." Bang Ilyas, seperti bisa membaca isi hatiku. Tanpa aku berbicara, dia sudah mengatakan yang baru saja kupikirkan."Iya, gimana bagusnya aja, Bang." Aku tersenyum."Cantik kali ini, kalau jadi rumahmu, Kak!" ucap Karin takjub.Karena di depan abangnya ini, makanya dia panggil Kak. Coba kalau nggak, udah pasti aku, kau."Iya, aku suka kali rumah ini. Cocok untuk buka usaha juga. Depan langsung jalan besar.""Iya, kan. Bisa buka toko sekalian jualan online ini," ucap Karin sambil terus berkeliling untuk melihat-lihat.

  • Adikmu Bukan Adikku Mas   Bab 44

    "Lelaki itu, adiknya Dendi, Dek?" tanya suamiku, melihat kepergian dua makhluk yang tak bisa disebutkan jenisnya itu."Iya," jawabku singkat padat dan jelas.Malas bahas manusia tak tahu diri itu. Bikin nambah dosa aja."Kok, mereka tega sih, main belakang begitu?" tanyanya lagi.Kok tumben suamiku ini mengurusi kehidupan orang. Kalau aku sih malas."Nggak tau, Bang. Mungkin mereka dibutakan oleh hawa nafsu. Ah, udahlah, malas bahas mereka. Ayo, kita balik ke penginapan aja." Aku menarik tangannya pelan dan membawanya berjalan menuju tempat istirahat kami.Gara-gara ketemu mereka jadi bad mood deh. Hemmmm...Udah nggak semangat untuk jalan-jalan. Pengen cepat pulang aja deh."Abang, udah dapat rumah yang pas untuk kita pindah, Dek!" ucapnya saat kami masih melangkahkan kaki beriringan.Syukurlah, akhirnya bisa menjauh dari mereka semua yang selalu bikin rusuh.Berjalan sambil mengobrol begini, setidaknya bisa mengurangi rasa jengkelku pada Rama dan Ratna.Mereka yang ketahuan selingku

  • Adikmu Bukan Adikku Mas   Bab 43

    Tak salah lagi. Itu memang Ratna. Dia melihat ke arahku, dan Aku sepontan menutup sebagian wajah dengan menggunakan hijab yang menjuntai. Sengaja membentuknya seperti cadar agar dia tak mengenaliku.Nanti, dia berpikir pula kalau aku sengaja membuntutinya. Padahal, nggat tau sama sekali kalau dia juga sedang berada di sini. Dan parahnya bersama adik iparnya sendiri.Mereka berdua berjalan mendekat ke arahku, dengan Ratna yang bersandar pada bahu Rama.Kalau Bang Ilyas datang ke sini, bisa hancur penyamaranku ini.[Abang, tolong ke penginapan dulu, ambilkan jaket. Adek sedikit kedinginan nih!] aku mengirimkan pesan pada suamiku. Sengaja mengulur waktu agar tak bertemu dengan kedua manusia lucknut ini.[Oke, sayang. Ditunggu, jangan kemana-mana.] balasnya.Kedua makhluk tak tahu diri itu terus berjalan mendekat ke arahku. Kebetulan, bangku yang kududuki masih luas dan kosong.Tamatlah riwayatku. Mereka duduk di sampingku. Sekitar satu meter dari tempat dudukku."Aku, terlalu bosan denga

  • Adikmu Bukan Adikku Mas   Bab 42

    Aku tersenyum saat suamiku menyentuh tanganku. Aku tau kalau dia tidak suka aku berdebat dengan tantenya."Jangan Marah gitu dong, tan. Aku kan cuma bercanda. Jangan dibawa serius ah!" kilahku."Halah! Nggak usah banyak kali alasanmu!" serunya emosi."Udah tante, jangan emosi. Nanti naik loh, gula darahnya! Ayo, Bang. Kita berangkat!" Aku mengalihkan pembicaraan, karena yakin Bang Ilyas tak suka dengan pertdebatan kami."Abang, masih lama menginap di rumah tante?" tanya Saras memulai percakapan, setelah beberapa saat terdiam."Belum tau, kenapa?" tanya suamiku."Nggak apa. Kalau masih lama, aku kan bisa main lagi ke sana," ujar Saras."Kayaknya, kalau nggak besok atau nanti sore, kami udah pulang sih, Ras. Soalnya pengen honeymoon!" Aku ikut menanggapi obrolan mereka.Padahal, tak ada rencana honeymoon. Ini hanya alasan biar si Saras semakin kepanasan. Dia pasti tak suka melihatku menikmati hidup bersama suamiku.Bang Ilyas menoleh ke arahku. Wajahnya seperti ingin bertanya. Karena se

  • Adikmu Bukan Adikku Mas   Bab 41

    "Eeehhh. Mau ngapain, Bang?" Aku terus beringsut mundur saat Bang Ilyas mendekat."Mengulang yang tadi malam," ucapnya santai."Isshhh. Udah terang gini. Nanti dipanggil sarapan sama yang lain gimana?" protesku, mencoba mendorongnya."Udah, biarkan aja mereka sarapan duluan." Dia tetap kekeuh melanjutkan aksinya.Ngeyel banget sih, Bang!Tok! Tok! Tok!"Ilyas! Ayo sarapan!" panggil Mama.Bang Ilyas menghentikan aksinya dan mengacak rambutnya asal."Hmmm... Mama datang di saat yang tidak tepat. Padahal anaknya sedang berusaha memberikannya cucu!" omel suamiku lucu sekali. Aku cekikikan melihatnya."Nanti Ilyas dan Melia menyusul. Mama dan yang lain, lanjutkan aja sarapannya!" ujar suamiku dengan sedikit berteriak."Nggak bisa dong, Nak. Tante Yulia dan Saras akan pulang pagi ini. Jadi kita sarapan bersama dulu!" ujar Mama lagi. Wah, ternyata mereka tahu diri juga. Kupikir mau sampai aku dan suamiku pergi dari sini, baru mereka pulang.Tak perlu lah, tarik urat sepanjang hari. Karena p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status