Sesuai dengan ucapannya. Bang Ilyas membawaku dan Karin melihat rumah baru kami. Hari ini, dia libur bekerja karena sudah berjanji untuk melihat-lihat rumah tersebut. Dan jika cocok, maka langsung bayaran.Rumah ini cukup besar. Apalagi jika hanya untuk kami berdua tinggal. Bahkan menurutku, terlalu besar. Hanya rumah, sementara ruko seperti yang kami bicarakan sebelumnya, tidak ada."Rumah dulu, Dek. Nanti, kita bangun ruko di samping. Tanahnya juga kebetulan masih luas." Bang Ilyas, seperti bisa membaca isi hatiku. Tanpa aku berbicara, dia sudah mengatakan yang baru saja kupikirkan."Iya, gimana bagusnya aja, Bang." Aku tersenyum."Cantik kali ini, kalau jadi rumahmu, Kak!" ucap Karin takjub.Karena di depan abangnya ini, makanya dia panggil Kak. Coba kalau nggak, udah pasti aku, kau."Iya, aku suka kali rumah ini. Cocok untuk buka usaha juga. Depan langsung jalan besar.""Iya, kan. Bisa buka toko sekalian jualan online ini," ucap Karin sambil terus berkeliling untuk melihat-lihat.
"Mel, maafkan aku!" ujar lelaki yang ternyata Mas Dendi.Semenjak kejadian dia bertengkar dan adiknya ditangkap polisi, aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Mengapa sekarang dia muncul lagi dihadapanku?Aku heran, darimana dia tahu aku tinggal di sini. Padahal, selama pindah, tak pernah sekalipun aku memberi tahunya tinggal di mana.Apa jangan-jangan dia memata-mataiku?"Maaf, untuk apa?" tanyaku malas.Malas jika harus bertemu dengannya. Malas segalanya bila berurusan dengan yang namanya mantan. Jika sudah menjadi mantan, maka semuanya telah usai bagiku."Untuk segala yang sudah kulakukan padamu dulu. Aku menyesal telah melepaskanmu demi adik tak tahu diri itu!" ucapnya dengan mimik wajah yang penuh dengan penyesalan.Semuanya sudah terlambat. Untuk apa lagi dia meminta maaf. Toh, tidak akan merubah segalanya yang sudah terjadi."Sudahlah. Lagi pula, semuanya sudah berlalu.""Tapi, aku benar-benar menyesal, Mel. Bila waktu bisa diputar kembali. Aku, ingin memperbaiki segalanya. Dan
[Bang, kirimkan aku uang. Untuk beli ponsel]Pesan masuk dari adik suamiku. Aku sengaja mengintip sekilas, saat Mas Dendi membuka pesannya di sampingku.Enak saja dia meminta uang untuk beli ponselnya. Memangnya suamiku gudang duit!Kulihat suamiku mengetik, mungkin balasan pesan untuk adaiknya. Wajah Mas Dendi sedikit berubah."Kenapa, Mas?" tanyaku pura-pura penasaran."Mmmm, ini si Rama minta dibelikan hape baru," jawabnya sambil menggaruk tengkuk."Oh, Hape apa?" tanyaku lagi penasaran. "Minta merk Samsul, yang ini." Dia menunjukkan gambar di ponselnya.Uwawww... Ponsel seharga lima juta? Enak sekali hidupnya, ponsel semahal itu tinggal minta. Gaji abangnya sebulan juga bakal habis cuma untuk membelinya. Aku hanya melihat sekilas, lalu kembali duduk ke posisi semula tanpa berbicara sepatah kata pun."Belikan, ya, Dek! Cuma lima juta, kok." pintanya memelas."Ya, terserah kamu. Kalau kamu ada uang, dibelikan. Kalau nggak ada uang mau bagaimana lagi?" jawabku santai."Uang, Mas. K
Part 2Enak sekali dia meneriaki aku. Sudah bagus aku membantunya mencari nafkah. Agar kehidupan semakin meningkat. Eehhh seenaknya pula dia mau menghamburkan uang untuk adik lelakinya yang tak tahu malu itu."Memang, keterlaluan, Kau!" Tangannya melayang ke udara hendak menamparku."Apa? Mau menamparku, kau? Tampar nih!" Aku memiringkan sedikit kepala agar dia leluasa menamparku."Ayo cepat, tampar!" teriakku masih dengan posisi yang sama.Aku tidak dapat melihat wajahnya karena posisiku masih miring. Karena tak kunjung ada pergerakkan darinya, aku mencoba untuk melihatnya. Wajahnya merah padam. Mungkin menahan emosi. "Kau ingat ini! Sampai berani kau sentuh sedikit saja kulitku ini. Siap kau jadi duda!" teriakku tepat di wajahnya. Tangan Mas Dendi terkepal kuat.Bugh!Dinding di sampingku ia tonjok dengan kepalannya. Aku jelas terkejut. Tapi segera kunetralkan, agar terkesan tidak tukut padanya. Bagaimanapun dia lelaki, tenaganya pasti lebih kuat dibandingkan aku. Jika melawannya
Prang!Meja kaca dihadapanku hancur lebur berantakan. Mas Dendi baru saja mengangkat dan membantingnya."Heiiii! Kamu marah jangan coba-coba banting barangku, ya! Kamu pikir belinya pake daun jambu?" teriakku.Meja yang kubeli dengan jerih payahku harus hancur seperti ini!Enak sekali dia."Aku, tak peduli!" pungkasnya. Dia lalu berjalan menuju kamar tanpa membereskan hasil perusakannya. Enak saja dia! Sudah menghancurkan, main tinggal begitu aja. Emang dipikir aku sudi untuk membereskan ini semua?Minta dibina ini suami. Jika tidak bisa dibina, maka harus dibinasakan.Kuikuti dia masuk ke dalam kamar. Kita sambung perkelahian ini. Biar tahu punya istri macan sepertiku."Mas! Bereskan itu ulahmu!" teriakku di ambang pintu.Kulihat dia bergeming."Mas, punya telinga nggak? Beresin itu hasil perbuatanmu," kataku lagi. Sekarang aku sudah berada di hadapannya.Dia masih tetap diam, duduk di atas kasur. Kutarik pergelangan tangannya. Dia bangkit dan mengikutiku.Setelah mencapai depan pin
Oh, kita lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan pada adik benalumu itu!Enak saja main datang lalu numpang! Emang dia pikir di sini tempat penampungan? "Kenapa harus tinggal di sini? Dia kan bisa ngekost!" protesku padanya.Aku tidak bisa menerima adiknya untuk tinggal di sini. Malas jika harus direpotkan dengan kehadirannya."Rama belum ada uang, Mel. Makanya biarkan dia tinggal di sini dulu," jelasnya. Selalu saja mengatakan belum punya uang! Jadi selama hidupnya, apa saja yang sudah dilakukannya. Sampai-sampai tak punya uang!Begini, jika terlalu dimanja. Baru kerja seminggu, tidak betah, langsung disuruh pulang.Bekerja sedikit berat, langsung menyerah, dan mengatakan nggak sanggup.Jika bisa sobek, kurasa sudah sobek mulut ini dari dulu karena menasehati suamiku. Padahal sudah kubilang, biarkan saja adiknya itu bekerja. Agar bisa lebih mandiri dan bertanggung jawab atas dirinya dan pekerjaan. Tapi selalu saja dibela. Nggak abangnya, nggak Ibunya, nggak Kakaknya semua selalu
Aku masuk ke dalam kamar untuk mengambil kunci gudang. Mas Dendi sudah tidak lagi mengikutiku.Biarkan saja mereka berdua kelaparan. Masa lelaki tidak bisa berpikir dan berusaha untuk mengisi perutnya. Mau hutang kek, mau mencuri kek, terserah!Entah pernikahan apa yang kujalani saat ini. Sepertinya sudah sangat jauh dari kata harmonis.Setelah mengambil kunci, aku berjalan keluar melewati ruang tamu. Kebetulan pintu gudang hanya bisa dibuka dari depan. Bangunan berukuran 3x4 meter hanya memiliki satu pintu di depan. Cukuplah untuk menampung barang daganganku.Mas Dendi dan Rama duduk dengan bibir dimonyongkan di sofa. Mungkin sebal karena tidak kuberi uang untuk membeli makanan.Kulewati saja mereka setelah meliriknya sekilas. Pekerjaanku lebih penting dibandingkan mengurusi mereka berdua. Udah tua ini 'kan! Aku membuka gudang lebar, agar bisa memaskukkan barang dengan leluasa. Di dalam juga sudah sangat banyak pakaian yang belum diambil oleh reseller. Mungkin sore ini mereka akaan
"Memang bod*h kau! Kodrat wanita itu, harus melayani suaminya! Termasuk mencuci, memasak, dan membersihkan rumah!" terangnya, sok pintar.Ini, tipe orang yang sekolah hanya datang lalu pulang. Ilmunya nggak nyampe di benak. Bisa-bisanya mengatakan pekerjaan rumah tangga adalah kodrat wanita. Apa dia tidak tahu apa itu kodrat?"What? Belajar ilmu agama dari mana kau rupanya?" tanyaku, melihat sinis ke arahnya. Aku menarik napas kasar. Menjelaskan padanya butuh tenaga ekstra. Apalagi dengan manusia sejenis kadal."Mencuci, memasak, dan membersihkan rumah, itu bukan kodrat wanita. Keong sawah! Kodrat wanita itu, hanya ada 4. Menstruas*, hamil, melahirkan dan menyusui. Selebihnya itu, bukan kodrat!" imbuhku menjelaskan. Agar lelaki seperti dia tau mana kodrat, mana bukan."Nggak usah mengguruiku, kau!" sungutnya berkacak pinggang. Napasnya kembang kempis, sepertinya menahan amarah.Mau berdebat sampai gimana, tetap gue jabani! Loe jual gue beli!"Lah, kau itu o*n, atau beg*? Ngatain aku b