Share

BAB 2

Janu harus berterimakasih pada Abin. Atau lengkapnya, Bintang. Gadis dengan kacamata bulat yang mendapat predikat sebagai murid terbaik di satu angkatan.

Abin, adalah satu satunya teman yang Aletta punya. Walaupun dari luar penampilan mereka tidaklah cocok. Faktanya, hanya Abin-lah yang berhasil menarik gadis itu untuk pulang alih alih terus menekan Janu untuk menjawabnya.

Mengenai kehamilan Aletta, tentu saja Abin tau. Hal itu benar benar terlihat jelas untuk Abin, bahkan sebelum Aleta memeriksanya secara resmi. Mudah saja. Aletta yang biasa selalu menggerai rambutnya, akhir akhir ini sering di cepol asal asalan. Pipi Aletta yang biasa merah merona karena make up tipis yang selalu gadis itu gunakan sehari hari, tiba tiba tampak pucat. Aletta bahkan tidak menggunakan pensil alis. Dan yang paling mencolok, akhir akhir ini Aletta suka sekali memakai jaket kebesaran yang sebagian besar itu milik Janu.

Abin yakin selain dirinya, banyak teman sekelasnya yang juga merasa curiga akan perubahan penampilan Aletta yang terlalu drastis. Selain itu, Aletta juga jadi sinis. Gadis itu memang asalnya galak. Namun, kali ini rasanya berkali kali lipat.

Terutama pagi ini, Aletta bahkan menjerit kesal hanya karena pundaknya tersenggol. Wajah gadis itu juga tampak sangat pucat, pelipisnya juga basah karena keringat. Abin sebagai satu satunya teman yang Aletta miliki, ikut merasa resah. Terlebih saat gadis itu pamit untuk menemui Janu di warung belakang sekolah.

Untungnya, Abin menarik Aletta di waktu yang tepat. Di saat Aletta mengatakan ia akan bunuh diri, gadis itu hendak mengambil gunting yang tergantung tak jauh dari posisinya. Dengan gerakan kasar, Abin langsung menarik gadis itu ke arah parkiran. Memaksa Aletta untuk masuk ke dalam mobilnya, yang lalu membawa keduanya ke arah rumah Aletta.

Di kursi penumpang, Aletta terisak hebat. Tak sekali gadis itu meraung, mengatakan bahwa ia ingin mati daripada harus hidup dengan bayi di perutnya.

“Ta, sadar dong. Kamu gaboleh kaya gini!” bentak Abin, di tengah kegiatan menyetirnya.

“Gue mau mati aja, Bin. Gue gamau hidup!” ujar Aletta, di tengah isak.

Abin berdecak. Sedikit kesal karena Aletta dengan mudahnya mengucap kata mati.“Janu itu pasti Cuma kaget, aku yakin dia gak se brengsek itu! Kamu harus sabar, dia pasti bakal dateng ke kamu dengan sendirinya! Aku itu sepupu dia, Ta. Cuma dengan ngeliat dia setiap kali bareng kamupun, aku tau dia cinta banget sama kamu.”

“Cinta?” Aletta mengutip, isaknya kini lagi lagi bercampur dengan kekehan sinis yang di buat buat. “Lo masih bisa nyebut kata cinta, di saat lo denger Janu pengen gue bunuh bayi gue sama dia?!”

Diam. Mungkin sedari awal seharusnya Abin, bungkam dan membiarkan Aletta menangis sepuasnya sepanjang perjalanan. Karena perkatannya mengenai cinta tadi, tangis Aletta tiba tiba terhenti. Wajah gadis itu tampak datar, yang justru membuat Aletta tampak menyeramkan.

Setelahnya, Abin mencoba membuka percakapan. Membahas beberapa hal mengenai sekolah untuk mengalihkan perhatian Aletta. Abin juga menyalakan radio, membahas beberapa gosip di sekolah. Namun gadis itu tetap diam. Ia tidak menggubris ucapan Abin, dan hanya menoleh saat Abin memanggilnya. Abin pikir, Aletta sepertinya marah. Atau tersinggung, akan ucapan Abin yang terlalu lancang tanpa memikirkan posisi Aletta. Tapi, bukankah Abin benar? Satu satunya hal yang bisa menuntun Janu untuk menarik kata katanya hanyalah perasaan lelaki itu terhadap Aletta.

Hingga akhirnya mereka sampai di depan rumah Aletta, gadis itu hanya mengucapkan terimakasih dan membanting pintu dengan keras. Dalam hatinya Abin berdoa. Semoga Hanan dan Fatan, yang tadi ia seret untuk ikut dengannya, bisa menasehati Janu dengan benar hingga masalah ini cepat selesai. Abin jadi penasaran, kira kira sudah sejauh mana perbincangan mereka saat ini?

**

Sesuai rencana Abin, Fatan dan Hanan menemui Janu di tempat yang sama. Ketiganya duduk di bangku yang sengaja mereka tarik untuk saling berhadapan. Namun, mereka masih bungkam. Tak ada satupun dari mereka yang terlihat berniat membuka percakapan.

Hal itu di karenakana, Fatan dan Hanan takut akan Janu. Lelaki itu terkenal di sekolah sebagai pentolan atau panglima tempur. Itu karena seringnya Janu bertengkar di sekolah, bahkan memimpin tawuran.

“Lo berdua mau ngomong apa?” tanya Janu, menghembuskan nafasnya kasar.

Berbeda dengan ketika ia menghadapi Aletta. Kali ini Janu tampak lebih tenang. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke tembok yang tepat ada di belakang punggunnya. Menatap kedua temannya yang justru mematung di tempat. Padahal, Janu jelas jelas sudah bisa menebak alasan mereka menghampirinya.  “Kalau mau nasehatin gue, mending gausah. Gue tau apa yang harus gue lakuin.” saran Janu, menatap Hanan dan Fatan secara bergantian.

Hanan berdeham, mengumpulkan keberanian mengingat ia sudah berjanji pada Abin untuk membantu Aletta. Ia juga menegakan tubuhnya sebelum membuka suara. “Kalau boleh tau, apa rencana lo?”

Di sampingnya, Fatan hampir saja tertawa mendengar Hanan seperti sedang berbicara dengan guru saking tegangnya. Buru buru ia menggeleng menyadarkan pikirannya untuk serius, lalu ikut memasang wajah serius. “Bener, J. Lo bisa ngasih tau kita,” ujar Fatan meyakinkan.

“Sebelumnya makasih, tapi gue bisa urus ini sendirian,” tolak Janu, lagi. Lelaki itu menghembuskan nafasnya yang terasa begitu berat.

Ia tahu ini salahnya. Ia juga tahu, bahwa tidak sepantasnya ia mengatakan hal seperti tadi kepada Aletta. Sebenarnya, bukan tidak ingin Janu bertanggung jawab akan bayi itu. Seperti yang semua warga sekolah tahu hanya dengan melihat keseharian mereka. Janu itu, benar benar mencintai Aletta. Tak pernah sekalipun ia berniat mengkhianati gadis cantik itu.

Kecuali tragedi di toilet, Janu akui itu karena dia khilaf. Tapi, ia juga berfikir panjang. Ayahnya tidak mungkin menerima kejadian ini dengan mudah. Membayangkannya saja, Janu tidak sanggup.

“J, kalau rencana lo itu beli obat penggugur. Lo harus denger cerita gue terlebih dahulu,” usul Fatan tiba tiba. Lelaki bertubuh kurus itu, sukses menarik perhatian Janu.

“Obat penggugur? Lo tau emang bentukannya kaya gimana?” pertanyaan itu muncul dari Hanan, yang juga jadi pertanyaan Janu saat ini. Pasalnya, di bandingkan Janu dan Hanan, Fatan itu termasuk lelaki pendiam.

“Ya bukan gue, sih,” timpal Fatan, lalu bergerak untuk mencari posisi ternyaman sebelum akhirnya bercerita. “Tante gue pernah minum obat itu taun lalu, dia nyuruh gue ngambil obatnya karena enggak mau suaminya tau.”

Hanan ber oh ria tanpa suara. “Gue kira lo ngehamilin anak orang,” celetuk lelaki berkulit sawo matang itu.

“Gila kali lo,” maki Fatan tak terima. “Terus, dia cerita ke gue mungkin karena gue jadi satu satunya orang yang tau dia ngegugurin. Nah, katanya sakit banget. Rasanya hampir mirip kaya ngelahirin. Terus lo harus tau, J. Setelah minum obat, masalah lo ga selesai. Tante gue harus terus check up ke dokter karena takut janinnya ngebusuk di dalem perut. Paling parah nih ya, minum kaya gitu tuh bisa menyebabkan kematian!” jelas Fatan panjang lebar.

Janu mematung di posisinya. Suara Aletta yang menitahnya untuk membunuh gadis itu, mendadak terdengar di indra pendengarannya. Walaupun ia tidak siap menjadi seorang Ayah, bukan berarti Janu siap kehilangan Aletta.

“Jadi nih menurut gue-“ belum sempat Fatan melanjutkan, Janu tiba tiba bangkit. “Eh mau kemana lo?” sergah Fatan. Namun, ia dan Hanan kalah cepat.

“Kalau bokap gue nelfon lo, bilang kita mau bakar bakaran. Gue harus ngejar Aletta!” teriak Janu dari kejauhan.

Akankah Aletta memaafkannya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status