Janu harus berterimakasih pada Abin. Atau lengkapnya, Bintang. Gadis dengan kacamata bulat yang mendapat predikat sebagai murid terbaik di satu angkatan.
Abin, adalah satu satunya teman yang Aletta punya. Walaupun dari luar penampilan mereka tidaklah cocok. Faktanya, hanya Abin-lah yang berhasil menarik gadis itu untuk pulang alih alih terus menekan Janu untuk menjawabnya.
Mengenai kehamilan Aletta, tentu saja Abin tau. Hal itu benar benar terlihat jelas untuk Abin, bahkan sebelum Aleta memeriksanya secara resmi. Mudah saja. Aletta yang biasa selalu menggerai rambutnya, akhir akhir ini sering di cepol asal asalan. Pipi Aletta yang biasa merah merona karena make up tipis yang selalu gadis itu gunakan sehari hari, tiba tiba tampak pucat. Aletta bahkan tidak menggunakan pensil alis. Dan yang paling mencolok, akhir akhir ini Aletta suka sekali memakai jaket kebesaran yang sebagian besar itu milik Janu.
Abin yakin selain dirinya, banyak teman sekelasnya yang juga merasa curiga akan perubahan penampilan Aletta yang terlalu drastis. Selain itu, Aletta juga jadi sinis. Gadis itu memang asalnya galak. Namun, kali ini rasanya berkali kali lipat.
Terutama pagi ini, Aletta bahkan menjerit kesal hanya karena pundaknya tersenggol. Wajah gadis itu juga tampak sangat pucat, pelipisnya juga basah karena keringat. Abin sebagai satu satunya teman yang Aletta miliki, ikut merasa resah. Terlebih saat gadis itu pamit untuk menemui Janu di warung belakang sekolah.
Untungnya, Abin menarik Aletta di waktu yang tepat. Di saat Aletta mengatakan ia akan bunuh diri, gadis itu hendak mengambil gunting yang tergantung tak jauh dari posisinya. Dengan gerakan kasar, Abin langsung menarik gadis itu ke arah parkiran. Memaksa Aletta untuk masuk ke dalam mobilnya, yang lalu membawa keduanya ke arah rumah Aletta.
Di kursi penumpang, Aletta terisak hebat. Tak sekali gadis itu meraung, mengatakan bahwa ia ingin mati daripada harus hidup dengan bayi di perutnya.
“Ta, sadar dong. Kamu gaboleh kaya gini!” bentak Abin, di tengah kegiatan menyetirnya.
“Gue mau mati aja, Bin. Gue gamau hidup!” ujar Aletta, di tengah isak.
Abin berdecak. Sedikit kesal karena Aletta dengan mudahnya mengucap kata mati.“Janu itu pasti Cuma kaget, aku yakin dia gak se brengsek itu! Kamu harus sabar, dia pasti bakal dateng ke kamu dengan sendirinya! Aku itu sepupu dia, Ta. Cuma dengan ngeliat dia setiap kali bareng kamupun, aku tau dia cinta banget sama kamu.”
“Cinta?” Aletta mengutip, isaknya kini lagi lagi bercampur dengan kekehan sinis yang di buat buat. “Lo masih bisa nyebut kata cinta, di saat lo denger Janu pengen gue bunuh bayi gue sama dia?!”
Diam. Mungkin sedari awal seharusnya Abin, bungkam dan membiarkan Aletta menangis sepuasnya sepanjang perjalanan. Karena perkatannya mengenai cinta tadi, tangis Aletta tiba tiba terhenti. Wajah gadis itu tampak datar, yang justru membuat Aletta tampak menyeramkan.
Setelahnya, Abin mencoba membuka percakapan. Membahas beberapa hal mengenai sekolah untuk mengalihkan perhatian Aletta. Abin juga menyalakan radio, membahas beberapa gosip di sekolah. Namun gadis itu tetap diam. Ia tidak menggubris ucapan Abin, dan hanya menoleh saat Abin memanggilnya. Abin pikir, Aletta sepertinya marah. Atau tersinggung, akan ucapan Abin yang terlalu lancang tanpa memikirkan posisi Aletta. Tapi, bukankah Abin benar? Satu satunya hal yang bisa menuntun Janu untuk menarik kata katanya hanyalah perasaan lelaki itu terhadap Aletta.
Hingga akhirnya mereka sampai di depan rumah Aletta, gadis itu hanya mengucapkan terimakasih dan membanting pintu dengan keras. Dalam hatinya Abin berdoa. Semoga Hanan dan Fatan, yang tadi ia seret untuk ikut dengannya, bisa menasehati Janu dengan benar hingga masalah ini cepat selesai. Abin jadi penasaran, kira kira sudah sejauh mana perbincangan mereka saat ini?
**
Sesuai rencana Abin, Fatan dan Hanan menemui Janu di tempat yang sama. Ketiganya duduk di bangku yang sengaja mereka tarik untuk saling berhadapan. Namun, mereka masih bungkam. Tak ada satupun dari mereka yang terlihat berniat membuka percakapan.
Hal itu di karenakana, Fatan dan Hanan takut akan Janu. Lelaki itu terkenal di sekolah sebagai pentolan atau panglima tempur. Itu karena seringnya Janu bertengkar di sekolah, bahkan memimpin tawuran.
“Lo berdua mau ngomong apa?” tanya Janu, menghembuskan nafasnya kasar.
Berbeda dengan ketika ia menghadapi Aletta. Kali ini Janu tampak lebih tenang. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke tembok yang tepat ada di belakang punggunnya. Menatap kedua temannya yang justru mematung di tempat. Padahal, Janu jelas jelas sudah bisa menebak alasan mereka menghampirinya. “Kalau mau nasehatin gue, mending gausah. Gue tau apa yang harus gue lakuin.” saran Janu, menatap Hanan dan Fatan secara bergantian.
Hanan berdeham, mengumpulkan keberanian mengingat ia sudah berjanji pada Abin untuk membantu Aletta. Ia juga menegakan tubuhnya sebelum membuka suara. “Kalau boleh tau, apa rencana lo?”
Di sampingnya, Fatan hampir saja tertawa mendengar Hanan seperti sedang berbicara dengan guru saking tegangnya. Buru buru ia menggeleng menyadarkan pikirannya untuk serius, lalu ikut memasang wajah serius. “Bener, J. Lo bisa ngasih tau kita,” ujar Fatan meyakinkan.
“Sebelumnya makasih, tapi gue bisa urus ini sendirian,” tolak Janu, lagi. Lelaki itu menghembuskan nafasnya yang terasa begitu berat.
Ia tahu ini salahnya. Ia juga tahu, bahwa tidak sepantasnya ia mengatakan hal seperti tadi kepada Aletta. Sebenarnya, bukan tidak ingin Janu bertanggung jawab akan bayi itu. Seperti yang semua warga sekolah tahu hanya dengan melihat keseharian mereka. Janu itu, benar benar mencintai Aletta. Tak pernah sekalipun ia berniat mengkhianati gadis cantik itu.
Kecuali tragedi di toilet, Janu akui itu karena dia khilaf. Tapi, ia juga berfikir panjang. Ayahnya tidak mungkin menerima kejadian ini dengan mudah. Membayangkannya saja, Janu tidak sanggup.
“J, kalau rencana lo itu beli obat penggugur. Lo harus denger cerita gue terlebih dahulu,” usul Fatan tiba tiba. Lelaki bertubuh kurus itu, sukses menarik perhatian Janu.
“Obat penggugur? Lo tau emang bentukannya kaya gimana?” pertanyaan itu muncul dari Hanan, yang juga jadi pertanyaan Janu saat ini. Pasalnya, di bandingkan Janu dan Hanan, Fatan itu termasuk lelaki pendiam.
“Ya bukan gue, sih,” timpal Fatan, lalu bergerak untuk mencari posisi ternyaman sebelum akhirnya bercerita. “Tante gue pernah minum obat itu taun lalu, dia nyuruh gue ngambil obatnya karena enggak mau suaminya tau.”
Hanan ber oh ria tanpa suara. “Gue kira lo ngehamilin anak orang,” celetuk lelaki berkulit sawo matang itu.
“Gila kali lo,” maki Fatan tak terima. “Terus, dia cerita ke gue mungkin karena gue jadi satu satunya orang yang tau dia ngegugurin. Nah, katanya sakit banget. Rasanya hampir mirip kaya ngelahirin. Terus lo harus tau, J. Setelah minum obat, masalah lo ga selesai. Tante gue harus terus check up ke dokter karena takut janinnya ngebusuk di dalem perut. Paling parah nih ya, minum kaya gitu tuh bisa menyebabkan kematian!” jelas Fatan panjang lebar.
Janu mematung di posisinya. Suara Aletta yang menitahnya untuk membunuh gadis itu, mendadak terdengar di indra pendengarannya. Walaupun ia tidak siap menjadi seorang Ayah, bukan berarti Janu siap kehilangan Aletta.
“Jadi nih menurut gue-“ belum sempat Fatan melanjutkan, Janu tiba tiba bangkit. “Eh mau kemana lo?” sergah Fatan. Namun, ia dan Hanan kalah cepat.
“Kalau bokap gue nelfon lo, bilang kita mau bakar bakaran. Gue harus ngejar Aletta!” teriak Janu dari kejauhan.
Akankah Aletta memaafkannya?
Untung perama kalinya, Aletta terkejut akan harapannya yang menjadi kenyataan. Yaitu, Abin benar. Tak lama dari Aletta sampai di rumah, Janu tiba tiba datang dengan sorot penuh penyesalan. Tanpa basa basi, lelaki itu membawa Aletta ke dalam pelukannya. Ia menangis. Hatinya teriris melihat betapa berantakannya Aletta, dengan mata sembabnya. Belum lagi karena rasa sesal yang menghantui pikirannya.Di saat bersamaan, tangis Aletta ikut meledak. Dalam hatinya, ia bersyukur karena Janu benar-benar datang. Hampir lima belas menit pelukan itu bertahan. Kedua kini duduk berhadapan di sofa. Dengan jemari Aletta yang lelaki itu bungkus dengan kedua tangannya.“Maafin aku, maafin kata-kata aku,” kata Janu, hampir terdengar seperti berbisik. Kepala lelaki itu menunduk, tak kuasa menatap Aletta di hadapannya.Untuk pertama kalinya, Aletta bisa merasakan penyesalan dalam ucapan maaf Janu. Buru buru ia mengangguk. Tangan kirinya yang terbebas, ia gunakan untuk meny
05.11Fokus Aletta tidak bisa lepas dari layar ponselnya. Bahkan ketika cahaya mulai menyelinap masuk melalui sela sela gorden di kamarnya. Gadis itu masih setia menunggu Janu untuk melakukan usaha, sekecil apapun bentuknya.Sepeninggalnya Janu tadi malam, Aletta sedikit melunak. Ia ingin menghubungi Janu namun rasanya enggan. Entah atas dasar apa hingga ia sengaja menjadi bodoh, untuk terus berharap pada lelaki seperti Janu. Setelah dua kali lelaki itu mengecewakannya. Setelah dua kali lelaki itu berkata bahwa ia tidak bisa menjanjikan apapun pada Aletta.Iya, bodoh dan juga naif. Hal ini juga bisa saja menjadi alasan mengapa Janu tidak berbuat banyak. Karena lelaki itu tau, Aletta akan selalu menerimanya. Aletta akan rela mempertaruhkan kewarasannya demi Janu walau lelaki itu bertingkah seenaknya. Walau lelaki itu tidak menjanjikan apapun atau bahkan jika lelaki itu lari dari jangkauan Aletta.Pada akhirnya, Aletta akan tetap kekeuh akan perannya sebaga
Tanpa menunggu lagi, Javier langsung mengiyakan ajakan Aletta detik itu juga. Sepanjang perjalanan menuju sebuah kafe yang Aletta usulkan. Isi kepala Javier tidak bisa berhenti memikirkan kemungkinan Aletta bersangkut pautan dengan masalah yang sedang Janu hadapi. Terlebih fakta bahwa Aletta kini mengajaknya bertemu di hari sekolah. Hanya butuh tujuh menit dari sepuluh menit yang seharusnya Javier tempuh untuk sampai ke tempat tersebut. Dengan buru buru, Javier turun dari mobilnya. Matanya celingkungan menatap beberapa meja yang ada di ruangan bernuansa kayu tersebut. “Kak!” sapa seorang gadis dengan seragam sekolah yang ia tutupi dengan sebuah jaket hitam yang tanpa gadis itu ketahui, bahwa itu jaket itu milik Javier yang tertinggal. Bahkan saat baru sampai di rumah, Javier sempat mencari keberadaannya.
“Jav, lo denger gua gak, sih?”Javier terhentak saat suara Jordy meninggi. Ia buru-buru menggeleng, mengeluarkan fokusnya dari lamunan.Di hadapannya, Jodry menyerit curiga. Tak biasanya manusia yang selalu perfectionist seperti Javier melamun di saat seperti ini. Pasalnya, mereka tengah membahas perencanaan yang cukup penting untuk pembukaan perusahaan rintisan mereka yang akan di berlangsungkan dalam kurun waktu kurang dari seminggu lagi. Perasaan Jordy begitu menggebu-gebu, dan Javierpun harusnya seperti itu.Perusahaan yang akan Jordy dan Javier dirikan ini, sebenarnya sudah ada sejak tiga tahun yang lalu, saat mereka menyandang status sarjana. Namun karena tidak mendapat izin dari Kala –Ayah Javier- mereka memutuskan melanjutkan pendidikan alih-alih memulai. Walaupun begitu, mereka menyicil beberapa aspek yang bisa mereka lakukan selagi berkuliah. Tak jarang mereka kewalahan, tidak tidur, juga merugi karena mencoba-coba b
Setelah pertemuan di kafe, Janu mengantar Aletta pulang tanpa mengatakan apapun. Aletta mengerti, pacarnya itu pasti marah. Terlebih pertemuan terakhir mereka di akhiri dengan Aletta yang mengurung di kamar. Walaupun begitu, sebelum Janu benar-benar pergi, Aletta telah meminta maaf pada lelaki tersebut. Tak lupa menitah Janu untuk segera menghubunginya jika amarahnya telah sepenuhnya luruh.Kini, sudah dua hari semenjak kejadian itu, Javier maupun Janu tidak ada yang menghubungi atau mendatanginya. Hanya Abin. Gadis itu menelfon Aletta kemarin sore. Menanyakan kabar, serta memperingati Aletta untuk tidak terlalu kelelahan. Abin juga menyarankan Aletta untuk membeli susu ibu hamil demi kesehatan bayinya.Karena itu, pagi ini Aletta sudah bersiap-siap untuk membeli beberapa kebutuhannya sendiri. Seraya menunggu kabar dari kedua kakak beradik itu. Ia yakin, Javier tidak mungkin diam saja setelah mengetahui kehamilannya. Lelaki itu hanya butuh waktu untuk berfikir.
Javier mengembuskan nafasnya kasar menatap bayangan pantulan dirinya di kaca. Ia memiringkan kepalanya ke kanan. Menatap luka di pelipisnya yang masih basah. Tidak hanya itu, pipinya juga memar, sudut bibirnya sobek, dan rasa pusing di kepala.Semua itu ulah Ayahnya. Mereka berpapasan di lorong rumah sakit dengan Javier yang sedang berjalan dengan kertas pembayaran di tangannya. Kala, sang Ayah sontak menarik kertas itu bahkan tanpa menyapa. Dan detik selanjutnya, sebuah tamparan mendarat di pipi Javier. Terlihat jelas sorot kecewa dari sorot mata sang Ayah. Javier hampir menangis, jika saja ia keduanya tidak sedang berada di tempat umum.Mereka kemudian berbincang di kamar Aletta berada. Javier mengarang cerita masuk akal dan juga detail mengenai dirinya dan Aletta. Untungnya, sang Ayah dengan mudah percaya. Pria berkepala empat itu menitah Javier mengurus semuanya. Kala lalu pulang, dengan pesan Javier harus membawa Aletta ke rumah beserta orang tuanya sepulang Alett
Aletta tentu tidak langsung menjawab kala itu. Gadis itu meminta Javier memberinya waktu selama seminggu. Ia mengiyakan, Aletta bahkan bisa meminta waktu lebih jika ingin. Javier tidak akan memaksa, kesehatan Aletta yang nomor satu baginya. Tetapi, nyatanya rencana mereka tidak semulus itu. Ayah Aletta tiba-tiba muncul tepat bersamaan dengan pulangnya Aletta dari rumah sakit. Keduanya sontak terkejut. Bingung, terlebih kala itu Javier tengah memegang buku kehamilan milik Aletta. Kini, disinilah mereka sekarang. Di sebuah restoran bintang lima, yang menjadi tempat untuk pertemuan dua keluarga. Berbeda dari biasanya, hari ini Javier tampak gugup. Lelaki yang biasanya terlihat yakin akan keinginannya menggantikan Janu itu, terlihat goyah. “Baik, mari kita langsung ke intinya saja. “ Kala membuka obrolan. Aletta hampir tertawa, melihat semenyebalkan apa wajah Ayah Javier saat ini. Mungkin karena tidak ikhlas anak kebanggaannya harus menikahi Aletta ya
Setetes air mata terjun bebas dari pelupuk Aletta. Tubuhnya menegang, terbelak karena pintu rumahnya diketuk oleh seseorang yang selama ini ia nantikan.Rasanya campur aduk. Aletta senang, namun sedih. Ia puas, juga marah. Otaknya mendadak kosong. Pada akhirnya, ia hanya bisa bergerak mendekat, memeluk tubuh lelaki yang tampak begitu pucat tersebut. Lelaki itu adalah Janu. Dengan sisa tenaganya, ia membalas pelukan Aletta. Menguncinya dalam dekapan, yang tak pernah seerat ini.“Ta,” bisik Janu hampir tak terdengar.Aletta tidak menyahut. Gadis itu memilih untuk mengecangkan pelukannya, seraya terisak. Semua perasaan tadi masih menguasainya, air matanya tidak bisa ia hentikan. Padahal, ia sudah bersiap untuk pergi ke dokter kandungan. Sendiri, karena Javier katanya memiliki urusan penting di kantor.Setelah dirasa puas, keduanya memutuskan untuk berbaring di sofa karena Janu merasa lemas. Lelaki itu belum mengisi perutnya selama berhari-hari.