Share

Adiknya pacarku, Abangnya suamiku
Adiknya pacarku, Abangnya suamiku
Penulis: Moonseii

BAB 1

“Aku hamil.”

Sakit. Itu yang dirasakan Aletta saat melihat seorang lelaki yang berdiri tepat di hadapannya, hanya mematung. Lelaki yang tak ia sangka akan menunjukan reaksi sekasar ini. Aletta mengingat jelas, hari dimana mereka melakukan untuk pertama kalinya. Janu berjanji, bahwa lelaki itu akan bertanggung jawab. Janu juga menambahkan, kalau hanya dengan melakukan itu hubungan mereka akan bertambah awet.

Namun, Aletta Viona Radella. Seorang gadis yang memiliki popularitas di sekolah sebagai salah satu dari deretan wania cantik itu, sepertinya terlalu naif untuk percaya pada perkataan Janu. Pada kenyatannya, lelaki itu tidak lebih dari anak remaja yang sedang berada di puncak pubertasnya. Seharusnya Aletta sadar akan hal itu sejak beberapa hari yang lalu, ketika ia memergoki Janu tengah bercumbu dengan gadis lain di toilet.

Hanya karena cinta. Hanya karena janji manis yang terbukti busuk, lelaki itu berikan padanya. Aletta menutup mata akan kesalahann besar itu. Sebaliknya, ia justru mengajak Janu untuk main ke rumahnya yang selalu kosong dan melakukannya lagi. Memberikan kembali seratus persen kepercayaannya. Kalau di ingat ingat, malam itu Janu bahkan tidak menjelaskann tentang kejadian itu secara jelas.

Janu hanya sibuk meminta maaf. Lelaki itu mengucapkannya berpuluh-puluh kali, walaupun Aletta tidak bisa merasakan adanya penyesalan dalam kata maaf tersebut. Hal seperti itu memang baru pertama kali terjadi pada hubungan keduanya yang sudah berjalan hampir satu tahun. Namun, karena perilaku Ayahnya yang suka bermain wanita sejak Aletta kecil. Perasaan kecewa itu jutru membuatnya merasa muak.

Bayangkan betapa hebatnya Janu menghipnotis Aletta dengan banyak ungkapan manis, sehingga gadis itu bisa memaafkan Janu. Aletta bahkan tidak bisa memaafkan Ayahnya sendiri, tapi Janu bisa membuat Aletta memberi pengampunan dengan mudah. Bayangkan juga betapa hancurnya Aletta saat ini, karena di hadapi dengan fakta bahwa yang Janu ucapkan kemarin hanyalah sebuah bayaran receh untuk Aletta agar ia mau memberi izin Janu untuk menggunakan tubuhnya. Fakta bahwa, memaafkan Janu adalah hal terbodoh yang pernah ia lakukan.

Kini, Aletta merasa tidak ada alat ukur apapun yang sanggup untuk menghitung seberapa besar penyesalannya. Juga seberapa ia benci pada Janu dan dirinya sendiri. Serta bayi di perutnya, yang kehadirannya tidak Aletta inginkan.

“J?” panggil Aletta dengan nada frustasi. “Ngomong dong, jangan diem aja,” lanjut gadis itu, parau. Matanya yang sembab menunjukan kalau air matanya sudah habis karena terus menangis beberapa hari belakangan ini.

“Kamu bercanda, kan?” tanya Janu, menatap Aletta dengan sorot penuh harap.

Sayangnya, Aletta menggeleng. Gadis itu mengeluarkan beberapa alat penguji dari saku jaket yang pagi ini ia gunakan. Hendak menunjukan pada Janu, bahwa ucapannya sudah Aletta buktikan sendiri berkali kali di rumah.

Melihat gerak gerik pacarnya, Janu sontak melirik ke sekitar dengan was was. Keduanya sedang berada di sebuah warung belakang sekolah yang kini keadaannya bisa terbilang cukup ramai. “Lo gila?!” tanya Janu, setengah memekik. Dengan kasar tanganya meraih alat tersebut dari tangan Aletta, yang lalu ia masukan ke saku jaketnya. “Kita obrolin ini pulang sekolah, oke? Nanti aku ke rumah kamu,” kata Janu dengan volume suara yang hampir seperti berbisik.

“Engga,” tolak Aletta, membuat mata sang lawan bicara memutar. “Aku gak bisa duduk tenang sampai nanti sore, J. Jawab aku sekarang, aku harus gimana?!” lanjut Aletta.

“Pelanin suara lo, Aletta. Orang orang bisa denger!” sentak Janu, melirik sekitar. Kali ini, Janu mengambil satu langkah mendekat. Kemudian, ia meraih kedua bahu Aletta. Memaksa gadis itu untuk saling mengunci tatapan dengan miliknya. “Pokoknya, sekarang kamu ke kelas. Kita selesain nanti di rumah, Oke? Nurut ya?” tutur Janu berusaha se tenang mungkin.

“Enggak mau,” tolak Aletta masih sama. “Aku mau kamu jawab sekarang,” kekeuhnya. Aletta tidak bisa menahan rasa resah di dadanya, lagi. Bayi itu akan tumbuh setiap harinya, perutnya akan semakin membuncit. Terlebih badannya yang tinggi dan kurus, akan membuat perubahan kecil pada tubuhnya terlihat dalam waktu yang lebih singkat dari seharusnya.

Mendengar itu, Janu menghentakan kakinya kesal. “Kita gamungkin omongin itu disini, Aletta!” sungut Janu, kesal.

“MUNGKIN!” teriak Aletta, menjadi alasan perhatian pengunjung lain terfokus pada keduanya.

Menyadari itu, Janu mengusap wajahnya dengan kasar. “Shit.” umpat Janu.

Lelaki itu lupa bahwa Aletta adalah gadis dengan sifat keras kepala yang tinggi. Sulit baginya untuk meyakinkan sesuatu yang berkebalikan dengan apa yang gadis itu inginkan atau sesuatu yang Aletta percayai.

Sama halnya dengan Aletta. Janu juga memiliki sifat keras yang tidak kalah tinggi. Terbukti dengan rahang Janu yang kini mengeras karena Aletta tidak mau mendengarkannya. “Jangan bikin aku marah, Ta,” Janu memperingati, tatapannya perlahan terasa semakin menusuk.

“Aku Cuma kamu mau denger kamu bilang, kamu bakal tanggung jawab, J. Udah itu doang!” desak Aletta, gemas sendiri.

Alih alih menjawab, Janu justru berkelit. “Iya, kita obrolin nanti di rumah-“

“Iya apa?” serang Aletta, memotong ucapan Janu. Di hadapannya, Janu kembali membeku di tempat. “Ayo ngomong! Iya apa?!” tanya Aletta, dengan penuh penekanan.  “Ko diem? Tinggal ngomong, J. Kamu tadi udah dengerkan mau aku apa? Kalau kamu ngomong, aku bisa tenang. Aku bisa nunggu sampe kita pulang! Semudah itu-“

“Aku gabisa,” sela Janu, membuat tubuh Aletta melemas seketika. “Aku gabisa tanggung jawab, Ta,” jelas lelaki itu melanjutkan.

Aletta, terkekeh sinis. “Kamu gila?” tanyanya, hampir tak percaya.

“Engga,” sahut Janu. “Kamu yang gila, Ta. Kenapa kamu diem aja? Kenapa kamu gak cari obat atau lakuin hal yang bisa bikin janin di perut kamu mati?!”

Mendengar itu, Aletta hampir saja ambruk ke lantai jika saja tangannya tidak bertumpu pada tembok. Mati? Janu yang katanya mencintai Aletta, dan akan melakukan apapun untuk hubungan mereka agar terus bertahan hingga mereka dewasa nanti. Ingin Aletta membunuh calon bayinya sendiri? Calon bayi mereka? Hasil dari buah cinta mereka sendiri?

Dari pada menangis, Aletta memilih untuk tertawa saat ini. Menertawakan bagaimana semesta lagi lagi menempatkannya di situasi yang di rasa sulit untuk ia lewati. Ia sudah tidak memiliki Ibu. Ayah kandungnya bahkan menikah lagi, dan hanya mengirim uang setiap bulan untuk Aletta yang hidup sendiri.

Dan kini, satu satunya sumber kebahagiaan Aletta. Satu satunya tempat Aletta bersadar dan menjadi salah satu alasan untuk Aletta bertahan hidup, juga harus mematahkan hatinya?

“Kalau gitu, kenapa kamu gak bunuh aja aku?” tuntut Aletta, dengan sebuah kekehan yang terdengar di tengah basahnya pipis gadis itu. “Atau, kamu mau liat aku bunuh diri aku sendiri? Itu yang kamu mau?”

Akan seperti apa jawaban Janu? Dan apa yang lelaki itu lakukan, ketika melihat Aletta bergerak cepat mengambil sebuah gunting yang tergeletak tak jauh dari posisinya?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
ceritanya menarik padahal baru awal2.. pengen aku share ke sosmed trs tag akun author tp akunnya ga ketemu :( boleh kasih tau gaa?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status