Aletta tentu tidak langsung menjawab kala itu. Gadis itu meminta Javier memberinya waktu selama seminggu. Ia mengiyakan, Aletta bahkan bisa meminta waktu lebih jika ingin. Javier tidak akan memaksa, kesehatan Aletta yang nomor satu baginya.
Tetapi, nyatanya rencana mereka tidak semulus itu. Ayah Aletta tiba-tiba muncul tepat bersamaan dengan pulangnya Aletta dari rumah sakit. Keduanya sontak terkejut. Bingung, terlebih kala itu Javier tengah memegang buku kehamilan milik Aletta.
Kini, disinilah mereka sekarang. Di sebuah restoran bintang lima, yang menjadi tempat untuk pertemuan dua keluarga. Berbeda dari biasanya, hari ini Javier tampak gugup. Lelaki yang biasanya terlihat yakin akan keinginannya menggantikan Janu itu, terlihat goyah.
“Baik, mari kita langsung ke intinya saja. “ Kala membuka obrolan. Aletta hampir tertawa, melihat semenyebalkan apa wajah Ayah Javier saat ini. Mungkin karena tidak ikhlas anak kebanggaannya harus menikahi Aletta ya
Setetes air mata terjun bebas dari pelupuk Aletta. Tubuhnya menegang, terbelak karena pintu rumahnya diketuk oleh seseorang yang selama ini ia nantikan.Rasanya campur aduk. Aletta senang, namun sedih. Ia puas, juga marah. Otaknya mendadak kosong. Pada akhirnya, ia hanya bisa bergerak mendekat, memeluk tubuh lelaki yang tampak begitu pucat tersebut. Lelaki itu adalah Janu. Dengan sisa tenaganya, ia membalas pelukan Aletta. Menguncinya dalam dekapan, yang tak pernah seerat ini.“Ta,” bisik Janu hampir tak terdengar.Aletta tidak menyahut. Gadis itu memilih untuk mengecangkan pelukannya, seraya terisak. Semua perasaan tadi masih menguasainya, air matanya tidak bisa ia hentikan. Padahal, ia sudah bersiap untuk pergi ke dokter kandungan. Sendiri, karena Javier katanya memiliki urusan penting di kantor.Setelah dirasa puas, keduanya memutuskan untuk berbaring di sofa karena Janu merasa lemas. Lelaki itu belum mengisi perutnya selama berhari-hari.
Hanya dalam hitungan beberapa menit lagi, Aletta akan menjadi Istri Javier. Tubuhnya sudah terbalut gaun putih dengan potongan simple, namun elegant. Di percantik dengan riasan tipis, Aletta tampak jauh lebih dewasa dari umurnya. Acara pernikahan keduanya diadakan secara sederhana dan tertutup di sebuah hotel ternama. Aletta kini sedang menunggu gilirannya untuk keluar. Selama bersiap, para perias juga beberapa keluarga terdekat Javier banyak mengatakan bahwa Aletta beruntung bisa mendapatkan lelaki seperti Javier. Mereka juga berkata, Aletta pasti sangat gugup. Padahal hanya dari mimik datarnya saja, mereka seharusnya bisa menebak kalau Aletta tidak menginginkan pernikahan ini. Ia terpaksa, marah, juga malas harus mengikuti rentetan acara yang telah di susun.  
Kedua kelopak mata Javier terbuka secara perlahan. Ia berbalik, alisnya terangkat menyadari Aletta sudah tidak ada disana. Mereka memang tidur di ranjang yang sama tadi malam. Javier maupun Aletta sama-sama lelah, karena itu mereka yakin tidak akan ada yang terjadi. Javier baru sadar, tubuhnya masih terbalut tuxedo hitam yang sama seperti kemarin. Buru-buru ia bangkit, bergerak ke arah kamar mandi dengan handuk putih yang ia ambil dari koper. Setelah selesai, pemandangan Aletta yang sedang memakan roti di sofa menyambut kedatangannya. Lelaki itu memasang senyun, mencoba menyapa gadis yang kini sudah resmi menjadi istrinya itu dengan ramah. Namun Aletta hanya melirik Javier sekilas tanpa minat, kemudia b
Aletta menempelkan telinganya ke pintu. Memastikan apakah Javier sudah berangkat kerja atau justru diam di sofa tadi. Di dalam lubuk hatinya, Aletta tau perilakunya ini keterlaluan. Mengurus segalanya sendirian, terlebih Javier bekerja, rasanya akan mustahil. Suaminya itu pasti keteteran. Namun, gejolak aneh yang timbul kemarin membuat Aletta merasa, harus menjaga jarak dengan Javier. Aletta itu hanya gadis biasa, tidak dapat dipungkiri perasaannya bisa saja berubah jika terbiasa. Terlebih, mengingat Javier bukanlah lelaki yang sulit untuk membuat wanita jatuh hati padanya. Lelaki itu terlalu sempurna. Kulitnya putih susu, dengan dua lesung di masing-masing pipinya. Rambut yang lembut, wangi, berbadan tegap, jug
Di sebuah gedung bertingkat dua, dengan cat abu-abu gelap, dan furnitur yang senada. Lantai satunya tampak begitu ramai. Semua dari orang-orang itu menggunakan pakaian formal khas orang kantoran. Ada beberapa dari mereka yang duduk melingkar dengan satu meja besar di tengah. Ada juga yang berdiri, sibuk mengobrol atau hanya melihat-lihat. Hingga akhirnya acara penghujung membuat mereka berdiri serentak, menghadap ke podium kecil di bagian paling depan. Javier baru saja hendak memotong pita di tangannya, dengan Jordy di samping, dan puluhan orang yang menyaksikan. Namun, suara dering ponselnya menghentikan Javier sesaat. Masih dengan senyum lebar, Javier melirik layar ponselnya seklias. Detik selanjutnya lengkungan itu perlahan memudar. Untungnya, Jordy buru-buru menyenggol Javier, menyadarkann
Paginya, Aletta menghilang. Javier mencari ke sagala sudut rumah, namun gadis itu tidak ada dimana pun. Ponselnya juga mati. Javier masuk ke kamar Aletta takut-takut gadis itu membawa semua barangnya. Untungnya, ketakutan Javier itu tidak terjadi. Barang Aletta masih rapih di dalam lemari, termasuk sebuah kotak hijau yang menarik perhatian Javier. Alis Javier terangkat satu saat ia membuka kotak tersebut. Kalung dengan merek ternama itu tampak tidak asing. Detik selanjutnya, Javier berjalan ke arah kamar untuk meraih ponselnya. Melihat rincian dari tagihan kartu kredit yang kemarin tidak sempat ia buka. “Aletta ngidam?” celetuk Javier, menerka-nerka. Namun, rasanya agak janggal jika alasan Aletta membeli kalung ini karena ngidam. Ini terlalu ekstrim. Lagipula, Aletta bukan tipe gadis yang s
Selesainya masalah kalung, Javier jadi bisa kembali fokus pada pekerjaannya. Lima tumpukan kertas di mejanya, sudah menunggu untuk dibuka. Dengan kepalanya yang dingin, Javier menyidak semua satu persatu kertas itu dengan teliti. Di posisinya, yang bersebelahan dengan meja Jordy. Ia merasa diperhatikan. Tapi ia memilih acuh, menenggelamkan seluruh fokusnya pada deretan kalimat di kertas yang ia pegang dengan kedua tangannya. Hingga tiba waktu istirahat, Jordy menarik Javier secara paksa untuk mengisi perut di sebuah restoran depan kantor. “Simpen dulu kali kertasnya, semangat ama lu,” ejek Jordy, karea Javier menyuap tanpa mengalihkan sorotnya dari kertas yang ia bawa.
Javier mengerjapkan matanya beberapa kali. Memastikan pemandangan yang indra penglihatannya tangkap, bukan sebuah halusinasi. Masih dengan baju tidur, wajah bantal, serta rambutnya yang acak-acakan. Javier mendekati meja makan. “Udah bangun?” Sapaan itu membuat Javier semakin merasa bahwa ia masih bermimpi. Alih-alih merespon, Javier justru mengangkat jari telunjuknya untuk menyentuh pipi Aletta yang memakai celemek di hadapannya. “Kak?” panggil Aletta, gadis itu terlihat kebingungan melihat tingkah Javier. Detik selanjutnya, Javier baru yakin kalau semua ini nyata. Aletta dan celemek di tubuhnya, harum sop ayam yang bisa Javier cium, pemandangan dapur yang berantakan, dan beberapa masaka