Share

CHAPTER 6 Mimpi

        Ketika Anya berpikir Rayland akan sangat marah. Nyatanya ia salah. Pria itu justru menampakkan raut yang tidak bisa Anya sangka. Rayland terlihat sangat tenang, seolah emosi yang beberapa saat lalu ia tunjukkan tidak pernah ada. Bahkan, aura gelapnya yang pekat menghilang dengan cepat dari tubuh tegapnya. Menyisakan tatapan dinginnya kembali, sembari menatap Anya dengan rendah.

         Anya meringis!

        Bisakah pria itu berhenti menatapnya demikian? Anya mungkin masih bisa menerima, jika ditatap dengan dingin atau datar—tetapi rendah? Oh! Anya juga manusia yang punya perasaan sekalipun ia hanyalah orang biasa. Memilih memalingkan wajah, Anya menghela nafas sebentar. Menunggu reaksi apa lagi yang akan ditunjukkan Rayland setelah apa yang gadis itu tanyakan. Jujur saja—ia sendiri tidak tahu mengapa mengangkat pertanyaan itu ketika tersadar. Lidahnya seolah bergerak sendiri, lantas mengucapkan sesuatu yang tidak diduga.

       Tetapi yang pasti—bahwa apa yang gadis itu tanyakan berdasar dari mimpi aneh yang ia alami selama tidak sadarkan diri. Entah itu bisa disebut mimpi atau tidak. Ia sendiri tidak bisa menjabarkan kejadian mistis yang dialaminya.

       Bermula ketika ia terbangun di sebuah ruangan dengan pencahayaan temaram. Itu cukup luas jika disebut sebuah kamar. Tetapi ruangan itu benar-benar sebuah kamar mewah namun terkesan old. Di dalamnya terdapat banyak perabot tetapi bernilai estetika, dan tentunya—mungkin saja mahal.

       Ketika Anya mengerti mengapa kamar ini kekurangan cahaya, adalah karena jendela besar yang Anya duga menghadap ke laut—tertutupi sebuah tirai besar. Anya bisa mendengar desiran ombak walau samar. Tetapi, gadis itu tidak sampai idiot untuk mengenali, jika mungkin saja ini sebuah villa mewah dengan view laut di depan.

        Lalu, apa yang ia lakukan di sini?

        Perlahan. Anya menarik tirai. Seisi kamar langsung saja berubah terang. Silau matahari yang menyakitkan mata, memaksa tangan gadis itu bergerak cepat menghalangi pantulan cahaya yang mencoba masuk mengenai retinanya—menjadikan tangannya sendiri sebagai tameng. Kemudian  perlahan gadis rusuh itu membuka mata, sekaligus menurunkan tangan. Matanya membelalak, sedetik kemudian ia menatap takjub ke arah laut di hadapannya. Membentang luas bak permadani biru yang mewah.

        Anya sampai membuka mulut saking terkesimanya. Entah berada di dunia nyata atau  mimpi sekalipun. Tetap saja, gadis itu bertingkah apa adanya. Bodoh dan terkesan ndeso. Mungkin karena ini lah, baik Rayland atau Rendi selalu menatapnya remeh dan—rendah.

        Dasar dua saudara menyebalkan!

       Dan juga, angkuh!

        Puas menatap laut. Anya berbalik.Tetapi, siapa yang akan menduga jika ia akan segera berteriak dengan keras. Tepat di bawah lantai samping ranjang bagian depan, Anya melihat sesosok mayat wanita dengan kondisi tubuh mengenaskan. Wajah, beserta sebagian tubuh atasnya rusak parah hingga tidak bisa dikenali. Ia menduga, lukanya berasal dari  tusukan benda tajam—kemungkinan besar adalah pisau.

        Mulanya Anya tidak melihat keberadaan mayat itu, sebab berada di sisi lain ranjang dekat jendela besar, yang beberapa saat lalu gadis itu tarik tirainya. Sampai ketika berada tepat di posisinya sekarang, ia dapat melihatnya dengan jelas. Oh! Mengapa ia harus melihat pemandangan mengerikan seperti ini.

       Apakah ini yang disebut setelah baik pasti ada buruk?

       Haha!

       Sama ketika ia pertama kali melihat pantai yang indah, dan kemudian disuguhi pemandangan mayat mengerikan? Sungguh. Anya ingin muntah.

         Cukup lama Anya terdiam, mencoba mengumpulkan tenaga, keberanian, juga fokusnya. Baru kemudian, melangkah mendekati si Mayat Wanita. Kesimpulan paling besar, bahwa mayat ini mungkin saja merupakan pemilik kamar. Itu terlihat cocok dengan pakaian terusannya yang berwarna putih dengan belahan dada rendah.

        Anya tidak tahu mengenai fashion. Maka dari itu, suaminya sendiri sering sakit mata karenanya. Tetapi Anya bisa melihat, jika pakaian yang dikenakannya, mampu menunjukkan status sosialnya. Itu mewah dan elegan untuk ukuran baju di era lampau. Entah jaman apa dan tahun berapa. Ia tidak bisa memastikan, karena ia bodoh dalam pelajaran sejarah. Oh! Bukan hanya sejarah—tetapi semua hal mengenai pelajaran.

       Sungguh keterlaluan!

        Mencoba mengamati lebih dekat. Anya melangkah menuju sisi di seberang ranjang yang semula ia tempati. Tetapi lagi-lagi gadis penakut itu menjerit kesetanan. Tepat di pojokan bawah ranjang dekat dengan meja, Anya mendapati seorang bocah laki-laki. Bocah itu sangat tampan, sampai-sampai mengingatkannya pada seseorang.

       Karena si bocah hanya duduk diam dengan tatapan dingin diselingi raut datar, memandang lurus tepat ke arah si Mayat Wanita. Anya menduga, bocah itu tidak mendengar suara teriakannya yang mengalahkan suara speaker.

       Atau, Anya sendiri memang tidak pernah terlihat.

       Sekarang Anya paham. Gadis itu berada dalam ingatan seseorang dengan perantara mimpi. Seolah sengaja memperlihatkan kepadanya, sebuah peristiwa kelam di masa lalu. Tapi yang Anya tidak mengerti ialah, mengapa harus dirinya?

       Anya tidak paham sama sekali.

    

        Menyadari dirinya hanyalah banyangan semu. Anya mencoba mendekati si Bocah Tampan, mengabaikan si Mayat Wanita yang minta segera dimakamkan. Ketika ia semakin dekat, Anya kembali dibuat terkejut, menyadari siapa bocah itu.

       Dia—adalah suaminya saat ini—Rayland Pram Adiptara, dalam versi bocah.

      Ia sangat yakin dengan yang satu ini. Walaupun terdapat perbedaan besar dalam versi bocah dan dewasanya, yang mungkin saja membuat orang lain keliru atau bahkan tidak bisa mengenali sama sekali. Tetapi Anya bisa. Terpuji lah penglihatan aura-nya. Aura setiap orang berbeda-beda, termasuk Rayland. Pria itu cenderung beraura gelap dan akan semakin pekat ketika sedang marah. Anya mengenali itu semua sebagai seseorang yang dapat melihat warna aura orang lain.

       Tidak sampai di sana. Lagi-lagi Anya dibuat tercengang. Bagaimana tidak, bocah yang merupakan Rayland mini itu tengah menggenggam sebilah pisau dapur, cukup besar. Sementara darah  milik si Mayat Wanita mengenai sebagian besar bajunya. Membuatnya terlihat menyeramkan. Tidak mungkin 'kan, jika bocah laki-laki tampan—yang merupakan Rayland Pram Adiptara—menjadi pelaku pembunuhan sadis ini?

        Anya gemetar membayangkannya.

Seketika, Anya menyadari sesuatu, dan matanya membuka lebar-lebar,

.

.

.

bahwa wanita itu adalah Sinta Adiptara.

      "Mengapa kamu berpikir begitu, Anya?"

        Terkesiap. Gadis itu tersadar dan menoleh begitu cepat, ketika mendengar suara berat milik Rayland. Pria itu berdiri tepat di depannya, memberikan sensasi aneh kepadanya. Apa ini cara barunya untuk mengintimidasi?

        Sejujurnya, Anya sangat ingin berteriak di depan wajah Rayland, dan mengatakan bahwa ia melihatnya melalui mimpi, juga tidak bermaksud menanyakan itu. Sayangnya, keberaniannya berada di titik nol. Dia tidak berani melakukannya.

        Hei! Lidahnya bergerak sendiri. Ia bertanya bukan karena kemauannya.

         Ini menyebalkan.

         "Tidak, hanya saja ... aku bermimpi aneh." Gadis itu menunduk. Tiba-tiba merasa takut.

         Oh sial!

         Rayland mengangkat sebelah alisnya. Lantas tersenyum mengejek kepada Anya. "Jadi, kamu mengatakan itu hanya karena sebuah mimpi?"

         "Ya."

         Tanpa siapa pun menyadari. Ramlan, Ryan, Rangga, dan bahkan Rendi sekalipun, memasang tampang lega. Mereka berpikir, gadis itu kemungkinan hanya membual dan tanpa sadar mengangkat sesuatu yang cukup sensitif, untuk ditanyakan kepada keluarga inti Adiptara. Jadi, tidak ada yang perlu mereka khawatirkan. Setidaknya untuk saat ini.

         "Rayland, ada baiknya Anya tidur dan banyak istirahat dulu sekarang." Tania mendekat dan dengan sayang mengelus puncak kepala gadis itu.

         Anya jadi terharu~

         Karena berpikir Anya memang terlihat lelah. Rayland kemudian memutuskan untuk menyetujui usulan Tania. Rayland menatap satu persatu anggota keluarganya, seolah tatapan mata tajamnya dapat memberitahu, bahwa mereka harus keluar dari kamar. Tanpa mengatakan apapun, mereka keluar, menuju kamar hotel masing-masing.

        Rendi yang hendak berjalan kembali, langsung berhenti, mendapati ayahnya masih saja berdiri bengong, menatap pintu kamar hotel Anya dan Rayland. Tatapan pria baya brewok itu meredup. Helaan nafas beratnya pun terdengar, hingga ke telinga Rendi. Sementara jarak memisahkan mereka dua meter jauhnya. Pemuda itu kemudian berjalan mendekat, lantas menepuk pundak Ramlan pelan untuk menyadarkannya. Ramlan berbalik, menatap anak bungsunya dengan senyum.

         "Kembali lah ke kamarmu, Rendi," pintanya lalu balas menepuk pundak anaknya, dan berjalan pergi mendahului.

         "Ayah," panggil Rendi.

          Ramlan menoleh. Mengangkat sebelah alis ia kemudian membuat gestur seolah berkata, 'ada apa?'

          Tersenyum, Rendi kemudian berucap, "semua akan baik-baik saja, Ayah."

          Tidak dapat menahan senyum, Ramlan membalas dengan senyum menenangkan yang sama, "Kakakmu akan baik-baik saja." 

           Baru kemudian, rendi berjalan pergi. Jujur saja, dia sangat syok, menduga Anya tahu peristiwa naas itu. Dan cukup lega ketika Anya mengatakan itu hanya sebuah mimpi. Tetapi yang paling mengganggunya—atau mungkin bukan hanya dia saja—adalah mengenai kebetulan tak biasa akan mimpi tersebut.

          Bagaimana bisa Anya bermimpi demikian?

          Dan, dari mana dia tahu jika bocah itu merupakan Rayland?

Dasar Anya! Selalunya membuat pusing,

.

.

.

dan khawatir.

         Sudah dua hari berlalu sejak kejadian itu. Kini, Anya terlihat baik-baik saja. Dia bahkan telah kembali pada pengaturan awal seorang Anya. Gadis itu sudah bisa menjahili siapapun—kecuali Rayland. Dia bahkan mampu berlari dan melompat ke sana kemari sembari berteriak 'I Love Bali'. Memalukan! Rendi benar-benar tidak dapat menahan malu. Karenanya, ia akan menyeret Anya dari kerumunan pantai, ketika hal itu terjadi. 

           Berbeda dengan Rendi. Kedua kakak ipar atau kakaknya sekalipun, justru berpikir sebaliknya. Mereka beranggapan Anya sangat manis dan lucu. Saking lucunya menurut Ui—kakak iparnya yang satu ini bahkan pernah tertawa bak kuntilanak beranak empat—melihat Anya tersandung kaki para pengunjung lain.Terakhir, Anya terjungkal ke depan dan hidungnya mendarat lebih dulu. Lantas mimisan dengan darah cukup banyak.

         Apa itu bisa disebut lucu?

         Sinting!

          Menatap bosan. Rendi memilih bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju stand minuman es kelapa muda. Sembari menunggu Abang penjual menyelesaikan pesanannya. Ia memilih kembali menatap kumpulan keluarganya, minus sang ayah—dengan tatapan bosan, sementara mulutnya menguap lebar. Ramlan sendiri memilih bersama para koleganya. Karena, pria baya itu tentu harus membatasi pertemuan mereka di tempat umum, untuk menjaga kerahasiaan keluarga.

         Lagi. Dari sudut pandang seorang Rendi yang cerdas dan pandai berolahraga. Hanya bisa mengelus dada ketika berhasil menangkap pergerakan Anya yang lagi-lagi salah juga berantakan. Jadinya, permainan volli yang beranggotakan Tania, Anya, Ui dan Rangga—ricuh dan mengundang gelak tawa orang-orang sekitar. Benar-benar memalukan.

         Apa jadinya, andai orang-orang tahu jika keluarga konyol itu adalah seorang Adiptara yang tersohor. Sementara mereka yang telah memberi julukan, atau sekedar mempercayai julukan 'The Mysterious Adiptara Family'—akan muntah darah karena tidak sesuai realita.

        Huh! Apanya.

         Beralih, ke arah dua orang yang duduk santai sembari menonton pertandingan volli, secara live berskala internatioblok. Dialah Rayland dan Ryan. Rendi menggeleng. Ia merasa harus mengecek keadaan kakak ketiganya itu ke dokter karena melihatnya tertawa. Kendati hanya sebuah tawa remeh dan biasa saja. Tetapi ini Rayland loh, pikirnya. Jangankan tertawa. Menunggu menderita lebih dulu dan seseorang baru akan mendapatkan senyum mengejeknya.

      Lalu tatapannya beralih kepada kakak pertamanya. Sembari meneguk es kelapa yang baru saja diterimanya dari si Abang Penjual. Tekstur kelapa yang terasa agak kenyal kembali terasa, baru kemudian terdorong keluar. Menyemburkannya kembali. Ketika melihat kakak tertuanya yang berwibawah masuk kelapangan volli, sembari berjoget tidak jelas untuk merayakan bola pertama Anya.

         Oh, Rendi bisa gila.

          Ada apa dengan keluarganya yang keren?

         "Hoi, Septian! Aku juga ingin es kelapa," Anya berteriak dari tempatnya, memanggil Rendi dengan nama samaran sambil menyengir bodoh.

          "Ogah!"

           Anya memberenggut. "Pelit! Pemalas pula."

           Rendi melotot.

          "Apa? Beli sendiri!" bentaknya, lalu melenggang pergi.

           Rayland di tempatnya duduk, merasa tergerak. Mengangkat tangan sedikit. Antonio sudah berjalan mendekat dan berdiri di belakangnya.

         "Kamu dengar apa yang dia inginkan?" Tanpa menoleh, ia sudah tahu bahwa Antonio mengangguk dan mendengarkan.

       "Ya, Tuan."

        "Kalau begitu, dapatkan," tuntasnya, terdengar tegas.

        Kemudian Antonio melangkah dengan cepat, menuju stand penjual es kelapa yang sama dengan Rendi kunjungi beberapa saat lalu. Segera, ia membeli beberapa buah, sekalian untuk majikannya yang lain. Anya bersorak, lalu menjulurkan lidah ke arah Rendi yang duduk di kursi santai di sebelah kursi Ryan sebelumnya—ketika Antonio memberinya dua es kelapa sekaligus.

        "Blee!! ... Aku punya dua!"

        "Bocah!" Rendi kesal. Perempatan siku muncul di dahinya yang mulus. Tapi dia tetap diam di tempat.

        Selama kurang lebih dua jam pertandingan konyol itu terjadi. Selama itu pulalah Anya berteriak kesenangan. Dia semakin mahir mencetak angka, kendati teknik melempar bolanya sangat jauh dari kata benar. Tetapi yang lebih menjengkelkan adalah, baik Tania, Rangga, atau Ui sekalipun, tidak ada yang ingin berkomentar mengenai itu. Dan Rendi jadi kesal sendiri.

        Rayland yang masih setia menjadi penonton, pada akhirnya bangkit berdiri. Menatap Anya, pria itu berkata, "Anya, ayo kembali." Anya pun menurut.

       Maka seperti itulah permainan volli konyol ala Anya dihentikan.

       "Astaga! Barusan itu benar-benar luar biasa." Anya mulai bercerita di depan Rayland, ketika mereka tiba di kamar hotel.

        "Biasa saja," balas Rayland.

         "Itu karena kamu hanya menonton." Anya menatap Rayland sangsi. Ia tidak terima. Padahal pria itu ikut menikmati bahkan menunggui mereka.

        "Buang-buang tenaga."

        "Hei! Itu berolahraga tahu." Gadis itu mulai kesal.

 

         "Terserah!" Rayland tidak peduli. Pria itu melenggang masuk ke kamar mandi meninggalkan Anya, yang memberenggut kesal di ranjangnnya.

         Memilih rebahan sembari menunggu Rayland selesai dengan urusan mandinya. Pikiran Anya mulai mengelana. Ia berpikir, kenapa sosok wanita yang ia lihat waktu itu tidak nampak lagi. Jujur saja Anya takut. Sangat takut malah. Tetapi ia perlu memastikan sesuatu mengenai dirinya. 

        Pandangannya beralih ke arah jendela di samping kirinya. Senja mulai terlihat dan Anya baru menyadari mereka terlalu lama di luar. Tidak masalah karena ia menikmatinya.

       Buk!!

       Anya berbalik. Lalu mendapati Rayland dengan pakaian santai yang baru saja melemparnya dengan handuk bekas pakainya. Hei! Dia itu sengaja yah menggodanya, pikirnya.

       "Mandi!"

        Huh!

        "Ia, ia. Tapi jangan dilempar juga."

        Bangkit dari rebahannya, Anya meraih handuk. Lantas berjalan malas menuju kamar mandi. Rasanya seluruh keramik yang ia injak menahan langkahnya, mendorongnya untuk kembali pada kasurnya yang nyaman. Tetapi, tatapan Rayland yang tidak berhentih mengikuti pergerakannya membuatnya tidak bisa melakukan itu. Pandangan mata tajam si Sadis baru berakhir, setelah ia berhasil meraih gagang pintu kamar mandi dan masuk ke dalam.

         Dasar!

         Tetapi sebelum Anya benar-benar menutup pintu kamar mandi. Telinganya masih bisa menangkap ucapan Rayland.

        "Jangan sampai tidur. Kalau itu terjadi akan aku biarkan sampai kamu mati."

        Anya merinding. Bulu kuduknya bahkan mulai berteriak panik dan ketakutan. Oh!! Bagaimana bisa pria bermulut kiloan cabai itu mengatakan hal seperti itu dengan sangat tenang. Anya yang sungguh malang. Jadi ketika gadis itu mandi, ia sangat sadar—sesadar-sadarnya.

        Ia tidak ingin berakhir mati di kamar mandi lantas menjadi hantu penghuni wc. Kurang dari 10 menit, ia bahkan sudah membuka pintu kamar mandi dan melenggang keluar. Rayland seketika mengangkat alisnya tinggi. Sedikit heran, menemukan istri ke kanak-kanakannya yang mandi cukup lama menjadi begitu singkat. Tetapi, pria itu memilih diam dan melihat saja.

        "Kenapa?" tanya Anya. Rayland diam, tetapi manik matanya menatap gadis itu tanpa ekspresi berarti. Anya jadi salah tingkah. Lantas melangkah terburu-buru menuju ranjangnya, tepat di sebelah ranjang Rayland. Naik kasur, sementara tangannya bergerak menarik selimut, menutupi tubuhnya nyaris seluruhnya.

        "Anya," Rayland memanggil.

         Menurunkan selimut. Anya cukup terkejut, telah mendapati Rayland berdiri tepat di samping ranjangnya. Berdiri tegap bak malikat pencabut nyawa. Ia bisa melihat betapa tampannya pria itu dari sudut pandangnya saat ini. Cahaya lampu yang cukup terang menyinari wajahnya yang memang bersinar—bertambah indah. Anya pikir Rayland diberkati begitu banyak. Dia kaya, tampan, dan cerdas apalagi. Sayangnya, sifatnya yang keterlaluan membuatnya menyadari, bahwa memang tidak ada yang sempurna. Lalu mengapa dirinya diberkahi sangat sedikit? Huh!

        "Anya," pria itu lagi-lagi memanggil. Anya jadi ketar-ketir sendiri.

        Apa sih? 

        "Ya?"

        "Bagaimana jika aku benar-benar melakukannya?" Rayland terlihat serius. Sinar cahaya lampu yang terang mempertegas segala mimik wajahnya.

         "Hah?" Anya semakin bingung. Dia itu kenapa sih? pikirnya.

         "Apanya? Memang apa yang kamu lakukan?" Kerutan di dahi gadis itu kian bertambah.

         Entah sadar atau tidak, tetapi Rayland sudah duduk di tepi ranjang Anya. Gadis itu bahkan jauh lebih tidak sadar. Sementara ia terbangun, duduk bersandar di sandaran ranjang. Mereka saling tatap untuk waktu yang lama. Anya yang menatap Rayland menunggu, sebaliknya, pria itu menatap Anya dengan serius.

         "Bagaimana kalau yang kamu tanyakan, dan bahkan kamu pikirkan adalah benar, Anya." Tatapan Rayland semakin tajam. Auranya pun sampai terlihat. Pekat dan juga hitam. Menyaksikan itu, Anya menelan ludahnya yang mengering.

         "Kamu benar, yang membunuh ibuku adalah—aku."

          Bukan main kagetnya Anya. Apa pria itu sedang bercanda dan mempermainkannya? Tetapi tatapan seriusnya mematahkan anggapan Anya.

          "Kenapa? Kamu sekarang takut?" Pria itu menyeringai setan.

          "Katakan, Anya!" ia mendesak.

           Dan, siapa yang akan menduga jika tangan Rayland sudah terulur, lantas mencekik Anya dengan keras.

           "A-ap—"

           "Sekarang giliranmu, Anya!"

           Cekikannya semakin kuat dan Anya kesulitan bernafas. Tangan kurusnya menggapai tangan Rayland di lehernya, mencoba melepasnya. Tetapi pria itu begitu kuat. Wajahnya memerah, sementara bulir keringat sudah menuruni wajahnya.

          Apa Rayland sungguh seorang pembunuh?

          Dan ia akan segera mati?

           Gadis itu semakin melemah. Ia butuh oksigen untuk mengambil nafas. Begitu tidak menyangka bahwa Rayland adalah orang seperti ini. Harusnya ia telah menduga sejak awal, jika pria itu benar-benar berbahaya. Seharusnya ... ia segera sadar setelah melihat auranya yang mengerikan.

          Sekali lagi, ia mencoba melawan pria itu tetapi sia-sia. Tangan Rayland di lehernya pun tidak bergerak sama sekali.

         Anya menyerah. Matanya berair. Pertahanannya runtuh, dan ia menangis detik itu juga. Semua kenangan yang telah ia lalui berputar bak kaset rusak menyakiti hatinya. Tetapi, Anya menyadari, betapa ia merindukan ibunya.

         Matanya mengerjap, lantas tersenyum. Anya sadar ini hanyalah halusinasi, meski begitu, ia tetap bahagia; melihat sosok Rayland berubah secara perlahan menjadi figur ibunya. Sementara tangan pria itu mesih mencekik lehernya. Apakah ia sangat-sangat merindukan wanita itu. Mulutnya memang berkata bahwa ia membencinya. Tetapi hatinya tidak dapat berbohong, kalau ia sangat merindukannya.

Tersenyum masam, gadis itu menyesalkan—bahwa ia baru akan mengakui,

.

.

.

jika ia sangat merindukan ibunya, saat sekarat.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kuur Nhea Syih
koinnya kemahalan!!!!!!!!!!!!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status