Seorang gadis menatap sendu ke arah taman. Duduk berpangku tangan dengan guratan kesepian. Sepertinya jutaan kesedihan tengah menyelimuti hatinya. Dibalik bibir yang terus terkembang, ada luka dalam yang sedang berusaha ia pendam.
Hanya berteman dengan angin yang masih setia membelai lembut rambut cokelatnya. Tubuh kecil nan kurus itu kini terisak, menahan derasnya air mata. Begitu sepi dan sendiri, bahkan jangkrik dan kumbang pun enggan menyapa.
Ternyata kegundahan yang ia rasa juga turut dirasa Baswara. Pria muda nan gagah yang begitu berkarisma. Pria tampan yang diam-diam menyimpan rasa padanya. Bulir air mata yang turun memaksa Baswara untuk segera menghampirinya. Melangkah pelan dengan jutaan harapan.
Jantungnya bergemuruh, bak badai yang memburu. Namun langkah tidak kunjung goyah. Kesedihan sang pujaan, sangat menyakitkan. Ingin segera ia tiba dan menyentuh dirinya. Menyeka tetesan air mata dan menenangkan dalam dekapan jiwa.
Bak ditelan bumi, gadis itu lenyap saat tangan Baswara hendak menggapainya.
“Kana!”
“Bas! Baswara!” panggil Samudera sembari menepuk lembut punggung Baswara. “Apakah kamu tertidur dan bermimipi?” tanyanya kembali, kemudian membuka kain yang sedari tadi menutupi jendel kaca.
Dengan segera Baswara menutupi wajahnya. Ia tidak menyangka sampai bisa tertidur di ruang kerjanya.
“Apakah tidurmu tidak nyenyak tadi malam? Bagaimana bisa kamu tertidur, bahkan sampai bermimpi, Bas?” tanya Samudera-bawahan sekaligus sahabatnya Baswara.
“Yah, sepertinya aku insomnia beberapa hari ini, Sam! Apakah ada yang mengetahui ini selain dirimu?”
“Tidak, Bas! Tidak ada,” jawab Sam yang kini tersenyum lembut, sembari duduk tenang dihadapan Baswara. “Oh, ya. Sepertinya tadi kamu menyebutkan nama seseorang saat tertidur. Kana, yah, Kana. Apakah yang kamu maksud Kanagara, Bas?” sambung Sam dengan tatapan penuh rasa penasaran.
Baswara memilih diam dan tidak menjawab, tergambar jelas kegelisahan saat Baswara menyandarkan tubuhnya.
“Ada apa, Bas? Apakah ada sesuatu yang membebani pikiranmu? Tidak ada salahnya kamu bercerita padaku, Bas. Bukankah aku sahabatmu?” tanya Sam dengan penuh rasa perduli.
Baswara berdiri dan menatap ke arah jendela kaca, melihat keramaian dan langit biru berharap bisa mengembalikan rasa tenangnya.
“Bas, apapun masalah yang sedang kamu hadapi. Aku yakin, kamu pasti bisa menyelesaikannya. Bukankah tidak ada yang tidak bisa kau selesaikan?” ucap Sam sembari menepuk lembut pundak Baswara. Sepertinya kedekatan keduanya begitu baik, terlihat dari sikap peka Sam kepada Baswara saat ini.
“Aku harus menikah, Sam!” jawab Baswara sembari menghembuskan napas berat dari mulutnya.
“Menikah? Apakah kamu dijodohkan, Bas? Mengapa terdengar mendadak? Bukankah usiamu masih muda, bahkan belum genap tiga puluh bukan?” tanya Sam yang terlihat kaget. Jemarinya bergerak seakan tengah menghitung sesuatu.
“Itu dia, Sam. Tujuh bulan lagi usiaku genap tiga puluh tahun. Saat itu aku harus sudah menikah jika ingin menjadi pewaris kekayaan Sanjaya. Begitulah tradisi keluarga kami ... dan aku harus mengikutinya jika tidak ingin hidup gelandangan.”
“Ini tidak mudah, Bas. Menikah bukanlah seperti berkencan, yang jika kau tidak senang bisa dengan mudah kau tinggalkan. Terlebih kau sudah cukup lama tidak berhubungan dengan seorang wanita. Tepatnya setelah keputusanmu kembali ke kota.”
Suasana mendadak hening. keduanya tampak berdiam dengan hati yang berkecamuk. Hanya ada wajah-wajah kecemasan yang terlihat asik dengan kemelut pikiran.
“Apakah kamu tidak pernah merasa tertarik dengan seseorang, Bas? Mungkin dengan salah satu wanita dalam perjalanan bisnismu?” tanya Sam dengan tatapan penuh harapan.
Baswara menggeleng, tatapannya terlihat tajam menatap kearah gedung-gedung tinggi pencakar langit. Dengan nada yang melemah, ia pun berkata, “Tidak, Sam. Aku tidak ingin menikahi wanita yang mengetahui keadaanku. Aku tidak ingin mereka menikah karna apa yang aku miliki, bukan diriku.”
Sam mengangguk, status Baswara sebagai penerus tunggal kekayaan Sanjaya semakin mempersulit keadaan. Sebagai pemilik perusahaan terbesar dengan jutaan cabang hingga kepelosok negeri, akan ada banyak wanita yang berharap menjadi pasangannya. Jika begini, mencari yang tulus akan menjadi sangat mustahil. Tiada kata tulus dibalik harta dan tahta yang terlihat oleh mata.
“Tapi ... ada satu gadis yang masih melekat erat di dalam pikiranku, Sam!” jawab Baswara yang seketika berbalik badan menatap Sam dengan senyum sayunya.
Terbelalak, Sam terlihat kaget sekaligus merasa bingung. Kedekatan keduanya yang begitu lama cukup meyakini diri Sam, bahwa tidak ada seorang gadis pun yang sedang mendekati pemimpinnya-Baswara.
“Kana, Sam. Kanagara, gadis penjaga perpustakaan di kampus dulu. Hingga kini, aku masih mengingatnya. Bahkan ... berniat menikahinya,” jelas Baswara dengan wajah tersipu malu. terlihat dari bibir yang terus ingin terkembang, namun berusaha disembunyikan.
“Kana?” tanya Sam seakan tidak menyangka, bahwa gadis culun dengan gaun jaman dulu itu yang menjadi tambatan hati sahabatnya. Membuat Baswara terlihat kesal dan kemudian menjatuhkan tubuh di atas kursi kebesarannya.
“Maafkan aku, Bas! Aku tahu dia wanita yang baik, pintar dan ramah. Namun ...,” ucapan Sam terhenti karena melihat tatapan kesal Baswara. Membuat Sam enggan melanjutkan ucapannya dan kembali bertanya, “Apa yang akan kamu lakukan, Bas? Sudah tujuh tahun lamanya kita tidak bertemu. Aku tidak yakin dia masih bekerja di perpustakaan kampus.”
Baswara tersenyum dan segera meraih gawainya. Jari-jemarinya tampak menari indah di atas layar. Membuat Sam juga turut tersenyum senang dengan hati yang masih bertanya-tanya, merasa tidak percaya akan apa yang baru saja ia dengar.
“Baiklah, Bas. Aku sudah menyerahkan berkas yang harus kamu tanda tangani. Aku harus kembali ke ruanganku, aku harap kamu bisa segera menemukan Kana, Bas.”
Belum jauh Sam melangkah, kembali terdengar suara tegas Baswara yang sedang berbicara melalui gawainya. Dengan bergerak lambat, Sam berharap bisa mendengar pembicaraan Baswara yang terlihat berang.
“Apa maksud pesan ini, Dad? Bukankah aset kita bertambah dan mengalami peningkatan diluar target? Bagaimana mungkin perusahaan kita hanya bisa memiliki sebahagiannya? Bukankah Daddy dan diriku yang mengelola semuanya? Lantas siapa itu Tuan Suryakanta?”
Sam hanya bisa merekam semua pembicaraan ini. Bukan waktu yang tepat untuk meminta Baswara menjelaskannya sekarang. Pembicaraan terhenti, Sam kembali mempercepat langkah dan meninggalkan ruangan Baswara.
Seakan tidak ada habisnya, masalah demi masalah terus datang menyapa. Membuat Baswara gerah, begitu berat hingga memaksa diri untuk menutup rapat kedua mata dan menghentakkan kepala pada sandaran kursi.
Penat dan membosankan, mendorong Baswara untuk melakukan kebiasaan buruknya. Berkendara dengan kecepatan penuh tanpa menghiraukan keadaan. Tanpa takut mobil dua milyarnya tergores, Baswara melesat ditengah keramaian kota. Angin segar dan kerumunan menjadi tantangan yang selalu berhasil membuat kepercayaan dirinya kembali. Tanpa takut akan maut yang mungkin menjemput.
Suara nyaring lagu rock menemani ketegangan suasana jalan. Memecah telinga, melenyapkan kebisingan. Begitu menggebu dan berdegum tidak beraturan.
Tetapi semua berakhir kala seorang gadis berdiri tepat di tengah jalan. Memaksa Baswara untuk segera menghentikan mobilnya. Namun sayang, kecepatan yang begitu tinggi tidak mampu terkendali.
“Brak!”
Gadis itu terhempas kuat, terbaring ditengah jalan dengan ceceran darah segar disekitarannya.
Hai, salam kenal dari aku Be. Terima kasih sudah membaca kisah pertamaku. Aku akan merasa senang jika kamu mau menuliskan tanggapan dan saran isi cerita di kolom komentar. Selamat menikmati kisahnya
Kana dan Soga dibawa ke sebuah tempat di kota kecil. Mereka melakukan perjalanan delapan jam lamanya. Menelusuri jalan sempit dengan banyak pohon tinggi di sekitaran. Jalanan yang menanjak dan udara yang sejuk seperti menuju puncak.“Bas, kita mau ke mana?” tanya Nesa yang merasa bingung akan jalan yang tengah mereka tuju.“Ke rumah kita,” sahut Baswara dengan senyuman.“Rumah kita? Maksudnya kamu beli rumah baru untuk kita?” tanya Kana yang merasa tak mengerti akan maksud ucapan Baswara.“Daddy ingin beri kejutan loh, Bun. Iya kan Dad?” sahut Soga yang kini mulai menikmati perjalanan. Bibirnya terus tersenyum. Sesekali ia membuka kaca jendela dan membiarkan angin menyapu lembut rambut merahnya.“Soga apa kamu siap?” tanya Baswara.“Oke, Dad.”Mobil pun berhenti di te
Baswara tak sadarkan diri. Ia pun kini terbaring lemas di atas ranjang. Tertidur dengan wajah memucat dan pipi memerah. Bingung, Kana meminta dokter pribadi keluarga Soga untuk datang memeriksakan Baswara.“Semuanya baik-baik saja. Tidak ada masalah yang berarti. Suhu tubuhnya pun normal, begitu pula dengan tekanan darahnya. Saya rasa Tuan Baswara hanya sedang kejang otot saat berenang. Yang kemungkinan karena tidak melakukan pemanasan sebelumnya,” jelas Dokter yang kemudian memberikan obat lalu permisi pulang.“Dad, rencana kita berhasil,” bisik Soga yang sedari tadi berdiri di samping Baswara. Sedangkan kana keluar kamar untuk mengantarkan dokter pulang.Baswara mengedipkan matanya. Lalu keduanya kembali berakting saat Kana memasuki kamar.“Soga ambilkan air hangat ya untuk Bunda,” ucap Soga yang dengan sengaja meninggalkan Baswara dan Kana berdua. Tak lupa ia me
Hari-hari dilalui dengan senyuman dan kebahagiaan. Kana tak menyangka kehdarian Baswara di rumah mereka mberhasil menyempurnakan hidup mereka. Pagi ini Kana telat bangun, betapa kagetnya ia saat melihat ke arah jam dinding.“Telat!” gumam Kana yang segera melompat dari tempat tidur. Ia merasa bingung sendiri harus ngapain. Terlebih Baswara sudah tak lagi ada di atas ranjang.“Tenang, tenangkan dirimu Kana. Basuh wajah dan ke dapur. Oke!” ucapnya yang kemudian lari ke kamar mandi.Kini Kana terduduk di depan cermin. Matanya terlihat sendu menatap wajahnya. Berulang kali jemarinya menyentuh bagian pipi dan mata.“Pucat banget yah, sembab gitu matanya. Apa aku pakai make up aja? Tapi aku enggak biasa pakai begituan. Aku ... ah, udah ah. Begini aja,” gumam Kana yang kemudian pergi meninggalkan kamar.Kakinya melangkah membawa menuju dapur, te
“Pagi sayang,” sapa Baswara yang kini tersenyum menatap wajah Kana.“Udah jam berapa?” tanya Kana yang seketika kaget melihat Baswara sudah mengenakan kemeja rapi.“Kamu bobok aja. Aku harus melakukan panggilan video ke klien. Jadi aku harus mengenakan kemeja yang rapi kan?” ucap Baswara.Kana hanya bisa tersenyum geli melihat keadaan Baswara saat ini. Mengenakan kemeja dengan celana olahraga di bawahnya. Kana hanya bisa menggeleng kepala melihat tingkah Baswara.“Jam empat?” gumam Kana yang tak menyangka bahwa ini masih pagi buta.“Yah, maaf kalau ganggu tidur kamu,” ucap Baswara yang kini kembali membuka kemejanya. Ia pun menaiki ranjang dan kembali berbaring. Tangannya memeluk manja tubuh Kana dengan kepala yang bersanda menyentuh lengan Kana.“Aku masih ingin tidur,” sambungnya setela
Tiada hari tanpa kemesraan dan kini Kana mulai terbiasa dengan hal ini. Tak hanya melakukannya di kamar, bahkan kini mereka berani melakukannya di banyak tempat. Seperti yang terjadi saat ini.Kana yang tengah asik duduk di taman pun dikejutkan akan kedatangan Baswara. Ia hadir membawa nampan berisi buah dan segelas jus jeruk. Bak pelayan yang sedang melayani putri raja, Baswara merundukkan badan untuk menyerahkan nampan.Seakan memainkan peran, Kana pun dengan angkuhnya berucap, “Sulangi saya!”Baswara pun tersenyum. Ia meletakkan nampan dan duduk di samping Kana. Tangan kanannnya siap hendak menyulangkan. Namun, bukannya mengangakan mulut. Kana justru kembali berlakon. Ia menunjuk ke arah lantai seraya berkata, “Enggak ada pelayan yang duduk sebangku dengan tuan putri!”“Ba, baik, Tuan putri,” ucap Baswara yang kini bangkit dan bersiap hendak berdiri dengan kedua
Kana masih tidak menyangka ia telah menikah dengan Baswara. Hampir setiap malam ia tidak merasa tenang. Tidur dengan Baswara masih terasa asing untuk dirinya. Ia berulang kali menatap diri di cermin dengan jutaan perasaan yang bercampur aduk.“Kok aku jadi begini? Kenapa enggak bisa bersikap biasa aja?” gumamnya yang terus merasa ada sesuatu yang kurang dari wajahnya.Kembali teringat akan pembicaraan mereka di malam pertama. Saat itu Kana terlihat tak siap untuk tidur bersama Baswara. Sikapnya yang menjaga jarak dengan pria membuat ia bingung sendiri. Namun, ia sangat bersyukur karena Baswara sangat mengerti dirinya.“Kamu malu?” tanya Baswara sembari menatap genit Kana.“Ah, kamu udah makan?” tanya Kana mengalihkan pembicaraan.“Aku belum selera. Tapi aku mau makan yang ada di sini,” ledek Baswara. Ia semakin senang menggoda Kana
“Aku mengirim seseorang untuk bekerja di sana. Ia orang yang cerdas. Dengan mudah ia bisa mengetahui semua informasi tentang perusahaan. Membaca kinerja dan cara kerja mereka. Dari dia pula, aku tahu kamu dipaksa menikah dengan Arya.”“Kenapa kamu diam aja? Apa kamu mau aku menikah dengan Arya?” ungkap Kana kesal. Ternyata selama ia terjepit keadaan, Baswara mengetahui dan memilih diam. Betapa kesalnya ia. Padahal ia begitu berharap akan kedatangan Baswara untuk membantunya.“Jangan begitu, wajah itu membuat aku ingin menciummu lagi dan lagi,” ucap Baswara dengan tangan menyentuh dagu Kana.Wajah cemberut Kana pun seketika berubah menjadi malu. Pipinya memerah, entah sejak kapan Baswara menjadi lembut dan perhatian begini. Hingga membuat Kana bertanya-tanya dalam hati, “Ini Baswara kan?”“Nah, gitu dong. Kan manis.”Kana
Mulai terbiasa disentuh Baswara. Kini Kana tak lagi malu jika bermanja di rumah. Bahkan di setiap saat, keduanya terus lengket seperti perangko. Duduk di ruang tengah sambil membaca majalah, Baswara senang menjadikan paha Kana sebagai bantal. Begitu pula saat di taman, Baswara yang duduk bersandar pada bangku membiarkan lengannya menjadi sandaran Kana.Kebahagiaan yang Kana rasa ternyata juga dirasakan penghuni rumah lainnya. Mereka pun mulai mengatakan apa yang mereka ketahui tentang Arya.“Bun, maaf ya, Bun. Maaf banget. Sebenernya ...”Si Mbok pun membuka cerita. Ia berulang kali mendengar Arya menghubungi seseorang dan membahas harta yang akan didapatkan Soga. Arya berniat merubah jumlah itu dan membiarkan ia mendapat jatah cukup banyak setelah menjadi orang tua asuh Soga.“Kenapa Mbok baru cerita sekarang?” tanya Kana dengan nada sedikit kecewa. Meskipun begitu, ia tidak
Baswara memutuskan untuk tinggal di rumah Soga. Mengawali hari yang baru di sana. Sebagai keluarga, Soga sudah menerima Baswara sepernuh hatinya. Bahkan mereka begitu dekat dan kerap menghabiskan waktu bersama. Membuat Kana geleng-geleng kepala melihatnya.“Bun, Soga berangkat dulu yah!” ucapnya sembari memberi kecupan pada Kana. Lalu berjalan mendekati Baswara melayangkan tinju yang kemudian dibalas dengan tinju Baswara. Lalu tersenyum dan melambaikan tangan seraya berkata, “Bye, Dad!”Terperangah, Kana merasa tak salah mendengar. Hingga ia pun mendekati Baswara yang sedang duduk di meja makan.“Daddy? Soga panggil kamu Daddy?” tanya Kana dengan wajah polos dan lugunya.“Kamu salah dengar kali,” jawab Baswara dengan cueknya.“Enggak kok. Aku dengar jelas tadi dia bilang ‘bye,dad’.”&ldqu