Kana dan Soga dibawa ke sebuah tempat di kota kecil. Mereka melakukan perjalanan delapan jam lamanya. Menelusuri jalan sempit dengan banyak pohon tinggi di sekitaran. Jalanan yang menanjak dan udara yang sejuk seperti menuju puncak.
“Bas, kita mau ke mana?” tanya Nesa yang merasa bingung akan jalan yang tengah mereka tuju.
“Ke rumah kita,” sahut Baswara dengan senyuman.
“Rumah kita? Maksudnya kamu beli rumah baru untuk kita?” tanya Kana yang merasa tak mengerti akan maksud ucapan Baswara.
“Daddy ingin beri kejutan loh, Bun. Iya kan Dad?” sahut Soga yang kini mulai menikmati perjalanan. Bibirnya terus tersenyum. Sesekali ia membuka kaca jendela dan membiarkan angin menyapu lembut rambut merahnya.
“Soga apa kamu siap?” tanya Baswara.
“Oke, Dad.”
Mobil pun berhenti di te
Seorang gadis menatap sendu ke arah taman. Duduk berpangku tangan dengan guratan kesepian. Sepertinya jutaan kesedihan tengah menyelimuti hatinya. Dibalik bibir yang terus terkembang, ada luka dalam yang sedang berusaha ia pendam. Hanya berteman dengan angin yang masih setia membelai lembut rambut cokelatnya. Tubuh kecil nan kurus itu kini terisak, menahan derasnya air mata. Begitu sepi dan sendiri, bahkan jangkrik dan kumbang pun enggan menyapa. Ternyata kegundahan yang ia rasa juga turut dirasa Baswara. Pria muda nan gagah yang begitu berkarisma. Pria tampan yang diam-diam menyimpan rasa padanya. Bulir air mata yang turun memaksa Baswara untuk segera menghampirinya. Melangkah pelan dengan jutaan harapan. Jantungnya bergemuruh, bak badai yang memburu. Namun langkah tidak kunjung goyah. Kesedihan sang pujaan, sangat menyakitkan. Ingin segera ia tiba dan menyentuh dirinya. Menyeka tetesan air mata dan menenangkan dalam dekapan jiwa. Bak ditelan bumi, g
Hitam, semua menjadi gelap. Tanpa suara dan cahaya, seakan tuli dan buta. Keadaan yang tidak menyenangkan ini terasa cukup lama. Sehingga menimbulkan rasa takut dan cemas. Namun, perlahan sayup-sayup terdengar suara memanggil Baswara. Suara lembut dan ceria, sangat tidak asing ditelinganya. Mengingatkannya kembali akan sosok Kana-gadis yang berhasil menyentuh hatinya. Membuat Baswara memutar arah pandang mencari asal suara. Kian lama, suara itu menjadi semakin jelas. Bahkan kini terasa tepat memasuki telinga kanannya. Belaian lembut tangan yang menyentuh dahi, memaksa Baswara membuka mata, pandangan kabur bernuansa putih perlahan terlihat. Tangan lembut menggenggam erat jemarinya. Perlahan pandangan itu semakin jelas. Sebuah dinding putih terbentang tepat didepannya. Senyuman manis sang ibu pun menyapa lembut dirinya. “Bas, kamu sudah sadar, Nak?” tanya ibunya dengan nada penuh syukur. Baswara mengangguk lembut , wajahnya terlihat kecewa karena bukan
Pagi yang cerah dengan tiupan angin segar, dihiasi sisa jejak hujan semalam. Jalanan begitu ramai, dipenuhi dengan berbagai angkutan yang memecah keheningan pagi. Sebuah mobil mewah mampu menarik hati. Mobil bewarna gading itu dikendarai seorang supir yang membawa wanita dan bocah kecil di dalamnya, terparkir rapi di halaman rumah sakit. Wanita yang bertubuh kurus dan berkulit sawo, berbalut kemeja dan rok panjang menggandeng masuk bocah laki-laki menuju rumah sakit Sehati. Keduanya berjalan tenang sembari berbincang dengan tatapan bahagia. “Bunda, apakah Paman tidak terluka parah? Jika iya, aku tidak ingin masuk untuk melihatnya,” ungkap bocah kecil dengan wajah cemberut. “Tidak, Soga sayang. Paman tidak terluka, kebakaran kemarin hanya menimbulkan banyak asap yang membuat Paman jatuh pingsan. Kamu tidak perlu hawatir, aku yakin Paman akan merasa senang melihat kedatanganmu,” jelas wanita cantik dengan gaya berpakaian yang terlihat kuno, hingga membuat banyak
Suasana kantor terlihat senyap kala kaki Baswara melangkah diantara mereka. Semua pandangan tertuju padanya. Wajah kaget sekaligus takut tergambar jelas. Namun, Baswara mengabaikan begitu saja. Baginya suasana ini bukanlah sesuatu yang asing. Sebagai pemimpin yang keras dan tegas, Baswara kerap ditakuti bukan disegani. Berbeda jauh dengan sikap mereka kepada Sam, terkesan ramah namun tetap dihormati. “Temui aku di ruangan segera, Sam,” ucap Baswara tegas melalui gawaninya. Beberapa saat ketukan terdengar, Sam sudah tiba di ruangan Baswara. Melangkah lunglai dengan wajah cemas. Sepertinya ia tahu benar akan apa yang hendak Baswara sampaikan padanya. “Duduklah!” ucap Baswara tegas. Meskipun ia tengah berdiri membelakangi pintu, namun ia melihat jelas wajah Sam melalui pantulan dinding kaca. “Apa saja yang belum kamu sampaikan padaku?” suara gelegar Baswar berhasil membuat Sam tertunduk dengan wajah memucat. Tidak kunjung mendapatka
“Aku yakin itu Kana. Yah, aku harus segera mengunjungi alamat ini untuk memastikannya,” gumam Baswara sembari menggenggam selembar kertas berisi alamat. Kertas pemberian salah satu pegawai kafe yang mengaku telah mengenal Kana dan Soga-bocah lelaki yang selalu bersama Kana. Seharian ini Sam tidak terlihat. Bahkan gawainya tidak aktif, membuat Baswara kesal. kekesalannya kian bertambah kala mengetahui Sam juga tidak masuk kantor hari ini. “Sialan! Dia pasti menghindariku. Bagaimana bisa ia tidak masuk dan tidak menghubungiku,” gumam Baswara yang kini menatap dinding kaca. Dering gawai berbunyi, terlihat beberapa pesan masuk berisi foto. Ternyata itu pesan dari si petugas gedung apartemen. Ia mengirimkan gambar Sam, seorang perawat wanita dan seorang pemuda berbaju rapi. Gambar ketiga berhasil meraih perhatian Baswara. Sambil menggerakkan jari, Baswara memperbesar ukuran gambar untuk memastikan siapa orang terakhir yang mengunjungi apartemennya. N
“Dari mana saja kamu?” tanya Sanjaya dengan tatapan tidak senang. “Beberapa hari ini kamu sering keluar kantor pada jam kerja. Apa kamu ingin menghancurkan perusahaan kita?!” sambung Sanjaya setelah melihat Baswara tidak memperdulikannya. “Heh!” ucap Baswara yang kini berbalik badan mendekati ayahnya. “Aku tidak mengerti akan permainan Dady. Aku ...,” ucapan Baswara terhenti setelah melihat kedatangan ibunya. “Ada apa ini? Dad, Baswara baru pulang. Biarkan dia beristirahat dulu, jangan diberikan rentetan pertanyaan seperti itu,” ungkap ibu Baswara sembari membelai lembut lengan putra tunggalnya. “Lepas, Mom!” teriak Baswara sembari mengenyahkan tangan ibunya. “Aku lelah hidup bersama kalian. Kalian semua penipu!” teriaknya kembali yang kemudian pergi dengan tergesa-gesa menuju mobil. Menyalakan dan melaju kencang dengan penuh amarah. Baswara merasa dihianati keluarganya sendiri. Semua perasaan kacau ini terjadi semenjak pertemuannya dengan Alea
Pagi ini keadaan hotel Sun Beach terlihat rapi. Banyak mobil mewah teparkir di sana. Meja jamuan juga telah berisi berbagai jenis kopi dan makanan ringan lainnya. Sepertinya akan ada pertemuan penting.Tepat di salah satu ruangan terlihat Sanjaya dengan pakaian rapinya terus melirik ke arah pintu masuk. Tatapannya seolah menanti kedatangan seseorang. Berulang kali ia mencuri pandang arloji di tangan kanannya.“Biasanya ia sudah hadir sebelum pertemuan berlangsung. Tetapi sekarang, batang hidungnya juga belum kelihatan. Awas saja jika ia nekat melakukan tindakan bodoh kali ini,” gumam Sanjaya yang kemudian melangkah mendekati jendela besar.Tamu yang ditunggu tiba, dua orang pria dewasa berwajah belasteran memasuki ruangan. Diikuti seorang gadis berwajah oriental berjalan di belakangnya. Gadis cantik dengan gaun terbuka dibagian atas diselimuti jas hitam dan rok belahan tinggi hingga menunjukkan paha yang mulus. Ketiganya begitu ramah menghampiri Sanj
Baswara menatap bingung, ia tidak merasa mengenalnya. Tatapan bingung Baswara membuat si anak semakin kesal hingga berteriak kencang dihadapannya.“Hei!” ucapnya sambil menepuk kuat meja Baswara. “Aku sedang berbicara denganmu!”“Bisakah kamu bersikap lembut, bocah kecil,” ucap Baswara dengan tatapan penuh kebencian.“Kau harus bertanggung jawab! Kau pikir nyawa seseorang itu mainan?!” ucap Si bocah yang semakin membuat Baswara kesal. Namun, Baswara masih bisa menjaga sikapnya dengan baik meskipun nyaris terpancing.“Sepertinya kau salah orang, Nak!” ucap Baswara yang kemudian hendak bangkit dengan kopi di tangannya.“Kau pikir, kau manusia paling kaya, hah? Uangmu tidak dapat membeli nyawa seseorang!” teriak bocah itu kembali, membuat langkah Baswara terhenti seketika. Sambil menatap tajam dengan dahi mengernyit Baswara meletakkan kopi dengan kasar di atas meja hingga bercecer