Home / Romansa / Aduh, Sayang Jangan Goda Aku Terus / Bab 5: Aku Akan Mengajarimu

Share

Bab 5: Aku Akan Mengajarimu

Author: NACL
last update Last Updated: 2025-11-13 10:29:02

Diana memeluk lututnya dan sesenggukan, perlakuan kasar Rayan semalam menjadi bukti bahwa apa pun usahanya tidak akan berhasil. Patah sudah semangatnya, kini untuk apa lagi ia menjalani terapi?

Percuma!

​Telepon genggamnya bergetar lagi. Namun Diana membuang wajah, terlalu malu dan hancur rasanya jika berhadapan dengan Dhava.

​Bukan hanya telepon saja yang mengusik, tetapi ketukan pintu kamar membuatnya ingin menjerit. Namun, harus kepada siapa ia mengadu?

Tidak ada!

​“Diana, Ibu masuk, ya. Bawa sarapan dan jamu untukmu.” Suara lembut itu tidak bisa ia tolak.

​“Iya, Bu, sebentar,” sahutnya dengan suara parau. Diana turun dari ranjang dan membuka slot kunci. Ia menatap nampan yang dibawa oleh mertuanya.

​“Ada bubur kacang hijau, masih hangat. Ayo, dimakan. Setelah itu kamu minum jamu. Kalau kamu udah hamil, pasti Rayan betah di rumah. Ibu janji, dia nggak akan kasar lagi,” rayu wanita itu yang lantas menaruh mangkuk keramik putih di atas meja.

​“Mau Ibu suapin nggak?” tanya wanita itu terdengar halus dan santun.

​Diana menggeleng, sungguh ia enggan menelan apa pun.

​“Aku nggak lapar, Bu. Nanti jamunya biar aku minum,” ucapannya pelan, meraih cairan hitam dalam botol bening.

​Wanita paruh baya itu tersenyum kecil. “Ya, udah, kalau nggak mau. Ibu nggak akan maksa. Tapi jamunya jangan lupa. Ibu belanja dulu sama Bibi. Kebutuhan dapur habis, tapi … Rayan belum kasih uang.”

​Diana meraih ponselnya, mengetik cepat dan menunjukkan bukti transaksi pada layar. “Idah aku transfer lima juta, Bu.”

​“Duh, kamu memang mantu kesayangan yang baik. Ibu berangkat, ya, Nak.” setelah melihat bukti transfer, wanita paruh baya itu meninggalkan Diana yang masih terkurung dalam luka.

​Telepon genggamnya bergetar lagi, diikuti satu pesan masuk.

​[Balas, Di. Aku dalam perjalanan ke rumahmu.]

​Diana membelalak membaca pesan itu. Ia tidak mungkin menerima tamu pria dan tidak mungkin juga keluar dalam keadaan berantakan.

​Akhirnya Diana membalas pesan. [Aku baik-baik Mas.]

​Balasan cepat diterima.

​[Sebagai terapismu, aku perlu tahu keadaanmu pascaterapi. Sebentar lagi aku sampai.]

​Secara impulsif Diana mengirim balasan untuk pria itu. [Mas, jangan ke sini! Biar aku ke klinik.]

​Diana menatap cermin, dari kejauhan saja melihat bagaimana luka memar menghiasi pipi mulusnya. Ini bukan lagi sakit, tetapi memalukan. Ia kembali menatap ponselnya saat pesan baru diterima.

​[Ok, aku tunggu.]

​Diana gegas merapikan penampilannya. Tidak lupa menggunakan make up tebal untuk menutupi noda biru keunguan. Air mata kembali menetes sepanjang ia mengendarai Mini Cooper putihnya.

​Diana sempat ragu untuk masuk ke klinik. Ekspresi semua pasien yang keluar dari sana tampak sumringah bersama pasangan. Sementara dirinya justru luluh lantak sendirian, seperti tidak ada lagi setitik kebahagiaan untuknya.

​Diana merapatkan mulutnya untuk meredam tangis. Kakinya sudah siap untuk tancap gas, meninggalkan tempat ini. Namun … panggilan masuk dari Dhava mencegahnya.

​Tangan gemetarannya menerima telepon itu.

​“Kamu di mana? Masuk ke ruanganku, sekarang. Jangan berpikir untuk kabur.” Ucapan Dhava membuat wanita itu kebingungan.

​Spontan ia menjawab, “Kok, Mas, tau?”

​“Aku jemput ke parkiran!” tegas Dhava, lalu memutuskan sambungan teleponnya.

​“Halo … Mas … Biar aku yang masuk.”

​Sebelum Dhava nekat menjemputnya, Diana keluar dari mobil, menggunakan kacamata hitamnya. Kakinya yang terbingkai sepatu flat peach melangkah tergesa.

​Staf klinik langsung menyambut, “Nona Diana ditunggu Pak Dhava di ruangannya. Silakan.”

​Diana merasa kakinya gemetaran saat mendekati ruang konsultasi sang sepupu. Begitu masuk, Dhava memandang ke arahnya. Jujur, ia tak bisa lagi menahan diri untuk melepas gundah.

​Bersamaan dengan pintu tertutup dan terkunci otomatis, Diana menghambur mendekati Dhava.

​“Mas … semuanya gagal. Aku … memang bukan istri yang baik,” adu wanita itu, suaranya parau.

​Dhava melepas kacamata hitam Diana. Mengamati sepupunya dalam diam. Hanya rahangnya tampak mengeras dan jakunnya berkedut.

​“A–aku … aku nggak mau lagi berhubungan intim, Mas. Rasanya … sakit banget,” akunya, bahkan Diana sudah tak lagi memikirkan keanggunanny lagi.

​“Di mana sakitnya?” tanya Dhava, suaranya yang datar itu mengalun lembut.

​Sambil menunduk dalam, Diana menunjuk pipi, dada, dan bagian bawah perutnya. Sungguh ia sudah kehilangan muka di hadapan Dhava.

​Alih-alih menanggapinya dengan kata-kata, Dhava justru memeluk erat Diana. Memberikan ketenangan mendalam melalui sentuhannya. Setelah beberapa menit, isak tangis Diana berangsur hilang.

​“Obati dulu pipimu. Aku tau kamu terluka, tidak perlu cerita sekarang. Aku ada di sini untukmu.” Dhava menggiring Diana duduk di sofa empuk. Wanita itu menurut saja, bahkan mata cokelat karamelnya tak lepas dari wajah tampan sang sepupu.

​“Terima kasih, Mas,” lirih wanita itu.

​Diana merasakan setiap sentuhan Dhava begitu lembut dan hati-hati, meskipun terlihat luwes mengobati memar di pipinya. Ketegangan yang sejak semalam membelenggu seakan sirna berganti dengan rasa aman dan nyaman berada di dekat sepupunya.

​Sebagai psikolog sudah tentu Dhava mudah menangani emosi Diana. “Tarik napas perlahan, Di. Aku tidak butuh detailnya. Hanya perlu tahu apa yang kamu rasakan saat ini.”

​Diana mengambil napas dalam dan pelan. Benar, ia menjadi lebih tenang tidak seperti tadi.

​“Aku nggak mau pulang, Mas. Aku boleh kabur nggak? Sebentar aja, sampai … siap ketemu dia lagi,” celotehnya tanpa diiringi tangis.

​“Boleh.” Dhava mengulurkan tangan, Diana langsung menyambutnya. “Apa yang bisa aku lakukan untuk membuatmu tenang?”

​“Aku mau ke hotel aja. Tidur di sana,” ungkap Diana, enggan menginjakkan kakinya di rumah. “Antar aku, Mas.”

​Dhava mengangguk tegas. “Aku temani.”

​Sebelum keluar dari ruang konsultasi, Dhava meninggalkan pesan pada stafnya, “Saya ada perlu penting. Tidak ada sesi konsultasi dari siang hingga sore ini. Jadwal ulang semua klien sisanya.”

​Mereka keluar dari klinik melalui pintu belakang yang cukup sepi. Mercedes-Benz hitam milik Dhava meninggalkan klinik.

​Mobil mewah itu tiba di hotel. Dhava tidak membiarkan Diana turun sendirian. Pria itu mendampinginya, memastikan adik sepupunya benar-benar aman.

​“Makasih, Mas, sudah anterin aku, dan bikin aku tenang,” ucap Diana pelan, sesaat pintu kamar terbuka.

​Dhava merangkum pipi sepupunya. “Tatap mataku, Di. Sekarang, jujur padaku, apakah di dekatku kamu merasa nyaman?”

​Mata cokelat karamel Diana menatap lekat wajah tampan Dhava. Ia mengangguk kecil. “Lebih dari nyaman dan aman, Mas.”

​Ada senyum tak biasa terukir di bibir pria itu. Jari-jemari Dhava perlahan turun dari pipi, menyusuri garis leher Diana, hingga berhenti tepat di tulang selangkanya.

​Diana merasa dadanya berdetak hebat, bukan karena masalah semalam, tetapi sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sentuhan yang telah lama ia nantikan dari pria.

​Dhava mendekatkan wajahnya. Hembusan napasnya yang hangat menerpa kulit sensitif Diana. Aroma mint dan musk Dhava begitu membius, seakan menghilangkan jejak trauma dari Rayan.

​“Lalu apa yang kamu butuhkan untuk menghilangkan rasa sakit itu?” bisik Dhava, suaranya berubah serak basah.

​Diana menutup mata, ia tenggelam dalam kehangatan Dhava. Wanita itu mengangkat dagunya sedikit, mengikuti naluri hatinya.

​Dhava tersenyum tipis dan pandangannya memanas. Kali ini bibirnya tepat di depan bibir Diana. "Aku tidak tahu apa yang dilakukan dia padamu, tapi kupastikan kamu lupa, Di. Aku akan mengajarimu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
radayinta
wah, cerita anak dokter Denver dan dokter Darius, akhirnya cerita adiknya Dirga dimulai
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Aduh, Sayang Jangan Goda Aku Terus   Bab 5: Aku Akan Mengajarimu

    Diana memeluk lututnya dan sesenggukan, perlakuan kasar Rayan semalam menjadi bukti bahwa apa pun usahanya tidak akan berhasil. Patah sudah semangatnya, kini untuk apa lagi ia menjalani terapi? Percuma! ​Telepon genggamnya bergetar lagi. Namun Diana membuang wajah, terlalu malu dan hancur rasanya jika berhadapan dengan Dhava. ​Bukan hanya telepon saja yang mengusik, tetapi ketukan pintu kamar membuatnya ingin menjerit. Namun, harus kepada siapa ia mengadu? Tidak ada! ​“Diana, Ibu masuk, ya. Bawa sarapan dan jamu untukmu.” Suara lembut itu tidak bisa ia tolak. ​“Iya, Bu, sebentar,” sahutnya dengan suara parau. Diana turun dari ranjang dan membuka slot kunci. Ia menatap nampan yang dibawa oleh mertuanya. ​“Ada bubur kacang hijau, masih hangat. Ayo, dimakan. Setelah itu kamu minum jamu. Kalau kamu udah hamil, pasti Rayan betah di rumah. Ibu janji, dia nggak akan kasar lagi,” rayu wanita itu yang lantas menaruh mangkuk keramik putih di atas meja. ​“Mau Ibu suapin nggak?” tanya w

  • Aduh, Sayang Jangan Goda Aku Terus   Bab 4: Nggak Mau Terapi Lagi!!

    Diana meraba dadanya sendiri.​Ia tidak pernah merasa seantusias ini pulang ke rumah. Selama empat tahun, seolah lebih baik ada di luar, dan rumah hanya tempat untuk tidur.​Sepanjang perjalanan pulang dari klinik Dhava, ia sering menatap jemari tangan kanannya. Rasanya masih berdenyut panas, otot-otot gagah sang sepupu begitu nyata.​“Kenapa malah mikirin Mas Dhava? Nggak boleh, Diana! Dia sudah punya istri dan anak,” gumamnya. Ucapan pria itu yang penuh godaan juga menggema dalam benaknya. ‘Lembut. Nikmatilah dan rasakan suhu tubuhku.’​Pipinya memerah, ia mendesis kecil karena membayangkannya saja mampu membuat area pinggulnya berkedut.​Malam itu juga Diana menyiapkan dirinya dengan teliti. Ia menggunakan gaun tidur paling tipis yang dimiliki, menyemprotkan parfum ke leher, dan menyalakan lilin aroma terapi. Termasuk menyulap balkon untuk makan malam romantis. Tentunya ini petunjuk dari buku panduan dari klinik Dhava.​Ketika Rayan akhirnya masuk kamar, Diana menyambutnya dengan p

  • Aduh, Sayang Jangan Goda Aku Terus   Bab 3: Sentuh Di Area Paling Sensitif!

    “Hah? Pra–praktek a–pa, Mas?” cicit Diana, suaranya tercekat di tenggorokan. Ia melirik pintu yang terkunci rapat. Seketika jantungnya mendadak berhenti berdetak.​“Iya. Cepat,” ulang Dhava lagi, tangannya masih terulur.​Spontan Diana menatap tangan besar, berkulit kecokelatan, dengan urat yang samar terlihat. Itu adalah tangan sepupu yang ia kagumi diam-diam sejak masa remaja.​Tidak ada respons dari wanita itu membuat Dhava menarik tangannya kembali dan tersenyum tipis. Sungguh kali ini bukan hanya jantungnya yang berhenti, tetapi Diana merasa napasnya juga tersendat, sebab aura dingin sang sepupu lenyap dan berganti dengan pesona seorang pria dewasa gagah.​Diana mereguk air liurnya sendiri. Ia menggeleng pelan, menampik kalau dirinya dan Dhava akan…. Ah, isi kepalanya ini benar-benar keterlaluan. Ia mengatur napas pelan, mengelus pelipisnya.​Pria itu menjelaskan, “Praktek re-education sentuhan Rayan. Ingat, Di, fokus pada tujuan akhir.”​Benar, Diana ingin Rayan menempel padanya

  • Aduh, Sayang Jangan Goda Aku Terus   Bab 2: Kita Praktek, Sekarang!

    ​“Bu–bukan!” jawab Diana refleks sambil menggeleng cepat. Matanya yang agak sipit itu membulat tatkala melihat sosok pria tampan makin mendekat. Ia langsung memalingkan wajah, dan mulai melangkah. Namun entah mengapa kakinya terasa berat untuk bergerak.​“Aryani Diana Bradley!” panggil suara itu lagi.​Bertepatan dengan Diana menoleh, pria itu menarik tali tas selempang dari punggungnya. Tidak kencang, tetapi Diana justru merasa ditarik sangat kuat.​“Eh … aduh, aku bukan … Diana. Mas … maksudku Pak Terapis salah orang!” tolaknya, meskipun tubuhnya malah terseret kuat.​Ya, pria itu adalah Madhava, yang akrab dipanggil Terapis Dhava oleh pasiennya. Orang nomor satu yang saat ini ingin ditemui sekaligus ia hindari karena takut konsultasi ini tersebar ke seluruh anggota keluarga.​“Ikut aku, sekarang!” perintah Dhava, suaranya mengalun dingin dan ketus.​Diana menekuk wajahnya, tetapi mengekor di belakang Dhava yang saat ini masih menarik tali tas selempangnya. Tentu saja mereka jadi pu

  • Aduh, Sayang Jangan Goda Aku Terus   Bab 1: Aku Nggak Puas, Mas!

    "Ouh … ah! Ya, ampun … apa aku ini gila?" desah seorang wanita di dalam kamar mandi utama, yang pintunya terkunci. Tubuhnya menegang, punggung melengkung tanpa sadar, dan napasnya terengah. Ia bersandar di dinding porselen dingin, sambil membekap mulut untuk meredam suara yang keluar.Ini sudah dilakukannya selama empat tahun. Kenapa?​Namanya Diana, seorang istri pada umumnya yang mendamba kepuasan dari hubungan intim. Alih-alih menjerit nikmat karena 'olahraga' bersama suami, ia justru harus bekerja sendirian—menggunakan alat sekadar menipu sepi dan hasrat yang tak pernah dipenuhi.​Di luar kamar mandi, suara dengkuran keras suaminya terdengar mengejek, itu menjadi pengingat menyakitkan. Rayan enak-enakan tidur setelah melakukan kegiatan yang sama sekali tidak panas. Bahkan tidak pernah memikirkan haknya sebagai istri.​Desahan itu lama-lama berubah menjadi isak tangis dan tubuhnya gemetar hebat. Ia menunduk, rambut panjang cokelat gelapnya menutupi wajah.​“Sampai kapan aku … har

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status