Beranda / Romansa / Aduh, Sayang Jangan Goda Aku Terus / Bab 4: Nggak Mau Terapi Lagi!!

Share

Bab 4: Nggak Mau Terapi Lagi!!

Penulis: NACL
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-13 10:28:05

Diana meraba dadanya sendiri.

​Ia tidak pernah merasa seantusias ini pulang ke rumah. Selama empat tahun, seolah lebih baik ada di luar, dan rumah hanya tempat untuk tidur.

​Sepanjang perjalanan pulang dari klinik Dhava, ia sering menatap jemari tangan kanannya. Rasanya masih berdenyut panas, otot-otot gagah sang sepupu begitu nyata.

​“Kenapa malah mikirin Mas Dhava? Nggak boleh, Diana! Dia sudah punya istri dan anak,” gumamnya. Ucapan pria itu yang penuh godaan juga menggema dalam benaknya. ‘Lembut. Nikmatilah dan rasakan suhu tubuhku.’

​Pipinya memerah, ia mendesis kecil karena membayangkannya saja mampu membuat area pinggulnya berkedut.

​Malam itu juga Diana menyiapkan dirinya dengan teliti. Ia menggunakan gaun tidur paling tipis yang dimiliki, menyemprotkan parfum ke leher, dan menyalakan lilin aroma terapi. Termasuk menyulap balkon untuk makan malam romantis. Tentunya ini petunjuk dari buku panduan dari klinik Dhava.

​Ketika Rayan akhirnya masuk kamar, Diana menyambutnya dengan pose seksi di atas sofa merah yang kontras dengan kulit putihnya. Namun, mata pria itu tak meliriknya sedikit pun.

​“Mas sudah makan belum?” tanyanya lembut, Diana memperpendek jarak dengan Rayan.

​Pria itu melepas kemeja dengan cepat. “Sudah.”

​Diana menelan kekecewaan, tetapi ini belum ada apa-apanya. Bukankah ia sudah bertekad? Itu artinya harus berjuang, toh Rayan hanya menolak makan malam, bukan dirinya.

​“Hmm … Mas, aku … kangen kamu,” bisiknya pelan. Diana menyentuh bahu Rayan dengan lembut, seperti apa yang sudah ia pelajari tadi. Lagi, wajah Dhava melintas di pikirannya.

​‘Fokus pada tujuan akhir, Di!’ tekannya dalam hati, mengempas bayang-bayang sepupu. Tangannya kini merayap pada dada bidang Rayan yang sedikit berotot.

​Pria itu terdiam dan menatap Diana. Bukan tergoda atau balas menggoda, justru dengan kasarnya menepis tangan Diana.

​“Kamu kenapa, sih, senang banget gangguin aku? Suami pulang itu suruh istirahat! Mana badan kamu bau banget lagi.” Rayan mendengkus dan melangkah ke kamar mandi.

​Tangan Diana mematung di udara. Pupilnya bergetar dan napasnya terasa berat karena dadanya berubah sesak. Tanpa sadar cairan bening nan asin menetes. Ia mengendus tubuhnya, tidak bau. Aroma parfum masih tercium.

​“Aku cuma pengen memperbaiki keintiman kita, Mas. Aku ngerasa selama empat tahun ini kita hambar,” lirihnya, bibir Diana bergetar dan matanya memejam sesaat.

​Rayan menyahut cepat, “Bukan kita, tapi kamu yang harus introspeksi. Nggak jelas banget sih jadi cewek, bisanya cuma menuntut suami.”

​Diana membekap mulutnya sendiri. Dituduh menuntut suami membuatnya kebingungan setengah mati.

​“Aku nggak pernah menuntut apa-apa, Mas. Aku cuma pengen kita makin dekat dan … punya anak,” cicitnya, sambil menahan sesak.

​Ya, bahkan masalah materi saja lebih dari setengahnya Diana yang membiayai. Apalagi Rayan sebagai manajer HRD di perusahaan keluarga wanita itu. Tentu Diana tahu berapa penghasilan pria itu yang hanya cukup untuk cicilan mobil serta kebutuhan sang mertua.

​Baginya materi tidaklah penting, bisa dicari bersama. Ia hanya tahu seperti itu caranya berumah tangga. Menghindari konflik dengan suami tanpa menyebut nafkah dari Rayan selalu kurang. Sekarang ia malah dicap wanita penuh tuntutan ….

​Sakit!

​“Aku … minta maaf, Mas. Kalau kamu nggak nyaman sama aku,” ucapnya pelan. Ia mengikuti Rayan ke kamar mandi.

​Pria itu mendumal, “Maaf terus. Capek mendengarnya.”

​Rayan membuka lemari wastafel, dengan cepat menarik handuk bersih. Namun, sebuah gulungan kecil ikut terjatuh tepat di kakinya.

​Mata Diana membulat sempurna dan tangannya refleks meraih benda itu. Namun, terlambat … Rayan sudah lebih dulu mengambilnya.

​“Apaan, nih?” Rayan memperhatikan dengan saksama.

​“Mas … itu … i–tu bukan apa-apa. Cu–cuma handuk kotor saja,” elak Diana masih berusaha merebut gulungan handuk.

​Rayan menepis keras tangan Diana. “Ngapain kamu?!”

​“Mas … biar aku yang—” seketika mulut Diana terkatup rapat.

​Rayan membuka gulungan handuk itu dan sebuah benda berbentuk bulat sedikit melengkung yang berbahan silikon rose gold teronggok di lantai. Pria itu melotot.

​“Ini punya kamu, hah?” Rayan mengambil dan menunjukkannya pada Diana.

​Diana yang sedari tadi menunduk, kini mengangguk kecil. “Iya, Mas.”

​“Malu-maluin.” Rayan naik pitam, ditariknya kasar lengan Diana. “Ini sama saja mengeledek aku nggak bisa puasin kamu, tau!”

​Sambil meringis Diana mencicit, “Tapi empat tahun ini … aku memang nggak pu—”

​“Ah, diam kamu! Biar aku tunjukkan gimana cara pakai alat ini!” Rayan menyeret Diana cepat ke kamar. Tanpa basa-basi lagi ia menjatuhkan tubuh Diana ke atas ranjang.

​“Mas, jangan!” pekik Diana, mencoba bangun.

​Rayan menindih tubuh Diana, menumpu bobotnya yang berat.

​“Aw … Mas berat.” Tangis Diana yang merasa pedih di area paha.

​“Jangan pernah meremehkan aku, Diana! Kamu malah beli alat sialan ini!” teriak Rayan seperti orang kesetanan, matanya seolah menyala dan tubuhnya terasa panas.

​Mode getar maksimal digunakan, Rayan menempelkannya di area sensitif sang istri. “Rasakan ini, hah? Enak nggak?” bentaknya.

​Diana menggelepar hebat di atas ranjang. Bukan nikmat, tetapi harga dirinya ternoda dan terinjak. Alat yang seharusnya dipakai untuk mencari kepuasan, justru berbalik mempermalukannya.

​“Ahh … ampun, Mas. Tolong berhenti!” jeritnya, air mata sudah bercucuran dari kelopak sipitnya, membasahi seprei.

​“Ampun? Enak saja. Ini hukuman untuk istri kekanak-kanakan kayak kamu, paham?!” Rayan memorak-porandakan inti sensitif itu.

​Diana yang tidak kuat lagi pun meraih bantal dan guling, melemparnya pada Rayan. Namun pria itu bergeming. Hingga Diana mengangkat kepala dan menggigit keras bahu suaminya.

​“Argh … sialan kamu!” umpat Rayan, detik itu juga melayangkan telapak tangannya pada pipi mulus sang istri.

​“Akh!” Diana menjerit pedih. Kepalanya terasa pening, dan rasa panas menjalar hebat di pipinya.

​Dari luar terdengar ketukan pintu.

​“Buka, Ray, Di! Ada apa?! Cepat buka!” Itu suara ibu mertua, sudah pasti mendengar keributan dari kamar ini.

​Diana mendorong tubuh Rayan yang terdiam karena memandangi tangannya. Ia berlari dan membuka pintu.

​“Ibu!” pekiknya, langsung menghambur ke pelukan sang mertua.

​“Aduh, ada apa ini? Rayan, kamu apain mantu Ibu?” Wanita paruh baya itu melotot pada putranya. Rayan hanya menunjukkan telapak tangan.

​“Mas Rayan … di–a … dia ….” Saking perihnya, Diana tak sanggup berkata-kata.

​Sedangkan ibu mertua berkata tanpa suara pada Rayan, “M-i-n-t-a m-a-a-f!”

​Sambil menekuk wajahnya, Rayan menghampiri kedua wanita itu. Ia mengusap lembut bahu istrinya yang mulus.

​“Di … aku … minta maaf sudah pukul kamu. Aku cuma kepancing emosi. Jangan marah, Di. Kita bisa obrolin baik-baik,” ucap Rayan lembut, datar, dan ekspresi wajahnya tampak biasa saja.

​Diana mengedik bahu. “Nggak. Aku nggak mau maafin kamu, Mas. Jahat!”

​Rayan menatap bengis lagi pada istrinya, alih-alih meminta maaf, ia justru melenggang pergi.

​“Rayan!” panggil sang ibu. Kemudian fokusnya beralih pada Diana. “Maafin anak Ibu, ya, Nak. Biar nanti Ibu yang kasih tahu. Dia pasti nurut. Sudah, ya, jangan nangis lagi. Umm … tolong jangan lapor polisi atau keluargamu, oke?”

​Diana melepas pelukannya. Sang mertua gegas menghapus air matanya. “Tapi Bu—”

​“Kalau masalah ini kedengaran orang. Malu, Nak. Apalagi mamamu lagi sakit, Ibu takut beliau malah ….” Wanita itu sengaja menggantung ucapannya, sambil mengamati ekspresi Diana. “Jangan lapor, ya?” ucapnya lagi.

​Diana pun mengangguk pelan. Malam ini terasa berat baginya. Ia meringkuk sendirian di atas ranjang yang menjadi saksi tingkah bengis sang suami. Air matanya tak kunjung surut. 

Pagi ini, Diana terbangun oleh suara getaran ponsel yang terus-menerus. Ia berusaha bangkit, tetapi rasa nyeri di pipi kiri bekas tamparan Rayan dan sakit di dalam tubuh membuatnya berat dan hampa.

Perlahan, ia mengambil benda tipis itu dari nakas. Ada dua panggilan tak terjawab dan dua pesan teks. Semuanya dari Dhava.

​[Gimana? Berhasil?]

[Jika kamu tidak menjawab, aku akan datang ke butikmu. Sekarang.]

​Alih-alih menceritakan kejadian sesungguhnya, Diana malah mengetik balasan lain. [Aku nggak mau terapi lagi!]

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aduh, Sayang Jangan Goda Aku Terus   Bab 5: Aku Akan Mengajarimu

    Diana memeluk lututnya dan sesenggukan, perlakuan kasar Rayan semalam menjadi bukti bahwa apa pun usahanya tidak akan berhasil. Patah sudah semangatnya, kini untuk apa lagi ia menjalani terapi? Percuma! ​Telepon genggamnya bergetar lagi. Namun Diana membuang wajah, terlalu malu dan hancur rasanya jika berhadapan dengan Dhava. ​Bukan hanya telepon saja yang mengusik, tetapi ketukan pintu kamar membuatnya ingin menjerit. Namun, harus kepada siapa ia mengadu? Tidak ada! ​“Diana, Ibu masuk, ya. Bawa sarapan dan jamu untukmu.” Suara lembut itu tidak bisa ia tolak. ​“Iya, Bu, sebentar,” sahutnya dengan suara parau. Diana turun dari ranjang dan membuka slot kunci. Ia menatap nampan yang dibawa oleh mertuanya. ​“Ada bubur kacang hijau, masih hangat. Ayo, dimakan. Setelah itu kamu minum jamu. Kalau kamu udah hamil, pasti Rayan betah di rumah. Ibu janji, dia nggak akan kasar lagi,” rayu wanita itu yang lantas menaruh mangkuk keramik putih di atas meja. ​“Mau Ibu suapin nggak?” tanya w

  • Aduh, Sayang Jangan Goda Aku Terus   Bab 4: Nggak Mau Terapi Lagi!!

    Diana meraba dadanya sendiri.​Ia tidak pernah merasa seantusias ini pulang ke rumah. Selama empat tahun, seolah lebih baik ada di luar, dan rumah hanya tempat untuk tidur.​Sepanjang perjalanan pulang dari klinik Dhava, ia sering menatap jemari tangan kanannya. Rasanya masih berdenyut panas, otot-otot gagah sang sepupu begitu nyata.​“Kenapa malah mikirin Mas Dhava? Nggak boleh, Diana! Dia sudah punya istri dan anak,” gumamnya. Ucapan pria itu yang penuh godaan juga menggema dalam benaknya. ‘Lembut. Nikmatilah dan rasakan suhu tubuhku.’​Pipinya memerah, ia mendesis kecil karena membayangkannya saja mampu membuat area pinggulnya berkedut.​Malam itu juga Diana menyiapkan dirinya dengan teliti. Ia menggunakan gaun tidur paling tipis yang dimiliki, menyemprotkan parfum ke leher, dan menyalakan lilin aroma terapi. Termasuk menyulap balkon untuk makan malam romantis. Tentunya ini petunjuk dari buku panduan dari klinik Dhava.​Ketika Rayan akhirnya masuk kamar, Diana menyambutnya dengan p

  • Aduh, Sayang Jangan Goda Aku Terus   Bab 3: Sentuh Di Area Paling Sensitif!

    “Hah? Pra–praktek a–pa, Mas?” cicit Diana, suaranya tercekat di tenggorokan. Ia melirik pintu yang terkunci rapat. Seketika jantungnya mendadak berhenti berdetak.​“Iya. Cepat,” ulang Dhava lagi, tangannya masih terulur.​Spontan Diana menatap tangan besar, berkulit kecokelatan, dengan urat yang samar terlihat. Itu adalah tangan sepupu yang ia kagumi diam-diam sejak masa remaja.​Tidak ada respons dari wanita itu membuat Dhava menarik tangannya kembali dan tersenyum tipis. Sungguh kali ini bukan hanya jantungnya yang berhenti, tetapi Diana merasa napasnya juga tersendat, sebab aura dingin sang sepupu lenyap dan berganti dengan pesona seorang pria dewasa gagah.​Diana mereguk air liurnya sendiri. Ia menggeleng pelan, menampik kalau dirinya dan Dhava akan…. Ah, isi kepalanya ini benar-benar keterlaluan. Ia mengatur napas pelan, mengelus pelipisnya.​Pria itu menjelaskan, “Praktek re-education sentuhan Rayan. Ingat, Di, fokus pada tujuan akhir.”​Benar, Diana ingin Rayan menempel padanya

  • Aduh, Sayang Jangan Goda Aku Terus   Bab 2: Kita Praktek, Sekarang!

    ​“Bu–bukan!” jawab Diana refleks sambil menggeleng cepat. Matanya yang agak sipit itu membulat tatkala melihat sosok pria tampan makin mendekat. Ia langsung memalingkan wajah, dan mulai melangkah. Namun entah mengapa kakinya terasa berat untuk bergerak.​“Aryani Diana Bradley!” panggil suara itu lagi.​Bertepatan dengan Diana menoleh, pria itu menarik tali tas selempang dari punggungnya. Tidak kencang, tetapi Diana justru merasa ditarik sangat kuat.​“Eh … aduh, aku bukan … Diana. Mas … maksudku Pak Terapis salah orang!” tolaknya, meskipun tubuhnya malah terseret kuat.​Ya, pria itu adalah Madhava, yang akrab dipanggil Terapis Dhava oleh pasiennya. Orang nomor satu yang saat ini ingin ditemui sekaligus ia hindari karena takut konsultasi ini tersebar ke seluruh anggota keluarga.​“Ikut aku, sekarang!” perintah Dhava, suaranya mengalun dingin dan ketus.​Diana menekuk wajahnya, tetapi mengekor di belakang Dhava yang saat ini masih menarik tali tas selempangnya. Tentu saja mereka jadi pu

  • Aduh, Sayang Jangan Goda Aku Terus   Bab 1: Aku Nggak Puas, Mas!

    "Ouh … ah! Ya, ampun … apa aku ini gila?" desah seorang wanita di dalam kamar mandi utama, yang pintunya terkunci. Tubuhnya menegang, punggung melengkung tanpa sadar, dan napasnya terengah. Ia bersandar di dinding porselen dingin, sambil membekap mulut untuk meredam suara yang keluar.Ini sudah dilakukannya selama empat tahun. Kenapa?​Namanya Diana, seorang istri pada umumnya yang mendamba kepuasan dari hubungan intim. Alih-alih menjerit nikmat karena 'olahraga' bersama suami, ia justru harus bekerja sendirian—menggunakan alat sekadar menipu sepi dan hasrat yang tak pernah dipenuhi.​Di luar kamar mandi, suara dengkuran keras suaminya terdengar mengejek, itu menjadi pengingat menyakitkan. Rayan enak-enakan tidur setelah melakukan kegiatan yang sama sekali tidak panas. Bahkan tidak pernah memikirkan haknya sebagai istri.​Desahan itu lama-lama berubah menjadi isak tangis dan tubuhnya gemetar hebat. Ia menunduk, rambut panjang cokelat gelapnya menutupi wajah.​“Sampai kapan aku … har

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status