Home / Fantasi / Aduh Tak Tahan, Prof! / 164 | Hati Yang Retak

Share

164 | Hati Yang Retak

Author: Strawberry
last update Last Updated: 2025-11-30 22:43:32

Liam menaiki tangga menuju lantai utama seperti seseorang yang membawa badai dalam dadanya. Setiap langkahnya berat, padat, terkumpul dari semua emosi yang ia tekan sejak pertama kali membuka folder itu—kemarahan, jijik, kehilangan, dan sesuatu yang jauh lebih berbahaya: kesadaran bahwa sebagian dari ayahnya juga mengalir dalam dirinya.

Seharusnya dia tadi tidak membukanya, untuk kebenaran semacam itu sebaiknya memang dia tidak perlu tahu karena hal itu hanya menambah luka batinnya.

Lorong rumah itu sunyi. Sunyi yang terlalu bersih, terlalu rapi, seperti tidak ada ruang bagi manusia untuk bernapas di dalamnya. Cahaya hangat dari lampu dinding menyentuh wajah Liam, tetapi tidak mampu mengikis dingin yang menempel di sorot matanya.

Ketika ia mencapai ruang makan, ia berhenti.

Lily sedang menata piring terakhir di meja. Hanna duduk di ujung meja, punggungnya lurus, mencoba terlihat tenang meski jelas gelisah. Keduanya menoleh hampir bersamaan ketika mendengar langkah Liam.

Dan ruangan it
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   206 | Bukan Pernikahan Indah

    Udara di dapur seketika berubah. Kata "besok" yang diucapkan Liam bukan sebuah usulan, melainkan sebuah keputusan yang telah dipatri. Nada dingin yang menyelinap di balik suaranya yang biasanya hangat membuat Lily mengerutkan kening."Besok? Bukannya terlalu buru-buru, Liam?" tanya Lily, mencoba membaca ekspresi Liam yang tiba-tiba sulit ditembus.Hanna juga memalingkan seluruh tubuhnya dari jendela. Es krim yang baru saja dia rasakan pahit di mulutnya kini seolah jadi tanda tanya besar. "Kenapa mendadak?" tanyanya, suara datar namun mata tajam mengamati setiap perubahan di wajah Liam.Liam berdiri, mendekati meja dapur. Tangannya mengepal ringan di permukaan kayu. Dia tahu dia tidak bisa menyembunyikan semuanya, tapi dia juga tidak bisa menebarkan kepanikan. Bukan sekarang."Beberapa urusan di Valthera memerlukan kehadiranku lebih cepat dari perkiraan," jawabnya, memilih kata-kata dengan hati-hati. "Dan semakin lama kalian di sini, semakin besar risiko." Dia memandang Hanna, dan kali

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   205 | Pernikahan

    Liam keluar dari kamar Hanna dengan rambut yang berantakan sehabis mandi, pakaiannya lebih santai. Dia mendekati Lily yang ada di dapur dan menatapnya dengan tatapan heran.“Kamu datang lagi?” tanyanya.“Kapan siap ikut kembali ke Valthera?” jawab Liam dengan pertanyaan lain, tak lama menyusul Hanna keluar dari kamar juga. Lily memperhatikan putrinya dengan kening berkerut. Dia bisa melihat ada beberapa bekas merah kebiruan di leher, selangkan putrinya.“Cepat sekali baikannya” gumam Lily “Kalau aku yang bujuk memang tidak mempan, harus Liam sendiri yang melakukan” tambahnya.Hanna tak menyahut.Pandangan Lily kembali ke Liam.“Terserah Hanna. Aku tidak bisa ikut kembali jika dia tidak. Sebagai Ibu aku sudah melakukan banyak salah jadi aku harus menebusnya” jawabnya panjang“Hanna setuju ikut kembali, di Rensfold aku tidak bisa menjaga dia dan bayinya” Liam menjelaskan.“Kamu sudah tahu?” tanya LilyDan Hanna masih bergeming di tempatnya sambil memangku eskrim dan menyendoknya sedikit

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   204 | Kamu Milikku Selamanya

    Kata-katanya bukan perintah, melainkan janji. Janji yang disegel bukan dengan kata-kata semata, tetapi dengan bahasa tubuhnya yang sekarang sepenuhnya berfokus pada Hanna. Dia bergerak turun, meninggalkan jejak bibir yang hangat dan basah di sepanjang tulang dada Hanna, berhenti di ruang antara kelembutan dadanya. Di sana, dia menempelkan dahinya, sejenak hanya bernapas, menyerap kehangatan dan aroma khas Hanna yang selalu membuatnya tenang.Gerakan mereka selanjutnya lahir dari sinkronisasi yang sempurna. Pinggul Hanna sedikit melengkung, bertemu dengan lengkungan tubuh Liam di atasnya. Tidak ada gesekan yang kasar, hanya tekanan yang dalam dan penuh arti, sebuah pelukan yang mencapai tingkat paling intim. Sebuah erangan terlepas dari bibir Hanna, bukan karena sakit, tapi karena kepenuhan—perasaan diisi, dimengerti, dan ditahan dengan sangat berharga.Liam mengalihkan berat badannya, membiarkan satu tangan bebas meraba. Tangannya itu menyelinap di antara mereka, telapak tangannya ya

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   203 | Aku Mencintaimu

    Liam menggenggam tangan Hanna dengan lembut, menciumnya berulang kali. Tapi Hanna hanya diam.“Kamu tahu, setelah Mama, kamu satu-satunya yang aku cintai. Apa kamu tega membiarkanku sendirian di Valthera?” tanyanya, suara serak menahan haru.Hanna kemudian membelai wajah Liam, matanya berkaca-kaca. “Aku takut… takut gak bisa bikin kamu bahagia,” bisiknya pelan.“Siapa yang bilang? Kamu gak usah ngapa-ngapain. Hanya diam di sampingku sudah bikin aku bahagia, kok.”“Liam… kamu berlebihan.”“Hanna…” suara Liam mendalam, penuh pertanyaan. “Menurutmu, semua yang aku lakukan masih belum bikin kamu percaya kalau aku cinta sama kamu?”Pertanyaan itu lagi-lagi membuat Hanna tak bisa menjawab. “Aku… aku percaya sama kamu, Liam. Aku hanya takut…”“Tolong, jangan bicara begitu lagi…” ucap Liam, mendekat.Tangannya merayap, satu tangan ke belakang kepala Hanna, yang satu lagi ke punggungnya, menekan lembut hingga jarak mereka tak tersisa. Kemudian, dia menyatukan bibirnya dengan bibir Hanna. Perla

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   202 | Kembali ke Valthera

    Kafe itu tetap tenang. Mesin kopi berdengung rendah. Beberapa peneliti lalu-lalang tanpa memperhatikan meja di sudut tempat Liam duduk diam terlalu lama.Raphael tidak menyela.Ia tahu, ada momen tertentu di mana Profesor Liam tidak membutuhkan jawaban—hanya ruang untuk menyusun ulang logika di kepalanya sendiri.“Kalau dia hamil,” ucap Liam akhirnya, datar, hampir seperti membaca laporan, “berarti sistem tidak gagal.”Raphael mengangguk pelan namun dia hampir menahan tawanya. Orang sekelas Profesor Liam bisa keluar kata-kata seperti itu, kepalanya sedang penuh dengan Hanna.“Berarti implan bekerja,” lanjut Liam. “Dan berarti… kehamilan itu tidak dipicu. Tidak dipaksakan. Tidak dimanipulasi.”“Profesor tentu saja implan bekerja karena Nona Hanna mengaktifkannya dan artinya milik Anda juga sehat. Pembuahan alami itu lebih hebat dan canggih dari sistem manapun” celetuknya. Liam menoleh dan Ia terdiam lagi.Semua parameter yang selama ini ia yakini sebagai variabel risiko, runtuh satu pe

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   201 | Tak DIucapkan

    Pintu depan tertutup pelan setelah Liam pergi.Tidak ada suara mesin menjauh, bahkan langkah kaki pun sudah menghilang jauh—hanya sunyi yang tertinggal terlalu lama di ruang tengah.Lily meletakkan piring terakhir ke wastafel. Tangannya berhenti di sana, punggungnya masih menghadap Hanna.“Kamu seharusnya bilang,” ucap Lily akhirnya. Suaranya rendah, tertahan. “Tentang kehamilanmu pada Liam.”Hanna berdiri di dekat jendela. Ia tidak langsung menoleh.“Tidak.”Lily berbalik. “Untuk apa disembunyikan seperti itu?”“Aku sudah memutuskan,” jawab Hanna. “Aku tidak akan memberi tahu Liam.”“Biar apa?” Lily mendekat setapak. “Biar anakmu nasibnya seperti kamu?”Hanna menoleh cepat. Matanya langsung memerah.“Kalau Mama tidak mau menemaniku di sini, ya sudah,” katanya, suaranya bergetar tapi tegas. “Mama bisa kembali ke Valthera. Aku tidak memaksa.”“Hanna,” Lily menggeleng. “Ini bukan soal aku.”“Ini selalu soal itu,” potong Hanna. “Semua orang selalu merasa paling tahu apa yang terbaik buat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status