Share

194 | Pilihan

Author: Strawberry
last update Last Updated: 2025-12-16 20:41:49

Sementara itu di negara Rensfold, Hanna masih terbaring lemah di ruang perawatan Rensfold Hospital yang terbungkus sunyi dan steril.

Ruang perawatan itu didominasi putih—dinding, tirai, lantai, cahaya lampu yang terlalu terang untuk pagi yang masih muda. Satu-satunya warna yang tidak tunduk pada aturan itu adalah biru muda baju rumah sakit yang dikenakan Hanna.

Lily berdiri di sudut ruangan, memandang putrinya tanpa bergerak. Ia sudah duduk di kursi itu terlalu lama. Terlalu banyak pikiran yang berlomba di kepalanya, saling bertabrakan tanpa ada satu pun yang benar-benar memberi jawaban.

Hanna terbaring tenang. Infus masih terpasang di punggung tangannya. Dadanya naik turun perlahan—rapuh, tapi hidup.

Kelopak mata itu akhirnya bergerak.

Sedikit.

Lalu terbuka.

Sebagai seorang ibu yang melahirkan dan membesarkan Hanna sendirian, hatinya hancur melihat putrinya dalam keadaan seperti ini sendirian.

“Hanna,” suara Lily keluar lebih cepat daripada pikirannya sendiri. Tidak lembut. Tidak jug
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   209 | Penemuan

    Mobil dengan kaca gelap itu bergerak lancar menyusuri jalanan Valthera yang sangat teratur. Tidak ada kemacetan, tidak ada suara klakson. Hanya desis halus mesin listrik dan suara pengumuman otomatis sesekali dari pengeras suara di luar. Hanna menatap keluar jendela. Pemandangan itu asing sekaligus mengganggu. Segalanya terlalu sempurna. Trotoar yang bersih tanpa cela, lampu jalan dengan intensitas cahaya yang seragam, orang-orang yang berjalan dengan langkah terukur dan ekspresi yang hampir netral. Berbeda sekali dengan kekacauan yang hangat dan manusiawi di Rensfold.Di depannya, di kursi penumpang, Inspector Mara duduk tegak, tablet tipis terpasang di lengannya. Jarinya sesekali menyentuh layar, mengirim atau menerima data tanpa suara.“Pemeriksaan akan dilakukan di Fasilitas Medis Terpadu Sektor 7,” ujar Mara tanpa menoleh. “Lingkungan yang steril dan terkendali. Sangat aman.”“Aman untuk siapa?” tanya Lily, suaranya tegang. “Untuk anak saya, atau untuk data kalian?”Semenjak be

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   208 | Penyerahan Diri

    "Tidak. Kamu adalah... kekecualian. Dan aku akan memastikan bahwa status itu diakui." Liam meraih tangannya. Kali ini, Hanna tidak menariknya. "Percayalah padaku."Pesawat mulai melaju, tekanan mendorong mereka ke kursi. Saat roda terangkat dari tanah, meninggalkan Rensfold di bawah, Hanna menutup matanya. Rasanya seperti sebuah garis yang tak terlihat putus.Perjalanan udara berlangsung beberapa jam. Tak ada yang banyak bicara. Hanna akhirnya tertidur, kelelahan secara emosional. Lily memandanginya dengan mata berkaca, lalu menatap Liam yang duduk tidak jauh, berkutat dengan tabletnya, wajahnya berkerut konsentrasi."Siapa sebenarnya kamu, Liam?" tanya Lily tiba-tiba, suaranya rendah agar Hanna tidak terbangun. "Sampai-sampai sebuah kehamilan bisa menjadi masalah negara?"Liam mengangkat pandangan. Ada konflik di matanya. "Aku adalah seorang ilmuwan, seperti yang kamu tahu. Itu saja. Tapi proyek yang aku pimpin... ini bukan proyek biasa. Ini tentang kemajuan umat manusia. Dan DNA-ku,

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   207 | Pelanggaran Hukum

    Pukul 04.30, fajar belum sepenuhnya mengusir kegelapan ketika sebuah mobil SUV hitam tanpa plat nomor berhenti tanpa suara di depan apartemen Hanna. Udara pagi terasa menggigit, mengirimkan kabut tipis yang menyelimuti jalanan Rensfold yang masih sepi.Liam sudah berdiri di pintu, ransel kecil tergantung di pundak. Wajahnya seperti dipahat dari batu—fokus, tetap geming, namun ada garis kelelahan di sudut matanya yang menandakan dia tidak tidur semalaman. Dia bukan lagi pria yang tadi malam memohon dengan lembut di kasur. Raphael keluar dari mobil. Tubuhnya yang tinggi besar terlihat lebih masif dengan jaket anti peluru yang samar-samar terlihat di balik jas panjangnya. Dia mengangguk singkat pada Liam. "Semua aman. Rute sudah dipetakan, tiga titik pergantian kendaraan. Tidak ada yang mengikuti.""Baik," jawab Liam singkat. Matanya beralih ke balik pundak Raphael, memindai jalanan dengan insting yang terasah.Lily muncul dari dalam apartemen, membawa dua koper kecil. Matanya bengkak.

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   206 | Bukan Pernikahan Indah

    Udara di dapur seketika berubah. Kata "besok" yang diucapkan Liam bukan sebuah usulan, melainkan sebuah keputusan yang telah dipatri. Nada dingin yang menyelinap di balik suaranya yang biasanya hangat membuat Lily mengerutkan kening."Besok? Bukannya terlalu buru-buru, Liam?" tanya Lily, mencoba membaca ekspresi Liam yang tiba-tiba sulit ditembus.Hanna juga memalingkan seluruh tubuhnya dari jendela. Es krim yang baru saja dia rasakan pahit di mulutnya kini seolah jadi tanda tanya besar. "Kenapa mendadak?" tanyanya, suara datar namun mata tajam mengamati setiap perubahan di wajah Liam.Liam berdiri, mendekati meja dapur. Tangannya mengepal ringan di permukaan kayu. Dia tahu dia tidak bisa menyembunyikan semuanya, tapi dia juga tidak bisa menebarkan kepanikan. Bukan sekarang."Beberapa urusan di Valthera memerlukan kehadiranku lebih cepat dari perkiraan," jawabnya, memilih kata-kata dengan hati-hati. "Dan semakin lama kalian di sini, semakin besar risiko." Dia memandang Hanna, dan kali

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   205 | Pernikahan

    Liam keluar dari kamar Hanna dengan rambut yang berantakan sehabis mandi, pakaiannya lebih santai. Dia mendekati Lily yang ada di dapur dan menatapnya dengan tatapan heran.“Kamu datang lagi?” tanyanya.“Kapan siap ikut kembali ke Valthera?” jawab Liam dengan pertanyaan lain, tak lama menyusul Hanna keluar dari kamar juga. Lily memperhatikan putrinya dengan kening berkerut. Dia bisa melihat ada beberapa bekas merah kebiruan di leher, selangkan putrinya.“Cepat sekali baikannya” gumam Lily “Kalau aku yang bujuk memang tidak mempan, harus Liam sendiri yang melakukan” tambahnya.Hanna tak menyahut.Pandangan Lily kembali ke Liam.“Terserah Hanna. Aku tidak bisa ikut kembali jika dia tidak. Sebagai Ibu aku sudah melakukan banyak salah jadi aku harus menebusnya” jawabnya panjang“Hanna setuju ikut kembali, di Rensfold aku tidak bisa menjaga dia dan bayinya” Liam menjelaskan.“Kamu sudah tahu?” tanya LilyDan Hanna masih bergeming di tempatnya sambil memangku eskrim dan menyendoknya sedikit

  • Aduh Tak Tahan, Prof!   204 | Kamu Milikku Selamanya

    Kata-katanya bukan perintah, melainkan janji. Janji yang disegel bukan dengan kata-kata semata, tetapi dengan bahasa tubuhnya yang sekarang sepenuhnya berfokus pada Hanna. Dia bergerak turun, meninggalkan jejak bibir yang hangat dan basah di sepanjang tulang dada Hanna, berhenti di ruang antara kelembutan dadanya. Di sana, dia menempelkan dahinya, sejenak hanya bernapas, menyerap kehangatan dan aroma khas Hanna yang selalu membuatnya tenang.Gerakan mereka selanjutnya lahir dari sinkronisasi yang sempurna. Pinggul Hanna sedikit melengkung, bertemu dengan lengkungan tubuh Liam di atasnya. Tidak ada gesekan yang kasar, hanya tekanan yang dalam dan penuh arti, sebuah pelukan yang mencapai tingkat paling intim. Sebuah erangan terlepas dari bibir Hanna, bukan karena sakit, tapi karena kepenuhan—perasaan diisi, dimengerti, dan ditahan dengan sangat berharga.Liam mengalihkan berat badannya, membiarkan satu tangan bebas meraba. Tangannya itu menyelinap di antara mereka, telapak tangannya ya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status