Ayas terlihat panik dan bingung. Ia mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya. “Aduh, gimana ini?” gumamnya. Kemudian Ayas pun menggigit jarinya sambil memikirkan cara agar bisa segera menyelesaikan administrasinya.
“Apa aku telepon Mas Yoga aja?” gumam Ayas. Tidak ada orang lain yang dapat dimintai tolong selain Yoga. Sehingga saat ini hanya nama itu yang terlintas di pikirannya.
Akhirnya Ayas pun memutuskan untuk menghubungi Yoga. Sebab tidak ada orang lain yang bisa membantunya. Sementara saat ini Vano sedang butuh tindakan segera.
“Semoga aku ingat nomornya,” gumam Ayas. Kemudian ia bicara pada kasir yang sejak tadi memperhatikannya. Kebetulan hari sudah tengah malam, sehingga bagian pendaftaran cukup sepi.
“Maaf, Mbak, tadi saya buru-buru ke sini, jadi lupa bawa dompet,” ucap Ayas.
“Lalu bagaimana?” tanya kasir. Ia
Yoga ternganga setelah mendengar ucapan kasir barusan. “Maksudnya apa?” tanya Yoga, dingin.“Iya, Pak. Kalau ruang VIP itu mahal. Bahkan satu malamnya saja bisa mencapai 5 juta. Jadi, saya sarankan lebih baik-”Ucapan staf itu terputus karena Yoga langsung mencekalnya.“Oh, jadi maksud Anda, kami tidak mampu?” tanya Yoga, sambil menahan emosi.Sebagai pemilik perusahaan, tentu saja Yoga sangat marah ketika ada seseorang yang meremehkannya seperti itu.“Maaf, bukan seperti itu, Pak. Tapi saya hanya menyarankan karena perbedaan harganya lumayan jauh antara VIP dan kelas 2,” jelas kasir.Ayas pun kesal karena staf itu telah membuang waktunya. Namun, ia hanya diam karena saat ini dirinya sedang tidak memegang apapun.Yoga tidak ingin berdebat lagi. Ia langsung mengambil dompet dan mengeluarkan sebuah kartu berw
Tira langsung menoleh ke arah Panji. “Apa kamu yakin?” tanyanya. Jantungnya hampir melompat saat mendengar nama Ayas disebut.“Yakin, Tuan. Mereka bahkan menyebutkan ciri-ciri yang sama,” jawab Panji.“Awasi orang itu! Kita ke sana sekarang!” ucap Tira. Ia pun langsung mengajak Panji untuk mendatangi rumah sakit yang telah disbutkan.Saat Tira beranjak, Sisca langsung menoleh ke arahnya. “Kamu mau ke mana?” tanyanya, panik. Ia yakin anaknya akan meninggalkan acara tersebut.“Aku ada urusan mendesak, jadi harus pergi sekarang,” jawab Tira.“Hah? Ini kan acara kamu, Tir. Masa kamu mau pergi begitu aja, sih?” keluh mamah Tira. Ia kecewa karena anaknya ingin pergi di acara pentingnya sendiri.“Acara intinya kan sudah selesai, Mah. Lagi pula sebagian besar tamu ini kan tamu undangan Mama
“Baik, Tuan,” jawab Panji, cepat.Meski sempat terperanjat saat mendengar Tira memerintahnya untuk menggeledah seluruh rumah sakit, tetapi Panji tetap bergerak cepat.Ia langsung menghubungi anak buahnya yang memang sudah berada di rumah sakit tersebut.Sementara Panji sibuk menggeledah rumah sakit itu, Tira duduk santai di sofa lobby sambil menunggunya. Ia pun memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi.Di sebuah ruangan, Ayas masih was-was karena takut Tira bisa menemukannya.“Mas, aku yakin dia tidak akan pergi begitu saja,” ucap Ayas.“Kamu jangan khawatir! Pihak rumah sakit pasti melindungi kita,” ucap Yoga.Sebenarnya, Yoga pun gelisah. Namun ia tidak ingin menunjukkan kegelisahannya di hadapan Ayas.“Vi!” panggil Yoga setelah memandanginya beberapa saat.
Saat mendengar pekikan seseorang, pria itu pun langsung menoleh ke arah Yoga. Ternyata Yoga sengaja bersuara agar ia tidak jadi membuka selimut yang menutupi Ayas tersebut.“Bagaimana?” tanya anak buah Panji yang lain.“Kosong,” ucap pria itu. Ia batal membuka selimut tadi. Kemudian kembali menutup pintu lemarinya.Ia pun berjalan ke arah pintu ruangan tersebut. “Mohon maaf telah mengganggu waktunya,” ucap pria itu.Saat ia hendak melangkahkan kaki ke luar, tiba-tiba terdengar suara Vano.“Uhuk, uhuk!”Mereka yang sudah berada di ambang pintu itu langsung menoleh ke sumber suara.Yoga panik, ia pun langsung pura-pura batuk dengan saura yang dilebih-lebihkan.Melihat Yoga yang terbatuk, mereka percaya. Akhirnya para anak buah Panji pun meninggalkan ruangan itu.&nb
Saat Tira hendak menekan tombol panggilan, gerakkan jarinya terhenti. “Aku masih memiliki waktu satu tahun. Mungkin terlalu dini jika minta bantuan mereka sekarang,” gumam Tira.Akhirnya ia mengurungkan niatnya. Tira tidak ingin nama baiknya tercoreng hanya karena seorang wanita. Sebab, jika ia meminta bantuan, sudah pasti mereka akan tahu kelemahannya.“Huuh! Aku yakin suatu saat kita pasti akan bisa bersama. Namun, mungkin aku hanya perlu bersabar sedikit lagi,” ucap Tira. Ia berusaha menyenangkan hatinya sendiri.***Hari belalu begitu cepat, kini sudah 6 bulan sejak kejadian di rumah sakit itu.“Apa semuanya sudah siap?” tanya Tira pada Panji. Saat ini mereka sedang berada di jalan menuju ke bandara.“Sudah, Tuan. Seluruh jadwal Tuan pun sudah siap selama Tuan berada di sana,” jawab Panji.Mereka hend
Vano dan Tira langsung menoleh ke arah sumber suara. Hati Tira bergemuruh kala melihat sosok yang selama ini ia cari.Sementara itu, Ayas yang masih panik, terus berlari ke arah Vano dan langsung memeluknya.“Ya Tuhan … Sayang, mami kan sudah bilang jangan pergi ke mana-mana. Kenapa kamu pergi, hem? Mami sangat khawatir,” ucap Ayas sambil memeluk erat Vano.Ia memejamkan matanya demi mengatur debaran jantung yang hampir meledak itu.Ia tak sadar di hadapannya ada seorang pria yang matanya sudah berkaca-kaca. Hatinya bergemuruh. Rasanya Tira sangat ingin memeluk mereka. Namun, ia berusaha mengendalikan emosinya.“Apa kabar, Laras?” tanya Tira dengan lembut.Deg!Ayas masih ingat suara itu. Suara yang sangat ia takuti. Sebab, mendengar suara Tira membuatnya teringat akan malam menakutkan yang membuatnya trauma
“Sayang, maafin mami, ya? Tapi ini demi keselamatan kita berdua. Kamu mau, kan?” tanya Ayas pada anaknya.Sebenarnya ia tidak tega melakukan hal itu pada Vano. Namun, Ayas tidak memiliki pilihan lain. Saat ini hanya itu yang paling aman untuk mereka.“Tapi nanti kalau aku gak bisa napas gimana, Mami?” tanya Vano dengan wajah memelas.“Mami gak akan tutup full resletingnya. Jadi nanti kamu masih bisa napas dan lihat cahaya. Mau ya, Sayang?” Ayas sedikit memohon.‘Ya Tuhan … maafkan aku. Aku tau ini gila. Tapi aku akan lebih gila jika sampai anakku ditangkap oleh mereka,’ batin Ayas.“Ya udah, deh. Aku mau,” jawab Vano. Ia pun tidak tega melihat maminya khawatir seperti itu.Mendengar anaknya rela melakukan apa yang ia minta, Ayas bukannya bahagia, ia justru terharu dengan pengorbanan anaknya it
Bola mata Ayas hampir melompat. Jantungnya pun seolah berhenti berdetak saat Tira menyetopnya. Ia sangat khawatir ptia itu dapat mengenalinya atau mungkin melihat Alif yang ada di koper.‘Ya Tuhan, apa dia mengenali aku?’ batin Ayas. Ia tidak berani menoleh ke belakang. Namun Ayas pun tidak melanjutkan langkahnya.“Itu kopernya terbuka. Nanti barangnya jatuh,” ucap Tira. Ia bahkan tidak melangkah ke arah Ayas. Namun ia cukup memerhatikan Ayas karena bentuk tubuhnya tidak terlalu asing. Beruntung saat itu Ayas tidak membawa anak. Sehingga ia pikir dia orang yang berbeda.“O-oh iya, terima kasih,” jawab Ayas, gugup. Ia pun segera menutup celah koper tersebut, dan bergegas pergi meninggalkan mall itu.‘Maafin Mami ya, Vano,’ batin Ayas, sambil menarik resleting koper itu.Kali ini ia tidak mendorong koper tersebut. Sebab, Ayas khawtair