Share

After The Holocaust (ATH)
After The Holocaust (ATH)
Penulis: meart

Volume 0 , Chapter 0 : Menjadi Debu

-Bagian Pertama-

Perkenalkan namaku Cuba, Cuba Toeli seorang anak sulung dari sepasang suami istri yang sangat bahagia dan sederhana yang sepertinya hubungan kami sangat direstui oleh semesta. Awalnya sih aku berpikiran seperti itu. Ternyata aku salah! Aku hanya berdelusi memiliki keluarga yang harmonis. Yang sebenarnya terjadi bahkan dapat dikatakan sangat jauh dari kata bahagia, keluarga kami sangat menderita! Tidak lain dan tidak bukan, semua kesengsaraan ini disebabkan oleh tua bangka yang tidak tau diri! Dia berjudi, menghabiskan uang keluarga, bahkan terus memoroti uang ibu saya! Dia tidak pernah menyayangi kami, bahkan mungkin saja dia bahagia kalau kami hidup menderita dan membenci dia!

Manusia benalu yang terus menyiksa keluarganya, tidak pernah memberikan nafkah! Justru menjadi beban keluarga yang pekerjaannya hanya berjudi menghabiskan uang, dan membuat keluarga kami terlilit dalam hutang! Ketika tidak diberikan uang dia bakal marah. Hewan peliharaanku, satu-satunya yang aku sayangi, bahkan disiksanya! Karena aku tidak memberikannya uang untuk dia berjudi! Aku ingin dia mati saja.

Namun hal itu terjadi, mungkin ini bukan sebuah kebetulan, ibu kami yang sangat kami cintai tidak tau mengapa menjadi salah satu orang yang terkena Rapture dan bajingan satu itu juga terkena Rapture. Insiden yang sangat menghebohkan dunia saat ini, suatu insiden dimana setengah populasi manusia berteriak, menjadi debu dan menghilang begitu saja, tanpa meninggalkan jejak kehidupan sama sekali.

Saat kejadian itu aku sedang berada di sekolah, sekolah elit yang terletak sangat jauh dari pemukiman, sekolah elit dengan luas tanah dan bangunan yang tidak nanggung-nanggung. Terdapat banyak gedung dan asrama untuk kami gunakan sehari-hari, kebetulan aku merupakan anak kelas 12 disana. Dan beberapa bulan lagi aku akan lulus kemudian meninggalkan tampat bersejarah ini. Mungkin kalian akan bertanya-tanya mengapa orang miskin sepertiku bisa masuk ke sekolahan elit. Jawabannya adalah aku mendapatkan beasiswa karena prestasiku dalam seni bela diri, bela diri Judo.

Hari itu kalau tidak salah merupakan hari dimana cintaku ditolak untuk yang kesekian kalinya oleh sahabatku dari kecil yang sangat aku cintai. Sungguh hari yang sangat menyebalkan. Apalagi cuaca disana sangat mendukung suasana hatiku, langit mendung, angin berhembus sangat kencang, dan hujan rintik mulai turun bersama-sama dengan air mataku.

Terdengar dari arah lorong, dibelakangku suara langkah kaki yang bergema memantul di tembok-tembok lorong. Tidak cepat namun juga tidak lambat, suasana mencekam dari gema Lorong itu menjadi bumbu pemanis suasana senduku saat itu. Cukup membuatku menjadi lebih mendalami rasa sakit hati ini.

“Sudah selesai meratapnya?” Ucap seorang lelaki dengan suara yang tidak terlalu berat namun juga tidak cempreng, seperti orang yang berumur 18 tahun, seumuran denganku. Perkataan lelaki itu seolah-olah dia mengetahui dan memahami apa yang sedang aku alami, sungguh tidak tahu diri!

Aku memalingkan badanku dan menghadap lelaki itu, seorang lelaki yang cukup gagah namun tidak terlalu tinggi, wajahnya sebagian besar tertutup oleh rambut-rambut halus. Memakai jaket ciri khasnya, dengan aksen super hero vigilante yang sangat dia kagumi. Nite namanya, teman sekelas sekaligus sahabatku.

Sambil mengusapkan air mataku dan memaksakan diri untuk tersenyum, menghadapkan wajahku kearah wajahnya dan menatap matanya. “Bukan urusanmu!” Ucapku cetus, aku tidak ingin membicarakan hal ini sekarang. Sekarang hatiku masih tidak bisa mengkompromi segala jenis masukan.

Dia (Nite) masih bersikeras untuk membuatku memceritakan masalah ini, dia saat itu memberikan sekaleng soda yang dia bawa dari dalam gedung, dan mengupas jeruk yang dia keluarkan dari kantong jaket vigilantenya. “Mau?” Melihatnya bersikeras seperti itu aku merasa tersentuh, aku melunakkan egoku dan mulai berbicara perlahan.

Aku melihat kearahnya dan mengambil minuman kaleng yang dia tawarkan. “Kau tau, sudah lama kami berteman, mungkin itu lebih lama dibandingkan persahabatan kita …” Dia mengangguk tertegun serius mendengarkan ceritaku yang kumulai dengan sedikit dramatis. “Kami berlatih (bela diri) bersama, pergi ke konser yang dia suka, bahkan kami pernah mandi bersama. Yah saat itu kami masih kecil.” Maksudku apa yang salah dengan mandi bersama, meskipun sudah sama-sama dewasa pun itu bukan perbuatan kriminal bukan?

Wajah pria itu masih terlihat sangat bersemangat dan sangat menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya dengan ceritaku. “Ya, meskipun ini hanya aku, yang merasakan sesuatu diantara hubungan kami, masakan dia tidak memiliki sedikit pun perasaan yang timbul kepadaku?”

Suasana menjadi sedikit hening. Hujan yang awalnya hanya gerimis, sekarang berubah menjadi badai. Angin menjadi lebih kencang dibandingkan sebelumnya, petir pu tak terhindari, suara gelegarnya sangar keras seakan-akan bakal membelah sekolahan kami. Menengok ke arah lorong di belakang kami, dari kejauhan terlihat siluet seorang wanita yang tidak asing. Melangkahkan kakinya kearah kami, menimbulkan gema suara tapak kaki yang berdengung di sepanjang lorong.

Danira, seorang wanita cantik dan kuat, wanita yang telah menolakku banyak kali, sebanyak daun di pohon saat musim semi. Saat itu tertulis wajahnya suatu kesedihan yang tercampur dengan bumbu-bumbu kebingungan. Air mata tak kuasa dia tahan, hingga ketika dia sampai kepada ujung lorong, dia langsung berlari bergegas memelukku.

Tak sempat berfikir apa yang sebenarnya terjadi kepada Danira, muncul suatu permasalahan, yang baru. Terdengar dari dalam sekolah, teriakan demi teriakan membising. Kepanikan juga melengkapi teriakan tersebut. Banyak anak terlihat keluar dari kelas, namun anehya tidak terlalu banyak yang keluar dan berlarian dibandingkan jumlah anak yang bersekolah di sini.

Danira masih saja berada dipelukkanku, dia menangis dan juga berteriak. “Semuanya menghilang!!” Kata itu yang pertama muncul keluar dari mulutnya. Menghilang? Apa maksudnya menghilang?

“Apa maksudnya menghilang Dan?” Tanya Nite kebingungan, memberikan pertanyaan yang sama seperti yang hendak aku tanyakan, “Menghilang? Maksudmu apa Dan?” Tanyaku.

Aku mengelus rambutnya, dengan niat untuk menenangkannya. Sehingga dia sudah mulai sedikit tenang, dan mulai bisa bercerita. Dia merapikan bajunya dan rambutnya, bersiap-siap untuk berbicara. Menarik nafas yang panjang dan berkata, “Semuanya menghilang! Tia menghilang! Aku saat itu sedang berjalan memasukki kelas, aku melihat Gree yang sedang bercanda dengan Tia. Lalu seketika lampu mati dan terdengar suara petir yang menyambar..-“ Ceritanya sambil menangis dan menyedot ingusnya yang keluar dari hidungnya.

Tia, dan Gree merupakan sepasang kekasih yang baru saja jadian beberapa hari yang lalu. Mereka merupakan pasangan yang manis dan lucu, aku harap dapat menyusul Gree yang mendapatkan cinta sejatinya.

“- setelah petir menyambar, lampu seketika menyala dan sesuatu hal aneh terjadi! Beberapa anak termasuk Tia berteriak kesakitan, dan perlahan mulai lemas, mereka menangis dan merasakan ada yang aneh pada  tubuh mereka. Wajah mereka memucat dan perlahan tubuh mereka berubah menjadi debu, lalu aku merasa panik, dan pergi keluar dan berlari menemui kalian!” Ucapnya sambil menahan derasnya air mata yang mengucur.

Setelah mendengarkan cerita tersebut aku merasa kebingungan, “Apa?! Tidak mungkin itu terjadi!” Teriakku tidak percaya apa yang barusan Danira katakan. Aku mencoba untuk menengok kearah kelas, terlihat dari arah lorong-lorong gelap dengan berhiaskan suara teriakan histeris anak-anak sekolahan, keluar banyak anak-anak lain dan berlari tidak terarah. Aku bergegas pergi ke dalam dengan tujuan mengecek keadaan kelas, diikuti oleh kedua temanku dari belakang.

Kelas demi kelas terlewati, dalam perjalanan terlihat banyak pintu yang rusak akibat terbanting oleh sesuatu. Anak-anak berteriak histeris, hingga ketika aku sampai didepan kelasku melihat sesuatu yang tidak masuk akal. Kami melihat banyak anak anak yang menangis dan disamping mereka ada baju baju yang tergeletak di lantai yang penuh dengan pasir debu, di sisi lain kami juga melihat Gree yang syok dengan apa yang terjadi padanya dan pada Tia.

-Bagian Kedua-

Aku memasukki kelas dengan perasaan yang tidak enak. Langkah demi langkah terasa berat, tercium disana aroma-aroma yang tidak menyenangkan, aroma kematian! Suasana ruang kelas saat itu sangat mencekam, setiap orang disana yang masih tinggal duduk termenung sambil menangis meratap.

“Kenapa bisa menjadi seperti ini?” Tanya Nite kebingungan, dia (Nite) mulai pergi ke tempat duduknya memeriksa laci-nya, apakah ada barangnya yang ikut menghilang menjadi debu atau tidak. Sementara Danira berjalan perlahan menuju tempat Gree yang sedang bersedih, berniat untuk menghibur lelaki yang baru saja kehilangan kekasih yang sangat dia cintai.

“Kau tidak apa-apa Gree?” Tanya Danira, wajahnya (Gree) terlihat sangat terpukul, terlalu berat kesedihan yang dia tanggung untuk seorang diri ketika melihat orang yang dikasihinya berubah menjadi debu didepan matanya sendiri tanpa bisa berbuat apa-apa.

Gree Tidak menjawab.

Melihat Gree yang teramat syok, dan suasana yang mulai menjadi lebih tidak kondusif, membuatku berfikir untuk mencari tempat yang lebih aman untuk beristirahat, dan mulai mencari atau mengumpulkan informasi.

“Cub, coba kamu hubungi teman-teman! Siapa tau masih ada dari mereka yang masih tersisa (tidak terkena Rapture)” Ucapnya (Nite) memberikan misi kecil untukku, mencari tahu kabar teman-temanku yang lain.

Aku mengeluarkan handphoneku, dan langsung pergi ke aplikasi wosap, masuk ke obrolan grup dan memulai panggilan grup. Berharap salah satu atau semua dari mereka menjawab dan memberikan kabar baik.

Bzzz bzzz

Bzzz bzzz

Bzzz bzzz

Tuup

Suara sayup-sayup bergemerisik “Halo! Cuba?!” Terdengar seperti suara pria dengan aksen yang panik, suaranya bergetar tidak beraturan, namun suara itu terdengar tidak asing bagiku. “Albert? Kamu masih ada bert?” Tanyaku langsung setelah mendengarkan suara dari panggilan Grup yang aku buat.

“Ha?! Itu beneran Albert?” Tanya Nite dari kejauhan dengan nada yang sedikit tinggi, 7 oktaf.

Albert, dia adalah salah satu dari beberapa teman kami, dia memiliki perawakan yang tidak begitu menonjol, salah satu orang yang aku akui memiliki wibawa yang baik dibandingkan yang lain. Dia tinggi, dan selalu memakai kaus basket didalam seragam sekolahnya.

“Kamu sekarang dimana bert?” Saut Danira dari arah belakangku, dia (Danira) bergegas mendatangiku yang sedang menelpon Albert. Dari arah samping juga Nite mendekatiku dan menyaut. “Bert, kamu baik-baik saja? Kamu bersama siapa disana?”

Bingung dengan pertanyaan yang bertubi-tubi dilontarkan kepadanya, diapun berteriak, “Cukup! Aku baik-baik saja, dan saat ini aku sedang bersama dengan Hans dan yang lain! Aku sekarang berada di lapangan basket.”

“Bagaimana kalau kita bertemu?” Tanyaku dengan nada sedikit ragu. Melihat kearah Nite dan Danira, mereka terlihat senang mengetahui temannya masih selamat. “Boleh!” Jawabnya (Albert)

Nite mencolekku dan berbisik, “Bagaimana kalau di ruang klub? Ruang klub game board?”, dan menurutku itu merupakan saran yang bagus. Ruangan yang luas dan memiliki beberapa sofa yang enak untuk diduduki.

“Bagaimana kalau di ruang klub Board Game?” Aku memberikan saran kepada Albert, “Boleh, kita akan langsung kesana!” Saut Hans, suaranya yang sangat khas sedikit cempreng namun masih terdengar enak di telinga membuatnya mudah dikenali.

Telepon ditutup.

Kami yang masih berada di ruang kelas saling menatap, Danira memberikan isyarat mengangguk menandakan kami harus segera berangkat menuju ruang klub, dikarenakan jarak ke ruang klub tidak lah dekat, oleh karena itu kami harus bergegas berangkat untuk tidak membuat teman-teman kami menunggu lama.

Kami menatap kearah Gree dan perlahan kami melangkah mendekati Gree mencoba untuk mengajaknya. Danira perlahan mengelus pundak Gree dan perlahan berbicara padanya (Gree). “Gree ayo kita pergi bertemu dengan yang lain. Ayo kita cari keberadaan Tia!”

Gree menoleh, dan tiba-tiba memukul kepalanya sendiri, seperti orang yang ingin menyadarkan dirinya dari sebuah lamunan atau pikiran tidak baik. “Sedang apa aku ini! Tidak baik meratapi hal yang sudah terjadi! Semua yang terjadi pasti memiliki alasan, Tia pasti masih ada! Aku harus mencarinya!” Suasana hati Gree sudah mulai membaik. Gree memang berteman baik dengan Tia dan Danira semenjak kami masuk ke SMA ini, itulah alasan mengapa Danira terlihat abrab dengan Gree.

Kami juga mengajak anak-anak yang lain yang masih tersisa di dalam kelas, namun mereka menolak dan ingin pergi sendiri. Kami membiarkan mereka dan mulai bergegas berjalan menapakkan langkah pertama kami di luar kelas ini menuju ke ruang klub, tempat teman-teman kami berada dan mencari beberapa informasi dan petunjuk mengenai hal aneh ini.

Kira-kira ini belum genap 2 (dua) jam semenjak terjaidnya Rapture, aku singkat menjadi Rapt, agar mudah mengucapkannya.

-Bagian Ketiga-

Suara tapak langkah kaki bergemuruh, seakan ada ribuan regu tantara yang sedang berlari menyerbu lawannya dengan tergesa-gesa. Jauh ruang kelas kami ke ruangan klub kira-kira beberapa ratus meter. Jauh? Ya, memang dari satu ruangan ke ruangan yang lain memiliki jarak jauh, karena sekolah kami yang memiliki luas tanah dan bangunan yang tidak pernah terpikirkan oleh orang biasa.

Dari kejauhan terlihat di tempat pintu gerbang banyak manusia yang bergerombol, menyerobot dan salong mendorong satu dengan yang lain untuk dapat keluar dari sekolah ini. Tidak sedikit juga orang yang terjatuh dan terinjak-injak diantara kerumunan itu, apakah orang tersebut meninggal? Tidak ada yang tau apa yang terjadi.

Kami berlari tanpa memperhatikan kondisi kami dan lingkungan sekitar, alhasil Danira pun sempat tersandung gundukan batu yang lumayan besar di samping taman dan Darina pun terjatuh. Aku menghawatirkan Danira, aku harap dia tidak mendapatkan luka! Namun aku salah.

Kami mengecek kondisi Danira, dan kakinya terkilir dan bengkak, beberapa bagian di kakinya tergores dan lecet-lecet. Tentu saja hal itu membuatnya (Danira) tidak bisa berjalan untuk beberapa waktu, “Kakimu tidak apa Dan?” Tanya Nite dengan polosnya. Mendengar itu Danira sontak emosi, dengan nada yang cukup tinggi dia mengatakan, “Kamu tidak melihat kakiku bengkak?”

Nite merasa bersalah dan terdiam, sementara Danira menengok ke arahku dan akupun mengerti apa yang dia maksud. “Tolong bantu aku berdiri dong.” Pintanya dengan suara meringis.

Aku pun, membantunya berdiri dan menawarkan untuk menggendongnya (Danira). Dan kami pun melanjutkan perjalanan menuju ruang klub dengan aku yang menggendong danira di pundakku.

Sementara itu di posisi Danira.

(nb : kata “Sementara itu di posisi …” menandakan terjadi perubahan POV ke subjek yang disebutkan)

Ruangan klub sudah terlihat didepan mata, dan akhirnya kita bisa tenang untuk sejenak. Tapi rasa sakit yang kudapatkan saat terjatuh tadi sangatlah menganggu! Meskipun aku memiliki ketahanan tubuh yang bagus, namun aku tidak menyangka aku bisa kalah dengan batu ini.

Digendong oleh Cuba, mungkin bukan hal yang baru untukku. Kami dahulu sering saling menggandong ketika salah satu dari kami cidera akibat latih tanding (bela diri) kami.

Tidak kusangka saat ini aku bisa sedekat ini dengan Cuba. Diluar kami yang sudah dewasa dan memiliki kesibukan masing-masing, kami sudah semakin menjauh. Semenjak kita masuk ke SMA ini dan dia sudah mulai sibuk dengan permainan papannya, tidak ada lagi waktu untuk kami berlatih bersama! Bahkan setahun pertama masuk SMA kami sudah jarang berbincang-bincang, dia hanya peduli dengan permainan papannya.

Tapi hal itu berubah disaat kami mulai menginjak semester baru di kelas dua, dia menembakku! Aku tidak tau apa yang terjadi saat itu, aku tidak tau harus membalas apa. Alhasil aku menolak dia.

Setelah dari itu dia terus mendekatiku, dan terus menembakku. Namun aku selalu menolak dia. Bukan karena aku tidak menyukainya, bahkan aku sangat menyukainya! Tapi aku tidak tau apa yang harus aku lakukan kedepannya apabila kami berpacaran.

Aku takut kehilangan momen kami sebagai seorang sahabat yang bahkan aku pikir bisa melakukan sesuatu lebih dari sekedar yang bisa dilakukan oleh seorang pacar. Kami bisa bercanda tanpa takut satu sama lain tersinggung. Kami bisa dekat dengan siapa saja. Atau kami bisa melakukan hal yang tabu bersama.

Aku tidak ingin kehilangan hubungan itu hanya karena perasaan yang semu. Jadi, itulah alasan aku tidak ingin berpacaran dengan Cuba.

Cukup dengan ungkapan hati ini. Saat itu setelah kami sampai di ruangan klub kami melihat ada beberapa sahabat kami yang sudah menunggu, kira-kira ada 6 orang termasuk Albert dan Hans, kalau ditambah jumlah kami yang baru datang itu ada sekitar 10 orang.

Suasana disana cukup hidup, mereka saling mengobrol satu sama lain. Kami pun mulai berjalan perlahan memasuki ruangan klub. Mendengar ada suara langkah kaki dan suara pintu yang terbuka, membuat mereka (Albert dan kawannya) melihat kearah kami. Di kejauhan Albert yang melihat kami mulai berdiri, mendekati kami dan menyambut kami. “Kalian sudah datang?” Tanya Albert sambal melayangkan tepukkan persahabatan ke pundak Cuba.

“Ya, kami barusan sampai, ternyata kalian sudah berkumpul ya?” Tanya Cuba sambil membalas tepukkan tepat di Pundak kiri Albert.

Kira-kira ini sudah 2 (dua) jam lebih 28 menit semenjak terjaidnya Rapture atau Rapt.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status