Share

Volume 0 , Chapter 2 : Langkah Pertama

-Bagian Pertama-

Saat itu pukul 4 sore, langit sudah mulai memerah. Mendung yang menghiasi langit saat sebelumnya saat ini sudah menghilang. Hawa-hawa malam sudah cukup terasa dan bunyi jangkrik mulai terdengar perlahan.

Sudah beberapa jam semenjak kami menceritakan perkara email tersebut kepada yang lain.

Saat ini merekapun juga mengetahui hal aneh itu, mereka ikut kebingungan dan mencoba untuk menerka-nerka. Ketegangan bercampur dengan kebingungan muncul diantara kami akibat dari informasi aneh yang dikirimkan oleh sesosok misterius yang mengaku sebagai Amon RA.

“Email ini ditujukan kepadamu Cub?” Tanya Tristan, salah satu teman kami, dia (Tristan) merupakan orang yang kritis dengan hal-hal yang mencurigakan, dia juga memiliki jiwa yang rebel. Berpenampilan tidak menonjol, sama seperti manusia normal yang lain. Salah satu teman basket dari Albert dan Hans

Disebelah Tristan ada Kevin, yang merupakan sahabat Tristan dari kecil, dia (Kevin) tidak suka bermain basket namun terkadang ikut bermain. Dia yang paling ceria diantara kami. Ukuran dan bentuk kacamatanya yang unik membuatnya berbeda dengan yang lain. Dia melihat kearahku, dia seperti ingin mengatakan sesuatu. “Iya, disini tertulis nama keluargamu. Disaat itu juga kamu ada di tempat kejadian bukan?” Tanyanya melanjutkan pertanyaan dari Tristan,

“Aku juga tidak mengetahui hal tersebut, mungkin saja itu ditujukan kepada keluargaku? Bukannya disana tertulis nama keluargaku bukan spesifik namaku?” Bantahku, tapi aku juga tidak paham dengan maksud email tersebut yang dikirimkan untuk Toeli!

“Meskipun itu nama keluargamu yang disebutkan, dan secara ‘kebetulan’ pesan itu muncul di komputer yang berada tidak jauh dari kamu bukan?” Lanjut tanya Kevin dengan intonasi yang seperti memojokkanku,

Membuatku sedikit kesal, alhasil emosiku sedikit tersulut. Dengan mengeluarkan suara yang membentak, mungkin tidak terlalu keras aku membantahnya. “Cukup ya! Tidak ada yang aku sembunyikan disini, aku juga tidak tau menau tentang email aneh ini!”

“Lalu apa faktanya sekarang?! Faktanya hanya kamu yang mendapatkan email tersebut, bukankah begitu?” Tanya Tristan dengan mengeraskan suaranya. Tentu saja hal tersebut membuat situasi ruangan itu saat itu menjadi sangat runyam.

“Kalau memang hanya aku yang mendapatkan email ini memangnya kenapa?! Apakah itu menjadi penjamin aku mengerti segalanya?!” Jawab bentakku.

Tersulut dengan emosi, Kevin yang seharusnya merupakan teman kami yang sangat ceria berubah drastis. Saat ini dia marah besar, tentu saja hal itu bukan seperti dia yang aku ketahui. Dia memukul meja, mengeraskan suaranya. “Lalu emangnya kita bisa melakukan apa kalau informasi yang kita dapat hanya segini?! Kamu pun membantah menyembunyikan susuatu dari kami!”

Seketika ruangan tersebut menjadi sangat sunyi. Keadaan sunyi tersebut bertahan cukup lama, dan beberapa waktu kemudian Tristan mulai berdiri dan bergumam sendiri. Dia mondar-mandir di tempat yang sama sambil menggumamkan kata, ‘Aku tidak bisa terus disini!’ beberapa kali.

Setelah merenungkan hal tadi, mungkin benar kata Kevin dan Tristan, pasti ada maksud tertentu dibalik hanya aku yang diberikan email misterius tersebut. Aku harus mencari tau kebenaran itu! Kalau aku terus-terusan disini, tidak akan ada perkembangan dan informasi lebih lanjut mengenai hal ini!

Aku menoleh kearah Danira. “Ayo Dan, kita pergi dari sekolah ini!” Ajakku sambil memegang kedua tangannya. Dia berpaling ke arahku, dan dia (Danira) beralih melihat kearah kakinya. “Mungkin aku tidak bisa ikut, kamu pergi saja sendirian dahulu. Aku ingin menyembuhkan kakiku terlebih dahulu. Aku akan menyusul ketika kakiku sudah sembuh.” Ucapnya (Danira)

“Oke deh, kita akan berangkat ketika kamu sudah siap.” Balasku. Wajahnya (Danira) tersenyum ketika aku mengatakan itu.

Saat itu kurang lebih sudah 8 jam semenjak kejadian Rept. Dan saat itu menunjukkan pukul 6 sore.

-Bagian Kedua-

Mereka (semuanya kecuali Danira dan Cuba) berkumpul di pojokan ruangan dan terlihat sedang mendiskusikan sesuatu. Beberapa menit berlalu dan sepertinya mereka sudah memutuskan sesuatu. “Kami ingin pergi dari sekolah ini, kamu ingin ikut?” Tanya Nite sambil mendekat menghampiriku.

Mereka ingin pergi? Kebetulan kami juga ingin pergi, namun keadaan Danira membuatku harus tetap tinggal disini untuk beberapa saat. “Kami sangat ingin pergi dengan kalian, tapi kami tidak bisa pergi sekarang. Saat ini kondisi Danira tidak memungkinkan untuk berjalan jauh.” Ucapku sambil mengelus kaki Danira yang sedang tertidur di sampingku.

Kevin melangkah maju mendekatiku, dan mungkin karena masih terbawa suasana emosi tadi dia mengatakan sesuatu kepadaku dengan nada yang cukup tinggi. “Sayang sekali, kami tidak akan menunggu sampai kaki Danira sembuh! Kami tidak memiliki waktu yang banyak untuk menunggu kaki Danira sampai sembuh! Kami akan meninggalkan kalian! Semoga beruntung!”

Setelah mengatakan hal itu Kevin mengajak teman-teman yang lain termasuk Nite untuk pergi, dan dia (Nite) pun menyetujuinya. Aku tidak tau apakah situasi ini membuat Nite menjadi berubah dan menjauhiku padahal dia adalah sahabatku, atau ada faktor lain yang membuatnya ingin buru-buru untuk pergi.

“Kalian mau pergi kemana?” Tanyaku.

“Kami ingin mencari informasi lebih lagi di kota, karena menurut kami pasti akan banyak informasi kalau kita kesana.” Jawab Nite yang masih berada di dekatku, lalu tak lama dia berpamitan.

“Aku pergi dulu ya, kalau beruntung kita akan bertemu di kota nanti.” Lanjutnya. Setelah dia mengatakan itu dia langsung menyusul teman yang lain dan pergi meninggalkan ruangan ini beserta kami berdua yang masih berada di dalam ruangan.

Dan akhirnya saat ini kami pun hanya berdua di ruangan yang cukup besar ini. Beruntung listrik di sekolah ini menggunakan tenaga surya yang sama sekali tidak terpengaruh oleh listrik pemerintah yang akan mati ketika terjadi situasi seperti ini.

Sementara itu diposisi Danira.

Setelah pertengkaran Cuba dengan yang lain aku tertidur, aku tertidur karena aku sudah tidak kuat lagi menahan rasa capek yang dihasilkan dari luka bengkak ini. Kira-kira 50 menit aku tertidur, dan setelah aku bangun aku merasakan tenagaku sudah pulih meskipun tidak 100% pulih kurasakan.

Melihat sekeliling, hanya terlihat ruangan yang gelap dan kosong, namun hawa dingin dari AC masih dapat aku rasakan.

“Yang lain kemana?” Tanyaku pelan.

Hanya ada Cuba di sampingku. Dia tertidur lelap, dari wajahnya terlihat semua beban-beban hidup yang sangat berat dia jalani. Dia menjalani hidup sebagai anak yang sangat kasihan, ibunya bekerja sangat keras untuk menafkahi keluarga sedangkan ayahnya membuat Cuba tersiksa secara mental di rumah. Hanya di sekolah yang benar-benar membuatnya terlepas dari semua beban itu.

Aku terus menatapi wajahnya yang terlelap, membayangkan kalau kita benar-benar menjalin hubungan yang lebih, namun itu hanya membuat hubungan kami lebih rentan oleh perpecahan.

“Kamu terlihat manis kalau sedang tidur.” Ucapku sambil mengelus-elus wajahnya dan merapikan rambutnya yang berantakan.

Aku melihat lagi ke arah sekitar, dan mulai mencoba untuk menggerakkan kakiku. Namun, masih saja sulit untuk digerakkan. Mencoba untuk berdiri, terus berlatih agar kami bisa segera pergi meninggalkan tempat ini.

“Ayo kaki! Kamu pasti bisa.” Gumamku.

Berpegang pada lengan sofa dan akhirnya aku bisa menegakkan kakiku dan berdiri. Perlahan menapakkan kakiku menuju ke arah jendela, melihat sekeliling. Keadaan diluar sudah gelap, dan jarak pandanganku sudah terbatasi oleh kegelapan malam.

Aku masih kepikiran dengan teka-teki yang ada di dalam email tadi, jadi aku membuka kembali handphoneku dan mengecek email tadi. Suatu hal yang tidak diinginkan pun terjadi, email itu terhapus! Aku merasa panik dan tidak tau harus melakukan apa, dan berusaha untuk meraih Cuba dan membangunkannya. “Cuba, Cepat bangun! Gawat!” aku terus menggoyang-goyangkan badan Cuba.

“Halo Dan.” Ucapnya sambil mengucek-ngucek matanya. Dia (Cuba) menengok kearah jendela dan menyadari hari sudah mulai gelap.

Dia (Cuba), melihat kearahku yang sedang memegang handphone dan kepanikan. Dia menghampiriku dan bertanya dengan halus. “Ada apa? Apa yang gawat Dan?”

Aku menangis, tidak tau harus melakukan apa. Aku berbuat kesalahan dan Cuba pasti marah. “Foto email tadi terhapus!” Ucapku sambil menahan isak tangisku. Aku memberikan handphoneku dan menunjukkan galeriku yang didalamnya foto email tadi yang sekarang sudah tidak ada.

“Iya, sudah tidak ada.” Ucapnya panik, namun dia (Cuba) terlihat tidak sepanik yang aku bayangkan. “Mungkin ini merupakan perbuatan dari Amon RA, dia yang menghapus foto ini.” Lanjutnya sambil menutup mulutnya dengan tangan dan menguap.

“Mungkin saja.” Jawabku, namun meskipun hal itu merupakan hal yang bisa saja terjadi tapi ini adalah hal yang aneh. Sesosok gaib bisa mengutak-atik handphone manusia. Tapi diluar semua itu karena ini bukan hal yang bisa kami antisipasi maka dari itu aku akan mengiklaskannya, aku harap kami bisa mendapatkan petunjuk lebih dari ini.

Merasakan tubuhku yang sudah lengket penuh dengan kringat, aku mulai tidak nyaman. Aku harap aku bisa mandi. “Cuba, aku ingin mandi.” Ucapku,

Dia (Cuba) melihat kearahku, dan wajahnya memerah. Dia  yang tadi berada di depan laci permainan papan bergegas menuju kearahku yang sedang duduk-duduk santai di sofa dekat AC.

“Ayo aku antar kamu ke kamar mandi, sini aku gendong.” Ucapnya sambil mengarahkan punggungnya kearahku.

Beruntungnya kami, didalam ruangan ini terdapat kamar mandi yang cukup luas, dan orang-orang yang berada dalam klub ini juga merupakan orang yang bersihan. Kamar mandi di ruangan itu terletak di pojokkan di sebelah lemari penyimpanan makanan, tidak terlihat menakutkan.

Setelah kami sampai di depan kamar mandi, Cuba mencoba untuk menyalakan lampunya, namun lampunya tidak mau menyala. “Apa lampunya rusak ya?” Gumamnya.

Dia (Cuba) menurunkanku, dan masuk kedalam kamar mandi. Dia mencoba untuk menggapai lampunya. Dia menggunakan kursi yang cukup panjang untuk menggapai lampu. Meskipun dia merupakan orang yang takut ketinggian, tapi dia orangnya berani.

“Lampunya rusak Dan.” Ucapnya sambil memutar-mutar bola lampunya, lalu dia turun, dan menuju kearahku.

Aku mengintip kearah dalam kamar mandi, dan ketika keadaan kamar mandi itu gelap, kamar mandi sebersih apapun dan sebagus apapun akan terlihat menakutkan.

Apa aku ajak aja Cuba untuk mandi bersamaku? Tidak mungkin juga aku tidak mandi dan tidur dalam keadaan badan yang lengket-lengket! Lagipula kami juga pernah mandi bersama saat kami masih kecil.

“Cuba mau mandi bersamaku?” Tanyaku dengan suara yang gemetar, aku sebenarnya juga malu untuk menunjukkan badan telanjangku ke Cuba, namun dengan kondisi kakiku dan lampu kamar mandi yang mati aku tidak punya pilihan!

Dia terkaget-kaget, wajahnya memerah dan mulai berlagak tidak normal. “Apa maksudmu Dan, kita mandi bersama?” Tanyanya dengan salah tingkahnya, dia sangat lucu ketika dia salah tingkah.

“Mau gimana lagi, aku takut kalau mandi sendirian di tempat gelap, kakiku juga susah untuk digerakkan.” Ucapku beralasan.

“Apa hari ini tidak usah mandi dulu?” Ucap Cuba yang masih salah tingkah.

Aku tidak punya pilihan, aku harus mencoba memaksanya untuk mendi bersamaku, bukan karena aku ingin, namun ini adalah hal yang darurat! “Kamu tidak mau mandi denganku?” Ucapku menggoda dia.

“Okelah, ayo kita mandi bersama!” Ucapnya kesenangan.

Kami pun mandi bersama, dan setelahnya kami menghabiskan semalaman berbicara intim berdua bersama mengenai masing-masing hidup kami yang tidak bisa kami ceritakan sebelumnya.

Menggunakan kesempatan yang ada aku ingin menceritakan apa yang aku lihat saat kejadian di lab komputer. Mengenai sosok hitam yang terus menampakkan dirinya didepanku.

“Cub, sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu.” Ucapku mengalihakn pembicaraan yang sedang kami lakukan sebelumnya.

Saat itu pukul 12 malam, 14 jam setelah kejadian Rapt.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status