Share

20. Memiliki Kecantikan Sebagai Istri

"Sudah sampai." 

Kay mematikan mesin mobilnya. Dibelakang, Rhea melepaskan seatbeltnya. Tidak lupa kembali memakai kacamata hitam andalannya dan tas jinjing di tangan kirinya.

"Tidak ingin kutemani masuk?" Kay memastikan kembali.

Gedung didepannya ini adalah salah satu gedung terbesar di ibukota. Seluruh gedung telah dibeli dan digunakan seluruhnya oleh Prisma Group yang memiliki banyak anak perusahaan.

"Tidak usah. Tinggal masuk saja. Hansa bilang dia telah mengutus Jeremy untuk tur perusahaan." Rhea tertawa sendiri di bagian 'tur perusahaan'.

"Benar, tur perusahaan." Kay didepan mengangguk-angguk iri.

"Besok jangan lupa ada wawancara. Aku harus membawamu ke salon rambut terlebih dahulu." Kay mengingatkan.

"Okay." Balas Rhea sambil dengan melakukan gerakan tangan.

Seperti yang Hansa janjikan. Jeremy telah menunggunya di pintu masuk. Rhea belum mengenal Jeremy, yang dia tahu, pria itu asisten kepercayaan Hansa.

"Mari Nyonya."

Kedatangannya tampaknya membuat penasaran karyawan kantor yang berlalu lalang di lantai pertama. Meski begitu, mereka hanya melihat dan tidak berani menyapanya, apalagi merangsek kearahnya seperti yang dilakukan para jurnalis tadi pagi. Memikirkan tubuhnya ditarik-tarik membuat Rhea merapikan pakaiannya secara tidak sadar meski tidak ada bagian yang kusut.

"Lantai pertama untuk lobi utama dan umum. Disini juga ada kantin, Nyonya selalu bisa bertanya kepada resepsionis didepan jika bertanya atau ingin sesuatu. Lantai dua hingga enam digunakan oleh Prisma Online Market. Lantai tujuh..."

Rhea mendengarkan dengan seksama penjelasan Jeremy. Mereka menuju lift khusus dan menekan tombol 60.

"Sudah berapa lama kamu bekerja dengan Hansa, Jeremy?" Ia menyela.

Jeremy terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan. Dia berpikir sejenak untuk menghitung sebelum menjawab. "Delapan tahun." 

Rhea menggumamkan 'wow' dan perjalanan dilanjutkan dengan informasi Jeremy mengenai perusahaan.

Singkatnya, suaminya ini adalah konglomerat kaya yang memiliki aset dimana-mana.

Lift berhenti dan mereka berjalan keluar. Dia langsung disambut oleh dua perempuan berpakaian rapi yang tersenyum hormat kepadanya.

"Ini Lily dan Maria. Mereka sekretaris Hansa."

"Halo." Rhea menawarkan jabat tangan.

Jeremy mengarahkan ke pintu berbahan baja stainless steel yang berwarna tembaga merah.

"Saya tidak perlu menginfokan kedatangan Nyonya,  karena kehadiran Nyonya sudah ditunggu Tuan." Jeremy memberitahu.

Rhea membuka pintu.

Pemandangan yang dia lihat adalah seorang pria yang tengah serius menatap layar komputer di meja kerjanya. Kedua lengan kemejanya telah digulung ke siku, dan efek cahaya dari jendela membuatnya tampak seperti model yang tengah memperagakan konsep kerja kantoran.

Dia bahkan tidak melihatnya masuk.

Rhea memutuskan untuk berjalan mendekat.

"Sibuk?" Ia menjulurkan badannya, mencoba untuk melihat layar monitor yang tengah ditatap Hansa dengan serius.

"S-sayang..." Hansa tersadar dari lamunannya. Ia menjawab gugup dan dengan cepat mematikan layar komputernya agar dia tidak bisa melihat.

"Melihat gambar delapan belas plus?" Rhea bertanya dalam nada datar setelah melihat layar monitor dimatikan.

Kegugupan Hansa bertambah. "A-apa maksudmu. Suamimu ini bukan pria seperti itu."  

Gara-gara ucapan Rhea, sekelebat gambar istrinya tengah memakai baju seksi terlintas dipikirannya, membuat pipinya memerah.

Rhea memutar bola matanya. 

"Jadi kapan kita pergi?" Tanyanya.

"Sekarang." 

Hansa mengambil jas hitamnya yang tersampir di kursinya. Setelah membereskan dokumen menjadi satu tumpukan disamping untuk dilanjut esok hari, dia berjalan menghampiri Rhea. Menawarkan tangannya.

Rhea menyambut dan menggenggam tangannya dan berjalan bersama keluar. Itu membuat Hansa tersenyum kecil. Pikirannya sekarang tengah mengadakan pesta besar dan bersorak gembira.

"Jeremy, kunci mobil." Pintanya.

"Bukannya saya yang mengemudikan Tuan?" Jeremy bertanya. Bukannya bosnya itu pengemudi yang buruk, hanya saja ini sudah menjadi kebiasaan teratur kalau kemana-mana, dialah yang menyetir.

"Kau mau menjadi orang ketiga Jeremy?" Sindir Hansa pedas.

Telinga Jeremy memerah mendengar perkataan bosnya. Kedua sekretaris disampingnya bahkan telah cekikikan menertawai kepolosannya.

Jeremy mengeluarkan kunci dari saku dalam jasnya dan menyerahkannya.

"Kami pergi dulu." Pamit Rhea sambil melambaikan tangan.

***

Rhea berpikir pemakaman orang tua Hansa berada di pemakaman elit di tengah kota. Alih-alih, Hansa mengemudikan mobilnya menuju keluar kota, dan setelah setengah jam perjalanan yang diisi dengan keheningan, Rhea memutuskan untuk melakukan percakapan.

"Bagaimana orang tuamu?" Tanyanya.

Hansa menoleh sejenak kearahnya sebelum kembali fokus ke jalan raya didepan.

"Mereka orang yang baik." Jawabnya.

Rhea masih menanti kalimat lanjutan.

"Sebetulnya kenangan tentang mereka samar. Mereka pergi saat aku berumur sembilan tahun." Hansa melanjutkan dengan jujur.

Orang tuanya telah meninggal dalam kecelakaan beruntun di jalan tol. Itu terjadi ketika dia masih berada di sekolah dasar. Mengenyampingkan mereka telah meninggalkannya sejak kecil, Hansa selalu tidak dekat dengan mereka. Mereka adalah orang tua yang baik, Hansa tahu itu. Tapi selebihnya hubungan mereka tampak asing untuk masuk kategori keluarga bahagia. Tidak ada foto-foto intim bersama yang memperlihatkan keceriaan sebuah keluarga. Yang ada hanyalah foto keluarga palsu yang kini terpajang di dinding lantai dua rumahnya.

"Tidak keberatan untuk mampir ke toko bunga sejenak?" Ia menanyakan.

"Tentu saja tidak."

Hansa menepikan mobilnya ke sebuah toko bunga yang tidak terlalu besar dan sedang sepi jika dilihat dari tempat parkirnya yang lengang. Rhea memutuskan untuk tidak menyembunyikan wajahnya dan keluar bersama Hansa. Menggandeng tangannya dan menampilkan citra pasangan sempurna.

Masuk ke toko bunga membuat Rhea jadi teringat proyek taman bunganya yang setengah jadi. Tinggal ditanami. Seharusnya besok dia akan berbelanja bibit bunga seharian, tetapi karena ada wawancara sejenak, dia memutuskan untuk mengundurkan acara tanam bunganya.

"Yang ini." Hansa menunjuk bunga anyelir merah.

Rhea di sisi lain membiarkan Hansa memilih bunga karena dia tidak tahu bunga kesukaan mertuanya. Dia lebih memilih melihat-lihat kumpulan bunga yang dipamerkan di vas-vas besar.

Saat melihat-lihat, Rhea merasa dia sedang dilihat oleh seseorang. Dia berbalik dan mendapati seorang remaja perempuan yang melihatnya dengan malu-malu.

"Bolehkah aku berfoto denganmu?" Tanyanya.

Setelah berpikir sejenak, Rhea mengangguk mengiyakan.

Remaja perempuan itu tampak bersorak gembira, membuat Rhea tersenyum karenanya. Mereka melakukan swa foto bersama. Tetapi Rhea bisa melihat gadis itu kesusahan medapatkan angle yang baik.

"Hansa." Dia memanggil suaminya.

"Bisakah kamu memfoto kami?" Tanyanya.

"Tentu saja sayang." Hansa mendekat dan mengambil handphone remaja itu.

Rhea dan anak itu berpose bersama dan berpelukan.

Hansa terpana melihat senyuman Rhea yang tampak tulus di layar kaca. Istrinya memang sangat cantik, bahkan dewi pun akan iri dengan kecantikannya. Untungnya dia tersadar  dan cepat-cepat menekan tombol shut.

"Terimakasih. Kakak sangat cantik sekali." Ucap anak itu.

Rhea mengucap salam perpisahan karena Hansa telah selesai dengan belanjaan. Mereka kembali menuju mobil.

"Apa?" Rhea bertanya ketika Hansa tampak tidak mengalihkan pandangannya kearahnya.

"Istriku ternyata sangat cantik." Ujar Hansa blak-blakan.

"Kau ini, bisa tidak sehari tidak menggodaku?" Tuntutnya.

Tidak pernah dalam hidup Rhea membayangkan bahwa Hansa yang berstatus suaminya berbeda seratus delapan puluh derajat dari image misteriusnya di majalah-majalah. Hansa lebih seperti suami penggoda yang ulung.

Hansa meletakkan buket bunga anyelir di kursi belakang.

Rhea menarik seatbeltnya tetapi sepertinya benda itu sedang tidak mau berkompromi.

"Kesulitan?" 

Tanpa menunggu jawaban, Hansa mendekat dan membantu memasangkan seatbelt istrinya.

"Terimaka-"  Ucapan Rhea terputus ketika menyadari seberapa dekat mereka sekarang. Saking dekatnya Rhea bisa merasakan hembusan nafas Hansa yang semakin berat.

Bibir mereka semakin dekat. Rhea merasa jantungnya berpacu tiga kali lipat.

Ini akan terjadi. Mereka akan berciuman. Pikirnya. 

Dia, anehnya dia tidak merasa keberatan dengan pikiran itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status