"Sudah sampai."
Kay mematikan mesin mobilnya. Dibelakang, Rhea melepaskan seatbeltnya. Tidak lupa kembali memakai kacamata hitam andalannya dan tas jinjing di tangan kirinya.
"Tidak ingin kutemani masuk?" Kay memastikan kembali.
Gedung didepannya ini adalah salah satu gedung terbesar di ibukota. Seluruh gedung telah dibeli dan digunakan seluruhnya oleh Prisma Group yang memiliki banyak anak perusahaan.
"Tidak usah. Tinggal masuk saja. Hansa bilang dia telah mengutus Jeremy untuk tur perusahaan." Rhea tertawa sendiri di bagian 'tur perusahaan'.
"Benar, tur perusahaan." Kay didepan mengangguk-angguk iri.
"Besok jangan lupa ada wawancara. Aku harus membawamu ke salon rambut terlebih dahulu." Kay mengingatkan.
"Okay." Balas Rhea sambil dengan melakukan gerakan tangan.
Seperti yang Hansa janjikan. Jeremy telah menunggunya di pintu masuk. Rhea belum mengenal Jeremy, yang dia tahu, pria itu asisten kepercayaan Hansa.
"Mari Nyonya."
Kedatangannya tampaknya membuat penasaran karyawan kantor yang berlalu lalang di lantai pertama. Meski begitu, mereka hanya melihat dan tidak berani menyapanya, apalagi merangsek kearahnya seperti yang dilakukan para jurnalis tadi pagi. Memikirkan tubuhnya ditarik-tarik membuat Rhea merapikan pakaiannya secara tidak sadar meski tidak ada bagian yang kusut.
"Lantai pertama untuk lobi utama dan umum. Disini juga ada kantin, Nyonya selalu bisa bertanya kepada resepsionis didepan jika bertanya atau ingin sesuatu. Lantai dua hingga enam digunakan oleh Prisma Online Market. Lantai tujuh..."
Rhea mendengarkan dengan seksama penjelasan Jeremy. Mereka menuju lift khusus dan menekan tombol 60.
"Sudah berapa lama kamu bekerja dengan Hansa, Jeremy?" Ia menyela.
Jeremy terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan. Dia berpikir sejenak untuk menghitung sebelum menjawab. "Delapan tahun."
Rhea menggumamkan 'wow' dan perjalanan dilanjutkan dengan informasi Jeremy mengenai perusahaan.
Singkatnya, suaminya ini adalah konglomerat kaya yang memiliki aset dimana-mana.
Lift berhenti dan mereka berjalan keluar. Dia langsung disambut oleh dua perempuan berpakaian rapi yang tersenyum hormat kepadanya.
"Ini Lily dan Maria. Mereka sekretaris Hansa."
"Halo." Rhea menawarkan jabat tangan.
Jeremy mengarahkan ke pintu berbahan baja stainless steel yang berwarna tembaga merah.
"Saya tidak perlu menginfokan kedatangan Nyonya, karena kehadiran Nyonya sudah ditunggu Tuan." Jeremy memberitahu.
Rhea membuka pintu.
Pemandangan yang dia lihat adalah seorang pria yang tengah serius menatap layar komputer di meja kerjanya. Kedua lengan kemejanya telah digulung ke siku, dan efek cahaya dari jendela membuatnya tampak seperti model yang tengah memperagakan konsep kerja kantoran.
Dia bahkan tidak melihatnya masuk.
Rhea memutuskan untuk berjalan mendekat.
"Sibuk?" Ia menjulurkan badannya, mencoba untuk melihat layar monitor yang tengah ditatap Hansa dengan serius.
"S-sayang..." Hansa tersadar dari lamunannya. Ia menjawab gugup dan dengan cepat mematikan layar komputernya agar dia tidak bisa melihat.
"Melihat gambar delapan belas plus?" Rhea bertanya dalam nada datar setelah melihat layar monitor dimatikan.
Kegugupan Hansa bertambah. "A-apa maksudmu. Suamimu ini bukan pria seperti itu."
Gara-gara ucapan Rhea, sekelebat gambar istrinya tengah memakai baju seksi terlintas dipikirannya, membuat pipinya memerah.
Rhea memutar bola matanya.
"Jadi kapan kita pergi?" Tanyanya.
"Sekarang."
Hansa mengambil jas hitamnya yang tersampir di kursinya. Setelah membereskan dokumen menjadi satu tumpukan disamping untuk dilanjut esok hari, dia berjalan menghampiri Rhea. Menawarkan tangannya.
Rhea menyambut dan menggenggam tangannya dan berjalan bersama keluar. Itu membuat Hansa tersenyum kecil. Pikirannya sekarang tengah mengadakan pesta besar dan bersorak gembira.
"Jeremy, kunci mobil." Pintanya.
"Bukannya saya yang mengemudikan Tuan?" Jeremy bertanya. Bukannya bosnya itu pengemudi yang buruk, hanya saja ini sudah menjadi kebiasaan teratur kalau kemana-mana, dialah yang menyetir.
"Kau mau menjadi orang ketiga Jeremy?" Sindir Hansa pedas.
Telinga Jeremy memerah mendengar perkataan bosnya. Kedua sekretaris disampingnya bahkan telah cekikikan menertawai kepolosannya.
Jeremy mengeluarkan kunci dari saku dalam jasnya dan menyerahkannya.
"Kami pergi dulu." Pamit Rhea sambil melambaikan tangan.
***
Rhea berpikir pemakaman orang tua Hansa berada di pemakaman elit di tengah kota. Alih-alih, Hansa mengemudikan mobilnya menuju keluar kota, dan setelah setengah jam perjalanan yang diisi dengan keheningan, Rhea memutuskan untuk melakukan percakapan.
"Bagaimana orang tuamu?" Tanyanya.
Hansa menoleh sejenak kearahnya sebelum kembali fokus ke jalan raya didepan.
"Mereka orang yang baik." Jawabnya.
Rhea masih menanti kalimat lanjutan.
"Sebetulnya kenangan tentang mereka samar. Mereka pergi saat aku berumur sembilan tahun." Hansa melanjutkan dengan jujur.
Orang tuanya telah meninggal dalam kecelakaan beruntun di jalan tol. Itu terjadi ketika dia masih berada di sekolah dasar. Mengenyampingkan mereka telah meninggalkannya sejak kecil, Hansa selalu tidak dekat dengan mereka. Mereka adalah orang tua yang baik, Hansa tahu itu. Tapi selebihnya hubungan mereka tampak asing untuk masuk kategori keluarga bahagia. Tidak ada foto-foto intim bersama yang memperlihatkan keceriaan sebuah keluarga. Yang ada hanyalah foto keluarga palsu yang kini terpajang di dinding lantai dua rumahnya.
"Tidak keberatan untuk mampir ke toko bunga sejenak?" Ia menanyakan.
"Tentu saja tidak."
Hansa menepikan mobilnya ke sebuah toko bunga yang tidak terlalu besar dan sedang sepi jika dilihat dari tempat parkirnya yang lengang. Rhea memutuskan untuk tidak menyembunyikan wajahnya dan keluar bersama Hansa. Menggandeng tangannya dan menampilkan citra pasangan sempurna.
Masuk ke toko bunga membuat Rhea jadi teringat proyek taman bunganya yang setengah jadi. Tinggal ditanami. Seharusnya besok dia akan berbelanja bibit bunga seharian, tetapi karena ada wawancara sejenak, dia memutuskan untuk mengundurkan acara tanam bunganya.
"Yang ini." Hansa menunjuk bunga anyelir merah.
Rhea di sisi lain membiarkan Hansa memilih bunga karena dia tidak tahu bunga kesukaan mertuanya. Dia lebih memilih melihat-lihat kumpulan bunga yang dipamerkan di vas-vas besar.
Saat melihat-lihat, Rhea merasa dia sedang dilihat oleh seseorang. Dia berbalik dan mendapati seorang remaja perempuan yang melihatnya dengan malu-malu.
"Bolehkah aku berfoto denganmu?" Tanyanya.
Setelah berpikir sejenak, Rhea mengangguk mengiyakan.
Remaja perempuan itu tampak bersorak gembira, membuat Rhea tersenyum karenanya. Mereka melakukan swa foto bersama. Tetapi Rhea bisa melihat gadis itu kesusahan medapatkan angle yang baik.
"Hansa." Dia memanggil suaminya.
"Bisakah kamu memfoto kami?" Tanyanya.
"Tentu saja sayang." Hansa mendekat dan mengambil handphone remaja itu.
Rhea dan anak itu berpose bersama dan berpelukan.
Hansa terpana melihat senyuman Rhea yang tampak tulus di layar kaca. Istrinya memang sangat cantik, bahkan dewi pun akan iri dengan kecantikannya. Untungnya dia tersadar dan cepat-cepat menekan tombol shut."Terimakasih. Kakak sangat cantik sekali." Ucap anak itu.
Rhea mengucap salam perpisahan karena Hansa telah selesai dengan belanjaan. Mereka kembali menuju mobil.
"Apa?" Rhea bertanya ketika Hansa tampak tidak mengalihkan pandangannya kearahnya.
"Istriku ternyata sangat cantik." Ujar Hansa blak-blakan.
"Kau ini, bisa tidak sehari tidak menggodaku?" Tuntutnya.
Tidak pernah dalam hidup Rhea membayangkan bahwa Hansa yang berstatus suaminya berbeda seratus delapan puluh derajat dari image misteriusnya di majalah-majalah. Hansa lebih seperti suami penggoda yang ulung.
Hansa meletakkan buket bunga anyelir di kursi belakang.
Rhea menarik seatbeltnya tetapi sepertinya benda itu sedang tidak mau berkompromi.
"Kesulitan?"
Tanpa menunggu jawaban, Hansa mendekat dan membantu memasangkan seatbelt istrinya.
"Terimaka-" Ucapan Rhea terputus ketika menyadari seberapa dekat mereka sekarang. Saking dekatnya Rhea bisa merasakan hembusan nafas Hansa yang semakin berat.
Bibir mereka semakin dekat. Rhea merasa jantungnya berpacu tiga kali lipat.
Ini akan terjadi. Mereka akan berciuman. Pikirnya.
Dia, anehnya dia tidak merasa keberatan dengan pikiran itu.
Jantungnya berdetak kencang. Hansa menatap bibir ranum istrinya itu dengan keinginan tinggi untuk menciumnya. Bisakah dia? Istrinya tampak tidak menahannya. Karenanya bibir mereka menjadi lebih dekat. Semakin dekat dan...'Sepuluh meter lagi belok kanan.'Mereka berdua tersentak kaget mendengar suara dari google maps yang telah Hansa hidupkan kembali, hal pertama yang dia lakukan saat masuk ke mobil.Rhea mendorong Hansa menjauh dan tubuhnya bergerak menjadi sangat dekat dengan sisi pintu. Dia menggigit bibirnya, sesuatu yang dia lakukan sewaktu gugup. Dia tidak berani memandang ke arahnya.Hansa menahan diri untuk tidak meninju layar map di dasbor mobilnya. Merutuki suara dari sistem yang datang di waktu yang sangat tidak pas.Sial! Hansa merindukan bibir itu, dan karena kejadian ini, dia yakin Rhea akan kembali membuat jarak dengannya.Kenapa dia harus menghidupkan maps? Pikirnya kesal.Dengan pikiran kacau balau dan kesal, di
Mereka berbalik dan mendapati seorang pemuda tengah berjalan cepat kearah mereka. Rhea dan Hansa saling berpandangan, jelas tidak ada dari mereka yang kenal dengan pemuda asing ini."Aku tidak sengaja memfoto kalian." Pemuda itu mengeluarkan ponselnya dan langsung mengarahkannya ke Hansa.Gambar dari ponsel pemuda itu menampilkan dirinya dan Rhea dalam posisi berpelukan. Itu difoto dari samping dan ekspresi tawa dan kaget di wajah Rhea dan cara dia memandangnya untuknya serta sinar sore yang berpendar di belakang mereka membuat Hansa mengagumi foto tersebut meski hanya dipotret lewat ponsel.Rhea ikut memberi perhatian terhadap foto yang dibuat."Bagus. Kau punya bakat memotret." Pujinya kepada pemuda itu.Pria itu tersipu malu mendengar pujian dari sang aktris. Sebenarnya dia hanya coba-coba mendapatkan sudut foto yang pas untuk memperindah feed akun media sosialnya, hingga kemudian dia mendapat momen yang pas dari dua pasangan yang tampak sempurn
"Ya, itu kesalahan. Benar, kesalahan." Rhea menggumamkan kalimat itu berkali-kali. Jantungnya berdetak kencang bahkan setelah dia mandi. Sekarang, dia sedang berada di salah satu kamar tamu yang rumah ini miliki. Dia mengungsi malam ini karena tidak ingin dia membuat kesalahan kembali. Kesalahan yang lebih besar.Ciuman itu salah. Jantung yang berdebar itu karena dia terkejut. Pikir Rhea dalam rangka meyakinkan dirinya sendiri.Dia mengacak-acak rambutnya kesal. "Kenapa aku melakukan itu?" Ratapnya. "-tidak, kenapa aku membiarkan dia melakukan itu?!"Rhea membenci situasi ini. Dia membenci kenapa setiap Hansa mulai menatapnya intens dari jarak dekat, jantungnya akan berdetak kencang. Dia membenci dirinya sendiri karena itu."Tenang Rhea, tenang." Dia bermonolog. "Kamu tidak boleh jatuh kedalam rayuan Hansa."Satu hal yang Rhea terakhir inginkan di hidupnya adalah kembali jatuh cinta ke orang yang salah. Hansa termasuk orang yang salah. Mau bagaiman
"Akhirnya aku bisa melihatnya dari dekat." Kay berfangirling ria.Dia adalah pengagum pria tampan, dan menurutnya, Malik adalah aktor tertampan di Indonesia. Dia tidak pernah melihatnya dari dekat karena Malik berbeda agensi. Baru kali ini Rhea akhirnya bermain drama bersama aktor tersebut. Sehingga Kay senang bukan main ketika nama-nama pemeran dramanya mendatang diungkapkan.Rhea bisa mengerti kegilaan Kay akan selebriti tampan. Dia juga mengakui Malik memang memiliki ketampanan yang membuat sebagian besar perempuan menggila kepadanya. Itulah kenapa fanbase Malik juga merupakan yang paling ganas."Ada adegan kamu menciumnya." Asistennya menambahkan. "Aku begitu iri. Kak Jenna memang ahli menyeleksi naskah untukmu." Dia menyebut manager Rhea yang sekarang sedang cuti melahirkan tetapi tetap memantau mereka dari jauh."Pada akhirnya peranku bernasib mengenaskan di akhir drama." Rhea mengingatkan ending menyedihkan dari perannya."Setidaknya bukan d
Kafe itu berada di gang sempit. Tertutupi oleh gedung yang menjulang didepannya. Hampir semua pelanggannya berasal dari daerah lokal yang tahu lokasi kafenya. Pemiliknya adalah seorang wanita tua yang tidak memiliki ambisi untuk mengembangkan kafenya menjadi lebih besar, sehingga di jam-jam tertentu, tempat itu bisa menjadi sangat sepi karena tidak ada pelanggan yang datang.Rhea bukan orang lokal kawasan itu tetapi dia tahu kafe itu. Dia dikenalkan oleh Jenna, managernya yang dulunya tinggal didaerah itu. Dia bahkan telah dikenal sebagai pelanggan setia oleh pemilik kafe. Disamping tempat itu sebagian besar dalam keadaan sepi, racikan kopinya dan sandwichnya sangat enak dan sesuai dengan seleranya.Di kafe Sarang Hati itu, rata-rata para pelanggan yang satu waktu dengannya tidak menyadari keberadaannya. Mungkin dikarenakan persepsi bahwa selebriti rata-rata hang out ditempat terkenal dan fancy sedangkan kafe ini tidak memiliki kedua kriteria itu.Disinila
Suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja. Faktanya dia tengah berduka, berkabung karena ibunya meninggalkannya. Firasatnya benar, penyakit kronis ibunda tercintanya itu sudah tidak bisa ditolong lagi bahkan oleh tabib istana sekalipun.Kini dia terduduk mangu di samping makam yang gundukan tanahnya masih basah. Bekas aliran air mata di wajahnya menjadi penanda betapa banyak air mata yang telah ia keluarkan. Dia sendirian. Dia telah mengusir enam dayang untuk menunggunya di kejauhan. Dia sedang tidak ingin di ganggu.Dia memakai cundik berlukiskan bunga melati pemberian ibunya hari ini. Sebagai pengingat atas cintanya yang tidak terbatas untuk anak perempuan satu-satunya. Ibunya adalah sosok wanita yang tegar dan kuat yang selalu membalas orang-orang yang mencoba mempermalukannya karena sebagai istri sah, dia tidak bisa melahirkan anak laki-laki sebagai penerus.Sekarang, setelah kepergiannya, dia merasakan kekosongan yang amat sangat. Tidak ada lagi ibunda ya
Kay melambaikan tangannya dengan semangat ketika melihat Rhea menatap sekeliling mencari mereka."Bagaimana bunganya?" Tanyanya langsung setelah Rhea menarik kursi terakhir yang tersedia di meja mereka."Berjalan bagus." Ucap Rhea.Dia tersenyum kearah dua sosok lain di kiri kanan meja. Nino dengan adik perempuannya, Camila."Kami kesini setelah Nino menghadiri pembukaan toko brand sponsornya di lantai dua." Terang Kay. "Ah, aku telah memesankan minumanmu."Rhea mengerang ketika pelayan membawa jus jeruk kearahnya. Itu membuat Kay dan Nino tertawa melihat reaksinya yang sesuai dugaan. Camila disisi lain masih menjaga citra dirinya didepan aktris papan atas yang biasa dia lihat di film-film yang ia tonton. Dia awalnya mengira Rhea akan menjadi orang pendiam dan menakutkan, tetapi melihat dia tertawa dan bercanda dengan suadaranya, citranya yang menakutkan di kepalanya langsung menghilang."Aku sudah berekspektasi kau akan memesankanku b
"Kenapa kamu seperti ini?"Rhea memutar tubuhnya dan mendapati wajahnya berhadapan dengan dada bidang Hansa karena jarak tubuh mereka yang begitu dekat.Karena perbedaan tinggi dua puluh sentimeter, Rhea harus mendongak agar bisa menatap wajah suaminya. Rhea ingin melangkah mundur untuk memperlebar jarak, tetapi tubuh belakangnya telah menekan pinggiran marmer dingin."Bisakah kau membuatkanku segelas susu?" Tanya Hansa. Sadar bahwa Rhea tampak tidak nyaman, dia memutuskan untuk mundur selangkah."O-oke." Jawab Rhea, bingung dengan pertanyaan tidak terduga.Dia segera mengambil gelas lain di rak dan bekerja membuat dua gelas susu hangat untuk dia sendiri dan Hansa. Dia melirik kearah laki-laki itu yang sekarang tengah berdiri di belakangnya, tengah mengawasi dirinya. Diamati seperti itu, membuatnya sedikit gugup. Rhea juga melihat bahwa suaminya itu telah memakai setelan piyama tidur.Rhea mengambil nampan hitam dari laci bawah lalu meletakk