Share

Pagi Setelah Hujan

Penulis: Millanova
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-24 01:00:08

Ketika sinar matahari pagi menyusup dari balik tirai, Ivan terbangun. Kepalanya terasa berat dan badannya sedikit kaku karena tertidur di sofa. Matanya mengerjap, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya. Laptopnya masih menyala di atas meja, menampilkan halaman novel yang terakhir ia tulis.

Ivan menoleh ke samping, tempat Agnia tertidur semalam. Namun, sofa itu kini kosong. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya bantal yang sedikit berantakan. Di atas meja, secangkir teh yang ia buat semalam masih utuh dan sudah dingin. Jantung Ivan berdebar. Ia merasa bingung. Ke mana Agnia pergi?

Dengan panik, Ivan bangkit. Ia melongok ke dalam kamar yang ia tawarkan pada Agnia semalam. Kosong. Tempat tidur masih rapi, tidak tersentuh. Ia bergegas menuju pintu depan dan membukanya lebar-lebar. Udara pagi yang sejuk menyambutnya, tetapi jalanan di luar sepi. Tidak ada jejak Agnia, tidak ada tanda-tanda kehadiran gaun merah yang memikat itu.

"Agnia!!...Agnia!!.....Agnia!!!, kamu dimana?" ivan memanggil manggil nama agnia.

Agnia benar-benar menghilang, seolah-olah ia hanya datang dalam mimpi. Namun, secangkir teh yang dingin itu dan aroma samar parfum Agnia yang masih tersisa di sofa menjadi bukti bahwa malam itu benar-benar terjadi.

Kekosongan di sofa pagi itu terasa lebih dingin daripada hujan semalam. Hati Ivan dipenuhi kebingungan dan kekhawatiran. Ia menatap cangkir teh yang sudah dingin, merasa seperti semua yang terjadi hanyalah mimpi. Tetapi, aroma Agnia yang masih samar tercium di bantal sofa.

Dengan tekad yang kuat, Ivan bergegas ke kamarnya, mengganti piyama dengan kaus dan celana jins. Ia meraih jaket, kunci, dan tali anjingnya. Jika Agnia benar-benar ada, ia tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Ia harus mencarinya.

Ivan berjalan kaki menuju taman terdekat, ditemani anjingnya, Buddy, yang tampak bersemangat."ayo buddy kita harus keluar jalan jalan" ucap ivan kepada anjingnya. Hawa pagi yang sejuk dan embun yang masih menempel di rerumputan tidak membuat Ivan tenang. Matanya terus menyapu setiap sudut, mengamati setiap orang yang ia temui, berharap salah satunya adalah Agnia.

Ia menemukan bangku kosong di bawah pohon rindang dan duduk, matanya tetap awas. Ivan membiarkan Buddy bermain-main, sementara ia fokus mengamati keramaian. Pikirannya melayang, mengingat kembali setiap detail percakapan mereka, setiap sentuhan, setiap ciuman.

Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada seorang wanita di seberang jalan. Wanita itu mengenakan gaun berwarna merah tua, warnanya hampir mirip dengan gaun yang Agnia kenakan semalam. Rambutnya panjang dan ia terlihat sedang menunggu taksi. Jantung Ivan berdebar kencang. Itu dia.

Tanpa berpikir dua kali, Ivan bangkit. Ia buru-buru memanggil Buddy dan menyeberang jalan.

Napas Ivan terengah. Ia berhasil sampai di seberang jalan, tepat saat wanita bergaun merah tua itu menoleh karena mendengar langkah kakinya yang terburu-buru. Wajah Ivan dipenuhi harapan dan kelegaan yang membuncah.

"Agnia!" seru Ivan, suaranya dipenuhi rasa rindu dan lega. "Aku mencarimu! Kau ke mana saja?"

Namun, saat wanita itu menoleh sepenuhnya, senyum di wajah Ivan memudar. Matanya mengerjap, meneliti wajah yang ada di hadapannya. Rambutnya memang panjang, gaunnya memang mirip, tetapi... bukan. Bukan Agnia. Wajah wanita itu berbeda. Matanya bukan mata yang penuh ketakutan dan harapan seperti yang ia lihat semalam.

Wanita itu menatap Ivan dengan bingung, dahinya berkerut. "Maaf, Tuan," ucapnya dengan nada dingin. "Anda siapa? Mengapa memanggil saya?"

Ivan merasa bodoh. Pagi yang semula penuh harapan kini terasa begitu hampa. Ia menunduk, malu.

"Maafkan saya," gumam Ivan, pandangannya kembali tertuju pada sepatu. "Saya... saya kira Anda teman lama saya."

Wanita itu hanya menatapnya sesaat, lalu kembali mengalihkan pandangannya, seolah Ivan hanya orang asing yang salah alamat.

Dengan hati yang berat dan langkah gontai, Ivan kembali ke rumah. Pagi yang cerah terasa begitu suram, seolah semua cahayanya telah ikut dibawa pergi oleh Agnia. Ia melewati ruang tamu, pandangannya jatuh pada sofa kosong yang menjadi saksi bisu keajaiban semalam. Ia merasa bodoh, seperti seorang anak kecil yang percaya pada dongeng.

Namun, Ivan memutuskan untuk tidak menyerah. Ia duduk di depan laptopnya, membuka kembali halaman novelnya. Mungkin, hanya melalui tulisan, ia bisa menemukan kembali Agnia. Jari-jarinya menari di atas keyboard, mencoba menuangkan setiap detail percakapan, setiap sentuhan, setiap ciuman. Ivan menulis dengan penuh gairah, seolah Agnia berada di sampingnya, membisikkan setiap kata.

Beberapa jam berlalu tanpa terasa. Tenggorokan Ivan terasa kering. Ia bangkit dari kursi untuk mengambil minum ke dapur. Tepat di dekat sofa, pandangannya tertuju pada sesuatu yang kecil dan berwarna merah di lantai. Sebuah kilatan yang menarik perhatiannya.

Ivan berjongkok, tangannya meraih benda itu. Sebuah pita merah, warnanya sama persis dengan gaun yang dikenakan Agnia semalam. Pita itu tipis, halus, dan terlihat seperti terlepas dari sebuah gaun. Jantung Ivan berdebar kencang. Ia tahu, pita itu bukan miliknya. Itu milik Agnia.

Detak jantung Ivan terasa begitu nyata, berirama dengan kegembiraan yang meluap di dadanya. Ia memandangi pita merah di tangannya, sebuah bukti nyata dari keberadaan Agnia. Namun, euforia itu tiba-tiba terputus oleh suara bel pintu yang berbunyi nyaring.

Ivan tersadar dari lamunannya. Ia menyembunyikan pita itu di saku celana dan berjalan menuju pintu. Ketika ia membukanya, senyum ramah Samuel, editornya, menyambutnya.

"Ivan!" sapa Samuel, suaranya ceria. Ia mengenakan jaket kulit dan tersenyum lebar. "Aku mampir karena kebetulan lewat. Ada waktu untuk minum kopi?"

"Samuel! Masuk, masuk," ajak Ivan, mempersilakan Samuel masuk ke ruang tamu yang masih sedikit berantakan. "Tentu saja. Maaf, rumahku agak berantakan."

"Santai saja," balas Samuel, duduk di sofa tempat Agnia tidur semalam. Pandangannya menyapu sekeliling. "Jadi, bagaimana? Apa ada perkembangan signifikan dengan novelmu?" tanyanya, nadanya penuh antusias. "Aku tahu kamu biasanya butuh waktu lama untuk memikirkan ide, tetapi kali ini aku punya firasat baik."

Ivan tersenyum, senyum yang kali ini benar-benar tulus. Pikirannya melayang pada Agnia, pada malam hujan, dan pada pita merah yang kini berada di sakunya.

“Ada,” jawab Ivan, suaranya dipenuhi keyakinan. “Perkembangan yang sangat signifikan.”

“Benarkah?” Samuel berseru antusias. “Apa yang terjadi? Biasanya kamu selalu bilang masih terkunci di satu titik.”

“Aku... bertemu dengan karakter utamanya, Sam,” kata Ivan, matanya menatap jauh, menerawang. “Secara langsung, di depan mataku. Dia datang di tengah hujan, masuk ke dalam duniaku. Dia rapuh, ketakutan, dan butuh perlindungan. Dia persis seperti yang kubayangkan, bahkan lebih.”

Samuel menatap Ivan dengan keheranan, lalu tawa kecil keluar dari bibirnya. “Ivan, kamu ini ada-ada saja. Jangan terlalu mendalami karaktermu sampai berhalusinasi, kawan. Ayo, ceritakan. Apa yang membuatmu begitu yakin kali ini?”

Ivan menarik napas, matanya berbinar saat ia mulai bercerita. Ia mengabaikan keraguan di wajah Samuel dan mulai merangkai setiap kata dengan hati-hati, seolah ia sedang menceritakan adegan paling penting dalam novelnya.

“Semalam… hujan turun dan bel rumahku berbunyi,” Ivan memulai, suaranya pelan. “Aku pikir itu hanya imajinasi, tetapi ternyata ada seorang wanita di depan pintu. Dia kehujanan, mengenakan gaun merah. Namanya Agnia.”

Ivan berhenti sejenak, mengingat kembali wajah Agnia yang pucat. “Dia meminta perlindungan. Aku mempersilahkannya masuk, membuatkannya teh, dan dia bercerita tentang hidupnya. Dia lari dari pertunangan paksa, Sam. Dia bilang dia takut dan merasa kotor.”

Wajah Samuel masih menunjukkan keraguan, tetapi ia mendengarkan dengan saksama.

“Aku menceritakan novelku padanya, tentang pria yang menjadi pelindung bagi wanita rapuh,” lanjut Ivan, suaranya bergetar karena emosi. “Dan dia… dia bilang aku adalah pria yang selalu dia impikan. Kami… kami saling mencintai, Sam.”

Ivan berhenti sejenak, lalu tangannya masuk ke saku. Ia mengeluarkan pita merah kecil itu dan meletakkannya di telapak tangan Samuel. “Pagi ini, dia menghilang. Aku mencarinya ke taman, tetapi hanya menemukan wanita lain. Aku pikir ini semua hanya mimpi. Tetapi… aku menemukan ini. Ini miliknya, Sam. Ini buktinya.”

Samuel menatap pita merah itu, lalu kembali menatap Ivan. Di wajahnya tidak ada keterkejutan, hanya senyuman tipis yang sulit diartikan. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya tersenyum. Senyum yang membuat Ivan merasa aneh. Senyum yang tidak memberikan jawaban, tetapi seolah-olah sudah tahu segalanya.

"oke ivan, aku pergi dulu ada tempat yang harus aku kunjungi" ucap samuel "aku tunggu progres novelmu, dan jangan lupa tidur yang cukup" tambahnya lagi.

"oke sam, terimakasih sarannya" balas ivan sambil tersenyum. lalu ivan mengantar samuel ke pintu depan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Agnia dan Cermin Pecah   Buku gambar

    Ivan kembali ke rumah sakit. Di tangannya, Ivan membawa buku gambar dan sekotak pensil warna. Ia berharap, dengan menggambar, Sarah bisa menuangkan pikirannya. Ia berharap, dengan menggambar, Sarah bisa menemukan dirinya yang hilang.Ivan melangkah di koridor yang sama, jantungnya berdebar. Ia tidak tahu apa yang harus ia rasakan. Ia hanya ingin Sarah mengingat, agar ia bisa kembali normal. Namun, ia juga tidak ingin Sarah mengingat, karena ia takut, Sarah akan meninggalkannya.Ia membuka pintu ruangan Sarah. Di sana, Sarah duduk di ranjangnya, menatap kosong ke luar jendela. Wajahnya terlihat murung.“Selamat siang, Sarah,” sapa Ivan lembut, berusaha menarik perhatiannya.Sarah menoleh. Senyum tipis terukir di bibirnya. “Ivan. Kau datang lagi.”Ivan melangkah mendekat, lalu duduk di kursi di samping ranjang. Ia menaruh buku gambar dan sekotak pensil warna di atas meja.“Ini untukmu,” ucap Ivan, suaranya pelan. “Aku pikir, kau bisa menuangkan pikiranmu di sini. Mungkin… kau bisa menem

  • Agnia dan Cermin Pecah   Hubungan baru

    Siang itu, Ivan kembali ke rumah sakit. Di tangannya, bukan bingkisan buah, melainkan sebuah buku bersampul lusuh. Itu adalah novel pertamanya, sebuah karya yang ia tulis di masa-masa paling sepi dalam hidupnya. Buku itu adalah saksi bisu dari dirinya yang dulu—pria yang hanya hidup dalam imajinasi.Ivan melangkah di koridor yang sama, jantungnya berdebar dengan perasaan yang berbeda. Kali ini, bukan hanya rasa bersalah, melainkan juga rasa ingin tahu. Pintu kamar rawat Sarah terbuka, dan Ivan melihatnya duduk di ranjang, menatap kosong ke luar jendela.“Selamat siang, Sarah,” sapa Ivan lembut, berusaha menarik perhatiannya.Sarah menoleh. Wajahnya terlihat jauh lebih segar, dan senyum kecil tersungging di bibirnya. “Ivan, kau datang lagi.”Ivan melangkah mendekat, lalu duduk di kursi di samping ranjang. Ia meletakkan buku yang ia bawa di atas meja kecil, di samping bingkisan buah yang sudah terbuka.“Ini untukmu,” ucap Ivan, suaranya pelan. “Novel pertamaku.”Sarah menatap buku itu,

  • Agnia dan Cermin Pecah   Benar benar hilang

    Dokter melepaskan stetoskop dari telinganya. Ia tersenyum lembut, tangannya memegang sampel darah Ivan. Ivan, yang masih terdiam, merasakan kehangatan di lengannya.“Baik, Tuan Ivan,” ucap dokter itu, suaranya tenang. “Kami sudah selesai. Anda tidak perlu khawatir. Kami hanya perlu melakukan beberapa tes lagi.”Ivan mengangguk, namun ia tidak bertanya apa-apa. Pikirannya kosong. Ia hanya ingin kembali ke rumah. Ia hanya ingin kembali ke Agnia.Dokter itu kemudian mengeluarkan selembar kertas kecil, lalu memberikannya kepada Ivan. “Ini resep, Tuan. Anda harus menebusnya di apotek terdekat. Obat-obat ini akan membantu Anda merasa lebih baik.”Ivan mengambil resep itu, tangannya gemetar. Ia membaca nama-nama obat di dalamnya. Chlorpromazine, Paliperidone, Chlordiazepoxide. Ia tidak tahu apa itu, tetapi ia tahu, ia harus meminumnya.“Minumlah secara rutin, Tuan Ivan,” ucap dokter itu lagi. “Ini akan membantu Anda untuk kembali normal.”Ivan mengangguk. Ia tidak tahu apa yang normal. Ia ti

  • Agnia dan Cermin Pecah   Hilang

    Pertanyaan polisi itu terasa seperti palu yang menghantam kepala Ivan. Bagaimana bisa ia tidak punya foto Agnia? Ia tidak bisa menjawab. Pikirannya kosong. Ia hanya bisa menatap jalan yang kosong, tempat Agnia menghilang."AARRRRGGGGGGGHHHHHHHHHH!"Ivan tiba-tiba berteriak. Sebuah teriakan yang keras, dipenuhi rasa sakit, frustasi, dan keputusasaan. Ivan tidak bisa menahan dirinya lagi. Ia membiarkan semua emosinya keluar. Ia berteriak, suaranya bergetar, seolah ia sedang mencoba merobek langit.Kedua polisi itu terkejut. Mereka saling bertukar pandang, lalu menatap Ivan. Kali ini, tatapan mereka bukan lagi tatapan rasa prihatin, melainkan tatapan kebingungan. Mereka tidak mengerti. Mereka tidak tahu apa yang terjadi pada Ivan. Mereka hanya tahu, mereka harus membawanya pergi.Teriakan Ivan begitu keras, mengoyak kesunyian malam. Ia berteriak dan berteriak lagi, seolah mencoba mengeluarkan semua rasa sakit yang ada di dalam dirinya. Namun, teriakan itu tidak berlangsung lama. Tiba-tib

  • Agnia dan Cermin Pecah   Cermin yang Retak

    Makan malam itu terasa begitu sempurna, seolah semua keraguan Ivan telah lenyap. Setelah membereskan meja, Ivan kembali ke laptopnya. Agnia duduk di sampingnya, membaca novel yang belum selesai. Ivan tidak bisa berhenti memikirkan nama Sarah Cruz. Ia harus mencari tahu.Ivan membuka mesin pencari, tangannya gemetar. Ia mengetik nama Sarah Cruz, berharap menemukan sesuatu. Namun, yang ia temukan hanyalah keheningan. Tidak ada satu pun berita, tidak ada satu pun media sosial, tidak ada satu pun artikel yang membahas nama itu. Ivan merasa bingung, dan juga sedikit takut. Apakah Sarah adalah nama yang ia ciptakan? Apakah ia hanya berhalusinasi?Namun, Ivan tidak menyerah. Ia terus mencari, hingga akhirnya ia menemukan sebuah blog kecil yang membahas real estat. Blog itu membahas tentang properti-properti mewah di negara bagian itu, dan salah satu artikelnya membahas tentang keluarga paling kaya di sana. Di dalam artikel itu, sebuah nama muncul: Sarah Cruz.Ivan membaca artikel itu, matany

  • Agnia dan Cermin Pecah   Kenangan dan kenyataan

    “Agnia,” ucap Ivan, suaranya pelan. “Aku… aku ingin menjenguk Sarah.”Agnia menoleh, senyumnya tidak pudar. Ia menutup novel Ivan, lalu meletakkannya di atas meja. “Baiklah,” jawabnya. “Kau ingin aku menemanimu?”“Tidak, sayang,” balas Ivan. “Aku ingin kau di sini saja. Aku… aku ingin memastikan kau aman.”Agnia mengangguk. “Baiklah. Kau ingin aku siapkan apa? Roti? Kopi?”“Tidak,” jawab Ivan. “Aku ingin memberikannya buah. Buah apa yang harus kubawa untuknya?”Agnia berpikir sejenak. “Aku tidak tahu,” jawabnya, nadanya terdengar bingung. “Aku… aku tidak tahu buah apa yang ia suka.”“Aku tahu kau tidak tahu,” balas Ivan. “Tapi… aku hanya ingin mendengar pendapatmu. Aku ingin kau memilihkan untukku.”Agnia tersenyum, lalu memegang tangan Ivan. “Kalau begitu, bawakan saja buah delima,” jawabnya, matanya menatap Ivan dengan penuh arti. “Delima melambangkan kebangkitan. Kebangkitan dari kegelapan.”Ivan tersenyum. Ia tidak tahu mengapa Agnia memilih delima, tetapi ia yakin, itu adalah pil

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status