LOGINKetika sinar matahari pagi menyusup dari balik tirai, Ivan terbangun. Kepalanya terasa berat dan badannya sedikit kaku karena tertidur di sofa. Matanya mengerjap, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya. Laptopnya masih menyala di atas meja, menampilkan halaman novel yang terakhir ia tulis.
Ivan menoleh ke samping, tempat Agnia tertidur semalam. Namun, sofa itu kini kosong. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya bantal yang sedikit berantakan. Di atas meja, secangkir teh yang ia buat semalam masih utuh dan sudah dingin. Jantung Ivan berdebar. Ia merasa bingung. Ke mana Agnia pergi?
Dengan panik, Ivan bangkit. Ia melongok ke dalam kamar yang ia tawarkan pada Agnia semalam. Kosong. Tempat tidur masih rapi, tidak tersentuh. Ia bergegas menuju pintu depan dan membukanya lebar-lebar. Udara pagi yang sejuk menyambutnya, tetapi jalanan di luar sepi. Tidak ada jejak Agnia, tidak ada tanda-tanda kehadiran gaun merah yang memikat itu.
"Agnia!!...Agnia!!.....Agnia!!!, kamu dimana?" ivan memanggil manggil nama agnia.
Agnia benar-benar menghilang, seolah-olah ia hanya datang dalam mimpi. Namun, secangkir teh yang dingin itu dan aroma samar parfum Agnia yang masih tersisa di sofa menjadi bukti bahwa malam itu benar-benar terjadi.
Kekosongan di sofa pagi itu terasa lebih dingin daripada hujan semalam. Hati Ivan dipenuhi kebingungan dan kekhawatiran. Ia menatap cangkir teh yang sudah dingin, merasa seperti semua yang terjadi hanyalah mimpi. Tetapi, aroma Agnia yang masih samar tercium di bantal sofa.
Dengan tekad yang kuat, Ivan bergegas ke kamarnya, mengganti piyama dengan kaus dan celana jins. Ia meraih jaket, kunci, dan tali anjingnya. Jika Agnia benar-benar ada, ia tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Ia harus mencarinya.
Ivan berjalan kaki menuju taman terdekat, ditemani anjingnya, Buddy, yang tampak bersemangat."ayo buddy kita harus keluar jalan jalan" ucap ivan kepada anjingnya. Hawa pagi yang sejuk dan embun yang masih menempel di rerumputan tidak membuat Ivan tenang. Matanya terus menyapu setiap sudut, mengamati setiap orang yang ia temui, berharap salah satunya adalah Agnia.
Ia menemukan bangku kosong di bawah pohon rindang dan duduk, matanya tetap awas. Ivan membiarkan Buddy bermain-main, sementara ia fokus mengamati keramaian. Pikirannya melayang, mengingat kembali setiap detail percakapan mereka, setiap sentuhan, setiap ciuman.
Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada seorang wanita di seberang jalan. Wanita itu mengenakan gaun berwarna merah tua, warnanya hampir mirip dengan gaun yang Agnia kenakan semalam. Rambutnya panjang dan ia terlihat sedang menunggu taksi. Jantung Ivan berdebar kencang. Itu dia.
Tanpa berpikir dua kali, Ivan bangkit. Ia buru-buru memanggil Buddy dan menyeberang jalan.
Napas Ivan terengah. Ia berhasil sampai di seberang jalan, tepat saat wanita bergaun merah tua itu menoleh karena mendengar langkah kakinya yang terburu-buru. Wajah Ivan dipenuhi harapan dan kelegaan yang membuncah.
"Agnia!" seru Ivan, suaranya dipenuhi rasa rindu dan lega. "Aku mencarimu! Kau ke mana saja?"
Namun, saat wanita itu menoleh sepenuhnya, senyum di wajah Ivan memudar. Matanya mengerjap, meneliti wajah yang ada di hadapannya. Rambutnya memang panjang, gaunnya memang mirip, tetapi... bukan. Bukan Agnia. Wajah wanita itu berbeda. Matanya bukan mata yang penuh ketakutan dan harapan seperti yang ia lihat semalam.
Wanita itu menatap Ivan dengan bingung, dahinya berkerut. "Maaf, Tuan," ucapnya dengan nada dingin. "Anda siapa? Mengapa memanggil saya?"
Ivan merasa bodoh. Pagi yang semula penuh harapan kini terasa begitu hampa. Ia menunduk, malu.
"Maafkan saya," gumam Ivan, pandangannya kembali tertuju pada sepatu. "Saya... saya kira Anda teman lama saya."
Wanita itu hanya menatapnya sesaat, lalu kembali mengalihkan pandangannya, seolah Ivan hanya orang asing yang salah alamat.
Dengan hati yang berat dan langkah gontai, Ivan kembali ke rumah. Pagi yang cerah terasa begitu suram, seolah semua cahayanya telah ikut dibawa pergi oleh Agnia. Ia melewati ruang tamu, pandangannya jatuh pada sofa kosong yang menjadi saksi bisu keajaiban semalam. Ia merasa bodoh, seperti seorang anak kecil yang percaya pada dongeng.
Namun, Ivan memutuskan untuk tidak menyerah. Ia duduk di depan laptopnya, membuka kembali halaman novelnya. Mungkin, hanya melalui tulisan, ia bisa menemukan kembali Agnia. Jari-jarinya menari di atas keyboard, mencoba menuangkan setiap detail percakapan, setiap sentuhan, setiap ciuman. Ivan menulis dengan penuh gairah, seolah Agnia berada di sampingnya, membisikkan setiap kata.
Beberapa jam berlalu tanpa terasa. Tenggorokan Ivan terasa kering. Ia bangkit dari kursi untuk mengambil minum ke dapur. Tepat di dekat sofa, pandangannya tertuju pada sesuatu yang kecil dan berwarna merah di lantai. Sebuah kilatan yang menarik perhatiannya.
Ivan berjongkok, tangannya meraih benda itu. Sebuah pita merah, warnanya sama persis dengan gaun yang dikenakan Agnia semalam. Pita itu tipis, halus, dan terlihat seperti terlepas dari sebuah gaun. Jantung Ivan berdebar kencang. Ia tahu, pita itu bukan miliknya. Itu milik Agnia.
Detak jantung Ivan terasa begitu nyata, berirama dengan kegembiraan yang meluap di dadanya. Ia memandangi pita merah di tangannya, sebuah bukti nyata dari keberadaan Agnia. Namun, euforia itu tiba-tiba terputus oleh suara bel pintu yang berbunyi nyaring.
Ivan tersadar dari lamunannya. Ia menyembunyikan pita itu di saku celana dan berjalan menuju pintu. Ketika ia membukanya, senyum ramah Samuel, editornya, menyambutnya.
"Ivan!" sapa Samuel, suaranya ceria. Ia mengenakan jaket kulit dan tersenyum lebar. "Aku mampir karena kebetulan lewat. Ada waktu untuk minum kopi?"
"Samuel! Masuk, masuk," ajak Ivan, mempersilakan Samuel masuk ke ruang tamu yang masih sedikit berantakan. "Tentu saja. Maaf, rumahku agak berantakan."
"Santai saja," balas Samuel, duduk di sofa tempat Agnia tidur semalam. Pandangannya menyapu sekeliling. "Jadi, bagaimana? Apa ada perkembangan signifikan dengan novelmu?" tanyanya, nadanya penuh antusias. "Aku tahu kamu biasanya butuh waktu lama untuk memikirkan ide, tetapi kali ini aku punya firasat baik."
Ivan tersenyum, senyum yang kali ini benar-benar tulus. Pikirannya melayang pada Agnia, pada malam hujan, dan pada pita merah yang kini berada di sakunya.
“Ada,” jawab Ivan, suaranya dipenuhi keyakinan. “Perkembangan yang sangat signifikan.”
“Benarkah?” Samuel berseru antusias. “Apa yang terjadi? Biasanya kamu selalu bilang masih terkunci di satu titik.”
“Aku... bertemu dengan karakter utamanya, Sam,” kata Ivan, matanya menatap jauh, menerawang. “Secara langsung, di depan mataku. Dia datang di tengah hujan, masuk ke dalam duniaku. Dia rapuh, ketakutan, dan butuh perlindungan. Dia persis seperti yang kubayangkan, bahkan lebih.”
Samuel menatap Ivan dengan keheranan, lalu tawa kecil keluar dari bibirnya. “Ivan, kamu ini ada-ada saja. Jangan terlalu mendalami karaktermu sampai berhalusinasi, kawan. Ayo, ceritakan. Apa yang membuatmu begitu yakin kali ini?”
Ivan menarik napas, matanya berbinar saat ia mulai bercerita. Ia mengabaikan keraguan di wajah Samuel dan mulai merangkai setiap kata dengan hati-hati, seolah ia sedang menceritakan adegan paling penting dalam novelnya.
“Semalam… hujan turun dan bel rumahku berbunyi,” Ivan memulai, suaranya pelan. “Aku pikir itu hanya imajinasi, tetapi ternyata ada seorang wanita di depan pintu. Dia kehujanan, mengenakan gaun merah. Namanya Agnia.”
Ivan berhenti sejenak, mengingat kembali wajah Agnia yang pucat. “Dia meminta perlindungan. Aku mempersilahkannya masuk, membuatkannya teh, dan dia bercerita tentang hidupnya. Dia lari dari pertunangan paksa, Sam. Dia bilang dia takut dan merasa kotor.”
Wajah Samuel masih menunjukkan keraguan, tetapi ia mendengarkan dengan saksama.
“Aku menceritakan novelku padanya, tentang pria yang menjadi pelindung bagi wanita rapuh,” lanjut Ivan, suaranya bergetar karena emosi. “Dan dia… dia bilang aku adalah pria yang selalu dia impikan. Kami… kami saling mencintai, Sam.”
Ivan berhenti sejenak, lalu tangannya masuk ke saku. Ia mengeluarkan pita merah kecil itu dan meletakkannya di telapak tangan Samuel. “Pagi ini, dia menghilang. Aku mencarinya ke taman, tetapi hanya menemukan wanita lain. Aku pikir ini semua hanya mimpi. Tetapi… aku menemukan ini. Ini miliknya, Sam. Ini buktinya.”
Samuel menatap pita merah itu, lalu kembali menatap Ivan. Di wajahnya tidak ada keterkejutan, hanya senyuman tipis yang sulit diartikan. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya tersenyum. Senyum yang membuat Ivan merasa aneh. Senyum yang tidak memberikan jawaban, tetapi seolah-olah sudah tahu segalanya.
"oke ivan, aku pergi dulu ada tempat yang harus aku kunjungi" ucap samuel "aku tunggu progres novelmu, dan jangan lupa tidur yang cukup" tambahnya lagi.
"oke sam, terimakasih sarannya" balas ivan sambil tersenyum. lalu ivan mengantar samuel ke pintu depan.
itu adalah teriakan terakhir, penuh dengan kebencian dan keputusasaan yang mutlak. "KAU dan PSIKIATERMU bisa pergi ke neraka!"Koneksi terputus. Bunyi beep yang monoton terdengar di telinga Sarah.Dia berdiri di sana, telepon masih menempel di telinganya, tubuhnya gemetar tak terkendali. Air mata mengucur deras. Rasa sakitnya begitu hebat, lebih dari sebelumnya. Bukan hanya karena penolakannya, tetapi karena kebenaran dalam kata-kata Ivan. Dalam upayanya untuk membantu, dia telah, di mata Ivan, mengkhianatinya. Dia telah menjadi musuh yang bersekutu dengan dunia yang ingin menghancurkan dunianya.Dia telah mencoba untuk menjangkau pria yang dicintainya, tetapi yang dia temui adalah benteng yang dijaga ketat oleh naga bernama Agnia. Dan hari ini, naga itu telah menyemburkan api, membakar habis jembatan terakhir yang menghubungkan mereka.Sementara di seberang kota, Ivan berdiri di tengah-tengah ruang kerjanya yang berantakan. Sebuah vas pecah berantakan di lantai, air dan bunga-bunga k
Dua minggu setelah konsultasi pertamanya dengan Dr. Maya, Sarah merasa dipersenjatai dengan sedikit lebih banyak pengetahuan dan strategi. Keputusasaan telah berubah menjadi sebuah tekad yang tenang. Dia telah menghadiri satu sesi lanjutan, dan Dr. Maya telah membantunya menyusun pendekatan yang diharapkan bisa menembus tembok pertahanan Ivan.Strateginya sederhana: lembut, tidak mengancam, dan berfokus pada keprihatinan, bukan tuduhan. Dr. Maya juga mengenalkannya pada seorang kolega, seorang psikiater bernama Dr. Arif, yang dikenal dengan pendekatannya yang hangat dan tidak menakutkan. Rencananya, Sarah akan mengajak Ivan untuk menemui seorang "teman" yang adalah seorang ahli yang bisa membantu orang-orang dengan "kebuntuan kreatif" dan "stres". Kata "psikiater" atau "gangguan jiwa" akan dihindari seperti api.Hari itu, dengan jantung berdebar kencang, Sarah menelepon Ivan. Dia tidak tahu apa yang akan dihadapinya. Apakah Ivan akan mengangkat teleponnya? Apakah dia masih marah?Tele
Kepergian Sarah dari apartemen Ivan meninggalkan luka yang dalam dan getir. Hari-hari berlalu dengan lambat, setiap detik terasa seperti siksaan. Sarah kembali ke kehidupannya sendiri, ke apartemen kecilnya yang tiba-tiba terasa sangat luas dan sunyi. Barang-barang peninggalan Ivan—sebuah sweter yang tertinggal, buku yang pernah mereka baca bersama—menjadi pengingat yang menyakitkan akan hubungan yang telah hancur.Dia mencoba melanjutkan rutinitasnya: bekerja sebagai perencana event, bertemu teman-teman, bahkan keluar untuk mencoba bersosialisasi. Namun, wajah Ivan selalu hadir di pikirannya. Bukan wajahnya yang marah atau bingung saat pertengkaran terakhir, tetapi wajahnya yang lembut saat mereka berdua tertawa bersama, atau wajahnya yang serius ketika dia tenggelam dalam dunia menulis. Sarah menyadari sebuah kebenaran yang pahit: dia masih mencintai Ivan. Cintanya bukanlah cinta yang buta; dia melihat
Pintu yang tertutup itu bukan lagi sekadar pintu. Itu adalah sebuah pemutus, sebuah pemisahan yang final. Bunyinya yang menggema di apartemen yang tiba-tuta sunyi itu seperti gong yang menandai berakhirnya sebuah babak dalam hidup Ivan. Dia tetap terduduk di lantai ruang kerjanya, punggungnya bersandar pada kaki meja kayu, tubuhnya terasa hampa bagaikan kulit udang yang ditinggalkan isinya.Beberapa menit berlalu, atau mungkin sejam—Ivan kehilangan semua sense of time. Matanya kosong, menatap lurus ke arah buku catatan yang masih tergeletak di lantai, terbuka pada halaman yang mengutuknya. Wajah Sarah, yang digambarkan dengan sempurna namun diisi dengan jiwa orang lain, seakan menatapnya dengan tatapan hampa dari kertas itu. Sebuah pengingat akan pengkhianatannya yan
Sudah seminggu sejak pertengkaran terakhir mereka tentang kebiasaan menulis Ivan yang kembali intens. Suasana antara Ivan dan Sarah masih sedikit tegang, bagaikan udara sesaat sebelum badai. Sarah berusaha untuk memahami, benar-benar memahami, bahwa menulis adalah bagian tak terpisahkan dari diri Ivan. Namun, ketakutannya akan kembalinya "sang hantu" selalu hadir di benaknya, seperti bayangan yang mengikuti setiap langkah mereka.Hari itu, Ivan harus menghadiri pertemuan dengan editornya di pusat kota. Sarah, yang jadwal kerjanya lebih fleksibel, memutuskan untuk menyambangi apartemen Ivan setelah dia pulang kerja. Dia ingin mencoba mencairkan suasana. Mungkin dengan memasakan makan malam spesial, atau sekadar menunggu kedatangannya dengan senyum. Itulah cara Sarah menunju
Dua minggu kemudian, hubungan mereka masih terlihat manis di permukaan. Tapi Ivan mulai berubah. Dia menjadi lebih pendiam, lebih sering melamun. Saat bersama Sarah, dia kadang-kadang tidak sepenuhnya "hadir". Pikirannya berada di tempat lain, di dunia tulisannya.Sarah memperhatikannya. Perubahan itu halus, tetapi bagi seseorang yang seobservatif Sarah, itu terlihat."Ivan, apa kau baik-baik saja?" tanyanya suatu sore saat mereka berbelanja bahan makanan. "Kau terlihat... jauh akhir-akhir ini."Ivan tersentak dari pikirannya. "Hmm? Oh, tidak. Aku baik-baik saja. Hanya... ada ide untuk menulis sedikit."Sarah mengangkat alis. "Menulis? Itu bagus!" Tapi ada kekhawatiran di matanya. "Kau masih minum obat, kan?"Ivan merasa sedikit tersinggung, tapi dia berusaha menyembunyikannya. "Tentu saja. Kenapa?""Tidak ada. Hanya... aku senang kau bisa menulis lagi. Tapi jangan terlalu memaksakan diri, ya? Kesehatanmu yang utama."Peringatan Sarah itu wajar, tapi bagi Ivan, itu terasa seperti sebu







