Share

Cinta Pertama

Author: Dita SY
last update Huling Na-update: 2025-05-24 10:58:35

"Silakan duduk." Dokter yang tadi menghadap ke belakang, memutar tubuhnya dan menunjuk kursi di depan meja.

Febby mengangguk, ia berjalan pelan sambil menundukkan kepala. Rasanya agak sedikit canggung karena biasanya dia berkonsultasi dengan dokter wanita, bukan dokter laki-laki.

"Silakan jelaskan keluhan Anda, Bu Febby," ujar Dokter tampan itu sambil menatap pasiennya dan duduk.

Febby memberanikan diri menatap Dokter tersebut, toh dia hanya berkonsultasi. Kalau sudah hamil, kemungkinan dia melahirkan di bidan wanita saja, pikirnya.

"Saya ingin berkonsultasi tentang kehamilan, Dok," jawab Febby yang akhirnya menatap wajah laki-laki di depannya. Kedua mata Febby membulat saat melihat wajah yang tak asing.

Dokter itu tersenyum ramah, "Anda belum hamil, Bu Febby."

"Mas Dirga." Febby masih tak menyangka dunia sesempit ini. Ternyata Dokter bernama Dirga, adalah kakak kelasnya waktu sekolah SMA dulu. Sayangnya Febby tidak melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi.

Senyum Dirga semakin lebar, "Ya, aku Dirga kakak kelasmu dulu. Ternyata kamu menikah dengan Andi, sepupuku. Kenapa dunia sangat sempit."

Rona merah terlihat jelas di kedua pipi Febby. Dulu dia menyukai Dirga yang memang sejak SMA sangat tampan. Dan sepertinya Dirga menyukainya juga. Namun, saat lulus sekolah Dirga melanjutkan pendidikan keluar negeri.

Orang tua Dirga cukup berada, tidak seperti orang tua Andi. Meskipun orang tuanya mampu membiayai kuliah, Febby justru memilih untuk bekerja dan menikah dengan Andi.

"Iya, aku nikah sama Mas Andi. Aku ngga tahu kalau dia sepupu kamu," angguk Febby menundukkan kepalanya lagi.

"Dunia memang sempit. Siapa sangka kita bertemu sebagai pasien dan dokternya, sekarang. Padahal dulu, untuk bicara denganmu saja ... aku tidak memiliki nyali."

Febby mengulum senyum. Dia ingat saat itu, waktu Dirga ingin memberinya coklat di hari valentine, tapi meminta temannya yang memberikan.

"Iya, kirain kita ngga akan ketemu lagi. Soalnya kamu kan melanjutkan sekolah di luar negeri."

"Kita dipertemukan oleh takdir," gumam Dirga sambil membuka buku di atas meja.

Diam-diam Febby memperhatikan laki-laki tampan di depannya tanpa berkedip. Harus dia akui, walau sudah lama tidak bertemu, tetapi Dirga masih tetap terlihat tampan.

Tidak banyak yang berubah dari laki-laki tampan yang cukup populer di sekolah dulu. Wajahnya, senyumnya dan tatapan matanya masih sama seperti dulu.

Kemungkinan yang berubah adalah perasaannya pada Febby. Tidak mungkin Dirga masih menyimpan perasaan setelah bertahun-tahun mereka tidak bertemu.

"Sudah berapa lama kamu menikah dengan Andi?" tanya Dirga mulai serius. Pertanyaannya itu sudah ke arah pasien dan dokternya.

"Udah dua tahun. Kurang lebih," jawab Febby. "Hem, aku manggil Mas apa? Pak Dokter aja ya."

Dirga tersenyum manis, "Mas juga ngga apa-apa. Kita kan keluarga. Kamu menikah dengan sepupuku, artinya kita sudah menjadi sepupu juga sekarang."

Febby manggut-manggut. "Iya, Mas. Aku dan Mas Andi sudah menikah dua tahun, tapi aku dan Mas Andi belum mendapatkan anak."

"Bagaimana permainan Andi di atas ranjang?" tanya Dirga menatap Febby lekat.

Yang ditatap langsung salah tingkah dan grogi. Pertanyaan seperti itu belum pernah dia dengar keluar dari mulut Dokter, selama dia berkonsultasi tentang kehamilan.

"Katakan saja yang sebenarnya," sambung Dirga. "Aku harus tahu agar aku bisa menjelaskan apa saja yang menjadi penyebab kamu belum hamil sampai sekarang."

Febby menengguk air liurnya. "Permainan Mas Andi di atas kasur. Biasa saja sih Mas. Mungkin sama seperti saat pasangan suami istri berhubungan. Dari awal saya dan Mas Andi menikah, ngga ada yang berbeda. Mas Andi melakukan itu seperti selayaknya suami memberi nafkah batin pada istrinya."

Dirga menulis sesuatu ke atas buku panjang miliknya sambil meremas pulpen. Wajahnya yang tadi ramah berubah kesal. Diam-diam Febby terus memperhatikan Dokter tampan itu meski hanya dari lirikan matanya.

"Permainannya biasa saja ya? Apa kamu selalu mencapai klimaks saat berhubungan dengan suamimu?" tanya Dirga kembali menatap ke arah Febby lekat.

Kedua alis wanita cantik itu naik. Lagi-lagi ia belum terbiasa dengan pertanyaan seperti itu, apalagi yang bertanya laki-laki yang dulu menjadi idolanya.

"Kamu tidak pernah merasa puas, iya kan?" tebak Dirga dengan tatapan dalam. Sorot matanya menjelaskan ada sesuatu yang berbeda dari pertanyaan itu.

Febby mulai terlihat tidak nyaman, pertanyaan itu membuatnya semakin canggung berada di depan Dirga, apalagi di dalam ruangan yang hanya ada mereka berdua.

"Maaf Mas, apa pertanyaan seperti itu bisa jadi penentu kenapa aku belum hamil sampai sekarang?" ucap Febby sambil meremas ujung pakaian, mengalihkan perasaan gugupnya.

"Ya, tentu saja. Pertanyaan seperti ini bisa jadi jawaban kenapa kamu belum hamil sampai sekarang. Selain pemeriksaan organ reproduksi kedua pasangan suami istri. Aku juga harus tahu apa penyebab lain dari keluhan pasien. Kalau memang kamu tidak pernah mencapai klimaks selama berhubungan, berarti penyebabnya ada di situ."

Febby menggaruk alisnya yang tidak gatal. Pertanyaan dan penjelasan dari Dokter di depannya sangat berbeda dengan penjelasan dari Dokter kandungan lain.

Dirga seperti sedang mengorek apakah dia bahagia menikah dengan Andi. Ya, Febby berpikir Dirga ingin tahu soal itu.

"Katakan saja, aku Dokter yang akan membantumu. Kamu bisa terbuka soal apapun denganku," ujar Dirga. Satu tangannya menyentuh jemari lentik Febby yang berada di atas meja.

"Maaf Mas, tapi pertanyaan begitu sangat pribadi. Aku malu mengatakannya." Dengan cepat Febby menarik tangannya.

Walau dalam hati masih ada rasa pada Dirga, tetapi dia tidak ingin mengkhianati suaminya.

"Baik, mungkin kamu masih kaget dengan pertanyaan dariku." Dirga menutup buku panjangnya lalu berdiri. "Silakan berbaring." Ia menunjuk ranjang Dokter di depannya.

Febby melangkah ragu, namun dia tahu pemeriksaan berikutnya memang seperti itu. Sudah biasa dia melakukannya saat datang ke rumah sakit Ibu dan Anak.

"Silakan berbaring," ulang Dirga seraya merapikan bantal agar lebih tinggi.

Febby naik ke atas ranjang lalu berbaring. Ia luruskan kedua kakinya dan menurunkan pakaian agar menutupi perut.

Satu kakinya berusaha merapikan rok panjang yang naik ke atas.

Dirga memasang sarung tangan putih lalu melangkah memutari ranjang dan berhenti di depan kedua kaki Febby.

"Buka celana dalam kamu," kata Dirga yang membuat Febby melotot.

"Kok buka celana dalam, Dok?"

Dirga tersenyum. "Aku atau kamu yang Dokter? Kamu percayakan saja sama aku."

Febby menelan saliva keras. "Tapi, aku malu."

"Kenapa malu? Buka saja." Dirga berjalan mendekati pintu dan menguncinya.

Febby melihat itu, dia semakin gugup dan tak tahu apa yang akan dilakukan oleh dokter tampan itu.

"Buka sekarang," desak Dirga kembali mendekati ranjang. "Atau mau aku yang buka?"

Febby menggeleng cepat. "Maaf Dok. Saya ngga jadi periksa." Ia menurunkan kedua kaki lalu berjalan cepat ke pintu.

Sangking paniknya dia sampai lupa memakai sendal.

Dirga menatap mantan pujaan hatinya yang buru-buru memutar kunci dan keluar dari ruangan.

Wajah Febby terlihat pucat. Syok karena Dirga menyuruhnya yang aneh-aneh. "Mas Andi kemana sih? Kok dia ngga datang," gumamnya cemas.

Setelah Febby keluar, Dirga mengambil sendal jepit yang dipakai tadi, menyimpannya ke dalam laci.

"Pasien berikutnya!" seru Dirga kembali duduk di depan meja kerja.

'Aku pastikan kamu akan kembali lagi ke ruangan ini, Febby.'

Seorang perempuan bersama suaminya masuk ke ruangan dokter itu.

"Silakan duduk," ucap Dirga ramah.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (17)
goodnovel comment avatar
Bluberry Solenne
Seru ka ceritanya, nanti lagi deh bacanya
goodnovel comment avatar
Huda Maulida
setidaknya ada perawat cewe yg bantuin g si kl di ruangan dokter tuh.
goodnovel comment avatar
suavely
penasaran jadinya
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Ah! Enak Mas Dokter   Bertemu Dirga

    Dari samping mereka, jarak sepuluh meter, Barta memandang dengan wajah cemas. Takut Andi mengacaukan semuanya. Bisa mati mereka semua.Sekian menit diam, Andi mengatakan, "Iya Mas, aku lagi nggak enak badan, tapi nggak apa-apa kok. Meskipun tenggorokan aku sakit, tapi bagian itu aku nggak sakit."Mendengar suara Andi yang dibuat-buat seperti wanita, Adrian dan Barta tersenyum kagum. Bagus!Adrian menunjukkan jari jempol pada Andi."Ayo Mas, kita cari tempat sepi," ajak Andi, merangkul lengan pria gendut itu. "Ayoo, gass Sayang." Pria itu bersemangat, melangkah berbarengan bersama Andi ke tempat yang sepi. Sementara Adrian masih berada di tempatnya sambil celingak-celinguk mencari pintu ruang bawah tanah."Cantik! Ayo, kenapa kamu diam saja di sana?" seru anak buah Marco yang tadi memilih Adrian. "Eh, iya, Mas. Maaf ya." Adrian pun kembali ke mangsanya yang sudah menunggu.Tepat di sampingny

  • Ah! Enak Mas Dokter   Si Cantik Andi

    Andi menelan ludah keras. Wajahnya terlihat panik saat pria gendut di depannya semakin mendekat. Sambil mengusap perut buncit, pria itu menatap Andi terus menerus. "Sayang, ayo puasin Mas. Mas udah nggak sabar pengen digoyang sama kamu. Masukin punya Mas ke punya kamu." Andi bergidik ngeri saat mendengar kata-kata tidak pantas yang keluar dari mulut si gendut. Apalagi tatapan mesum itu, membuatnya mual. Ia mengusap bulu-bulu halus di tubuhnya yang meremang. Rasanya seperti didekati Genderuwo penghuni pohon besar. Andai ia wanita sungguhan, ia merasa sudah ditelanjangi di depan umum. Ingin rasanya menendang senjata milik pria gendut itu. Paling ukurannya hanya sebesar minyak angin, pikirnya. Membayangkan saja rasanya ingin muntah. "Kenapa diam Sayang? Kamu takut ya sama Mas?" goda si gendut. Andi mendelik jijik, ingin rasanya mencabik dan mengeluarkan isi perut pria itu menggunak

  • Ah! Enak Mas Dokter   Berhasil Masuk

    Sebelumnya~"Kalian sudah siap?" Adrian berdiri di depan enam orang wanita berpenampilan seksi.Dua di antaranya wanita setengah jadi, tetapi wajah mereka tak kalah cantik dari wanita asli. Polesan make-up berhasil membuat wajah mereka terlihat seperti wanita sesungguhnya."Siap!" Ke-enam orang itu berseru dengan semangat.Mereka siap menjalankan missi berbahaya kali ini, dan yakin akan berhasil.Setelah memastikan penampilan mereka sempurna, Adrian meminta Sasa_wanita paling cantik di antara tiga lainnya untuk berjalan lebih dulu."Kamu harus benar-benar meyakinkan mereka," ucap Adrian pada wanita berkulit putih mulus itu. "Buat kedua laki-laki itu lengah."Adrian menunjuk dua orang pria bersenjata yang berdiri di depan gerbang markas.Dua pria itu terlihat fokus memperhatikan sekitar sambil memegang senjata panjang. Sasa menatap ke arah yang ditunjuk. "Siap Pak," angguknya, kemudian melangkah dengan

  • Ah! Enak Mas Dokter   Dua Nyawa Hilang

    Di dalam ruangan sempit, pengap dan gelap ... Dirga duduk bersandar ke dinding dengan tubuh yang semakin melemah.Seluruh tenaganya terkuras habis setelah memindahkan Anggun ke sudut ruang di bawah tangga.Dengan napas terengah-engah, Dirga menatap wanita masa lalunya itu yang tak lagi bernyawa. "Aku membunuhnya." Ia menatap kedua tangan yang pucat. Masih tak percaya ia membunuh seseorang dengan tangannya sendiri.Menarik napas panjang, Dirga mencoba menerima kenyataan itu, bahwa ia adalah pembunuh.Saat ini yang ia harapkan hanya kebebasan, bertemu dengan keluarga, dan menyelamatkan anak pertamanya.Apapun akan dilakukan.Di ruangan gelap itu, tiba-tiba ponsel di tangannya menyala. Ia terhenyak, sempat berpikir yang menghubungi adalah Marco. Namun, keterkejutan itu sirna saat ia melihat satu pesan yang masuk dari Kepolisian. [Pak Dirga, kami sudah mengirim bantuan ke sana. Tolong jangan berpindah posisi. Sebentar lagi Dokter Barta dan Detektif Adrian akan menyelamatkan Anda]Memba

  • Ah! Enak Mas Dokter   Rencana Pertama

    Andi dan timnya tiba di pintu masuk pelabuhan. Mobil Avanza hitamnya dihentikan oleh salah satu anggota Polisi bersenjata api. Pria berkumis tipis itu membuka kaca jendela dan berbicara dengan Polisi tersebut. Setelah berbicara panjang lebar, Andi dan keempat wanita bayaran itu turun dari mobil dan melangkah ke arah bangunan kosong yang berada tak jauh dari parkiran.Di sana, sepuluh anggota Polisi bersenjata api lengkap sedang mengawasi sekitar. Salah satu dari mereka mendekati Andi saat tim yang ditunggu itu datang. "Silakan masuk, Anda dan wanita-wanita ini sudah ditunggu di dalam." Polisi berpakaian preman itu membawa Andi, memasuki gedung yang sudah lama kosong.Dinding-dinding bangunan terlihat sangat suram. Cat-catnya mengelupas dan terlihat jamur menempel di lapisan dinding tersebut.Bau apek dan pengap, mengganggu indera penciuman mereka. Belum lagi, udara lembab dan lantai yang licin, membuat mereka kesulitan melangk

  • Ah! Enak Mas Dokter   Missi Besar

    Nila menghela napas pasrah saat pria bertato menaikan roknya ke atas, dan melebarkan kedua kakinya."Mas, jangan kasar." Dengan tatapan memohon, Nila memelas."Sstttt, sudah basah Sayang," kekeh pria itu, menyentuh belahan di bawah sana menggunakan jari dan menariknya. "Wangi, kamu pintar merawatnya Sayang."Bulir bening mengalir, membasahi wajah Nila yang pucat pasi. 'Mas Andi, tolong .... 'Seakan Malaikat maut sudah menunggu di sampingnya, ia yakin akan mati malam ini. Mati di usia muda."Aku masukan ya." Pria itu mengarahkan tombaknya ke belahan di bawah sana.Namun belum sempat memasukan senjata besar berurat itu ke dalam terumbu karang milik Nila, tiba-tiba seorang wanita memanggil wanita itu.Kelima pria menoleh ke asal suara secara berbarengan."Nila! Lo di sini. Lo dipanggil sama Mami. Cepet ke sana! Mami lagi tantrum tuh, kayaknya dia kehilangan duit!" seru Sasa. Nila tersenyum lega. Buru-bur

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status