Merasa ada yang janggal dari pemeriksaan kesuburannya kali ini, Febby memutuskan pulang ke rumah tanpa suaminya.
Sudah ditunggu selama hampir satu jam di halte dekat tempat praktek Dirga, Andi sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya. Bahkan nomor ponselnya saja tidak aktif. Daripada emosi dan marah-marah di jalanan seperti orang gila, Febby memilih pulang sendiri menggunakan ojek online. Sesampainya di rumah kontrakan, Febby membersihkan tubuh dan memilih untuk melupakan kejadian tadi. Dia tidak ingin mengingat bagaimana Dirga menatapnya. Bahkan meminta untuk dia membuka celana dalam di ruangan yang dikunci tadi. Seingatnya, pemeriksaan dokter tidak seperti itu. Apalagi harus mengunci pintu ruangan segala. Menakutkan. Walaupun Dirga pernah mengisi hatinya saat masih SMA, tetapi tetap saja dia tahu mana yang benar dan salah. Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk mengkhianati sang suami. Meskipun sikap Andi dingin padanya. Selesai mandi, Febby bergegas ke dapur untuk memasak makan malam. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, kemungkinan Andi ke kantor dan pulang seperti biasa, jam lima. Saat tengah mengeluarkan isi kulkas. Terdengar suara deringan ponsel. Febby melihat ke layar, satu panggilan dari mertuanya. Tangannya meraih benda pipih itu dengan malas. Dia tahu sang mertua pasti ingin bertanya soal konsultasi kehamilan itu. Febby menerima telepon tersebut dengan lesu, "Ada apa Bu?" tanyanya sambil memilah bahan makanan untuk dimasak. "Halo Feb. Gimana konsultasi kehamilannya? Berjalan lancar kan? Dokter kali ini pasti lebih baik dari Dokter lain." Febby menghela napas panjang. Tidak tahu harus menjelaskan apa. Masa dia bilang kalau dia diminta ini dan itu oleh Dirga. "Gimana? Kok kamu diam?" tanya Ratih penasaran. "Iya, katanya aku sehat Bu. Ngga ada masalah sama aku. Tapi ngga tahu kalau Mas Andi. Soalnya tadi dia ngga ikut periksa. Mungkin dia langsung ke kantor. Soalnya tadi aku turun di jalan dan Mas Andi ngga nyusul aku." "Loh kok bisa Andi ngga ikut? Gimana sih dia. Apa dia ngga bisa meninggalkan pekerjaan satu hari aja." "Kalau soal itu aku ngga tahu Bu. Mending Ibu tanya aja langsung sama Mas Andi. Soalnya aku ngga bisa nelpon dia. Hapenya ngga aktif." Febby malas berbicara panjang lebar, lebih baik dia menyerahkan urusan suaminya itu pada Ibu mertua. "Ya udah, nanti Ibu tanya sama dia. Dia harus ikut periksa juga biar semuanya jelas. Kalau emang hari ini dia ngga sempat. Nanti Ibu bikin janji lagi sama Dirga hari minggu. Biar Andi bisa datang juga." Deg! Febby terdiam. Jujur saja, dia takut kembali ke praktek Dirga lagi, meskipun bersama suaminya. "Kamu sama Andi harus balik lagi ya. Mumpung Dirga mau membantu kalian berdua. Apalagi pemeriksaan di praktek dia gratis. Coba bayangkan kalau kamu sama Andi menjalani progam kehamilan di tempat lain, tanpa BPJS, pasti menguras dompet." Febby hanya diam saja. Malas meladeni ocehan mertuanya itu. Ratih dan kedua orang tuanya sama, mereka hanya bisa memaksa agar secepatnya diberi cucu. Memang memiliki anak bisa semudah membeli satu ikat sayur kangkung di pasar. "Kamu dan Andi harus mau mengikuti saran dari Dirga. Ya," lanjut Ratih. "Iya Bu," sahut Febby dengan malas. "Kalau boleh tahu, kenapa Dokter Dirga mau membantu kami dengan cuma cuma? Apa dia ngga merasa rugi Bu?" Ia curiga ada sesuatu yang direncanakan oleh Dirga. "Ya karena Andi sepupunya," jawab Ratih singkat. "Nanti Ibu ngomong sama Andi. Kamu hubungi saja Ibu kalau Andi udah pulang kerja. Ya." "Iya Bu," sahut Febby. "Ngomong-ngomong Dokter Dirga, dia... udah punya istri belum Bu?" "Dokter Dirga, dia udah punya istri dan anak. Istrinya Dokter juga. Dokter kecantikan. Anaknya baru satu. Usianya sepuluh tahun, perempuan." Deg! Febby terdiam. Ternyata laki-laki yang dulu dia idam-idamkan menjadi suami, sudah memiliki keluarga. Namun, kenapa Dirga seperti ingin melakukan sesuatu padanya di ruangan tadi. Ah! Memikirkan itu membuat Febby semakin ngeri untuk datang ke praktek Dirga lagi. "Nanti Ibu bicara lagi sama Dirga. Kamu mau kan ke sana lagi?" Febby tak memiliki jawaban. Ingin menolak, takut mertuanya tantrum. "Harus mau ya! Semua ini kan demi kebaikan kalian. Ibu malu ditanya kapan punya cucu. Apalagi orang tuamu juga ngga sabar pengen punya cucu juga," sambung Ratih, sedikit memaksa. "Iya Bu, aku mau," jawab Febby terpaksa. "Tapi aku maunya datang sama Mas Andi. Aku ngga mau datang ke sana sendiri. Tolong bujuk Mas Andi ya Bu. Jangan kayak tadi, tiba-tiba dia pergi kerja." "Iya, dia pasti ikut. Kan Ibu bikin janji hari libur," sahut Ratih. "Oh iya. Malam minggu nanti, keluarga Dirga mau mengadakan acara makan malam. Kamu diundang. Kamu dan Andi datang ya. Ibu sama Bapak juga datang." "Iya Bu, aku pasti datang," sahut Febby. Sebenarnya dia penasaran seperti apa wajah istri Dirga yang Dokter kecantikan itu. Pastinya selera Dirga tinggi. Wajah wanita itu pasti secantik Bidadari. "Bagus. Malam minggu nanti ya. Hari minggunya kamu dan Andi ke praktek dia." "Iya Bu," sahut Febby. "Udah dulu ya Bu. Aku mau masak. Takut Mas Andi pulang kerja." "Ya udah, Ibu juga mau masak buat Bapak." Keduanya mengakhiri telepon. 'Makan malam di rumah Mas Dirga.' Febby memandang kosong ke depannya.Fiu! Fiu! Fiu!Suara siulan terdengar dari dapur. Di jam setengah tujuh malam, suara asing itu mengundang rasa ingin tahu Anggun.Sengaja dia pulang lebih awal agar suaminya tidak marah, tetapi saat masuk ke dalam kamar, laki-laki tampan itu tidak ada di sana.Berkeliling rumah, Anggun menghentikan langkah kaki di pintu dapur bersih. Ia melihat suaminya sedang bersiul sambil memasak sesuatu di atas kompor.Mengambil langkah perlahan, Anggun mendekati meja makan dan duduk. "Kayaknya kamu lagi happy hari ini Mas," senyumnya sambil mengambil piring.Beberapa lauk-pauk sudah tersedia di atas meja, namun Dirga justru memilih masak mie. Semua itu karena baru saja dia melihat postingan Andi, makan mie buatan Febby."Banyak pasien unik hari ini," jawab Dirga datar, menghentikan siulannya.Anggun manggut-manggut. "Kamu masak apa Mas? Kok ngga makan ini aja?"Dirga melirik sesaat, kembali fokus pada mie instan di dalam pa
Baru saja tiba di rumah, Andi sudah disambut pemandangan indah istrinya yang hanya mengenakan daster pendek tanpa lengan.Kulit putih mulus, tubuh sintal yang biasanya langsung bisa dinikmati, kini harus dia abaikan demi melancarkan program kehamilan.Andi melangkah mendekati pintu rumah, tempat istrinya berdiri sambil tersenyum hangat.Melihat suaminya datang, Febby langsung mengambil tas tenteng dari tangan Andi."Aku ngga sempat masak, Mas. Tadi aku pulang sore banget. Kamu mau aku pesenin makanan online ngga? Atau masak nasi goreng aja?" tanyanya menatap wajah lesu sang suami."Masak mie aja. Udah lama aku ngga makan mie," jawab Andi sambil mengendur kancing kemeja, melangkah mendekati sofa dan duduk."Yakin mau makan mie aja? Ngga mau pesen makanan di restoran gitu?""Mahal, kita harus hemat. Masih banyak keperluan penting yang harus dipikirkan selain mengisi perut," sahut Andi dengan nada dingin. Padahal baru saja
Berbeda dengan istrinya yang baru saja menikmati dosa terindah. Di tempat lain, Andi lagi-lagi, harus menerima cacian dan makian dari atasan karena kesalahan sepele ... baginya."Lain kali salin dulu semua dokumen penting di komputer kantor. Jangan asal pulang aja. Pikiran kamu cuma rumah aja. Ngga profesional banget sih! Kamu udah berapa lama sih kerja di sini. Kayak anak baru aja. Beri contoh yang bener untuk karyawan lain!"Andi hanya menundukkan kepala pasrah saat dimaki oleh bos di kantornya. Kesalahan yang baginya tidak terlalu fatal, tetapi selalu saja menjadi alasan untuk memarahinya di depan para karyawan lain.Wajahnya sudah tebal seperti kulit Badak. Biasa baginya terkena marah, apalagi di depan teman kerja."Bukan cuma kamu, tapi semua karyawan di kantor ini. Kalau mereka melakukan kesalahan, pasti saya akan marahi! Kalian itu kalau bekerja harus teliti."Andi menghela napas panjang sambil melirik ke kiri dan kanan. Semua karyawan terlihat sedang berbisik, sudah pasti yang
Mengikuti permintaan suami dan Ibu mertua, Febby menjalani program kehamilan, namun dengan cara dibuahi oleh dokternya sendiri.Seandainya Andi tahu, kemungkinan laki-laki yang tidak terlalu tampan itu, akan membakar tempat praktek Dirga sampai rata dengan tanah.Meskipun terkesan cuek dan dingin pada istrinya, tetapi Andi sangat takut kehilangan Febby sebagai aset satu-satunya dalam hidup."Boleh minta nomor ponselmu?" Dirga dan Febby masih berada di atas ranjang. Saling memberikan kehangatan satu sama lain di ruangan dingin itu.Keduanya berada di bawah selimut tipis, masih polos tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh."Kalau Mas Andi ngga ngijinin, aku ngga bisa ngasih nomor hape aku sama siapa-siapa." Jemari lentik Febby, terlihat sibuk menarik bulu-bulu halus di atas dada Dirga."Andi melarangmu memberikan nomor ponsel padaku?" tanya Dirga, mengangkat satu alis tebalnya.Febby mengangguk pelan. "Bahkan sama teman aku sendiri. Yang tahu nomor hape aku cuma Ibu sama Bapak di kampu
Untuk pertama kali seumur hidup, Febby merasakan nikmatnya sentuhan laki-laki.Dirga sangat pandai memberikan itu, sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh Andi. Setiap sentuhan nakal Dirga, itulah yang diinginkan oleh Febby sejak lama."Ah!"Febby mengigit jarinya saat sentuhan Dirga sampai ke buah da da yang menjulang tinggi seperti Gunung Kembar.Dirga tersenyum, sadar wanitanya sudah terlena dalam sentuhan nakal bibirnya. Diam-diam, sang Dokter memperhatikan Febby yang menikmati kecupannya.Satu tangan mulai melepas satu per satu kancing kemeja. Tangan lain, sibuk menjelajahi tubuh sintal cinta pertamanya itu."Mas!" Tubuh Febby menggeliat. Ingin menolak, tetapi sesuatu di dalam sana menginginkan lebih."Aku akan memberikan sesuatu yang tidak pernah diberikan suamimu." Dirga turun dari ranjang, membu-ka pak-aian dan celan-anya.Setelah tub-uhnya polos seperti bayi baru lahir. Dirga kembali naik ke atas ranja-ng.Febby tersenyum manja, melihat Sosis Jumbo Dirga sudah berdiri tegak, s
Berada di dalam ruangan bercahaya temaram bersama laki-laki setampan Dirga, membuat tubuh Febby kaku seperti patung manekin, sulit digerakkan. Belum lagi, Dirga berada di depannya dengan jarak sangat dekat. Hembusan napas hangat sang dokter terasa menyapu bulu-bulu halus yang meremang di tubuh sintal Febby. Bisikan lembut Dirga, membuat degup jantung Febby berdetak tak karuan. Desir darah mengalir deras, memberikan efek panas pada tubuhnya. "Aku akan merahasiakan semuanya dari Andi. Aku pastikan kamu akan mengandung buah cinta kita," bisik Dirga, seolah kewarasannya hilang karena cinta terlarangnya itu. Febby menggeleng tegas, menolak ajakan gila mantan kakak kelasnya. Mana mungkin dia mengandung anak dari laki-laki lain, sedangkan dia masih menjadi istri orang. "Andi menginginkan anak, bukan?" Dirga mengingatkan Febby. Satu tangannya memegang dagu, mengangkat wajah sendu wanita cantik itu. "Apa kamu lupa, kalau suamimu menginginkan anak?" Mata Febby yang terpejam, perlahan terb