Jam lima sore, ketika Febby baru saja selesai menyiapkan makan malam untuk Andi. Dan tak lama suaminya itu pulang ke rumah.
Terdengar suara mesin mobil yang memasuki garasi, Febby buru-buru menyelesaikan sisa pekerjaan di dapur dan bergegas keluar. Dilihatnya sang suami yang berjalan lesu sambil membuka dasi di leher dan duduk di sofa ruang tamu. Febby menghampiri, duduk di sebelah suaminya. "Kok tadi kamu ngga ke praktek Dokter Dirga, nyusul aku?" tanyanya menahan kesal. "Aku dapat panggilan dari kantor. Tadinya mau balik ke praktek itu, tapi Ibu nelpon bilang kamu udah pulang ke rumah." Andi menjawab dengan lesu sambil membuka kancing kemeja satu per satu. "Kok bisa Ibu nelpon kamu Mas? Bukannya hape kamu ngga aktif dari siang," lirik Febby, curiga. Andi berdecak, malas meladeni ocehan istrinya yang bawel. "Harusnya kamu nemenin aku Mas." Andi melirik tajam, "Kalau aku nemenin kamu. Terus yang nyari duit siapa? Jangan manja dong! Kamu ngga mikir kalau aku punya tanggung jawab di kantor? Aku ini cuma karyawan biasa, bukan CEO." Febby terdiam sambil menundukkan kepala. Niat hati ingin marah-marah, dia justru dimarahi oleh suaminya itu. "Udahlah, jangan dibesar-besarkan. Cuma pekara ngga nemenin kamu aja, pake ngeluh segala. Lagian nanti kan kita ke praktek Dirga lagi. Ibu udah bikin janji di hari weekend. Jadi aku bisa ke sana nemenin kamu." "Maaf Mas," ucap Febby pelan. "Jangan bikin aku emosi, aku cepak baru pulang kerja." "Biasanya kamu juga sering emosi, meskipun lagi ngga capek," celetuk Febby, menatap suaminya. Rasanya sudah muak melihat sikap suaminya yang dingin dan selalu berbicara ketus padanya. "Udah jangan mulai! Aku ngga mau berantem sama kamu cuma karena masalah sepele. Lagian suami baru pulang kerja, bukannya bikin minuman. Ini malah ditangan yang macem-macem. Aku capek." Andi berdiri dari sofa. "Mau aku buatin apa Mas? Teh atau kopi?" "Apa aja, anter ke kamar. Aku mau istirahat sebentar." "Sebelum istirahat, mandi dulu Mas. Kamu kan habis dari luar." "Hem," sahut Andi datar, berjalan dengan gontai ke kamarnya. Febby menatap punggung suaminya yang perlahan hilang dari pandangan mata. Andi masuk ke kamar dan menutup pintu. Menghela napas dalam-dalam, ia tidak pernah tidak kecewa atas perlakuan suaminya selama dua tahun menikah. Pasti ada saja yang membuat Andi emosi, meski hanya pembahasan sepele seperti tadi. Malas memikirkan itu, Febby berjalan ke dapur, menyiapkan minuman untuk Andi. Biasanya minuman itu sudah siap, namun karena kesal dengan sang suami, dia malas membuatkannya. Sambil mengaduk gula dalam gelas, Febby kembali terbayang-bayang sikap Dirga yang sangat lembut padanya. Jauh berbeda dengan sikap Andi. Ah! Febby buru-buru membuang pikiran itu jauh-jauh. Tak ingin membandingkan laki-laki mana pun dengan suaminya sekarang. Toh, dia sudah memilih Andi untuk menjadi pasangan seumur hidup. Selesai membuat kopi, Febby ke kamar, melihat suaminya sedang berbaring tanpa busana dan hanya menyisakan boxer menutupi bagian bawah tubuh. "Ini kopinya Mas," kata Febby meletakkan gelas di atas meja samping tempat tidur. Andi melirik, satu tangannya menggenggam lengan Febby lalu menariknya. "Layani aku sebentar. Aku pengen." Febby berdecak. "Mandi dulu Mas." Tidak biasanya dia menolak seperti ini, membuat Andi melotot. "Kamu nolak permintaan suami kamu?" kaget Andi langsung mengubah posisi menjadi duduk. "Bukan nolak Mas, tapi aku ngga mau kamu kebiasaan. Kalau pulang kerja itu mandi dulu, baru minta jatah." Andi mendengus kesal, menatap istrinya tajam, "Biasanya juga kamu ngga pernah protes. Lagian aku kerja di ruangan ber-AC. Badan aku ngga bau." "Iya Mas, aku tahu. Tapi tetap aja kamu habis dari luar. Mending sekarang kamu mandi dulu." Wanita rambut panjang itu melepas genggaman tangan suaminya lalu berdiri. "Mandi dulu Mas." Andi melotot, masih tak terima dengan penolakan Febby. Tidak seperti biasa, kali ini wanita cantik itu menolak mentah-mentah. Bahkan tak mau menatapnya sama sekali. "Kamu masih marah soal tadi?" tanya Andi memelankan suaranya, mulai sadar sikapnya keterlaluan. "Ngga, aku ngga marah lagi." Febby melangkah mendekati pintu. "Kamu mandi dulu ya. Aku tunggu di ruang makan." Ia keluar dari kamar, meninggalkan suaminya yang masih membeku di atas ranjang. "Sial!" umpat Andi mengusap pusakanya yang sudah berdiri tegak. Baru saja dia ingin melampiaskan nafsunya yang sudah di ujung tanduk pada istrinya, namun moodnya bercinta hilang seketika karena penolakan. Sementara, Febby merasa lega karena berhasil menolak permintaan suaminya. Biasanya dia selalu menurut, seperti kerbau yang ditusuk hidungnya. Kalau dipikir-pikir, percuma juga dia melayani suaminya kalau yang merasakan kepuasan hanya Andi. Febby duduk di depan meja makan, mengambil cemilan dan memakannya. Dalam keheningan di ruang makan yang mini malis, terdengar suara ponsel yang mengusik ketenangan. Febby mengambil benda pipih itu dan melihat satu panggilan dari ibunya. "Halo Bu, ada apa?" tanya Febby. "Kamu lagi ngapain Nak? Sibuk ngga?" "Ngga Bu, kenapa?" "Oh, ngga apa-apa. Ibu cuma kangen sama kamu. Ibu mau ngobrol sama kamu." "Oh, kirain ada apa." "Kamu sehat kan?" "Sehat Bu. Kalau Ibu sama Ayah, gimana?" "Kami sehat," jawab sang ibu. "Oh iya, kata Bu Ratih. Kamu dan Andi mulai konsultasi lagi ke dokter kandungan yang baru? Gimana hasilnya?" "Iya Bu, tapi belum ada hasil apa-apa. Aku dan Mas Andi baru konsultasi, rencananya kami mau ke sana lagi." "Semoga kali ini berhasil ya. Ibu dan Ayah kamu, udah ngga sabar punya cucu. Kalau kamu hamil nanti, kamu pulang ke kampung sebentar ya. Kamu tandatangani pengalihan harta waris atas nama kamu nanti." "Kok buru-buru banget Bu? Kan anak aku juga belum lahir." "Ngga apa-apa. Ayah kamu yang minta. Sekalian kamu tandatangani juga hak kepemilikan tanah, sawah dan kontrakan. Karena ibu dan Ayah kan sudah tua. Kamu dan suami kamu yang seharusnya melanjutkan semuanya." Febby terdiam. "Kenapa Nak?" tanya ibunya. "Ngga apa-apa Bu. Makasih ya Bu, kalian udah mau berjuang untuk aku dan aku tinggal menikmati aja." "Sudah kewajiban kami sebagai orang tua memberikan semua warisan ke kamu, anak kami satu-satunya. Karena kamu juga sudah mau berjuang memiliki anak." Febby tersenyum, namun senyum itu tiba-tiba masam saat melihat suaminya datang. "Siapa?" tanya Andi berbisik. "Ibu," jawab Febby. "Bu, udah dulu ya. Aku mau nyiapin makanan untuk Mas Andi." "Oh iya." Keduanya mengakhiri telepon. Febby berdiri, ingin memindahkan panci berisi sayur ke atas meja. "Ibu kamu ngomong apa?" tanya Andi, penasaran. "Ngomong soal anak. Biasalah, orang tua aku dan orang tua kamu kan berharap banget punya cucu." "Ya udah, kita harus getol konsultasi ke Dokter Dirga, biar kamu cepet hamil," ucap Andi sambil tersenyum. Febby mengerutkan kening. Agak aneh melihat senyum Andi. Bukannya tadi suaminya sedang kesal karena permintaannya ditolak?Untuk pertama kali seumur hidup, Febby merasakan nikmatnya sentuhan laki-laki.Dirga sangat pandai memberikan itu, sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh Andi. Setiap sentuhan nakal Dirga, itulah yang diinginkan oleh Febby sejak lama."Ah!"Febby mengigit jarinya saat sentuhan Dirga sampai ke buah da da yang menjulang tinggi seperti Gunung Kembar.Dirga tersenyum, sadar wanitanya sudah terlena dalam sentuhan nakal bibirnya. Diam-diam, sang Dokter memperhatikan Febby yang menikmati kecupannya.Satu tangan mulai melepas satu per satu kancing kemeja. Tangan lain, sibuk menjelajahi tubuh sintal cinta pertamanya itu."Mas!" Tubuh Febby menggeliat. Ingin menolak, tetapi sesuatu di dalam sana menginginkan lebih."Aku akan memberikan sesuatu yang tidak pernah diberikan suamimu." Dirga turun dari ranjang, membu-ka pak-aian dan celan-anya.Setelah tub-uhnya polos seperti bayi baru lahir. Dirga kembali naik ke atas ranja-ng.Febby tersenyum manja, melihat Sosis Jumbo Dirga sudah berdiri tegak, s
Berada di dalam ruangan bercahaya temaram bersama laki-laki setampan Dirga, membuat tubuh Febby kaku seperti patung manekin, sulit digerakkan. Belum lagi, Dirga berada di depannya dengan jarak sangat dekat. Hembusan napas hangat sang dokter terasa menyapu bulu-bulu halus yang meremang di tubuh sintal Febby. Bisikan lembut Dirga, membuat degup jantung Febby berdetak tak karuan. Desir darah mengalir deras, memberikan efek panas pada tubuhnya. "Aku akan merahasiakan semuanya dari Andi. Aku pastikan kamu akan mengandung buah cinta kita," bisik Dirga, seolah kewarasannya hilang karena cinta terlarangnya itu. Febby menggeleng tegas, menolak ajakan gila mantan kakak kelasnya. Mana mungkin dia mengandung anak dari laki-laki lain, sedangkan dia masih menjadi istri orang. "Andi menginginkan anak, bukan?" Dirga mengingatkan Febby. Satu tangannya memegang dagu, mengangkat wajah sendu wanita cantik itu. "Apa kamu lupa, kalau suamimu menginginkan anak?" Mata Febby yang terpejam, perlahan terb
"Hari ini kalian semua pulang lebih awal. Praktek tutup jam tiga sore.""Baik Dok."Sebelum masuk ke ruangan, Dirga memberitahu pada semua perawat, petugas resepsionis dan tukang bersih-bersih di tempat prakteknya.Hari ini mereka semua pulang lebih awal dari biasanya yang pulang jam lima sore, bahkan bisa lebih malam kalau pasien membludak.Tentu saja pemberitahuan itu membuat semua pekerja senang. Mereka langsung menyiapkan jadwal pertemuan keluarga, teman dan dengan pasangan masing-masing."Tumben ya pulang cepet. Apa Dokter Dirga ada acara?" bisik petugas resepsionis pada temannya."Kayaknya sih ada acara keluarga. Istrinya hamil kali.""Bisa jadi.""Sering-sering aja begini, biar bisa santai.""Apa dia ngga ngerasa rugi prakteknya tutup lebih awal. Sejak praktek ini dibuka 'kan, pasien dia banyak banget.""Dia udah kaya, istrinya aja kaya raya. Apa kamu ngga pernah denger kalau istrinya punya beberapa klinik kecantikan di Jakarta.""Iya juga sih, suami-istri pada sukses."Kedua p
Hari ini menjadi awal program kehamilan yang akan dijalani Febby, namun sejak bangun tidur tadi, Andi lah yang sibuk meminta istrinya bersiap-siap dan mengingatkan untuk mencatat apa saja yang harus dilakukan setelah program berjalan.Bahkan, tak seperti biasanya, Andi bangun lebih pagi dari Febby. Namun tetap saja, wanita muda itu yang harus membuat sarapan dan merapikan kamar.Andi hanya sibuk dengan ponsel, memposting kegiatan dan rencananya untuk menjalani program kehamilan."Do'akan semuanya lancar. Istriku cepat hamil dan kami secepatnya punya anak laki-laki. Kalau anak kami lahir, kemungkinan kami akan memulai usaha baru."Sambil senyum-senyum Andi menulis caption pada unggahan foto istrinya yang tengah merapikan tempat tidur."Aku ngga sabar lihat istriku yang cantik ini mengandung. Pasti anak kami tampan, sama seperti aku."Ada beberapa postingan sejak semalam yang Andi unggah di aplikasi chat Sejuta Umat. Dan semua postingan itu dilihat oleh Dirga sebagai orang pertama.Sebe
"Mas, kamu pulang lebih cepat ya hari ini?" tanya Anggun, menoleh ke arah suaminya sesaat sebelum mengambil handuk."Hmm," sahut Dirga, datar. Entah sejak kapan dia merasa rumah tangganya dengan Anggun terasa hambar.Pernikahan hasil perjodohan yang dia pikir akan menjadi awal bahagia. Ternyata hanya membuat luka di hatinya karena sang istri tidak bisa melakukan tugasnya sebagai mana keinginan Dirga.Sudah ikhlas sepenuh hati menerima Anggun dan Lilian, Dirga justru dikecewakan."Maaf ya, tadi aku sibuk banget. Aku aja baru pulang. Aku mandi dulu, nanti kita makan malam bareng." Anggun masuk ke kamar mandi dengan tergesa-gesa.Tak ada kata apapun, Dirga hanya diam lalu turun dari ranjang. Keduanya tinggal di rumah yang sama, tetapi sibuk dengan urusan masing-masing."Mas, kamu lihat obat aku ngga? Obat tidur?" tanya Anggun, tapi tak ada sahutan karena Dirga sudah tak berada di kamar.Dirga duduk di depan meja makan, melihat beberapa jenis masakan ada di atas meja, tapi tak ada satupun
Setelah berkonsultasi dengan Dokter Dirga. Makan siang di luar. Sore harinya Febby kembali disibukkan dengan aktivitas di rumah.Urusan mencuci baju dan menyetrika memang dia serahkan pada ahlinya, hanya mengeluarkan uang beberapa puluh ribu dalam sehari, semua pakaian rapi, bersih dan wangi.Namun urusan rumah tangga lain, membereskan rumah, nyuci piring, memasak, semua dikerjakan oleh Febby sendiri.Andi tidak pernah mau membantu, bahkan mau tahu soal semua itu. Jiwa patriarki Andi memang sangat kuat, turun-temurun dari ayahnya.Selesai merapikan rumah, Febby melanjutkan pekerjaan di dapur, masak makan malam request suaminya.Sedangkan Andi sedang beristirahat di dalam kamar, tak memperdulikan istrinya yang lelah."Mas, kamu mau aku bikinin teh ngga?" tanya Febby dari dapur. Pintu kamar sengaja dibuka agar mudah berbicara dengan Andi."Jangan teh, kopi aja. Aku lagi mau minum kopi hitam," sahut Andi, yang sibuk memainkan ponselnya, berbaring santai di atas ranjang."Mau cemilan juga