แชร์

Kolam Renang yang Panas

ผู้เขียน: Velune Nyvaris Miratha
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-08 10:00:46

Langkah kaki Elena terhenti, menatap Riven yang tubuhnya sudah basah oleh air. Kaca yang menjadi pembatas ia geser perlahan. 

"Tuan, ini handuknya!" seru Elena saat Riven berenang ke arah yang lebih jauh. 

Riven melayangkan jempol kanan, kembali fokus dengan kegiatannya. Namun, saat menangkap presensi Elena yang masih memakai piama, ia tercekat sejenak. 

Elena dapat melihat Riven yang berenang ke arah tepi.

"Sudah ku bilang untuk memakai pakaian lebih layak, Elena! Kau masih di jam bekerja, sekarang apa alasanmu?!" sentak Riven. 

Pantulan cahaya matahari yang muncul malu-malu setelah hujan, membuat riak air tampak semakin indah. Wajah tampan Riven pun semakin bercahaya. 

Elena menggigit bibir bawahnya. "Maaf, Tuan, aku tidak sempat bersiap karena tertidur di kamar Tuan Muda," sahutnya dengan jemari memilin piama satinnya karena gugup. 

Riven berdecak malas. "Bawa handuknya ke sini!" titahnya. 

Elena mengulum senyum picik, bagian bawahnya terasa semakin basah membayangkan rencananya sendiri. 

Ia berjalan pelan menuju tepi kolam, lalu berlutut untuk memberikan handuk. Namun, sebelah tangannya menekan keramik, dengan sengaja ia jatuhkan tubuhnya ke kolam. 

Riven panik, handuk pun sudah terlempar ke sembarang arah. Ia menggeram saat jemari Elena menyentuh paha dalamnya. 

Elena dapat merasakan tangan Riven menarik pinggangnya, hingga ia bisa muncul ke permukaan. 

Suara air terdengar di antara kesunyian mereka, Riven merangkul pinggang Elena hingga tubuh mereka menempel. 

Dada besar Elena menekan tubuh Riven. Bahkan detak jantung Riven, bisa Elena rasakan. 

Tubuh keduanya sudah sangat basah, mata Elena mengerjap saat Riven semakin mendekatkan wajahnya. 

Kepala Riven miring perlahan, sedangkan tangan besarnya menekan leher Elena untuk meraih bibir ranum itu. 

Dalam hatinya, Elena tersenyum puas. Jemarinya meraba punggung tegap Riven yang selalu ia dambakan dari jauh. 

"Mmhh, Tuan," rintih Elena saat bibirnya digigit kecil oleh Riven. Jemari Elena merayap ke arah rambut tebal majikannya. 

Benang saliva tercipta saat bibir keduanya menjauh. Napas beradu dengan pandangan yang sama-sama sayu. 

Jemari besar Riven menangkup gunung kembar Elena, merematnya perlahan hingga rintihan kembali terdengar. 

"Apa ukurannya? Kau masih terlalu muda untuk memiliki yang sebesar ini." Riven bertanya. Suaranya serak, berat, dan dalam. 

"Cup F, Tuan. Aku merawatnya hingga sebesar ini, karena aku menyukainya," jawab Elena lirih. 

Keduanya semakin dimabuk oleh hasrat, Elena meraba sensual 'adik' Rion yang sudah semakin keras. 

"Tuan, berapa ukurannya? Kenapa keras sekali?" 

Riven menggeram, sentuhan tangan Elena membuatnya semakin melayang. Ia menelusupkan wajahnya di leher Elena dan berdesis. 

"Hanya 28 saat ia terbangun, Elena. Ahhh, jangan meremasnya ...."

Elena terkikik geli. Pantas saja terlihat besar, bahkan saat Riven mengenakan celana yang longgar.

Jemari Riven semakin lancang, menurunkan bawahan Elena. Meraba milik Elena yang sudah sangat licin, ia pun terkekeh. 

Bibir tebalnya mengecup daun telinga Elena, tangan kanan meremas sebelah dada, dan jemari kiri di sibuk menggosok lembut bagian bawah Elena. 

Jelas, hal itu membuat Elena mengejang.

"Milikmu sangat licin, Elena," bisik Riven. 

"Ahhh, Tuan!" Elena mendesah kuat saat jari panjang Riven memasuki tubuhnya. 

Posisi matahari semakin tinggi, mereka bergelung di antara riak air yang semakin ribut. Tidak menyadari Jay melihat mereka dari balik kaca pembatas. 

Anak itu tertawa kecil, senang melihat Riven yang bahagia bersama Bibi Elennya. 

Sebelumnya, ia mencari Elena yang lupa memanggil supir. Namun, melihat Elena tengah bersenang-senang dengan ayahnya, Jay akhirnya melangkah keluar rumah dan menghampiri supir lebih dulu. 

Meninggalkan sepasang insan yang sudah membuat air tercemar dengan cairan mereka sendiri. 

"Lebih kuat, ku mohon," rintih Elena. Sebelah kakinya sudah naik ke pinggang Riven. Keringat mereka bercampur dengan air kolam.

Riven terengah-engah, Ia mendongak merasakan kepalanya penuh dengan euforia yang baru ia rasakan setelah berbulan-bulan lamanya. 

"Ahhh, Elena. Hnnng, milikmu terlalu ketat, haahh ...." Pinggulnya maju mundur semakin cepat dan kuat, abai pada Elena yang sudah menangis tersiksa. 

Isapan Riven pada dada Elena membuat tubuhnya melengkung, menekan kepala Riven agar mengisap lebih kuat.

"Ahhh, ahhh, Tuan," rintih Elena. Matanya menjuling dengan lidah menjulur, menyerahkan seluruh tubuhnya pada sang majikan. 

"Ahh, Elena, aku sampai, eerggh, Elena!"

Dapat Elena rasakan, cairan milik Riven sangat kental dan hangat di dalam rahimnya.

Tak lama, Elena pun mengeluarkan cairannya. Menyelimuti 'adik' Riven yang masih betah berada di dalam.

Elena masih mengatur napasnya, ia mendesah saat milik Riven keluar. Rasanya kosong, namun meninggalkan jejak kepuasan yang sulit dijelaskan. 

Jemarinya diraih oleh Riven, dikecup dan dikulum manja. Pinggangnya masih ditahan oleh Riven, sebab tubuhnya sudah sangat lemas.

Riven meraih handuk yang sempat terlempar, melilitkannya ke pinggang Elena. Sedangkan ia menarik naik celananya. 

Riven menggendong Elena seperti pengantin baru, membawa wanita itu ke kamarnya. Kamar milik Riven.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   Diana Curiga

    Kondisi Riven dan Jay sudah membaik, setelah tiga hari merepotkan. Keduanya semakin lengket dan manja pada Elena.Seperti saat ini, anak dan ayah itu terus membuntuti Elena yang sedang membersihkan kolam."Makanlah lebih dulu, Elena! Kau melewatkan sarapanmu!" teriak Riven.Elena dengan cepat menghampiri Riven dengan napas terengah-engah, dan keringat yang membasahi pakaiannya.Ia menerima suapan dari Riven, kemudian atensinya beralih ke arah Jay yang berlari menghampiri."Bibi Elen! Ayo makan jelly ini! Jay juga ingin menyuapi Bibi Elen!" seru Jay sambil menyodorkan satu sendok penuh jelly yang terpotong berantakan.Elena membuka mulutnya, menerima suapan dari tangan kecil Jay. Perutnya terasa penuh, setelah menerima banyak suapan dari ayah dan anak di hadapannya.Dering ponsel Riven terdengar, Elena yang duduk di pangkuannya pun merasakan getarannya.Nama Diana tertera di layar, Riven menghela napas malas sebelum mengangkat panggilannya."Riven! Kian bilang padaku, kau bercumbu deng

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   Tuan-Tuan yang Manja

    Suasana kediaman Riven cukup sunyi siang ini. Jay sedang sakit, jadi tidak ada yang membuat keributan dengan ocehannya. Sedangkan Riven masih berkutat di kantor, ada sebuah pertemuan dengan orang-orang besar untuk membahas bisnis. Elena yang sudah dibalut kaus oversize dan celana di atas lutut, menyiapkan bubur, air hangat, kompres, dan handuk. Sesampainya di kamar Jay, Elena duduk di tepi kasur. Tangannya meraba kening Jay yang masih terasa hangat. "Tuan Muda, Bibi menyiapkan bubur. Ayo makan dulu," tuturnya lembut, seraya mengelus kepala Jay. Lenguhan terdengar serak dari bibir Jay. "Bibi Elen, semuanya terasa sangat panas. Jay tidak suka," keluhnya. Tubuh Jay dibantu untuk bersandar pada kepala ranjang. Elena menyuapi Jay dengan bubur yang ia bawa. "Makanlah dulu, setelah itu Tuan Muda mandi agar tidak terasa panas," ujar Elena. Jay membuka mulutnya untuk menerima suapan Elena. Kepala Jay menggeleng saat Elena menyiuk suapan keempat. Elena menaruh mangkuk di atas na

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   Festival Robot

    Ruangan terasa sunyi. Elena tertidur pulas di sofa, sedangkan Riven masih berkutat dengan berkas-berkasnya. Tak lama, pintu terbuka menampilkan Jay dan Dean yang baru saja datang. Dean kembali pulang, sedangkan Jay masuk ke dalam ruangan. Riven acuh pada anaknya yang akan mengganggu tidur Elena. "Bibi Elen! Bibi Elen!" panggil Jay, tangan kecilnya menyentuh pipi Elena beberapa kali. Elena melenguh panjang, kemudian matanya melebar antusias melihat kehadiran Jay. Ia spontan memeluk Jay dengan gemas, mengusap punggung anak itu dengan lembut. "Bibi Elen, Jay lelah sekali! Hari ini Jay lari keliling lapangan," adunya dalam dekapan Elena. Belum sempat Elena menjawab, suara Riven sudah terdengar menyebalkan. "Kau saja yang payah, baru lari sudah mengeluh," ujar Riven meremehkan. Dapat Elena rasakan, Jay melepas paksa dekapannya dan berlari ke arah Riven dengan tangan terkepal. Jay memukul perut Riven beberapa kali, sedangkan Riven hanya tertawa. Melihat mata Jay yang sudah berkac

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   Pergi ke Kantor Riven

    Pagi ini, Elena sudah siap dengan kemeja merah ketat yang menampilkan dada besarnya. Rok hitam di atas lutut, dan stocking hitam yang menyelimuti seluruh kakinya, cocok dengan kemeja yang ia pakai. Ditambah high heels merah, riasan tebal, dengan bibir merona dan bulu mata anti badai. "Mmmuaachh," gumam Elena setelah mengaplikasikan lipstik merah menyala. Ia menekan beberapa kali bibirnya, dan berpose di depan kaca dengan bibir mengerucut.Setelah Jay berangkat sekolah, ia menyiapkan sarapan untuk dibawa ke kantor Riven. Majikannya itu berangkat sangat pagi, hingga tidak sempat sarapan. Setelah menyemprotkan banyak parfum, ia melangkah keluar untuk menghampiri supir yang akan mengantarnya. "Paman Dean, bisa tolong antarkan aku ke kantor Tuan Riven?" tanya Elena, suaranya mengalun lembut dengan nada bicara yang dibuat-buat. Dean, pria yang usianya sudah setengah abad itu mengangguk. Pandangannya tidak beralih dari belahan dada Elena yang tampak sangat jelas. Setelah mengeluarkan

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   Akhir Pekan yang Damai

    Elena mengoleskan pelembab pada kaki dan tangannya dengan lembut disertai pijatan kecil, hingga ketukan pintu membuat Elena menghentikan sejenak aktivitasnya. "Elena?"Suara Riven terdengar di luar sana, Elena menaruh pelembabnya dan melangkah untuk membukakan pintu. "Tuan? Ada apa?" tanya Elena. Riven tampak mengusap tengkuknya karena perasaan canggung. Matanya menelisik raut wajah Elena yang tidak tampak masam."Apa kau masih merajuk, Elena? Maaf, sungguh, aku tidak mengetahui apa kesalahanku," ujarnya dengan nada santai. Elena melihat raut Riven yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah. Kedua tangan pria itu pun masuk ke dalam saku celana, seolah acuh dengan perkataannya sendiri. Elena menghela napas kasar. "Jika tidak tau salahmu apa, lantas Tuan meminta maaf untuk hal apa?" ketusnya. "Tuan Muda Jay itu masih kecil, Tuan. Kau harus bisa memperhatikannya juga, jangan hanya menilainya anak nakal," sambung Elena. Elena dapat melihat Riven membuang wajahnya, kemudian m

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   Elena Merajuk?

    "Kenapa rautmu kecewa seperti itu, Elena?" tanya Riven dengan langkah kaki yang sengaja dilambatkan. Elena mendesah malas, jemarinya mengelus rahang kokoh Riven. "Aku belum puas, Tuan," bisiknya sensual dengan lidahnya yang menari di bibir atasnya. Lemah sekali, 'adik' Riven langsung bereaksi hanya karena mendengar hal itu. Elena bisa merasakan langkah Riven yang semakin cepat menuju kamar. Ia mengira akan langsung dibanting ke kasur besar milik Riven. Namun, ia justru dibaringkan dengan sangat lembut di sana. Pakaian atasnya yang sudah basah dibuka oleh Riven. Kini, keduanya bertelanjang dada. Riven menumpukan tubuhnya dengan tangan tertekuk di kedua sisi tubuh Elena. "Apa ini sebenarnya tujuanmu bekerja di sini, Elena?" Elena menatap jahil, bibirnya mengerucut manja. Telunjuknya mengelus dada bidang Riven, dengan paha yang mulai menggesek lagi 'adik' Riven. "Ahhh, jangan lakukan itu! Jawab pertanyaanku, Elena!" pekik Riven tertahan. Sebelah tangan besarnya mencengkram paha El

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status