"Kenapa rautmu kecewa seperti itu, Elena?" tanya Riven dengan langkah kaki yang sengaja dilambatkan.
Elena mendesah malas, jemarinya mengelus rahang kokoh Riven. "Aku belum puas, Tuan," bisiknya sensual dengan lidahnya yang menari di bibir atasnya.
Lemah sekali, 'adik' Riven langsung bereaksi hanya karena mendengar hal itu. Elena bisa merasakan langkah Riven yang semakin cepat menuju kamar.
Ia mengira akan langsung dibanting ke kasur besar milik Riven. Namun, ia justru dibaringkan dengan sangat lembut di sana.
Pakaian atasnya yang sudah basah dibuka oleh Riven. Kini, keduanya bertelanjang dada.
Riven menumpukan tubuhnya dengan tangan tertekuk di kedua sisi tubuh Elena. "Apa ini sebenarnya tujuanmu bekerja di sini, Elena?"
Elena menatap jahil, bibirnya mengerucut manja. Telunjuknya mengelus dada bidang Riven, dengan paha yang mulai menggesek lagi 'adik' Riven.
"Ahhh, jangan lakukan itu! Jawab pertanyaanku, Elena!" pekik Riven tertahan. Sebelah tangan besarnya mencengkram paha Elena yang nakal.
"Tentu, Tuan. Awalnya tidak, tapi ...." Ucapannya sengaja dipotong, tangan Elena menggerayangi punggung Riven hingga berhenti di lehernya.
Ia menariknya, mengecup singkat bibir Riven yang sangat candu.
"Siapa yang tidak panas melihat tubuhmu ini, Tuan?" sambungnya berbisik.
Merasa kepalanya kembali penuh oleh hasrat, Riven menarik kasar handuk yang menutupi bagian bawah Elena.
Celana pendeknya pun ia buka dengan tergesa. Elena mengerjap kaget, kemudian memekik saat milik Riven kembali mengisi tubuhnya.
Hentakan demi hentakan kuat membuat Elena kewalahan. Suara kulit yang saling membentur memenuhi kamar Riven.
"Ahh, ahhh, perlahan, Tuan!" Elena merintih saat milik Riven seolah ingin menghancurkannya.
Geraman Riven kembali terdengar, keringat bercampur sisa air kolam di rambutnya menetas di wajah Elena. "Agh! Elena ... Elena, aarghh!"
Riven menggulingkan tubuh ke samping Elena. Menatap dalam Elena dengan napas berantakan.
Elena pun membalas tatapan Riven, ia menyampingkan tubuhnya agar berhadapan dengan Riven.
Jemari Elena meliuk di wajahnya sendiri, meraih cairan Riven yang ada di sana dan menjilatnya sensual.
"Jangan memancingku lagi, Elena. Kau bisa lumpuh nanti," cetus Riven. Tangannya meraih tisu untuk mengelap wajah Elena.
Elena tertawa, kemudian menelusupkan wajahnya di belahan dada Riven tanpa ragu. Matanya semakin sayu karena kelelahan, ia tertidur dalam dekapan Riven.
Elena sempat bergumam, "Aku tidak akan melepaskanmu, Tuan Riven."
"Aku juga tidak akan melepaskanmu, Elena," bisik Riven membalasnya. Ia mendekap Elena semakin erat.
Hasrat yang Riven tahan selama berbulan-bulan, sudah terbayar dengan kepuasan yang akan selalu ia rindukan setiap harinya.
Keduanya tertidur pulas, bumi berotasi hingga jam dinding menunjukkan pukul dua siang.
"Bibi Elen! Bibi Elen!"
Elena mengernyit mendengar suara samar dari luar sana. Ia menggeliat pelan, menyingkirkan tangan besar Riven yang mendekapnya sangat erat.
"Tuan, Tuan Muda Jay sudah pulang," ujar Elena. Ia menepuk pelan lengan atas Riven.
Riven terbangun, ia menatap Elena dengan sayu. "Jam berapa ini?"
Elena melirik jam dinding, matanya kemudian membola. Ia memakai pakaiannya yang sudah terlempar kemana-mana dengan asal.
"Sudah pukul dua siang, Tuan, aku melupakan banyak hal!" pekik Elena.
Bagian bawahnya yang terasa sakit ia abaikan. Dengan tergesa Elena menghampiri Jay yang sudah cemberut di sofa ruang tamu.
"Tuan Muda, maafkan Bibi Elen, ya karena belum menyiapkan makan siang," sesal Elena. Ia berlutut di hadapan Jay.
Jay membuang wajahnya, dengan tangan terlipat di depan dada. "Tidak mau!" ketus anak kecil itu.
Jay kemudian turun dari sofa dan berlari ke kamarnya sendiri, sedangkan Riven yang baru saja turun mengernyit bingung melihat anaknya.
"Ada apa dengan Jay?" tanya Riven pada Elena.
Napas pelan Elena hembuskan, wajahnya tertunduk. "Maaf, Tuan. Tuan Muda marah karena aku belum menyiapkan makan siang. Pasti Tuan Muda merasa lapar," ucapnya.
Suasana hatinya memburuk, matanya sedikit berkaca-kaca. Elena merasa lalai dengan tugas utamanya.
"Sudahlah, biarkan saja dia kelaparan. Masih anak kecil tapi tingkahnya seperti orang dewasa saja," ketus Riven.
Kedua tangannya terlipat di depan dada, menatap sinis pintu kamar Jay yang tertutup rapat.
Elena mengangkat pandangannya, menatap Riven dengan raut tak suka.
"Maaf, Tuan. Tapi Tuan Muda masih anak kecil yang harus diperhatikan, apalagi dia—"
"Jangan terlalu dimanjakan, Elena. Dia anak lelaki, tidak pantas dimanjakan seperti itu!" pungkas Riven memotong ucapan Elena.
Elena tidak menjawab lagi, ia pergi ke dapur untuk menyiapkan makan siang.
Sedangkan Riven mengusap tengkuknya, merasa bingung pada Elena yang tampak merajuk.
Kaki Riven menyusul Elena yang berkutat di dapur dengan raut masam. "Kenapa, Elena? Ada yang salah dengan perkataanku?"
Elena hanya mendengus kesal, mengabaikan presensi Riven yang berusaha membujuknya.
Jay kembali turun dengan wajah bengkak dan sisa air mata di pipinya. "Bibi Elen, maafkan Jay yang sudah merajuk pada Bibi Elen," sesalnya dengan suara bergetar dan bibir mencebik sedih.
Elena tertawa pelan, melewati Riven yang tercengang karena telah diabaikan.
"Tidak apa, Tuan Muda. Maafkan Bibi Elen juga yang sudah membuatmu menahan lapar."
Riven hanya mendengus kesal, sepertinya ia harus membujuk Elena.
Kondisi Riven dan Jay sudah membaik, setelah tiga hari merepotkan. Keduanya semakin lengket dan manja pada Elena.Seperti saat ini, anak dan ayah itu terus membuntuti Elena yang sedang membersihkan kolam."Makanlah lebih dulu, Elena! Kau melewatkan sarapanmu!" teriak Riven.Elena dengan cepat menghampiri Riven dengan napas terengah-engah, dan keringat yang membasahi pakaiannya.Ia menerima suapan dari Riven, kemudian atensinya beralih ke arah Jay yang berlari menghampiri."Bibi Elen! Ayo makan jelly ini! Jay juga ingin menyuapi Bibi Elen!" seru Jay sambil menyodorkan satu sendok penuh jelly yang terpotong berantakan.Elena membuka mulutnya, menerima suapan dari tangan kecil Jay. Perutnya terasa penuh, setelah menerima banyak suapan dari ayah dan anak di hadapannya.Dering ponsel Riven terdengar, Elena yang duduk di pangkuannya pun merasakan getarannya.Nama Diana tertera di layar, Riven menghela napas malas sebelum mengangkat panggilannya."Riven! Kian bilang padaku, kau bercumbu deng
Suasana kediaman Riven cukup sunyi siang ini. Jay sedang sakit, jadi tidak ada yang membuat keributan dengan ocehannya. Sedangkan Riven masih berkutat di kantor, ada sebuah pertemuan dengan orang-orang besar untuk membahas bisnis. Elena yang sudah dibalut kaus oversize dan celana di atas lutut, menyiapkan bubur, air hangat, kompres, dan handuk. Sesampainya di kamar Jay, Elena duduk di tepi kasur. Tangannya meraba kening Jay yang masih terasa hangat. "Tuan Muda, Bibi menyiapkan bubur. Ayo makan dulu," tuturnya lembut, seraya mengelus kepala Jay. Lenguhan terdengar serak dari bibir Jay. "Bibi Elen, semuanya terasa sangat panas. Jay tidak suka," keluhnya. Tubuh Jay dibantu untuk bersandar pada kepala ranjang. Elena menyuapi Jay dengan bubur yang ia bawa. "Makanlah dulu, setelah itu Tuan Muda mandi agar tidak terasa panas," ujar Elena. Jay membuka mulutnya untuk menerima suapan Elena. Kepala Jay menggeleng saat Elena menyiuk suapan keempat. Elena menaruh mangkuk di atas na
Ruangan terasa sunyi. Elena tertidur pulas di sofa, sedangkan Riven masih berkutat dengan berkas-berkasnya. Tak lama, pintu terbuka menampilkan Jay dan Dean yang baru saja datang. Dean kembali pulang, sedangkan Jay masuk ke dalam ruangan. Riven acuh pada anaknya yang akan mengganggu tidur Elena. "Bibi Elen! Bibi Elen!" panggil Jay, tangan kecilnya menyentuh pipi Elena beberapa kali. Elena melenguh panjang, kemudian matanya melebar antusias melihat kehadiran Jay. Ia spontan memeluk Jay dengan gemas, mengusap punggung anak itu dengan lembut. "Bibi Elen, Jay lelah sekali! Hari ini Jay lari keliling lapangan," adunya dalam dekapan Elena. Belum sempat Elena menjawab, suara Riven sudah terdengar menyebalkan. "Kau saja yang payah, baru lari sudah mengeluh," ujar Riven meremehkan. Dapat Elena rasakan, Jay melepas paksa dekapannya dan berlari ke arah Riven dengan tangan terkepal. Jay memukul perut Riven beberapa kali, sedangkan Riven hanya tertawa. Melihat mata Jay yang sudah berkac
Pagi ini, Elena sudah siap dengan kemeja merah ketat yang menampilkan dada besarnya. Rok hitam di atas lutut, dan stocking hitam yang menyelimuti seluruh kakinya, cocok dengan kemeja yang ia pakai. Ditambah high heels merah, riasan tebal, dengan bibir merona dan bulu mata anti badai. "Mmmuaachh," gumam Elena setelah mengaplikasikan lipstik merah menyala. Ia menekan beberapa kali bibirnya, dan berpose di depan kaca dengan bibir mengerucut.Setelah Jay berangkat sekolah, ia menyiapkan sarapan untuk dibawa ke kantor Riven. Majikannya itu berangkat sangat pagi, hingga tidak sempat sarapan. Setelah menyemprotkan banyak parfum, ia melangkah keluar untuk menghampiri supir yang akan mengantarnya. "Paman Dean, bisa tolong antarkan aku ke kantor Tuan Riven?" tanya Elena, suaranya mengalun lembut dengan nada bicara yang dibuat-buat. Dean, pria yang usianya sudah setengah abad itu mengangguk. Pandangannya tidak beralih dari belahan dada Elena yang tampak sangat jelas. Setelah mengeluarkan
Elena mengoleskan pelembab pada kaki dan tangannya dengan lembut disertai pijatan kecil, hingga ketukan pintu membuat Elena menghentikan sejenak aktivitasnya. "Elena?"Suara Riven terdengar di luar sana, Elena menaruh pelembabnya dan melangkah untuk membukakan pintu. "Tuan? Ada apa?" tanya Elena. Riven tampak mengusap tengkuknya karena perasaan canggung. Matanya menelisik raut wajah Elena yang tidak tampak masam."Apa kau masih merajuk, Elena? Maaf, sungguh, aku tidak mengetahui apa kesalahanku," ujarnya dengan nada santai. Elena melihat raut Riven yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah. Kedua tangan pria itu pun masuk ke dalam saku celana, seolah acuh dengan perkataannya sendiri. Elena menghela napas kasar. "Jika tidak tau salahmu apa, lantas Tuan meminta maaf untuk hal apa?" ketusnya. "Tuan Muda Jay itu masih kecil, Tuan. Kau harus bisa memperhatikannya juga, jangan hanya menilainya anak nakal," sambung Elena. Elena dapat melihat Riven membuang wajahnya, kemudian m
"Kenapa rautmu kecewa seperti itu, Elena?" tanya Riven dengan langkah kaki yang sengaja dilambatkan. Elena mendesah malas, jemarinya mengelus rahang kokoh Riven. "Aku belum puas, Tuan," bisiknya sensual dengan lidahnya yang menari di bibir atasnya. Lemah sekali, 'adik' Riven langsung bereaksi hanya karena mendengar hal itu. Elena bisa merasakan langkah Riven yang semakin cepat menuju kamar. Ia mengira akan langsung dibanting ke kasur besar milik Riven. Namun, ia justru dibaringkan dengan sangat lembut di sana. Pakaian atasnya yang sudah basah dibuka oleh Riven. Kini, keduanya bertelanjang dada. Riven menumpukan tubuhnya dengan tangan tertekuk di kedua sisi tubuh Elena. "Apa ini sebenarnya tujuanmu bekerja di sini, Elena?" Elena menatap jahil, bibirnya mengerucut manja. Telunjuknya mengelus dada bidang Riven, dengan paha yang mulai menggesek lagi 'adik' Riven. "Ahhh, jangan lakukan itu! Jawab pertanyaanku, Elena!" pekik Riven tertahan. Sebelah tangan besarnya mencengkram paha El