Share

2. Jay, si Anak Nakal

last update Last Updated: 2025-10-08 09:58:05

Saat membuatkan kopi, Riven menghampiri Elena. Pelayannya tampak kaget dan kaku, karena merasa diawasi dengan intens.

"T-Tuan," gumam Elena.

Riven mendengarnya, namun acuh dan tetap memperhatikan pergerakan Elena.

Saat kopi selesai, Riven langsung meraihnya tanpa menunggu Elena memberikan.

"Ini ... enak." Riven menatap Elena. Namun, matanya sesekali turun ke dada Elena yang sangat berisi.

Elena menunduk, ia tersipu dengan pujian dari Riven. "Terima kasih, Tuan. Aku senang jika kopinya sesuai dengan selera Tuan," ujarnya.

Riven berdehem singkat, ia kemudian membawa kopinya ke ruang kerja. Seolah acih dengan perkataan Elena, dan enggan mendengarkannya lebih jauh.

Elena kembali merapihkan meja dapur, lalu menyapu dan mengepel seluruh lantai rumah tiga lantai itu.

Saat mengepel halaman rumah, Diana melewatinya begitu saja. Meninggalkan jejak kotor yang berasal dari sepatunya, dan remahan biskuit yang dikunyah oleh Diana.

Elena menggeleng pelan, ia menatap kepergian Diana yang sudah diyakini tidak akan pulang sampai esok malam.

Saat akan melanjutkan aktivitasnya, suara Riven yang berteriak dari dalam membuat Elena panik.

"Elena! Elena!"

Langkah kaki keduanya beradu. Riven yang turun terburu-buru, dan Elena yang menghampiri tergesa-gesa.

"Ikut aku ke sekolah Jay. Gurunya bilang, dia kembali membuat ulah dan harus membawa pihak perempuan. Diana sudah pergi, dan kau yang harus menggantikan."

Belum sempat Elena menjawab, Riven sudah menarik tangannya menuju parkiran.

Riven meraih pakaian Diana yang berada di kursi belakang, dan memberikannya pada Elena.

"Pakai itu," titahnya.

Riven membiarkan Elena berganti pakaian di dalam mobilnya, ia menunggu di luar dengan tubuh bersandar pada pintu mobil yang tertutup.

Namun, kaca spion yang masih menyerong ke arah dalam mobil, membuatnya salah fokus.

Elena hanya menurut, memakai pakaian Diana yang terasa jauh lebih sempit. Setelan kemeja dan celana panjang milik Diana, sangat pas di tubuhnya.

Riven tidak sadar, ketika bola matanya masih diam ke arah samping. Menatap spion mobil yang memantulkan penampilan Elena di dalam sana.

Elena menaik-turunkan dadanya, agar terasa lebih nyaman di dalam kemeja yang membuatnya terjepit.

Ia lalu mengetuk kaca mobil, memberi kode pada Riven kalau ia telah selesai.

Riven tersadar dari lamunannya, ia segera masuk dan duduk di kursi kemudi.

Mereka melaju, membelah jalanan kota yang sangat ramai. Riven berusaha fokus pada jalanan, meski lirikannya pada dada Elena sesekalu terciduk oleh pelayannya.

"Tuan," panggil Elena. Riven hanya berdehem menjawabnya.

"Sepertinya, Tuan Muda Jay butuh perhatian dari Tuan dan Nyonya," ujarnya.

Riven hanya melirik singkat. Saat akan menjawab, ia tiba-tiba menginjak pedal rem dengan kuat.

Tubuh Elena dan Riven terhuyung ke depan, karena rem dadakan yang dilakukan Riven.

Jalanan langsung ramai, terjadi kecelakaan akibat rem mendadak di depan sana. Mobil Riven pun sedikit penyok.

"T-Tuan, kau tidak apa-apa?" tanya Elena. Tanpa sadar, tangannya bertumpu di atas paha Riven.

Keduanya tenggelam dalam tatapan, Riven meraih tangan Elena dan menggenggamnya.

Jantung Elena sudah berdegup sangat kencang. Wajah Riven semakin maju mendekati wajahnya, genggaman sang majikan pun semakin kuat dan terasa hangat.

Suara klakson dari mobil di belakang, membuyarkan suasana. Riven dan Elena melanjutkan perjalanan degan perasaan canggung.

Sampai mereka tiba di sekolah dasar internasional, keduanya langsung menjadi sorotan.

Penampilan Elena dan Riven sangat serasi. Elena memakai kemeja hijau pastel dengan bawahan cream, sedangkan Riven memakai kemeja cream dengan bawahan hijau tua.

Keduanya bergegas menuju ruang bimbingan konseling, dan mengabaikan bisik-bisik yang membicarakan mereka.

Riven masuk dan langsung menghadap seorang guru di sana, sedangkan Elena duduk di dekat Jay dan mendekapnya.

Walau Elena mendapat penolakan dari Jay yang terlihat masih emosi, ia tetap mengelus pundak Jay dengan lembut.

"Maaf, Tuan Riven. Jay telah memukul temannya hingga pingsan dan masuk rumah sakit. Kami mengundang pihak wanita dari keluarga Tuan, agar bisa mendidik Jay lebih baik lagi."

Elena dan Riven mendengarnya dengn seksama, perasaan mereka pada Jay tidak satu jalan. Riven merasa, Jay harus dididik lebih keras oleh Diana, sedangkan Elena merasa Jay harus dididik lebih lembut.

"Mungkin, Jay bisa dididik dengan cara seorang ibu," lanjut sang guru.

Riven hanya mengiyakan perkataan guru tersebut, mengganti kerugian, dan membiayai pengobatan teman Jay.

Sepanjang jalan, Jay hanya terdiam dengan wajah memerah. Hidungnya kembang-kempis, dan bibirnya turun membentuk lengkungan sendu.

"Kau benar-benar menyusahkan orang tuamu, Jay!" seru Riven tiba-tiba.

Tubuh Jay tersentak, begitu pun Elena. Wanita itu dengan sigap merangkul Jay, dan membiarkan Jay menenggelamkan wajahnya di dada Elena.

Ia dapat merasakan, Tuan Mudanya menangis di dalam dekapannya. Mobil dikendarai dengan sangat cepat, membuat Elena pun semakin mendekap Jay dengan erat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   83. Peringatan dari Diana

    Setelah sama-sama sibuk dengan pikiran mereka, Riven dan Elena kembali beraktivitas seperti semula. Riven sudah berangkat lebih dulu, saat dini hari karena harus pulang pergi ke luar kota. Sedangkan Elena masih sibuk mengurus Jay, yang semakin manja seperti ayahnya. "Jay, ayo bangun, Nak. Mandi, lalu pakai bajunya ya, mmmmuah!"Elena membujuk, seraya mengecup pipi Jay. Sesuai kemauan anak itu, yang memintanya membujuk dan mengecupnya dulu baru ia akan bangun. Selesai dengan Jay, Elena langsung ke arah dapur. Di sana sudah ada Jelia yang menyiapkan sarapan, dan dapat Elena lihat dari pintu kaca, Deo tengah mengelap badan mobil di luar sana. "Kau sudah sangat cocok menjadi ibu Jay, Elena," celetuk Jelia. Elena hanya tertawa pelan, tangannya dengan telaten merapihkan isi bekal Jay dan Riven. Katanya, Riven akan kembali dari luar kota siang hari nanti. "Ah, Elena. Nyonya Diana tidak akan pulang, mungkin sekitar sampai lima bulan ke depan," ujar Jelia. Elena langsung menjeda pergera

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   82. Segala Aspek?

    Elena memenuhi segala Aspek, yang tidak diisi oleh Diana. Baik dari segi keibuan, sampai hal-hal yang menyangkut hasratnya. Dilihat dari sisi mana pun, Elena yang paling sempurna menurut Riven. Diana kalah telak, karena sejak awal, kesalahannya terletak pada wanita itu. Riven ingin ketulusan, bukan uang atau status semata seperti yang Diana lakukan padanya. Ia ingin seorang wanita, yang selalu bisa menemaninya, bukan yang sibuk sendiri dengan urusannya. Dan Elena 'lah yang memenuhi semua ekspetasinya. Memang, awalnya Riven hanya ingin menjadikan Elena sebagai pelampiasan napsu. Namun, ia justru jatuh pada pesona Elena, yang memenuhi segala hal yang Riven butuhkan. Elena mengisi kekosongan di hatinya, selama menjalani rumah tangga dengan Diana. Ia yang bersumpah, tidak akan tergoda, justru malah jatuh sedalam-dalamnya, dan enggan kembali pada istri sahnya. Malam ini, akan menjadi malam yang panjang untuk Riven dan Elena. Baru saja, Diana menelponnya, dan mengatakan, bahwa Diana a

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   81. Tuanku yang Menawan

    "Selamat siang, Bunda!" sapa Riven di seberang sana. Lelaki itu belum menyadari, apa yang ada di layar laptopnya. Elena sengaja menaikkan tubuhnya yang bersandar, sampai belahan dadanya terlihat jelas. "Selamat siang, Papa ...." Elena membalas sapaan itu, dengan nada yang mendayu. Ia menepuk air dengan lembut, menciptakan suata ambigu, untuk menarik perhatian Riven. Elena juga menggumam sensual beberapa kali, karena sang tuan tidak juga teralihkan. "Suara apa itu, Bun–"Gleg! Jakun Riven naik-turun, karena salivanya sulit diteguk. Elena melihat hal itu, ia melempar tatapan menggoda pada Riven. Telapak tangannya mengusap tubuhnya sendiri, membawa air pada bagian bahu dan dadanya yang terlihat di permukaan air. Elena juga membasahi lehernya, dan menyingkap rambunya yang terurai, yang menutupi bahunya. "Iya, Papa?" Suaranya berbisik, seolah menggoda Riven tepat di pangkuannya. Riven sendiri terpaku, pada belahan dada Elena yang bergoyang, setiap kali Elena bergerak. Terlihat ken

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   80. Menenangkan Diri

    Jay hanya mengangguk, membalas gumaman Leo. Elena membawa anak majikannya pulang, dengan perasaan yang bercampur aduk. Jay juga hanya diam di atas pangkuan Elena, yang tengah mengabari Gez untuk datang ke kediamannya. Saat mereka sampai ke rumah, Gez tidak lama datang juga. Ia memeriksa Jay, lalu mengganti seragam Jay dengan pakaian santai. Sedangkan Elena, menyiapkan bubur, potongan buah, air hangat untuk Jay, dan minuman untuk Gez. "Bunda, kepala Jay pusing," keluh Jay pada Elena. Mendengar panggilan Jay itu, Gez langsung mendelik. Tidak ia sangka, Elena sudah sedekat ini dengan Jay. Jay juga terlihat sangat nyaman, saat Elena membantunya melahap potongan buah. Setelah Jay tidur karena obat yang diberikan Gez, Elena dan dokter itu pergi ke ruang tamu. Elena mengambil camklan dan minuman yang sebelumnya sudah disiapkan, untuk dibawa ke ruang tamu. Gez menatapnya sangat dalam, membuat Elena mengernyit bingung. "Kenapa kau menatapku begitu?" tanya Elena. Gez menggeleng pelan,

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   79. Kegelisahan Elena

    Setelah mendengar cerita Kio, Elena termenung di lahan kosong itu. Kio sendiri sudah pergi, karena dipanggil oleh salah satu lansia untuk membantunya. Tak lama, Gez menghampiri Elena. "Ada apa? Kau merasa bersalah, setelah mendengar cerita Kio?" tanya Gez, tepat sasaran. Elena enggan menjawab, bibirnya digigit dengan posisi wajah yang tertunduk dalam. Jujur saja, hatinya sangat gelisah. Ia sudah menyayangj Jay, namun bagaimana jika nanti Jay tidak ingin lagi bersamanya, karena kedua orang tuanya yang bisa saja berpisah di masa depan. Bagaimana jika bayangan dan imajinasinya, tentang hidup bersama Riven, akan menjadi abu ke depannya? Jay bisa saja membenci Elena, karena telah membuat Riven dan Diana berpisah, seperti kedua orang tua Kio. Karena Elena justru tidak menjawab, Gez menghela napas pelan. Ia melipat stetoskopnya, lalu ditaruh ke dalam saku celana. Jasnya dibuka, untuk diselimuti pada punggung Elena. Cuaca semakin redup, udara juga jauh lebih dingin. Pakaian Elena cukup

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   78. Bersama Gez

    "Baiklah, Elena. Aku mengizinkanmu, tapi laporkan juga pada Riven, ya? Aku takut, ada kesalahpahaman nanti," ujar Vinzo. Elena baru saja meminta izin pada Vinzo, untuk berjalan ke dalam permukiman bersama Gez. Elena juga menceritakan hal-hal yang ia tangkap dari Gez, dan meminta bantuan Vinzo untuk mengawasinya juga. Vinzo pun menyuruh beberapa anak buahnya membeli makanan dan bahan masak, selagi Elena menunggu dan menyiapkan camilan di tenda untuk anak-anak itu. Kini, Elena berada di dalam tenda, ia mengikat rambutnya secara asal untuk bisa memasak. Ada robot khusus pembuat cookies dan biskuit, yang membuatnya mudah. Namun, kondisi di dalam tenda cukup panas, membuat Elena kurang nyaman. Ponselnya bergetar, menampilkan nama Riven di sana. Elena yakin, Riven sudah menerima laporan dari Gez. "Hallo, Tuan?" sapa Elena. "Elena, tolong hati-hati, ya. Para warga bisa lebih berbahaya dari yang kau kira, aku akan mengirim beberapa anak buahku, untuk mengawasimu juga," ujar Riven. El

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status