Share

Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!
Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!
Author: Velune Nyvaris Miratha

1. Teguran Pertama

last update Last Updated: 2025-10-08 09:53:11

Elena Neivara, wanita yang baru genap memasuki kepala dua itu keluar dari kamarnya. Tubuhnya dibalut piama satin merah, yang menonjolkan bentuk dada dan bokongnya.

Kaki jenjang Elena melangkah ke dapur, dengan satu gelas kosong di tangannya. "Haus sekali," gumamnya.

Dapat Elena lihat, kedua majikannya sedang menonton film di sofa ruang tamu. Saat akan melangkah lebih jauh, suara Riven membuatnya terhenti.

"Elena!"

Sang pemilik nama menoleh, lalu membungkuk sebentar. "Iya, Tuan? Ada yang bisa–"

Decakan Diana memotong ucapannya, wanita itu melirik sinis Elena dan bersedekap dada.

"Pakaianmu, Elena. Apa tidak ada yang lain?" tanya Riven.

Elena menunduk, jantungnya berdegup cepat. "Maaf, Tuan. Semua pakaian besarku dicuci, karena aku harus menggantinya dua kali sehari," sahutnya pelan.

Diana kini berdiri, lalu menghampiri Elena dan menudingnya dengan telunjuk.

"Pekerjaanmu itu pelayan, Elena! Perhatikan caramu berpakaian. Kamu tidak sedang berada di rumahmu, dan Tuanmu sudah memiliki istri!" serunya.

Riven juga menghampiri, majikannya itu terlihat merangkul pinggang Diana.

Matanya tajam menusuk Elena, begitu pun Diana yang meremehkannya. Elena semakin tertunduk, karena aura para majikannya sangat menekan.

"Bahkan jika kau tidak memakai apapun, aku tidak akan tergoda, Elena. Pergilah, dan ganti pakaianmu jika kau masih berkeliaran di luar kamar."

Setelahnya, Elena hanya mengangguk lalu pergi ke dapur. Mengambil segelas air dan kembali ke kamarnya.

Di sana, Elena merenungkan perkataan Diana dan Riven. Ia hanya pelayan di sini, dan harus menghormati keduanya.

Elena tidak bisa lagi memejamkan mata, hingga pagi hari tiba. Ia langsung mandi dan mengganti pakaiannya.

Elena memakai kaus oversize dan celana longgar di bawah lutut. Meski begitu, bagian dadanya yang besar tetap terlihat cukup jelas.

Pagi ini, Elena menyiapkan sarapan dengan mata yang sayu menahan kantuk. Saat akan meraih piring, tubuhnya terhuyung ke depan.

Elena dapat merasakan tangan besar menopang tubuhnya, tepat di bawah dadanya.

Elena segera menyingkirkan tangan Riven, lalu berdiri tegap.

"M-maaf, Tuan," ucapnya gugup.

Riven masih terpaku pada ingatannya, dada Elena terasa sangat kenyal dan besar.

Hingga Diana turun, menghampiri mereka berdua dengan raut marah.

"Apa yang kalian lakukan?! Elena?! Kau menggoda suamiku?!" pekik Diana.

Tangan Diana langsung melingkar posesif di lengan Riven, membuat suaminya tersadar dari lamunan kotor.

"Dia hampir jatuh tadi, Diana. Sepertinya dia mengantuk," jelas Riven.

Elena yang seolah menjadi tersangka, hanya diam dengan wajah menunduk.

"Apa sebenarnya yang ada di dalam pikiranmu, Elena?! Pekerjaanmu sangat buruk!" cerca Diana.

Elena semakin menunduk, matanya fokus menatap pada kaki yang tidak dibalut apapun.

Riven mengikuti arah pandang Elena. Kaki Elena tampak putih, mulus, dan bersih. Terdapat rona merah di setiap lipatan dan ujung jemarinya.

Pikiran kotor lagi-lagi hinggap di pikiran Riven, ia membayangkan sebersih apa tubuh Elena jika tidak memakai apapun.

"Riven!" seru Diana. Dada Riven dipukul olehnya, hingga kembali tersadar.

"Apa yang kau bayangkan?! Kau berniat selingkuh, ya?!" tuding Diana.

Riven gelagapan, ia langsung mendekap Diana. Namun, tatapannya tidak beralih dari Elena yang masih menunduk.

"Tentu tidak, Sayang. Aku mencintaimu, dan kau tau itu. Justru aku harus bertanya, apa kau masih mencintaiku?"

Bukannya mendapat jawaban, Riven malah mendapatkan sebuah tamparan.

Emosinya langsung naik, ia mengangkat tangan untuk mengusir Elena. Lalu, menatap Diana yang memberikannya tatapan tajam.

"Kau!" Diana menuding Riven, telunjuknya berada tepat di depan wajah sang suami.

"Kau menuduhku selingkuh lagi, Riven?!" seru Diana.

Riven hanya menghela napas kasar, ia langsung pergi dan mengabaikan Diana yang berteriak.

Sedangkan Elena, masih mengintip di antara tembok dapur. Lagi-lagi, ia menyaksikan keributan antara Diana dan Riven.

Sebelum pikirannya melayang, kakinya langsung melangkah untuk kembali menyiapkan sarapan dan bekal Jay.

Anak majikannya itu tak lama turun, dengan seragam yang berantakan. Elena bergegas menghampiri, dengan raut wajah sendu.

Mengingat kedua orang tua Jay yang selalu bertengkar, pikirnya, Jay pasti tertekan.

"Tuan Muda, Bibi Elen sudah menyiapkan bekal untuk Tuan Muda," ujarnya. Ia mencoba meraih tangan Jay, namun anak itu menolaknya.

"Kata Mama, kau hanya pelayan. Jangan menyentuhku!" sinisnya.

Jay menaiki kursi untuk meraih bekalnya di atas meja makan, ia memasukkan bekalnya dan pergi begitu saja tanpa berkata apapun pada Elena.

Elena menunduk singkat, kemudian ia kembali fokus pada pekerjaannya. Namun, kedatangan Riven membuatnya sejenak terpaku.

Menatap betapa tampannya pahatan Tuhan. Wajah Riven terkesan dingin dan tegas, siapapun pasti menilainya galak.

Bahu yang lebar dan gagah, dengan urat yang tampak di sepanjang garis tangan dan jemarinya. Elena melihat itu semua, ia merasa semakin kagum dengan majikannya.

"Buatkan aku kopi, Elena."

Perintah Riven membuat Elena tersadar, ia bergegas melaksanakan perintahnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   83. Peringatan dari Diana

    Setelah sama-sama sibuk dengan pikiran mereka, Riven dan Elena kembali beraktivitas seperti semula. Riven sudah berangkat lebih dulu, saat dini hari karena harus pulang pergi ke luar kota. Sedangkan Elena masih sibuk mengurus Jay, yang semakin manja seperti ayahnya. "Jay, ayo bangun, Nak. Mandi, lalu pakai bajunya ya, mmmmuah!"Elena membujuk, seraya mengecup pipi Jay. Sesuai kemauan anak itu, yang memintanya membujuk dan mengecupnya dulu baru ia akan bangun. Selesai dengan Jay, Elena langsung ke arah dapur. Di sana sudah ada Jelia yang menyiapkan sarapan, dan dapat Elena lihat dari pintu kaca, Deo tengah mengelap badan mobil di luar sana. "Kau sudah sangat cocok menjadi ibu Jay, Elena," celetuk Jelia. Elena hanya tertawa pelan, tangannya dengan telaten merapihkan isi bekal Jay dan Riven. Katanya, Riven akan kembali dari luar kota siang hari nanti. "Ah, Elena. Nyonya Diana tidak akan pulang, mungkin sekitar sampai lima bulan ke depan," ujar Jelia. Elena langsung menjeda pergera

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   82. Segala Aspek?

    Elena memenuhi segala Aspek, yang tidak diisi oleh Diana. Baik dari segi keibuan, sampai hal-hal yang menyangkut hasratnya. Dilihat dari sisi mana pun, Elena yang paling sempurna menurut Riven. Diana kalah telak, karena sejak awal, kesalahannya terletak pada wanita itu. Riven ingin ketulusan, bukan uang atau status semata seperti yang Diana lakukan padanya. Ia ingin seorang wanita, yang selalu bisa menemaninya, bukan yang sibuk sendiri dengan urusannya. Dan Elena 'lah yang memenuhi semua ekspetasinya. Memang, awalnya Riven hanya ingin menjadikan Elena sebagai pelampiasan napsu. Namun, ia justru jatuh pada pesona Elena, yang memenuhi segala hal yang Riven butuhkan. Elena mengisi kekosongan di hatinya, selama menjalani rumah tangga dengan Diana. Ia yang bersumpah, tidak akan tergoda, justru malah jatuh sedalam-dalamnya, dan enggan kembali pada istri sahnya. Malam ini, akan menjadi malam yang panjang untuk Riven dan Elena. Baru saja, Diana menelponnya, dan mengatakan, bahwa Diana a

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   81. Tuanku yang Menawan

    "Selamat siang, Bunda!" sapa Riven di seberang sana. Lelaki itu belum menyadari, apa yang ada di layar laptopnya. Elena sengaja menaikkan tubuhnya yang bersandar, sampai belahan dadanya terlihat jelas. "Selamat siang, Papa ...." Elena membalas sapaan itu, dengan nada yang mendayu. Ia menepuk air dengan lembut, menciptakan suata ambigu, untuk menarik perhatian Riven. Elena juga menggumam sensual beberapa kali, karena sang tuan tidak juga teralihkan. "Suara apa itu, Bun–"Gleg! Jakun Riven naik-turun, karena salivanya sulit diteguk. Elena melihat hal itu, ia melempar tatapan menggoda pada Riven. Telapak tangannya mengusap tubuhnya sendiri, membawa air pada bagian bahu dan dadanya yang terlihat di permukaan air. Elena juga membasahi lehernya, dan menyingkap rambunya yang terurai, yang menutupi bahunya. "Iya, Papa?" Suaranya berbisik, seolah menggoda Riven tepat di pangkuannya. Riven sendiri terpaku, pada belahan dada Elena yang bergoyang, setiap kali Elena bergerak. Terlihat ken

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   80. Menenangkan Diri

    Jay hanya mengangguk, membalas gumaman Leo. Elena membawa anak majikannya pulang, dengan perasaan yang bercampur aduk. Jay juga hanya diam di atas pangkuan Elena, yang tengah mengabari Gez untuk datang ke kediamannya. Saat mereka sampai ke rumah, Gez tidak lama datang juga. Ia memeriksa Jay, lalu mengganti seragam Jay dengan pakaian santai. Sedangkan Elena, menyiapkan bubur, potongan buah, air hangat untuk Jay, dan minuman untuk Gez. "Bunda, kepala Jay pusing," keluh Jay pada Elena. Mendengar panggilan Jay itu, Gez langsung mendelik. Tidak ia sangka, Elena sudah sedekat ini dengan Jay. Jay juga terlihat sangat nyaman, saat Elena membantunya melahap potongan buah. Setelah Jay tidur karena obat yang diberikan Gez, Elena dan dokter itu pergi ke ruang tamu. Elena mengambil camklan dan minuman yang sebelumnya sudah disiapkan, untuk dibawa ke ruang tamu. Gez menatapnya sangat dalam, membuat Elena mengernyit bingung. "Kenapa kau menatapku begitu?" tanya Elena. Gez menggeleng pelan,

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   79. Kegelisahan Elena

    Setelah mendengar cerita Kio, Elena termenung di lahan kosong itu. Kio sendiri sudah pergi, karena dipanggil oleh salah satu lansia untuk membantunya. Tak lama, Gez menghampiri Elena. "Ada apa? Kau merasa bersalah, setelah mendengar cerita Kio?" tanya Gez, tepat sasaran. Elena enggan menjawab, bibirnya digigit dengan posisi wajah yang tertunduk dalam. Jujur saja, hatinya sangat gelisah. Ia sudah menyayangj Jay, namun bagaimana jika nanti Jay tidak ingin lagi bersamanya, karena kedua orang tuanya yang bisa saja berpisah di masa depan. Bagaimana jika bayangan dan imajinasinya, tentang hidup bersama Riven, akan menjadi abu ke depannya? Jay bisa saja membenci Elena, karena telah membuat Riven dan Diana berpisah, seperti kedua orang tua Kio. Karena Elena justru tidak menjawab, Gez menghela napas pelan. Ia melipat stetoskopnya, lalu ditaruh ke dalam saku celana. Jasnya dibuka, untuk diselimuti pada punggung Elena. Cuaca semakin redup, udara juga jauh lebih dingin. Pakaian Elena cukup

  • Ah! Jangan Berhenti, Tuan Riven!   78. Bersama Gez

    "Baiklah, Elena. Aku mengizinkanmu, tapi laporkan juga pada Riven, ya? Aku takut, ada kesalahpahaman nanti," ujar Vinzo. Elena baru saja meminta izin pada Vinzo, untuk berjalan ke dalam permukiman bersama Gez. Elena juga menceritakan hal-hal yang ia tangkap dari Gez, dan meminta bantuan Vinzo untuk mengawasinya juga. Vinzo pun menyuruh beberapa anak buahnya membeli makanan dan bahan masak, selagi Elena menunggu dan menyiapkan camilan di tenda untuk anak-anak itu. Kini, Elena berada di dalam tenda, ia mengikat rambutnya secara asal untuk bisa memasak. Ada robot khusus pembuat cookies dan biskuit, yang membuatnya mudah. Namun, kondisi di dalam tenda cukup panas, membuat Elena kurang nyaman. Ponselnya bergetar, menampilkan nama Riven di sana. Elena yakin, Riven sudah menerima laporan dari Gez. "Hallo, Tuan?" sapa Elena. "Elena, tolong hati-hati, ya. Para warga bisa lebih berbahaya dari yang kau kira, aku akan mengirim beberapa anak buahku, untuk mengawasimu juga," ujar Riven. El

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status