LOGINSudut pandang Aria.Keluarga Ricin menjemputku dengan pesawat pribadi. Rasanya sungguh mewah, jet pribadi dan serbet sutra, seolah aku tamu kehormatan, bukan sandera."Silakan, Nona Aria, Pak Max sudah menunggu Anda di ruang kerjanya."Aku mengangguk.Dalam penerbangan, aku memikirkan belasan rencana pelarian. Menawarkan diri bekerja padanya, menawarkan kontak bisnis ayahku, mengkhianati ayahku jika perlu. Ayah saja tidak ragu mengkhianatiku, kenapa aku harus menaruh belas kasihan padanya?Mobil pun berhenti. Kepala pelayan membukakan pintuku dan rumah besar itu menjulang di depanku, lebih besar dan lebih indah dari yang aku duga.Pelayan itu menyambutku dengan senyum manis, "Nona Aria, Pak Max bilang seorang wanita yang sangat cantik akan berkunjung."Kesopanan itu, anehnya sedikit menenangkanku. Kalau para pelayannya bersikap ramah, mungkin tuannya juga baik.Sebuah harapan kecil dan konyol muncul.Pelayan itu membawaku ke lantai tiga. Kami berhenti di depan pintu kayu merah raksasa,
Sudut Pandang Damian.Tiga hari kemudian aku menemukan Emily di sebuah resor, sinar matahari mewarnai rambutnya menjadi emas, senyum berkedip di wajahnya ketika dia melihatku. Aku tidak mengatakan apa-apa, aku hanya menoleh ke para pengawal dan memberi perintah, "Tangkap dia." Dia tidak setakut yang aku duga. Mungkin dia sudah menduga akhir seperti ini dan melatih reaksinya ribuan kali. Dia memohon dengan cepat dan terlatih, "Apa terjadi sesuatu? Tolong, beri tahu aku, aku takut banget."Aku tidak menjawab. Aku menyeretnya kembali ke rumah Keluarga Javiera dan melemparkannya ke atas karpet. Video masih diputar berulang di layar belakang kami, gambar berbintik itu membuat ruangan terasa makin kecil dan dingin. Senyum Emily memudar saat melihat sekeliling, ketakutan sesungguhnya mulai merayap ke dalam dirinya.Nino bangkit seperti seorang pria di atas kawat, setiap garis wajahnya berbayang, dia terlihat seolah bisa memukul Emily."Ke mana saja kamu, Emily?" tanya Nino, suaranya rendah d
Sudut pandang Damian."Sebuah kotak. USB, dokumen, sebuah rekaman. Aku baru saja akan menelepon. Bisa nggak kamu mengambilnya hari ini?""Ya."Saat aku memberi tahu Nino, dia bilang dia ingin ikut.Kami setuju untuk tidak membuka kotak itu sampai semua orang berkumpul. Nino menelepon Elara dan Emily. Elara sontak pucat melihat foto itu, sedangkan Emily tidak menjawab, mungkin sibuk di kasino. Nino memutuskan kami tidak akan menunggu Emily.Kami hanya bertiga. Elara, Nino, dan aku sedang duduk di ruang kerja Keluarga Javiera dengan kotak itu di antara kami. Kotak itu terasa terlalu ringan, seakan tidak berisi apa pun yang pantas digaduhkan.Aku mengangkat tutupnya. Di dalamnya ada beberapa USB, setumpuk dokumen rapi, dan sebuah kaset video tua."Tonton videonya dulu," kata Nino dengan suara serak. "Aku perlu mendengar suaranya."Kami memasukkan kaset itu ke pemutar. Ruangan seolah menyusut mengitari layar saat gangguan hilang dan rekaman mulai diputar.Wajah di monitor itu bukan Aria. I
Sudut pandang Damian.Aku pulang, mencoba menenangkan diri.Di meja kopi ada bingkai foto pilihan Aria, yaitu foto kami di taman hiburan. Senyumnya hari itu begitu cerah, begitu polos, seolah aku melihat versi dirinya yang tidak pernah dilihat orang lain.Saat melihatnya sekarang, penyesalan menghantamku seperti sebuah pukulan. Penyesalan karena membiarkannya pergi, tidak menghentikannya. Meski itu berarti mendorong Emily ke tangan Keluarga Ricin, bukankah dia yang menghancurkan transaksi sejak awal?Aku menggeleng, memaksa pikiran itu pergi. Yang penting sekarang hanyalah membawa Aria kembali.Aku ragu sebelum menelepon, tapi akhirnya kutelepon ayahku. Aku berbohong, bilang padanya aku mendapat peluang bisnis baru. Mungkin Ayah terkesan dengan kerjaku bersama Keluarga Javiera. Dalam hitungan jam dan tanpa bertanya apa pun, uangnya sudah ditransfer.Aku langsung pergi ke Nino. "Aku punya uangnya. Mari kita telepon Keluarga Ricin, bayar mereka dan bawa Aria pulang."Wajahnya tampak ters
Sudut pandang Damian.Ketika Aria memberitahuku dia akan pergi ke Ricin sebagai sandera, aku ingin mengatakan tidak. Demi Tuhan, aku ingin berteriak menolaknya. Karena sebagian dari diriku, bagian yang enggan kuakui, masih mencintainya, lebih dari yang seharusnya.Aku bertemu dengannya di sebuah pertemuan lingkaran Mafia. Saat itu, dia adalah pewaris Keluarga Javiera, anak sulung dan masa depan keluarganya. Sedangkan aku? Aku hanya putra ketiga ayahku, yang ditakdirkan memudar di latar belakang.Aku tahu betul, jika ingin bertahan di dunia ini, aku butuh kekuasaan, dan Aria Javiera adalah tiketku, kesempatanku mengungguli saudara-saudaraku untuk meraih sesuatu yang lebih besar.Jadi aku mengejarnya, mengajaknya kencan, dan membuatnya jatuh hati. Aku meyakinkan diri bisa memilikinya. Melalui dia, aku bisa mendapatkan dukungan Keluarga Javiera, sumber daya Javiera.Yang tidak kuduga adalah Emily.Setiap kali kutanya tentang adiknya, Aria terdiam. Aku tahu Aria tidak menyukai Emily, tapi
Sudut pandang Aria.Aku mendapati diriku berada di taman hiburan yang dulu kukunjungi saat kecil, ketika semuanya masih tentang aku, sebelum Emily masuk ke dalam hidup kami.Saat aku melangkah melewati gerbang, pemandangan di depanku seakan berubah. Aku hampir bisa melihatnya. Ayah yang saat masih muda, menggendongku dengan bangga sambil tersenyum pada Ibu. "Aria pintar banget, sudah menyelesaikan kelas matematikanya. Aku rasa dia bakal jadi pewaris sempurna untuk membawa nama Keluarga Javiera!"Ibu dengan senyum lembut yang hanya dia miliki, menatapku dan berkata, "Anak kita pasti lelah. Jangan bicarakan bisnis atau sekolah hari ini, fokus saja biar Aria naik komedi putar favoritnya."Aku terkikik, seluruh perhatianku tertuju pada es krim, balon, dan mainan di sekelilingku.Saat itu bahagia, bukan?Kapan tepatnya semua itu berubah?Aku berjalan ke komidi putar, menyerahkan tiketku pada petugas, lalu naik ke atas. Angin menerbangkan rambutku, dan untuk sesaat, aku hampir merasakan kemb