Share

Sang Atlet

Author: Bill
last update Last Updated: 2021-05-08 10:42:09

Di pagi hari yang masih hangat dengan sinar mentari, Leo datang ke sekolah lebih awal dari sebelumnya. Terlihat buku kecil yang ia sebut sebagai jurnalis pribadi itu dibawa untuk menjadi pegangan kesehariannya. Laki-laki yang satu ini memiliki hobby membaca buku, ditangannya selalu terlihat bermacam-macam buku saku setiap harinya. Kehabisan bahan bacaan, karena itulah pagi ini dirinya menyempatkan pergi ke perpustakaan yang berada di lantai tiga salah satu bangunan sekolahnya itu.


Leo mengabaikan banyak sorotan mata yang tertuju padanya ketika ia mulai memasuki perpustakaan. Tidak ada yang berani bertanya padanya, yang ada laki-laki ini justru selalu mengabaikan berbagai sapaan orang lain.


Alasannya sederhana, Leo hanya sebatas terkenal dengan sifatnya yang dingin gemar mengabaikan orang lain dan wajahnya yang kelewatan tampan --bukan karena otaknya yang jenius dan memiliki kemampuan menganalisa. Dirinya yang tidak aktif dalam kegiatan sekolah membuat pandangan orang pada Leo sebagai anak cerdas dan jenius teralihkan.


Leo mulai menjelajahi setiap sudut perpustakaan sampai akhirnya ia berhenti di sudut tenggara perpustakaan. Dia pun menyimpan buku jurnalisnya di sebuah meja, lalu melanjutkan mencari buku yang cocok dijadikan bahan bacaan di sebuah rak buku Geografi.


Cukup lama ia mencari buku yabg cocok untuk dirinya, akhirnya ia menemukan buku yang tepat. 'Titan dan Rea, dua pedamping Saturnus' adalah judul buku yang ia pilih.

Judul yang bagus untuk dijadikan project novel, pikirnya.


Ia pun berniat kembali sebelum akhirnya ia melupakan sesuatu yang mengharuskan dirinya kembali lagi. Leo keheranan setelah mendapati buku jurnalis pribadinya tidak ada di meja penyimpanan map. Akhirnya ia memutuskan untuk menjelajahi sudut tenggara untuk mencari bukunya itu. Jujur saja, ia tidak terlalu ingat di meja mana ia menyimpan buku jurnalisnya itu.


Senyum lega terukir di raut wajah Leo setelah ia menemukan buku jurnalisnya itu di atas meja atlas dan globe, tanpa pikir panjang ia pun memasukkannya ke dalam tas supaya tidak tertinggal lagi.



   ****



Bel menunjukan istirahat, seluruh siswa-siswi SMA Aryabina bertebaran keluar dari kelasnya masing-masing. Namun tidak dengan Leo, remaja yang satu itu memilih diam sendiri sambil termenung memandangi luaran jendela yang menampakkan club voli yang tengah mengadakan pelatihan. Namun renungannya pun akhirnya buyar setelah dua temannya menghampiri dirinya.


  "Hey Leo, lo diem-diem bae. Mau ikut gak keluar ama kita?" tanya Aditia.

  "Lo gak laper gitu? Biar kita temenin ke kantin kalo lo laper," tawar Reynal.

  "Nggak," jawab singkat Leo.


Sedikit tentang Reynal dan Aditia, keduanya adalah orang yang mampu berteman dengan Leo. Berawal dari ketiganya yang selalu bertemu di rooftop sekolah dan sering tidur berbarengan disana, hal itulah yang lama kelamaan membuat ketiganya menjalin persahabatan dan sulit terpisahkan.


Bukan hanya itu, Reynal dan Aditia tidak kalah dalam segi ketampanan mereka --meskipun Leo lebih unggul dari mereka. Jika mereka terlihat berjalan atau beraktivitas bertiga, sering kaum hawa menyebut mereka dengan sebutan "Trio Handsome"


Keduanya keheranan saat Leo terus termenung sambil menonton kegiatan latihan club voli.

  "Lo liatin apa sih?" Reynal mengikuti arah tontonan Leo keluar jendela.

  "Eh, itu kan cewek yang kemarin futsal. Si Key kan?" tunjuk Reynal pada salah seorang anggota club voli yang mengenakan kerudung.

  "Mana?" Aditia mengikuti arahan yang Reynal tunjukan. "O ya bener. Itu kan cewek yang cetak 4 gol pas pelatihan futsal tim Elang," sambung Aditia. "Gila, talenta olahraganya mantep banget. Jago voli ama futsal juga." lanjutnya lagi sambil menggelengkan kepala.

  "Lo baru tau? Tu cewek hampir nguasai semua peran di voli. Dulu sempet jadi setter, tapi karena refleks spikenya ngefly banget, coach Reno ama coach Karina tunjuk dia jadi wings spiker inti," jelas Reynal.

  "Katanya tu cewek jago tenis meja ama beladiri silat juga ya?" Aditia memastikan.

  "Ho'oh, makanya banyak yang nyebut si Key 'Sang Atlet'."

  "Widih. Parah parah parah," Aditia geleng kepala.

  "Tapi ya, tu cewek orangnya tomboy, mana jarang ngomong lagi, agak tertutup juga orangnya," sela Reynal.

  "Ya sama aja kayak orang ini." Bola mata Aditia melirik Leo yang dari tadi hanya menyimak dan menjadi pendengar setia keduanya. "Jodoh kali ya," kekehnya lagi.

  "Lo cocok deh sama tu cewek." Renal berdalih pada Leo.

  "Maksud?" Leo tidak faham.

  "Tuh liat!" Aditia memutar bahu Leo hingga mengarah memandangi perempuan tadi. "Dia itu sama kayak elo. Takeran ngomongnya, muka datarnya, talentanya, misteriusnya, sama deh pokoknya. Ada niatan lo buat gebet gak?"

Leo kembali menoleh ke depan.   "Jangan membahas wanita, aku tidak tertarik." Leo menekankan jawabannya.

  "Lo beneran vakum ama cewek? Lo normal gak sih? Masa otak encer kayak lo seleranya guy?" Reynal pun beralih duduk di meja depan Leo.

  "Aku masih memiliki akal sehat," tukas Leo.

  "Seterah lo. Tapi gue saranin nih ya. Lo kan punya selera cewek yang tinggi, kenapa gak deketin si Key aja? Dia lain dari cewek biasanya," tawar Aditia.

  "Ah masa? Napa lo berargumen Key itu 'beda dari yang lain'?"

  "Rega si gitaris band yang suka gonta-ganti cewek juga, malah insaf kan gara-gara terus dicampakin si Key," ujar Aditia sambil mengeluarkan permen karet dari saku bajunya dan berakhir menguyahnya.

  "Wahaha, si Rega parah banget nekatnya. Pake boy kayak dia mah gak selevel ama si Key. Yang jadi levelnya itu si Leo."

  "Kalo si Leo ama si Key jadian, pasti perang dingin ama gencatan senjata yang ada. Eh apa malah jungir balik uwwu-uwwuan kali ya?"

  "Kemungkinan besar kaku sih," celetuk Reynal.


Keduanya kemudian cekikikan menertawakan Leo yang dari tadi hanya diam menyimak perbincangan keduanya.


  "Lucu sekali," balas Leo dengan muka datarnya.


Karena Reynal dan Aditia susah berhenti tertawa, ia pun menghela nafas pelan kemudia berbicara kembali, "Kalian kemari hanya untuk mengejek dan menertawakanku?"


"O tentu tidak!" sahut Aditia. "Kasih tau Rey," suruhnya lagi.


  "Kita mau kabarin elo, kalo pulang nanti lo ikut kita latihan buat tanding basket lawan anak IIS yang diadain club Basket. Hadiahnya gak main-main oy, ngecamp di rute club pencita alam full gratis biaya makan tiga hari. Lo jangan nolak, kita udah masukin lo ke daftar!" paksa Reynal.


  "Aku malas." Leo menolak ajakan sahabatnya itu.

  "Ya gak bisa gitu dong! Lo harus ikut. Atau kita kasih tau para guru-guru kalo lo pernah juara di Ajang Kompetensi Matematika Sains di Singapura, biar elo jadi repot ikut macem-acem ajang olimpiade disini," ancam Aditia yang tentu saja membuat Leo berfikir dua kali.


  Pemaksaan teman-temannya itu tidak bisa membuatnya menolak. Keduanya terkenal aktif di berbagai kegiatan sekolah dan sudah tersorot di kalangan para guru. Leo tahu, Reynal dan Aditia sengaja memaksanya untuk aktif seperti mereka di berbagai kegiatan sekolah. Bisa dikatakan keduanya risih dengan kelakuan Leo yang keterlaluan pemalas.


  "Lo pikir kita kagak tau apa? Kita udah fotoin semua penghargaan plus sertifikat tes IQ lo yang hasilnya hampir mencapai jenius. Tinggal klik tombol share aja, auto lo bakalan repot dan banjir ajakan lomba sama perekrutan calon anggota club terpilih," sambung Aditia. "Qamu seriuz mazih mau nolack?"

Leo mendengus kasar, "Kalian ini! Merepotkan!"

  "Repotin mana sama lo yang kebanjiran olimpiade? Tinggal ikutan basket aja susah lo!" omel Reynal.


Leo menggerutu dalam hatinya. Ia benar-benar enggan dan malas untuk menguras tenaganya hanya karena ikut kedua temannya latihan untuk bertanding basket. Di sisi lain, ia lebih enggan jikalau para guru dan murid lainnya tahu rahasianya itu. Bisa-bisa ia direpotkan dengan berbagai lomba, kegiatan, pelajaran dan hal lainnya yang memusingkan baginya.

  "Ikut yah, soalnya senjata rahasia tim sebelas MIA kan elo." Reynal menepuk bahu Leo sambil terkekeh.

Leo masih terdiam, belum ada jawaban yang dilontarkan dari mulutnya.

  "Fix, kalo lo diem berarti setuju sama mau ikut tanding!" Aditia menyela sebelum Leo menjawabnya. Tentu saja Leo keheranan dan sempat ingin menegur temannya itu.

  "Hey, aku belum jawab!" ketus Leo.

  "Heran gue, padahal lo punya skill di dribbling loh. Kayak yang udah belajar banyak ampe nguasai tekhnik-tekhnik Basket. Hari itu juga shooting lo masuk di jarak lima meter, itu udah nunjukin lo itu handal. Gue gedek banget ama sifat pemalas elo!" komentar Reynal.

  "Bener tuh. Kalo gue liatin ya, lo punya trik tipuan khusus buat ngecoh lawan. Keliatan banget kalo lo lagi ngebounce pass bolanya. Gue yakin kalo lo masuk club basket, auto jadi kapten dah lo," sambung Aditia.

  "Kalian saja yang ikut, jangan paksa aku." Leo menekankan perkataannya.

  "Mana bisa bro, kita udah masuk anggota inti Dewan Ambalan di ekstra. Kalo di intra kita udah masuk anggota MPK, kita gak sempet ikutan club basket soalnya sering outdoor dua-duanya. Cape kalo kita sambet semua," kekeh Reynal.

Mendengar hal itu Leo langsung membeliakkan bola matanya. "Kalian? Anggota MPK?"

  "Napa? Lo gak percaya? Inget Leo, bar-barnya kita cuma depan lo doang. Depan guru ama murid yang lain, kita itu punya jabatan ama image sendiri. Ye kan Rey?"

  "Yoi." Keduanya pun melakukan tos kebiasaanya sembari merapikan rambutnya berlagak sebagai most wanted umat hawa.


Leo hanya memutar bola matanya, menanggapi malas perkataan kedua temannya itu.

  "Fix, lo ikut kan?"

Tak bisa menolak, Leo hanya mengangguk pasrah menuruti kemauan keduanya. Lagi pula, namanya sudah terlanjur tenar.

  "Ya."

  "Yosh, gitu dong! Jangan lupa latihan hari ini," peringat Aditia.

  "Kita mau ke pos PKS nongkrong ama yang lainnya nih, lo mau ikut gak?"

Leo menggeleng. "Kalian saja."

  "Yaudah. Kayaknya lo masih pengen terus fokus liatin 'Sang Atlet' nih. Haha, kalo lo penasaran ajak duel aja tu cewek." Reynal bicara dengan nada agak menyinyir.

  "Ati-ati Leo, dari mata turun ke hati bro!"


Keduanya tertawa sambil meninggalkan Leo yang masih diam sendiri di bangkunya. Menanggapi kelakuan Reynal dan Aditia, ia hanya menghela nafas panjang.

  "Two trouble," gumam Leo.


Saat Leo hendak mengambil buku bacaannya di kolong meja, ia pun tak sengaja menemukan sebuah coklat dengan sepucuk surat. Dari gaya suratnya, Leo tahu itu adalah pemberian dari seorang perempuan.


Leo sadar, kini namanya mulai populer. Ia hanya merutuki dirinya sendiri karena sudah kelewatan menunjukan kelebihannya.

  "Andai aku tidak menjawab keseluruhan soal PAS, mungkin nilaiku tidak akan sempurna," gerutu Leo.


Kemudian lelaki itu menghela nafas. Reynal dan Adit, seandainya mereka tidak memaksaku basket hari itu. Mungkin anak yang lain tidak akan penasaran denganku,  benak Leo juga ikut menggerutu.


Tapi apa boleh buat, namanya sudah terlanjur naik daun di SMA Aryabina. Ia tidak bisa menyembunyikan lagi bakat dan talentanya. Leo pun pasrah dan mengikuti saja alurnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ai (Untuk Leo)   (Epilog) Menuju Lebih Baik

    Leo terlihat membereskan pakaiannya untuk ia kemas dalam koper. Dari pagi Leo hanya sibuk sendiri di kamar. Mempersiapkan matang-matang keberangkatannya besok lusa. Arlinda hanya tersenyum saat mendapati putranya sangat bersemangat untuk berangkat ke pesantren. "Sudah beres berkemasnya?" tanya Arlinda yang membuat Leo menoleh ke belakang. "Belum," ujar Leo sambil tersenyum. "O ya, ada yang ingin ketemu sama kamu loh," balas Ibunya. Leo pun mengrengitkan dahinya. "Siapa, Bu?" Arlinda pun tersenyum sambil menoleh ke belakangnya. Ia membawa dua orang laki-laki seumuran Leo. Arlinda pun mempersilahkan dua orang itu masuk ke kamar Leo. "Silahkan kalian temani El, Tante tinggal disini ya," ucap Arlinda pada dua orang laki-laki itu dan berakhir meninggalkan mereka. Bola mata Leo terbuka lebar, mendapati dua orang lelaki yang ada di depannya kini adalah

  • Ai (Untuk Leo)   Kenyataan Akhir

    "El?""El sudah sadar.""Alhamdulilah..."Terdengar patah kata syukur memenuhi ruangan yang terlihat asing bagi Leo. Beberapa orang terdengar suka cita mengelilingi dirinya.Leo merasakan tubuhnya yang sepertinya tengah berbaring, dirinya hendak bangun, namun seluruh tubuhnya masih lemas. Entah kenapa tiba-tiba ia susah berbicara, selang oksigen juga masih mengurung hidungnya yang semakin mempersulitnya bicara.Apa yang terjadi? Dimana aku?Leo masih belum mengerti keadaanya sekarang. Yang ia lakukan sekarang ini hanyalah mengedarkan bola matanya melihat sekitarannya.Tiba-tiba dua orang perempuan memeluknya. Yang satu memeluk tubuhnya dan yang satu terus menciumi keningnya sambil terus menangis. Ked

  • Ai (Untuk Leo)   Kesalahan besar

    Satu minggu berlalu setelah kematian Khansa. Leo memberanikan keluar rumah untuk berziarah ke makam gadisnya.Waktu satu minggu terbilang cukup untuk membuatnya kembali pulih dari kesedihannya itu. Leo memutuskan untuk menjadi sesorang yang tegar dan tidak mudah putus asa. Ia masih memiliki masa depan yang harus dipikirkan, terlebih usianya terbilang masih belia. Masih panjang perjalanan yang harus ia tempuh.Setibanya disana, ia mendapati kuburan Khansa yang masih terlihat baru. Ia pun berjongkok sembari mengelus-elus batu nisannya. Sesekali Leo tersenyum getir sambil melihat batu nisan yang bertuliskan Khansa Arima Iriana itu."Hey, aku kemari. Maaf baru kali ini." Leo berbicara sambil menaburkan taburan kelopak bunga diatas pemakaman Khansa.Segera ia membacakan surah-surah Al-Qur'an dikhususkan untuk almarhumah yakni Yasin, Al-Waqi'ah dan Al-

  • Ai (Untuk Leo)   Tentang Khansa

    Key, adalah anak yang tidak tau sama sekali siapa, dimana, bagaimana orang tua kandungnya. Besar di panti asuhan membuatnya selalu menyebut dirinya buta dan tuli akan Ayah Ibunya.Sampai krisis moneter panti asuhan melanda dirinya dan anak-anak lainnya. Mendorong Key kecil harus dewasa sebelum waktunya. Ia pun bergelut dengan dunia yang sebenarnya, mencari uang dengan mengamen di jalanan.Hingga sampailah Key duduk dibangku kelas empat SD, hasilnya mengamen tidak cukup untuk membiayai sekolahnya. Maka Key mendobrak sisi baik dalam dirinya, titik hitam mulai menguasai hatinya. Hingga ia berakhir masuk ke dunia kegelapan dengan menjadi seorang pencuri dan pencopet.Jungkir balik dalam dunia hitam telah Key rasakan berulang kali. Rasa sakit seolah-olah menjadi temannya, sisi baik sudah ia sirnakan dalam dirinya. Hanya satu yang ia tuju yakni demi kehidupan yang memadai. Bermodalkan teman-teman jalanannya, Key mampu memb

  • Ai (Untuk Leo)   Lembar Terakhir

    Dua hari berlalu setelah pemakaman Khansa. Leo masih mengurung di kamar dengan pipi terus menitikan air mata. Sampai-sampai kantung matanya mulai terlihat gelap karena teus menerus menangis. Badannya lemah dan rambutnya kusut, dua hari ini hanya ia habiskan untuk menyandar di pintu sembari melamun. Tangan kanannya masih memegangi buku diary peninggalan Khansa. "Non Khansa berpesan sebelum kondisinya kritis. Ia meminta Bibi untuk menyerahkan tas, buku, dan laptop sama Aden. Terima ya Den, ini permintaan terakhir non Khansa." Perkataan Bi Arin terngiang di pikirannya. Leo sama sekali belum melihat isi tasnya, itu

  • Ai (Untuk Leo)   Tidak Mungkin

    Leo merebahkan tubuhnya di kamar lamanya. Hari ini adalah hari yang amat lelah baginya setelah menyaksikan rekonstruksi kasus Riana. Berusaha mengubur ingatannya tentang pembunuhan keluarganya itu, Leo mengistirahatkan diri hari ini. Merasa dahaga karena cuaca cukup panas, Leo beranjak ke dapur untuk mencari minuman segar. Maka diambilah jus lemon di lemari pendingin. Bersandar di jendela dapur sambil memandangi suasana kebun memanglah menghijaukan pandangan. Seteguk jus lemon yang dingin mengalir di tenggorokan dengan nikmatnya, sangat cocok diminum sebagai pemuas dahaga. Terbuai dengan suasana, tak sengaja Leo menyenggol lemari gelas di belakangnya. Senggolannya cukup keras membuat salah satu gelas jatuh dan pecah di tangan kirinya. Leo meringis karena pecahan itu melukai tangannya membuat darah segar menggenang di pergelangan tangannya. Bukan

  • Ai (Untuk Leo)   Uluman bibir

    Setelah pengakuan mengejutkan dari Khansa, sedikit demi sedikit mereka mulai menghilangkan kecanggungannya masing-masing. Hal ini berbeda dari ekspetasi Khansa bahwa Leo akan kecewa dan menghindarinya, nyatanya pengakuan itu malah membuat mereka semakin dekat.Dua hari setelahnya Leo terus menemani Khansa di rumah sakit dan tak jarang untuk menghiburnya dengan jalan-jalan keluar. Sempat terlintas di benak Leo, kenapa Khansa masih harus menjalankan perawatan? Padahal dirinya dan gadis itu masuk rumah sakit pada hari yang sama.Semua itu terpikirkan karena Leo tidak sabar untuk mengajak Khansa jalan-jalan dan kembali duduk meneduh di pinggir danau seperti dulu lagi.Kali sekarang Leo mengajak dua sahabatnya, Reynal dan Aditia juga menjenguknya. Namun ada rasa tak enak di benak Leo saat Khansa tidak berbicara padanya sama sekali, menimang Leo tidak menjenguk Khansa akhir-akhir ini karena disibukkan dengan urusan pengadilan Ri

  • Ai (Untuk Leo)   Pengakuan Mengejutkan

    Leo meracau di kamarnya. Ia bingung dengan sifat Khansa yang berubah akhir-akhir ini. Kondisinya kian membaik pasca dia pingsan di taman, hanya saja pihak rumah sakit belum membolehkan Khansa untuk pulang dan masih harus menjalankan perawatan beberapa hari lagi. Lelaki itu sudah beberapa kali menjenguk Khansa. Namun Leo dibuat heran bahkan bingung sendiri dengan sikap gadis itu. Khansa belum pernah menjawab setiap pertanyaan yang Leo tanyakan. Jangankan menjawab, Gadis itu bahkan tidak berbicara sama sekali dengannya. Tetapi Leo tidak menyerah, sekali lagi ia akan pergi menemuinya. Mungkin menanyakan baik-baik kenapa dirinya akhir-akhir ini sifatnya berubah. Jika harus meminta maaf karena kesalahan besarnya, Leo siap melakukannya. Lagi pula tragedi itu terjadi karena dirinya. Singkat cerita Leo sampai di rumah sakit. Ia melihat Bi Arin bersama Echa tengah membawa Khansa jalan-jalan keluar ruangan. Mata gadis itu masih t

  • Ai (Untuk Leo)   Hilangnya Serpihan Kasih

    "Leo? Leo!" "Bertahan bro." "Lo pasti kuat." "Sadar Leo." "Jangan tinggalin Bibi, Leo." Seruan itu memaksa Leo untuk membuka matanya. Atap putih dan tiang infus menjadi benda pertama yang lihat. Matanya pun kembali beredar dengan benak bertanya-tanya, dimana ini? Rumah sakit. Badannya masih terasa lemas. Bukan hanya itu, sakit dan pegal nyaris menyebar di sekujur tubuhnya. Leo hendak bangun sebelum akhirnya ia menyadari bahwa dirinya tengah terbaring di sebuah ranjang yang dikelilingi banyak orang. "Leo, akhirnya kamu sadar juga," ucap Fira penuh haru seraya menggenggam tangan Keponakannya itu. "Alhamdulilah, lo gapapa kan?" tan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status