Lalu lintas menuju kantor Ivan macet. Bisa-bisa aku telat tiba di sana.
"Pak, Pak. Bisa nyalip, nggak? Saya sudah telat, nih!""Maaf, Mbak. Kita lewat jalan kampung aja gimana?" usul supir taksi."Boleh, Pak. Cepetan ya, pak!"Pak supir itu mengangguk, kemudian berbelok ke salah satu jalan kampung. Beruntung pak supir itu sangat memahami jalan. Hingga perjalanan kami kembali lancar.Mulai besok aku harus berangkat lebih pagi. Aku harus lebih disiplin dan profesional.Taksi yang aku tumpangi berhenti di depan sebuah gedung yang menjulang tinggi. Menurut Ivan, kantornya berada di lantai dua belas. Setelah turun dari taksi, gegas aku melangkah masuk dan menuju lift. Ternyata di depan dua lift yang saling berhadapan ini penuh oleh karyawan yang sedang mengantri hendak menuju kantornya masing-masing. Gedung ini memang terdiri dari beberapa perusahaan yang berbeda di setiap lantainya.Sesaat melirik arloji ditanganku, ternyata waktuku tinggal sepuluh menit lagi. Berdecak kesal, karena hari pertama saja aku sudah tidak disiplin. Alasan apa yang harus aku katakan pada Ivan nanti. Walaupun aku kenal baik dengan laki-laki itu yang aku dengar juga sebagai pemilik dari perusahaan ini, namun aku tetap harus profesionalDua pintu lift terbuka secara berbarengan. Para karyawan masuk saling ingin mendahului. Sementara aku yang belum paham situasi di sini, hanya bisa memandang mereka.Lift kembali penuh. Terpaksa aku mengalah, menunggu lift berikutnya terbuka kembali. Aku menoleh ke belakang, ternyata sudah sepi. Hanya ada aku dan seorang pria berjas abu tua. Pria itu mengangguk ramah padaku. Sebagai orang baru, aku pun membalas anggukannya.Setelah cukup lama menunggu, pintu lift kembali terbuka. Aku dan pria itu masuk bersamaan. Kemudian Pria itu menekan angka dua belas."Lantai berapa?" Suara bariton pria itu mengejutkanku."Kebetulan sama, dua belas juga," sahutku.Pria itu mengernyitkan dahinya. Mungkin dia bertanya-tanya karena kami akan menuju ke perusahaan yang sama.Pintu lift terbuka dan langsung berada di depan sebuah pintu kaca bertuliskan PT Fortune Pharma."Silakan, Nona!" Pria itu memintaku untuk keluar dari lift lebih dulu."Terima kasih," sahutku dengan sedikit menunduk.Aku melangkah keluar dan hendak menghampiri meja reseptionis yang berada tidak jauh dari pintu kaca. Namun saat kami baru saja keluar dari lift, semua orang yang berada di sana sontak berdiri dan mengangguk hormat pada pria yang bersamaku ini."Pagi Pak Devan ...""Selamat datang Pak Devan."Spontan aku menoleh padanya. Pria itu kembali mengangguk dan tersenyum pada mereka."Selamat pagi!" Kembali suara bariton itu menggema di telingaku.Siapa pria ini sebenarnya? Aku terus memandang punggung tegapnya hingga menghilang melewati pintu kaca kantor ini.POV DEWA "Mas, Aku hamil." Bagaikan mendengar petir di siang bolong, Liana sekretarisku itu mengabarkan kehamilannya. "A-apa? Hamil?". Wanita seksi itu mengangguk cepat. Aku terduduk pada kursi kebesaranku di ruangan ini. Beruntung hanya aku berdua berada dalam ruangan khusus manager ini. Tubuhku terasa lemas. Seharusnya aku bahagia mendengar kabar ini. Bukankah aku akan memiliki seorang anak? Setelah selama hampir dua tahun menunggu. Namun saat ini yang mengatakan hamil bukanlah istriku. Tapi sekrerisku, Liana. Wanita yang sering menemaniku tidak hanya di kantor, tapi juga saat aku dinas ke luar kota, bahkan diranjang hotel. Setiap hari Liana selalu berpakaian seksi jika di kantor. Sepertinya wanita ini memang sengaja memancing hasrat kelaki-lakianku. Setengah mati aku mencoba untuk menahan. Namun, siapa yang tahan jika setiap saat disuguhkan pemandangan yang indah dan sangat menggoda itu. Berbeda dengan Zahra, istriku. Dirumahpun dia tak pernah berpakaian yang memancing has
"Siang ini Mas Dewa harus ikut aku bicara pada papi dan mami!" "Jangan sekaranglah, Lee. Aku belum siap." Tiba-tiba wanita manja itu menangis tergugu di depanku. Apa kata karyawan lain nanti, jika Liana menangis seperti ini di depanku. Bisa buruk reputasiku di depan semua orang. "Liana, tolong jangan menangis seperti ini! Apa kata orang nanti." "Kalau begitu sekarang juga Mas Harus menghadap orang tuaku!" Sial! Apes aku! "Ya sudah, Ayo!" Sontak aku bangkit dan melangkah ke pintu. "Kamu tunggu di mobil. Aku izin Pak Devan dulu!" Semoga saja Pak Devan sedang tidak ada tamu. Bos besarku itu, walau masih muda, memiliki banyak perusahaan. Hingga harinya selalu sibuk. Walau demikian tak pernah sekalipun aku melihatnya dekat dengan wanita. Apa dia normal? Sudahlah, bukan urusanku. "Selamat siang Pak Devan, saya izin keluar kantor ada urusan keluarga!" "Urusan keluarga? Apa tidak bisa ditunda? Ini masih jam kantor," tegasnya. Tau apa laki-laki ini tentang keluarga. Menikah saja be
"Selamat pagi, Mbak. Saya ingin bertemu dengan Bapak Ivan Nick. "Selamat pagi. Dengan Mbak siapa?" tanya wanita yang bertugas sebagai reseptionis itu dengan ramah. "Saya Zahra Fatma." "Oh, Ibu Zahra sudah ditunggu Bapak Ivan. Mari saya antar!" Aku mengikuti langkah kaki wanita ituhingga berhenti didepan pintu bertuliskan CEO. Terdengar sahutan dari dalam setelah beberapa kali ketukan pintu. "Silakan Bu Zahra." Wanita itu mengantarku masuk ke dalam. Dua orang pria sedang berbincang saling berhadapan. Sesekali mereka tertawa. Aku berdecak kagum melihat ruangan yang besar dan nyaman serta terisi oleh barang-barang mewah dan canggih. Ivan berdiri menyambutku. Sementara laki-laki yang tadi berbicara dengannya masih duduk di hadapannya dengan posisi membelakangiku. "Zahra ... Zahra ..., masih seperti dulu. Selalu tampil memukau dan mempesona." Aku tersipu malu mendengar pujian dari sahabatku itu. Ivan banyak berubah. Kini tampak semakin berwibawa dan semakin tampan. Aura kepem
"A-apa?Aku?" Aku ternganga, seakan tak percaya dengan apa yang aku dengar barusan. Ivan mengangguk. "Kamu yakin?" lagi-lagi aku ragu. "Tentu. Sangat yakin." "Tapi aku belum berpengalaman mengelola perusahaan, Van." "Aku tau kemampuan yang kamu miliki, Zahra." Ivan mencoba meyakinkanku. "Tenang, Non. Untuk sementara kamu boleh belajar di kantorku selama satu bulan." Devan menawarkan diri. "Betul, sebaiknya selama sebulan ini kamu training dengan Devan. Karena aku sering keluar kota." sanggah Ivan. "Baiklah. Aku coba," sahutku mulai yakin. Setelahnya kami banyak membahas tentang perusahaan dan produk yang kami pasarkan. Ivan banyak meminta ide-ide dariku untuk menaikkan omzet penjualan perusahaan. Pengalamanku sebagai manager pemasaran di perusahaanku dulu membuatku mampu menciptakan metode-metode jitu dalam memasarkan produk. "Luar biasa kamu Zahra! Aku yakin kantor cabang kita nanti akan berkembang pesat ditanganmu." Kali ini Devan mencoba memujiku. Sungguh ini menjadi sat
Aku menolak dengan halus ketika Devan hendak mengantarku pulang. Aku tak ingin menjadi pusat perhatian oleh tetangga sekitar rumahku. Apalagi jika Liana nanti melihatku diantar oleh mobil pajero sport milik Devan. Bisa kejang-kejang maduku itu. Aku kembali memesan taksi online untuk pulang. Sebelum pulang, Aku sempatkan untuk mampir ke atm. Aku tersenyum puas melihat saldo tabunganku. Sejak menikah dengan Mas Dewa, sedikitpun aku tak pemah menggunakan uang tabungan yang aku kumpulkan selama aku bekerja dulu. Mas Dewa selalu memberikan uang bulanan yang cukup. Ya, hanya cukup untuk keperluan sehari-hari aku dan Ibu. Aku pindahkan sebagian uangku ke dompet digital yang aku punya. Aku harus membeli beberapa pakaian kerja dengan model-model terbaru juga ponsel keluaran terbaru. Sepanjang jalan aku terus membuka-buka gambar-gambar pakaian kerja dengan model kekinian di beberapa online shop dengan brand ternama, pada ponselku. Rasanya sudah lama sekali aku tidak berbelanja. Karena jika u
Aku keluar menuju kamarku. Ketika melewati meja makan, aku tercengang melihat tidak ada satu makanan pun di sana. Apa perempuan itu tidak masak? Lalu makan apa dia? Bagaimana jika Mas Dewa pulang nanti ? Aku mengintip perempuan itu dari pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Tampak Liana sedang berbaring di ranjangnya seraya membuka ponselnya. Sesekali dia terkikik. Apa seperti ini kerjaannya di rumah? Aku menyelesaikan ritual mandiku dan memakai dress lengan pendek dengan panjang selutut. Kemudian mengecek pesan-pesan yang masuk pada ponselku. Ternyata pesananku sedang dalam perjalanan. Aku juga memesan makanan via online untukku nanti malam. Ya, hanya untukku dan Ibu. Aku kembali ke kamar ibu. Liana masih bermalas-malasan di depan televisi. Padahal rumah terlihat berantakan. Gemas aku. Ternyata Ibu tertidur lagi. Aku pun kembali ke kamarku sendiri. Menghubungi salah satu temanku yang bekerja di rumah sakit. Ada yang aku konsultasikan pada temanku itu tentang keanehan yang terja
Deru mesin mobil memasuki halaman. Aku bangkit menghampiri suamiku. Bukan, bukan untuk menyambutnya seperti biasa. Bukan untuk meraih jemarinya agar kucium. Namun, Aku ingin mengingatkan sesuatu pada suamiku itu. Dari dalam mobil avanzanya yang dia beli setahun yang lalu, Mas Dewa menatap heran padaku yang saat ini sedang menunggunya di teras seraya melipat tangan di dada. Sesekali dahinya mengernyit, matanya menyipit. Mungkin dalam hatinya bertanya-tanya tentang sikapku yang tidak seperti biasanya. Laki-laki tampan yang pernah mengaduk-aduk hatiku itu perlahan turun dari mobil. Pandangannya tak lepas terus menatapku. Aku tersentak saat Mas Dewa mengulurkan tangan memintaku untuk mencium punggung tangannya. Dia memang masih suamiku. Perlahan aku meraih tangan kokoh itu dan menciumnya sesaat. Mas Dewa tersenyum lalu mengusap lembut kepalaku. Hatiku menghangat, sudah lama sekali salah satu kebiasaanya ini lenyap. Entah sejak kapan. Lalu kenapa dia melakukannya lagi di saat hatinya
"Maaasss, jadi kan kita beli barang-barang brandednya? Masa zahra aja yang kamu beliin?" Liana keluar dari kamarnya menghampiri Mas Dewa. "Barang-barang branded apa?" tanya Mas Dewa tak mengerti. "Jangan pura-pura, Mas. Aku sendiri yang terima barang-barang branded milik Zahra," ujar Liana seraya menatap tajam pada Mas Dewa. Spontan suamiku itu mengalihkan pandangannya padaku seakan minta penjelasan. Pintar sekali istri baru Mas Dewa ini mengalihkan pembicaraanku dengan Mas Dewa. "Bisa kamu jelaskan padaku, Zahra?' Mas Dewa mangangkat alisnya padaku. "Jangan mengalihkan pembicaraan, Mas. Kita sedang tidak membahas itu!" tegasku seraya melangkah menuju kamar ibu, membawa dua mangkuk bubur ayam. "Ibu ..., ayo makan dulu!" ujarku saat baru saja membuka pintu kamar ibu. "Ada apa ribut-ribut di luar?" tanya ibu seraya mengikuti langkahku dengan gerakan matanya. "Biasalah, Bu. Drama istri tua dan istri muda," sahutku seraya terkekeh. Berusaha untuk terlihat selalu kuat di depan ib