Seperti saat ini, aku memilih untuk merapikan pakaian Ibu di lemari setelah aku setrika semalam. Walau sebenarnya sudah rapi, namun kembali aku mengubah letaknya agar lebih mudah dijangkau.
Terdengar beberapa langkah kaki mendekat. Ternyata Suamiku dan istri barunya itu telah berdiri di depan pintu.
Mas Dewa sepertinya tidak bekerja hari ini. Suamiku itu mengajak Liana masuk dan bicara pada Ibu.Liana tampak gugup, tidak sepercaya diri kemarin. Mungkin karena kermarin Ibu tidak menerimanya dengan hangat.
Perlahan Mas Dewa dan istri barunya mendekat pada ranjang ibu. Lalu mereka duduk di tepi ranjang.
"Bu ...." Mas Dewa meraih tangan Ibu, lalu menciumnya cukup lama.
"Bu ..., Aku dan Liana sudah ... menikah. Maafkan Aku, Bu!" ucap Mas Dewa dengan posisi masih tertunduk dan menggenggam jemari Ibu.
Ibu tak menyahut. Tatapannya kosong menghadap langit-langit kamar.
"Liana akan tinggal di sini. Dia akan merawat Ibu bersama Zahra nanti," lanjut suamiku.
Sontak Liana menoleh pada Mas Dewa dengan tatapan memprotes. Mas Dewa mengedipkan sebelah matanya pada Liana.
"Benar itu, Liana? Kamu mau merawat Ibu?" tanya ibu tanpa menoleh sedikitpun pada menantu barunya itu.
"Iy-iyaa, B-Bu," sahut wanita berambut kuning itu gugup. Sesekali sudut matanya melirik Mas Dewa dengan penuh tanda tanya. Sepertinya Mas Dewa tidak kompromi dulu dengan istri barunya itu sebelum menemui ibu.
"Zahra ..." Ibu memanggilku.
"Iya, Bu?"
"Ajarkan Liana. Mulai besok, Dia yang merawat Ibu," tegas ibu mertuaku
"Dengan senang hati, Bu!" Aku mengangguk senang. Kemudian memberikan sebuah senyum kemenangan pada sepasang suami istri itu."Loh, Kan Zahra juga ada di rumah. Kenapa hanya Liana yang merawat Ibu?" protes Mas Dewa.
"Mas lupa dengan syarat yang aku pinta kemarin?" tanyaku dengan melipat kedua tangan di depan dada.
"Apa? Kamu mau kerja?" Mas Dewa kembali tertawa merendahkanku.
Aku mengangguk.
"Sana kerja kalau dapat!" tantang Mas Dewa lagi.
"Halah, paling-paling juga jadi pembantu. Istrimu ini pantesnya jadi cleaning serviice, Mas. Cocok dengan kesehariannya. Suka bersih-bersih," bisik Liana, namun terdengar jelas olehku.
Sepasang pengantin baru yang sudah basi itu mentertawaiku.
"Aku mau kerja apa dan dimana, itu urusanku! Yang pasti mulai besok aku sudah mulai kerja," balasku tegas.
Mereka terkekeh seraya saling pandang seakan merendahkanku.
"Jangan meremehkan Zahra!" geram ibu mendengar ocehan mereka. Sontak sepasang manusia itu terdiam.
Kini mereka berdua menatap sinis padaku. Mas Dewa terlihat kesal karena Ibu selalu membelaku.
Teruslah menghinaku, Liana! Aku yakin, kamu tak akan mampu melakukam semua pekerjaan yang biasa aku lakukan di rumah. Kita lihat saja nanti!
"Ayo Liana, aku akan memberitahu apa saja yang harus kamu lakukan." Aku mulai melangkah menyusuri beberapa tempat di kamar ibu.
Dengan malas Liana mengikutiku.
"Semua baju-baju ibu ada di lemari ini. Tolong rapikan setiap selesai menyetrika."
"Apaa? Setrika? Siapa yang akan setrika baju?" Mata Liana melotot.
"Ya, kamulah. Masa ibu yang setrika bajunya sendiri?"sahutku asal sambil terus melangkah.
"Pastikan mengganti diaper Ibu jangan terlalu lama." ujarku sambil memberitahu letak diaper dan perlengkapan ibu lainnya.
"Hah? Apa? Diaper?" Liana terkejut, matanya melebar menatapku.
"Ibu kena stroke, hingga kesulitan untuk bangun dan beraktifitas, jadi ibu harus selalu memakai diaper. Mandikan Ibu setiap subuh dan sore hari. Nanti sore kamu bisa lihat aku bagaimana caranya," jelasku.
Maduku itu ternganga. Entah kenapa aku melihat ada keraguan di matanya.
"Kamu harus banyak belajar sama Zahra, Liana. Zahra itu sangat sabar dan telaten mengurus Ibu. Tidak cuma itu, semua pekerjaan rumah dikerjakan dengan baik olehnya," papar ibu.
"Halah, cuma kerjaan rumah aja mah gampang, Bu.! Nggak perlu dibanggain juga," sanggah Mas Dewa. Lagi-lagi tatapan sinisnya menghujam iris mataku.
"Liana ini juga hebat, Bu. Selama jadi sekretarisku di kantor, dia juga sangat pandai dan cekatan!" lanjut suamiku lagi.
Tampak Liana tersipu malu karena dipuji oleh Mas Dewa.
Kembali aku menahan sesak, ketika dengan sengaja suamiku memuji wanita lain di depan mataku. Sementara aku selalu tak berarti apa-apa di matanya.
Namun aku berusaha keras untuk bersikap biasa saja. Pantang bagiku jika terlihat lemah di hadapan mereka. Aku harus bisa menahan diri untuk tidak menangis. Apalagi ketika perhatian Mas Dewa lebih besar pada Liana. Alasannya, karena Liana saat ini sedang hamil."Wanita hamil itu nggak boleh manja! Jangan kebanyakan tidur. Sering-sering gerak!" ketus Ibu karena sering melihat Liana yang sebentar-sebentar masuk ke kamarnya dan tidur.
Maduku itu hanya cemberut setiap Ibu memperingatinya.
-------
Seharian ini aku meminta Liana memperhatikanku bagaimana merawat Ibu. Namun, perempuan itu seakan malas-malasan melakukannya. Gemas aku. Wanita berpakaian seksi itu sama sekali tidak memperhatikan aku. Entah bagaimana besok, apa dia bisa merawat ibu dengan baik?
Hingga malam tiba, Aku kembali memberi semua arahan pada Liana. Maduku itu terlihat kesal.
"Banyak banget, sih? Memangnya nggak pake pembantu di sini?" umpatnya.
"Loh, kan ada kamu. Apa bedanya?" sahutku seraya mengulum senyum.
"Kurang ajar! Dasar istri kampungan!" hardik wanita yang suka bercelana pendek itu. Matanya seakan hendak lepas dari tempatnya karena melotot padaku.
Aku mengulum senyum melihat wajahnya yang merah padam karema emosi..
"Liat saja, Aku akan minta Mas Dewa agar mencarikan pembantu untuk di sini," gumamnya seraya masuk ke kamar.
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Rasanya tidak mungkin Mas Dewa yang perhitungan itu mau membayar pembantu untuk di sini.
****
Sejak subuh tadi aku tidak melihat tanda-tanda kedua pengantin baru itu bangun. Rumah masih sangat sepi. Kamar yang ditempati Liana dan Mas Dewa masih gelap.
Sudah kesepakatan dengan maduku itu. Setiap subuh akulah yang memandikan dan menyuapi Ibu. Setelah semua aku kerjakan, kini saatnya bersiap-siap untuk berangkat kerja.
Gegas aku masuk ke kamar dan membersihkan diri. Pintu kamar sengaja aku kunci, khawatir Mas Dewa nanti tiba-tiba masuk. Walau semua pakaian suamiku itu sudah aku serahkan pada Liana. Bagaimanapun juga kamar ini adalah milik kami berdua. Namun rasanya aku sudah tak sudi satu kamar apalagi satu ranjang dengannya.
Setelah ritual mandiku selesai, aku pun gegas bersiap-siap. Hari ini adalah hari pertamaku kembali bekerja. Aku harus bisa tampil seperti dulu lagi. Ketika masih bekerja di perusahaan Pak Lucas-orang tua Ivan.
Kali ini aku mengenakan kemeja tunik serta kulot berwarna senada. Dengan riasan sedikit tebal namun tetap berkesan natural, membuatku berdecak kagum pada hasil tanganku sendiri, saat berdiri di depan cermin. Dengan rambut panjang yang sehari-harinya selalu kugelung, kini kubiarkan tergerai, menambah sempurnanya penampilanku hari ini.
Sepatu high heels yang sejak lama kusimpan rapi di dalam lemari, sudah waktunya aku kenakan kembali.
Setelah kembali bercermin memantaskan diri, aku bersiap keluar kamar untuk pamit pada Ibu.
Tiba-tiba aku mendengar pintu kamarku diketuk. Perlahan aku membuka pintu.
"Zahra kamu lihat baju aku yang ... Astaga ...!"
Mas Dewa tiba-tiba ternganga menatapku tak berkedip. Saat ini suamiku itu berdiri terpaku di depanku.
Siang ini aku dan Clarissa menyusul Devan ke kantor. Karena sore nanti kita akan ke dokter kandungan seperti yang direncanakan kemarin. Sejak menikah dengan Devan, baru kali ini aku datang ke kantor, karena kesibukanku menemani dan mengurus Clarissa. Devan pun tak pernah memintaku untuk datang ke kantor. Katanya, karena di kantor ada Mas Dewa. Sifat pencemburunya masih melekat erat pada suami tampanku itu. Namun kali ini Clarissa tidak sabaran dan minta menyusul Daddynya ke kantor "Bundaaa, Daddy lamaa! kita susul aja yuk!' "Ini masih siang, Sayang!" "Tapi aku maunya sekarang. Daddy itu kalau ditungguin suka lamaa, Bundaaa. Kita susul aja, ya? Boleh, ya?" Akhirnya aku mengangguk dan menyetujui permintaan Clarissa. Tanpa sepengetahuan Devan, Aku dan Clarissa sudah tiba di lobby kantor. Menurut sekretaris Devan, suamiku itu hari ini ada di kantor seharian, tidak ada pertemuan di luar. Clarissa menggandengku dengan manja. Langkah gadis kecilku ini sangat ceria. Sesekali dia melom
"Bundaaa, Aku mau boboknya sama Bunda ..!" lagi-lagi Clarissa merajuk. Belakangan ini Clarissa menjadi lebih manja dan selalu mencari perhatian. "Loh, Clarissa kan sudah besar dan sudah sekolah. Harus berani tidur sendiri. Bunda temenin aja di kamar sampai Clarissa nyenyak, ya!" bujukku. "Clarissa mau bobok sendiri kalau sudah jadi kakak. Kapan dong Bunda kasih aku adik bayi?" Astaga! Adik Bayi? Tiba-tiba saja aku ingat sesuatu. Sudah dua bulan ini aku tidak datang bulan. Mungkinkah ...? Sejak menikah lagi, baru kali ini aku telat datang bulan. Sebaiknya besok pagi aku periksakan diri. "Ya sudah, malam ini Bunda temenin bobok di sini." "Asiiik. I love you, Bunda." Clarissa menciumi wajahku. Mungkin karena sudah sangat mengantuk, beberapa menit kemudian Clarissa sudah pulas. Mataku beralih pada pintu kamar yang terbuka perlahan. Seorang pria tampan dengan jambang lebatnya berdiri dan tersenyum diambang pintu. Aku meletakkan jari telunjuk pada bibirku untuk memberi tanda ag
Karpet merah nan panjang telah terbentang di sepanjang jalan memasuki pintu utama ballroom hotel. Aku dan Devan bagaikan raja dan ratu turun dari mobil, langsung melangkahkan kaki disepanjang karpet merah hingga mencapai pelaminan. Alunan musik yang indah mengiringi setiap langkah kami. Aku dan Devan saling bergandengan, saling melempar senyum dan berbicara seperlunya. Para tamu berdiri di sepanjang tepi karpet merah menyambut kedatangan kami. Aku dan Devan telah tiba di atas pelaminan yang sangat megah ini. Hiasan bunga-bunga indah serta batu swarovsky membuat indahnya pelaminan ini bagaikan singgasana para raja-raja. Setelah MC membuka acara resepsi ini, para tamu mulai menghampiri kami untuk memberikan ucapan selamat. Tamu Devan dan Papa sebagian besar dari golongan atas. Para karyawan papa yang sebagian besar adalah teman sekantorku dulu menjerit histeris saat mengetahui pengantin wanitanya adalah diriku. "Zahra ... kita nggak nyangka lo bakal jadi menantunya konglomerat. "
"Zahra, kamu jangan bolak balik begitu! Nanti pakaianmu kusut! Pengantin kok kaya setrikaan mondar mandir?" Mama Andine, istri Pak Lucas, mamanya Devan, alias calon mertuaku, menegurku untuk yang kesekian kalinya. "Mamaaaa, aku deg-degan. Gimana doong?" pekikku tertahan, menahan mulas, sesekali rasanya ingin buang air kecil, jantung berdetak tak beraturan. Sepertinya saat ini aku merasakan kecemasan tingkat tinggi. "Ya udah sini duduk dekat Mama." Mama meraih lenganku dan membawaku duduk disampingnya. Saat ini kami berdua berada di salah satu kamar di rumah mama. Kamar yang tadinya dijadikan sebagai kamar tamu, tapi khusus di hari spesial ini dijadikan sebagai kamar untuk meriasku. Pagi ini aku akan menjalani akad nikah. Walaupun ini adalah yang kedua kalinya untukku, namun rasanya sangat berbeda. Aku begitu khawatir dan cemas. Belum lega rasanya jika ucapan ijab kabul dari Devan belum terdengar. Mama mengusap lembut punggungku. Wanita itu memilih menemaniku dalam kamar dari pad
Aku menangis bahagia. Karena hingga detik ini masih bisa memeluk Clarissa seperti ini. Namun pasti Clarissa lebih hancur, karena Kim-ibu kandung Clarissa telah pergi untuk selamanya. Clarissa merenggangkan pelukan. Jari mungil itu menghapus air mata yang mengalir deras di mataku. "Bunda jangan nangis ...!" lirihnya pelan. Aku yang tadi membungkuk, kini berjongkok mensejajarkan tubuhku dengan Clarissa. Aku kembali memeluk erat tubuh gadis itu. "Maafin, Bunda ... Bunda nggak bisa selamatin Mommy Kim. Maafin Bunda, Sayang ...!" Aku semakin tergugu dan merasa bersalah. Clarissa kembali melepaskan pelukanku. Gadis itu kembali mengulurkan tangannya untuk menghapus air mataku. "Bunda nggak salah. Mommy Kim jahat. Mommy Kim udah sakitin Aku!" "Tidak, tidak! Jangan bicara seperti itu Sayang. Mommy sangat sayang sama Clarissa. Mommy tidak mau kehilangan Clarissa. Sekarang Mommy sudah tenang di sana. Kita doakan Mommy ya, Sayang!" Aku membingkai wajah mungil bermata coklat itu dengan ke
Aku masih tergugu di hadapan pria yang telah mengorbankan jiwanya untukku. Pria yang tak peduli jika nyawanya akan hilang, demi menolongku. Pria yang tak pernah berpikir panjang jika menyangkut hal tentang diriku. Pria yang selama ini aku anggap lebay, bucin dan pencemburu, kini aku tau alasannya kenapa pria tampan ini seperti itu. Alasan yang justru membuatku tak sanggup untuk meninggalkannya saat ini. Kenapa dada ini begitu nyeri ketika melihatmya tak berdaya? Kenapa rasanya begitu sakit melihatnya terbaring dengan selang infusan di tangannya. Kenapa bukan aku saja yang berada di atas brankar itu? Kenapa harus Dia? Oh Astaga! Kenapa aku jadi berpikir seperti ini? Kenapa aku seperti tak rela jika dia terluka? Apakah aku sudah jatuh cinta pada pria ini? "Sudah dong, jangan nangis terus, Aku nggak apa-apa." Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Devan meraih jemariku yang sejak tadi tak henti-hentinya mengusap lembut kepala pria tampan itu. Entah mengapa Aku sangat merasa bersala
POV IvanMobilku melambat saat melihat keramaian di depan sana. Jalanan penuh oleh orang-orang yang ingin melihat sesuatu di sungai itu Aku menepikan mobilku dan membuka kaca. "Maaf, Bu. Ada apa rame-rame di sana?" "Ada mobil jatuh ke sungai, Pak! Katanya sih yang bawa perempuan!" Ya Tuhan. Jantungku langsung berdetak cepat setelah mendengar berita dari ibu-ibu itu. Jangan-jangan ... Astaga! Bukankah itu mobil Devan? Aku segera turun dan berlari menghampiri Devan. "Dev ... Devan!" Devan tak mempedulikan panggilanku. Aku tersentak saat melihatnya hendak bersiap-siap turun ke sungai. "Stop, Dev! Mau apa kamu?" "Zahra di bawah sana. Mana mungkin aku hanya diam!" geram Devan melotot padaku. Mataku membelalak melihat mobil Kim yang saat ini sudah terjun hingga berada disungai. "Jangan nekad, Pak. Sangat berbahaya! Kita tunggu bantuan!" Beberapa warga mencoba mencegah Devan. Namun kakakku itu tidak menghiraukan. Devan melepaskan jasnya, kemudian tanpa ragu kakakku itu melompat
Pov Ivan Cahaya yang menyilaukan mata menembus jendela kaca besar yang berada di kamarku ini. Aku menghempas napas kasar memandang tirai jendela yang terbuka lebar sejak semalam. Ternyata sudah siang. Aku melirik arloji yang menempel ditanganku. Sepertinya masih ada waktu untuk bersiap-siap ke kantor. Rasa nyeri di sekujur tubuhku sudah mulai berkurang. Perlahan aku bangkit menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan berpakaian, Aku melangkah keluar dari kamar. Sepiring nasi goreng dan segelas jus buah tersaji di atas meja makan. Siapa yang memasak? Mungkin pelayan Devan yang mengantarnya ke sini. Kebetulan, Aku memang sangat lapar. Sambil menikmati nasi goreng sosis ini, kubuka ponselku. Memeriksa pesan dan email yang masuk. Sebuah senyum terbit dibibirku saat membaca pesan dari Zahra. [ Makan yang banyak, semoga nasi goreng buatanku mampu menyembuhkan lukamu] Ternyata Zahra yang masak. Pantas rasanya sangat enak. Kunikmati setiap suapan yang masuk ke mulutku. Hatiku berd
"Astaga, Kim! Untuk apa dia menemuiku? "Zahra, Aku hanya ingin bicara sebentar!" Aku mendengar teriakan Kim dari balik pintu ini. "Kamu mau bicara apa ?" Karena penasaran, aku memutuskan untuk keluar dan menghampiri mantan istri Devan itu. "Jika kamu takut aku macan-macam, bagaimana jika kita bicara di cafe bawah saja?" ajak Kim. Aku berpikir sejenak. Kalau aku tidak mengikuti kemauan Kim. Wanita itu pasti akan terus berusaha. Aku khawatir dia akan nekad nantinya. Mungkim sebaiknya aku ikuti saja dulu kemauannya.. "Oke. Sebentar aku ambil tas dulu!" sahutku membuat para penjaga melotot "Bu Zahra! Tuan Devan melarang ibu untuk keluar." Salah seorang penjaga mengingatkanku "Saya hanya ke cafe bawah, Pak. aku khawatir Kim akan nekad jika aku tak mengikuti kemauannya." Penjaga itu tak lagi membantahku. Setelah meraih tas dan ponselku di meja tamu, aku segera kembali keluar dan menghampiri wanita cantik itu. "Ayo!" ajakku pada Kim yang kemudian melangkah bersisian denganku. Tubu