Share

Teruslah Menghinaku

Aku memang lebih sering berada di kamar Ibu. Setidaknya agar Ibu tidak sulit memanggil jika membutuhkanku. Apalagi sejak ada istri baru Mas dewa di rumah ini. Rasanya sangat malas untuk keluar dari kamar ibu.

Seperti saat ini, aku memilih untuk merapikan pakaian Ibu di lemari setelah aku setrika semalam. Walau sebenarnya sudah rapi, namun kembali aku mengubah letaknya agar lebih mudah dijangkau. 

Terdengar beberapa langkah kaki mendekat. Ternyata Suamiku dan istri barunya itu telah berdiri di depan pintu.

Mas Dewa sepertinya tidak bekerja hari ini. Suamiku itu mengajak Liana masuk dan bicara pada Ibu.

Liana tampak gugup, tidak sepercaya diri kemarin. Mungkin karena kermarin Ibu tidak menerimanya dengan hangat. 

Perlahan Mas Dewa dan istri barunya mendekat pada ranjang ibu. Lalu mereka duduk di tepi ranjang.

"Bu ...." Mas Dewa meraih tangan Ibu, lalu menciumnya cukup lama. 

"Bu ..., Aku dan Liana sudah ... menikah. Maafkan Aku, Bu!" ucap Mas Dewa dengan posisi masih tertunduk dan menggenggam jemari Ibu. 

Ibu tak menyahut. Tatapannya kosong menghadap langit-langit kamar.

"Liana akan tinggal di sini. Dia akan merawat Ibu bersama Zahra nanti," lanjut suamiku.

Sontak Liana menoleh pada Mas Dewa dengan tatapan memprotes. Mas Dewa mengedipkan sebelah matanya pada Liana.

"Benar itu, Liana? Kamu mau merawat Ibu?" tanya ibu tanpa menoleh sedikitpun pada menantu barunya itu. 

"Iy-iyaa, B-Bu," sahut wanita berambut kuning itu gugup. Sesekali sudut matanya melirik Mas Dewa dengan penuh tanda tanya. Sepertinya Mas Dewa tidak kompromi dulu dengan istri barunya itu sebelum menemui ibu.

"Zahra ..." Ibu memanggilku.

"Iya, Bu?" 

"Ajarkan Liana. Mulai besok, Dia yang merawat Ibu," tegas ibu mertuaku

"Dengan senang hati, Bu!" Aku mengangguk senang. Kemudian memberikan sebuah senyum kemenangan pada sepasang suami istri itu. 

"Loh, Kan Zahra juga ada di rumah. Kenapa hanya Liana yang merawat Ibu?" protes Mas Dewa.

"Mas lupa dengan syarat yang aku pinta kemarin?" tanyaku dengan melipat kedua tangan di depan dada.

"Apa? Kamu mau kerja?" Mas Dewa kembali tertawa merendahkanku. 

Aku mengangguk.

"Sana kerja kalau dapat!" tantang Mas Dewa lagi.

"Halah, paling-paling juga jadi pembantu. Istrimu ini pantesnya jadi cleaning serviice, Mas. Cocok dengan kesehariannya. Suka bersih-bersih," bisik Liana, namun terdengar jelas olehku.

Sepasang pengantin baru yang sudah basi itu mentertawaiku. 

"Aku mau kerja apa dan dimana, itu urusanku! Yang pasti mulai besok aku sudah mulai kerja," balasku tegas.

Mereka terkekeh seraya saling pandang seakan merendahkanku. 

"Jangan meremehkan Zahra!" geram ibu mendengar ocehan mereka. Sontak sepasang manusia itu terdiam. 

Kini mereka berdua menatap sinis padaku. Mas Dewa terlihat kesal karena Ibu selalu membelaku.

Teruslah menghinaku, Liana! Aku yakin, kamu tak akan mampu melakukam semua pekerjaan yang biasa aku lakukan di rumah. Kita lihat saja nanti!

"Ayo Liana, aku akan memberitahu apa saja yang harus kamu lakukan." Aku mulai melangkah menyusuri beberapa tempat di kamar ibu. 

Dengan malas Liana mengikutiku. 

"Semua baju-baju ibu ada di lemari ini. Tolong rapikan setiap selesai menyetrika."

"Apaa? Setrika? Siapa yang akan setrika baju?" Mata Liana melotot.

"Ya, kamulah. Masa ibu yang setrika bajunya sendiri?"sahutku asal sambil terus melangkah. 

"Pastikan mengganti diaper Ibu jangan terlalu lama." ujarku sambil memberitahu letak diaper dan perlengkapan ibu lainnya. 

"Hah? Apa? Diaper?" Liana terkejut, matanya melebar menatapku. 

"Ibu kena stroke, hingga kesulitan untuk bangun dan beraktifitas, jadi ibu harus selalu memakai diaper. Mandikan Ibu setiap subuh dan sore hari. Nanti sore kamu bisa lihat aku bagaimana caranya," jelasku.

Maduku itu ternganga. Entah kenapa aku melihat ada keraguan di matanya. 

"Kamu harus banyak belajar sama Zahra, Liana. Zahra itu sangat sabar dan telaten mengurus Ibu. Tidak cuma itu, semua pekerjaan rumah dikerjakan dengan baik olehnya," papar ibu.

"Halah, cuma kerjaan rumah aja mah gampang, Bu.! Nggak perlu dibanggain juga," sanggah Mas Dewa. Lagi-lagi tatapan sinisnya menghujam iris mataku. 

"Liana ini juga hebat, Bu. Selama jadi sekretarisku di kantor, dia juga sangat pandai dan cekatan!" lanjut suamiku lagi.

Tampak Liana tersipu malu karena dipuji oleh Mas Dewa. 

Kembali aku menahan sesak, ketika dengan sengaja suamiku memuji wanita lain di depan mataku. Sementara aku selalu tak berarti apa-apa di matanya. 

Namun aku berusaha keras untuk bersikap biasa saja. Pantang bagiku jika terlihat lemah di hadapan mereka. Aku harus bisa menahan diri untuk tidak menangis. Apalagi ketika perhatian Mas Dewa lebih besar pada Liana. Alasannya, karena Liana saat ini sedang hamil.

"Wanita hamil itu nggak boleh manja! Jangan kebanyakan tidur. Sering-sering gerak!" ketus Ibu karena sering melihat Liana yang sebentar-sebentar masuk ke kamarnya dan tidur.

Maduku itu hanya cemberut setiap Ibu memperingatinya. 

-------

Seharian ini aku meminta Liana memperhatikanku bagaimana merawat Ibu. Namun, perempuan itu seakan malas-malasan melakukannya. Gemas aku. Wanita berpakaian seksi itu sama sekali tidak memperhatikan aku. Entah bagaimana besok, apa dia bisa merawat ibu dengan baik?

Hingga malam tiba, Aku kembali memberi semua arahan pada Liana. Maduku itu terlihat kesal.

"Banyak banget, sih? Memangnya nggak pake pembantu di sini?" umpatnya.

"Loh, kan ada kamu. Apa bedanya?" sahutku seraya mengulum senyum.

"Kurang ajar! Dasar istri kampungan!" hardik wanita yang suka bercelana pendek itu. Matanya seakan hendak lepas dari tempatnya karena melotot padaku. 

Aku mengulum senyum melihat wajahnya yang merah padam karema emosi..

"Liat saja, Aku akan minta Mas Dewa agar mencarikan pembantu untuk di sini," gumamnya seraya masuk ke kamar.

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Rasanya tidak mungkin Mas Dewa yang perhitungan itu mau membayar pembantu untuk di sini. 

****

Sejak subuh tadi aku tidak melihat tanda-tanda kedua pengantin baru itu bangun. Rumah masih sangat sepi. Kamar yang ditempati Liana dan Mas Dewa masih gelap. 

Sudah kesepakatan dengan maduku itu. Setiap subuh akulah yang memandikan dan menyuapi Ibu. Setelah semua aku kerjakan, kini saatnya bersiap-siap untuk berangkat kerja. 

Gegas aku masuk ke kamar dan membersihkan diri. Pintu kamar sengaja aku kunci, khawatir Mas Dewa nanti tiba-tiba masuk. Walau semua pakaian suamiku itu sudah aku serahkan pada Liana. Bagaimanapun juga kamar ini adalah milik kami berdua. Namun rasanya aku sudah tak sudi satu kamar apalagi satu ranjang dengannya.

Setelah ritual mandiku selesai, aku pun gegas bersiap-siap. Hari ini adalah hari pertamaku kembali bekerja. Aku harus bisa tampil seperti dulu lagi. Ketika masih bekerja di perusahaan Pak Lucas-orang tua Ivan.

Kali ini aku mengenakan kemeja tunik serta kulot berwarna senada. Dengan riasan sedikit tebal namun tetap berkesan natural, membuatku berdecak kagum pada hasil tanganku sendiri, saat berdiri di depan cermin. Dengan rambut panjang yang sehari-harinya selalu kugelung, kini kubiarkan tergerai, menambah sempurnanya penampilanku hari ini.

Sepatu high heels yang sejak lama kusimpan rapi di dalam lemari, sudah waktunya aku kenakan kembali. 

Setelah kembali bercermin memantaskan diri, aku bersiap keluar kamar untuk pamit pada Ibu.

Tiba-tiba aku mendengar pintu kamarku diketuk. Perlahan aku membuka pintu.

"Zahra kamu lihat baju aku yang ... Astaga ...!"

Mas Dewa tiba-tiba ternganga menatapku tak berkedip. Saat ini suamiku itu berdiri terpaku di depanku. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
kaget kan ..... orang Zahrah tiayap hari bergelung dg mertua merawat mana mungkin hrs pakai pakaian seksi kayak Liana . sekarang kaget kan tunjukkan pesonamu Zahra setelah itu hempaskan
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ayo Zahra tunjukkan pada suami brengsek kamu bahwa kamu bisa mendapatkan hidup yang lebih baik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status