Beranda / Rumah Tangga / Air Mata Maduku / Selamat Menikmati Harimu

Share

Selamat Menikmati Harimu

Penulis: Rina Novita
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-09 11:43:23

"Kamu cari apa, Mas?"

Mas Dewa tak menjawab. Suamiku itu masih menatapku tak berkedip dari atas ke bawah. Jakunnya naik turun. Tampak ia susah payah menelan salivanya. Napasnya pun mulai memburu. Matanya berkabut menatapku penuh damba.

Ini pertanda tidak baik untukku. 

Ada apa dengan dirimu, Mas? Kenapa kamu menatapku bagai melihat seorang bidadari? Kenapa baru sekarang kamu memandangku dengan tatapan mendamba seperti itu? Bukankah selama ini kamu tak pernah melirikku?

Tanpa berkata apapun, aku melangkah perlahan melewatinya. Sementara tatapan Mas Dewa terus mengikuti langkahku.

"Bajumu sudah kuserahkan pada Liana," ujarku saat telah melewatinya beberapa langkah.

"Zahra ..." Aku tersentak saat tiba-tiba Mas Dewa membalikkan tubuhnya, lalu mendekatiku dan mencengkeram kedua lenganku. 

"Lepaskan aku, Mas!" ujarku pelan, namun penuh penekanan. Aku berusaha menarik paksa kedua lenganku. 

Mas Dewa hanya menggeleng di sela-sela deru napasnya.

"Tolong lepasin, Mas! Jangan seperti ini!" tegasku lagi. 

Mas Dewa tak menghiraukan perkataanku. Genggaman tangannya justru semakin erat.

Bagai magnit, mata kami bertemu dan saling menatap cukup lama. Aku pernah merindukan tatapan itu. Aku pernah mengagumi wajah tampan itu. Mata tegas dengan manik kecoklatan milik Mas Dewa yang pernah membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Hingga aku tak kuasa menolak perjodohan itu. Pesona Mas Dewa memang luar biasa. Apalagi dengan kariernya sebagai manager diperusahaan tempat dia bekerja sekarang. Tentunya banyak wanita yang menginginkannya. Namun sayang, pria tampan ini tak mampu menjaga hatinya. Dengan mudahnya berbagi cinta dan ranjang dengan wanita lain di luar sana. Kembali hatiku memanas. Bara api itu mulai kembali bersemayam di relung hati yang terluka. 

"Lepaskan Aku, Mas!" pintaku lagi. Kali ini ucapanku lebih pelan. 

"Aku masih berhak atas dirimu, Zahra," tegasnya.

Memang benar. Aku masih sah sebagai istri Mas Dewa. Dia juga masih berhak atas diri ini. Akan tetapi apa aku masih sanggup menganggapnya sebagai suamiku? Setelah penghianatan yang dia lakukan?

Cengkraman tangannya mulai melonggar, namun tak juga dilepaskan. Kami masih saling bertatapan. 

"Ehheemmm ..." 

Cengkraman tangan Mas Dewa terlepas begitu saja ketika mendengar suara Liana. Begitu takutnya dia jika ketahuan oleh istri keduanya itu. Bukankah aku ini juga masih istrinya? Bukankah kami masih memiliki hak dan kewajiban sebagai istri?

Astaga! Apa yang sudah aku pikirkan? 

Buru-buru kutepis pikiran-pikiran yang seharusnya tidak boleh muncul dibenakku. 

"Kamu ngapain, Mas?" ketus Liana dengan tatapan menyelidik pada kami. Seakan memergoki pasangan yang sedang selingkuh. Tampak wajahnya merah padam karena emosi. Matanya berkilat-kilat memandang suamiku.

Mas Dewa tampak sangat gugup. Keringat dingin mengalir di sekitar dahinya. Bodohnya suamiku ini. Kenapa juga harus takut dengan wanita seperti Liana. 

Istri baru Mas Dewa itu terlihat sangat gusar. Dadanya naik turun karena emosi. Matanya menatap nyalang pada Mas Dewa dengan penuh curiga. 

Sementara aku tersenyum puas telah membuat maduku itu cemburu dan merasa kepanasan di pagi yang sejuk ini. 

"Kamu ngapain di sini, Mas?" bentak liana lagi.

"Aku ... aku ..." Mas Dewa tergagap dan gemetar.

"Cepat jawab, Mas!" jerit Liana lagi. 

"A-aku ... tadi aku ... cari sesuatu. Tapi apa, ya ...?" Suamiku itu menggaruk-garuk kepalanya yang sepertinya tidak gatal.

Astaga! Kenapa Mas Dewa jadi seperti ini? Kemana Mas Dewa yang dulu begitu tegas dan berrwibawa? 

Liana benar-benar telah merubahnya. Begitu cintakah Mas Dewa pada wanita ini? Sampai-sampai Suamiku bertekuk lutut padanya? 

Mata Liana beralih padaku. Emosi pada wajahnya sudah jelas terlihat. Tatapan tajamnya menelisik penampilanku. 

"Kamu mau kerja apa, sih? Kalau cuma reseptionis atau cleaning service, nggak usah lebay gitu dandannya!" hardiknya dengan nada tinggi.

Aku tau dia sedang kesal, karena Mas Dewa masih terus curi-curi memandangku. Sementara penampilannya pagi ini sangat berantakan. Lihat saja, daster buntungnya masih yang semalam. Sepertinya maduku itu juga belum cuci muka karena masih ada jejak berwarna putih yang menempel dekat pipinya, serta rambut yang belum disisir sama sekali.

"Aku mau dandan seperti apa, mau kerja di mana, itu urusanku. Sudah ya, aku berangkat dulu. Jangan lupa cucian sudah numpuk di belakang!" bisikku seraya tersenyum puas saat melewatinya. Aku pun melangkah hendak menuju kamar Ibu.

Liana melotot padaku. Namun dia tak mampu berkata-kata. Dadanya kembang kempis. Pasti saat ini dadanya yang besar itu akan meledak karena emosi yang tertahan.

Aku terkikik dalam hati, membayangkan wajah kesal Liana dalam menghadapi banyaknya pekerjaan rumah yang menumpuk. Cucian baju Ibu dan Mas Dewa, rumah yang masih berantakan, memasak dan yang paling penting adalah mengurus ibu. 

Selamat menikmati hari-harimu di rumah, maduku. Rasanya sudah tidak sabar melihat keadaanmu sore nanti. Apakah sektetaris cekatan dan pintar seperti yang dikatakan suamiku semalam, akan terbukti kebenarannya? 

Ibu ternyata sedang terlelap saat aku masuk. Aku tak tega membangunkannya. Semoga saja Liana bisa mengurus beliau dengan sabar. Karena sikap ibu masih tidak ramah pada maduku itu. Aku sempatkan mengecek segala keperluan ibu di lemari. Agar Liana tidak kesulitan jika ada yang habis. Hingga saat aku keluar kamar, ibu masih terlelap. Hmm ..., tidak biasanya. Segelas teh masih hangat yang sudah tinggal setengah nampak di atas nakas. Sejak kapan ibu minum teh manis? Bukankah setiap pagi ibu selalu minum air putih? Apakah Liana yang membuatkan teh untuk Ibu? 

Aku melirik arloji di tanganku sudah hampir pukul tujuh. Segera kuraih ponselku dan memesan taksi online. Kemudian kembali melangkah menuju pintu keluar.

Saat hendak melewati meja makan, aku melihat Mas dewa sedang menikmati sarapan nasi goreng buatanku. Bukannya aku sengaja membuatkan untuknya. Tapi suamiku itu ternyata menghabiskan sisa sarapanku tadi pagi, karena tak ada sarapan apapun di atas meja. Miris sekali nasibmu, Mas. Entah kenapa pagi ini aku tak nafsu makan. Mungkin karena hari ini pertama kali aku kembali bekerja setelah sekitar dua tahun yang lalu. 

Mas Dewa sarapan sendirian. Padahal biasanya dia pantang jika aku tak menemaninya. Disaat punya dua istri seperti sekarang ini, malah nggak ada satupun yang menemani. Lagi-lagi miris banget nasibmu, Mas. Padahal aku lihat Liana kembali merebahkan tubuhnya di kasur, ketika aku melewati kamarnya yang terbuka. 

Perlahan aku melangkah mendekati mas Dewa.

"Aku pergi dulu, Mas," pamitku seraya mengulurkan tangan padanya yang juga sudah rapi dengan pakaian kantornya. Bagaimanapun juga laki-laki ini masih suamiku. 

"Eh ... Iy-iyaa." Spontan suamiku memberikan punggung tangannya untuk aku cium. 

Hatiku terasa diremas saat mengingat tangan kokoh itu telah menjamah tubuh wanita lain sampai menghamilinya.

Buru-buru kulepaskan tangannya setelah menempelkan sekejap pada keningku. Tak sanggup jika harus mencium atau mengecupnya lagi. 

Mas Dewa terus menatapku dengan wajah yang sulit aku artikan. Seperti ada raut penyesalan yang tampak dari matanya.. Mungkinkah dia menyesal? Jika benar, tentu saja sudah tidak ada artinya lagi saat ini. Luka yang dia ciptakan sudah begitu dalam. Rasanya begitu sakit walau tak berdarah. Rasanya begitu nyeri walau tak berbekas. 

Tanpa berkata lagi, gegas aku keluar hendak menghampiri taksi online yang sudah aku pesan. Tak ingin berlama-lama berada di hadapannya seperti ini. 

"Zahra ..., ayo aku antar!" Tiba-tiba Mas Dewa sudah berdiri tepat disebelahku. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Novin Hairun
Permainan di mulai Liana.. bersiaplah...
goodnovel comment avatar
Icha Qazara Putri
Hahaha terpesona kan loe makanya kalau liat istri tuh bener-bener bukan cuma sekilas. terus bersikap cuek Zahra biarkan Dewa menyesali kesalahan nya.
goodnovel comment avatar
Isabella
abaikan aja Zahra suami model gitu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Air Mata Maduku   Akhir yang Bahagia ( Tamat)

    Siang ini aku dan Clarissa menyusul Devan ke kantor. Karena sore nanti kita akan ke dokter kandungan seperti yang direncanakan kemarin. Sejak menikah dengan Devan, baru kali ini aku datang ke kantor, karena kesibukanku menemani dan mengurus Clarissa. Devan pun tak pernah memintaku untuk datang ke kantor. Katanya, karena di kantor ada Mas Dewa. Sifat pencemburunya masih melekat erat pada suami tampanku itu. Namun kali ini Clarissa tidak sabaran dan minta menyusul Daddynya ke kantor "Bundaaa, Daddy lamaa! kita susul aja yuk!' "Ini masih siang, Sayang!" "Tapi aku maunya sekarang. Daddy itu kalau ditungguin suka lamaa, Bundaaa. Kita susul aja, ya? Boleh, ya?" Akhirnya aku mengangguk dan menyetujui permintaan Clarissa. Tanpa sepengetahuan Devan, Aku dan Clarissa sudah tiba di lobby kantor. Menurut sekretaris Devan, suamiku itu hari ini ada di kantor seharian, tidak ada pertemuan di luar. Clarissa menggandengku dengan manja. Langkah gadis kecilku ini sangat ceria. Sesekali dia melom

  • Air Mata Maduku   Ternyata Clarissa

    "Bundaaa, Aku mau boboknya sama Bunda ..!" lagi-lagi Clarissa merajuk. Belakangan ini Clarissa menjadi lebih manja dan selalu mencari perhatian. "Loh, Clarissa kan sudah besar dan sudah sekolah. Harus berani tidur sendiri. Bunda temenin aja di kamar sampai Clarissa nyenyak, ya!" bujukku. "Clarissa mau bobok sendiri kalau sudah jadi kakak. Kapan dong Bunda kasih aku adik bayi?" Astaga! Adik Bayi? Tiba-tiba saja aku ingat sesuatu. Sudah dua bulan ini aku tidak datang bulan. Mungkinkah ...? Sejak menikah lagi, baru kali ini aku telat datang bulan. Sebaiknya besok pagi aku periksakan diri. "Ya sudah, malam ini Bunda temenin bobok di sini." "Asiiik. I love you, Bunda." Clarissa menciumi wajahku. Mungkin karena sudah sangat mengantuk, beberapa menit kemudian Clarissa sudah pulas. Mataku beralih pada pintu kamar yang terbuka perlahan. Seorang pria tampan dengan jambang lebatnya berdiri dan tersenyum diambang pintu. Aku meletakkan jari telunjuk pada bibirku untuk memberi tanda ag

  • Air Mata Maduku   Tugas dari Clarissa

    Karpet merah nan panjang telah terbentang di sepanjang jalan memasuki pintu utama ballroom hotel. Aku dan Devan bagaikan raja dan ratu turun dari mobil, langsung melangkahkan kaki disepanjang karpet merah hingga mencapai pelaminan. Alunan musik yang indah mengiringi setiap langkah kami. Aku dan Devan saling bergandengan, saling melempar senyum dan berbicara seperlunya. Para tamu berdiri di sepanjang tepi karpet merah menyambut kedatangan kami. Aku dan Devan telah tiba di atas pelaminan yang sangat megah ini. Hiasan bunga-bunga indah serta batu swarovsky membuat indahnya pelaminan ini bagaikan singgasana para raja-raja. Setelah MC membuka acara resepsi ini, para tamu mulai menghampiri kami untuk memberikan ucapan selamat. Tamu Devan dan Papa sebagian besar dari golongan atas. Para karyawan papa yang sebagian besar adalah teman sekantorku dulu menjerit histeris saat mengetahui pengantin wanitanya adalah diriku. "Zahra ... kita nggak nyangka lo bakal jadi menantunya konglomerat. "

  • Air Mata Maduku   SAH

    "Zahra, kamu jangan bolak balik begitu! Nanti pakaianmu kusut! Pengantin kok kaya setrikaan mondar mandir?" Mama Andine, istri Pak Lucas, mamanya Devan, alias calon mertuaku, menegurku untuk yang kesekian kalinya. "Mamaaaa, aku deg-degan. Gimana doong?" pekikku tertahan, menahan mulas, sesekali rasanya ingin buang air kecil, jantung berdetak tak beraturan. Sepertinya saat ini aku merasakan kecemasan tingkat tinggi. "Ya udah sini duduk dekat Mama." Mama meraih lenganku dan membawaku duduk disampingnya. Saat ini kami berdua berada di salah satu kamar di rumah mama. Kamar yang tadinya dijadikan sebagai kamar tamu, tapi khusus di hari spesial ini dijadikan sebagai kamar untuk meriasku. Pagi ini aku akan menjalani akad nikah. Walaupun ini adalah yang kedua kalinya untukku, namun rasanya sangat berbeda. Aku begitu khawatir dan cemas. Belum lega rasanya jika ucapan ijab kabul dari Devan belum terdengar. Mama mengusap lembut punggungku. Wanita itu memilih menemaniku dalam kamar dari pad

  • Air Mata Maduku   Panggil Aku Mama

    Aku menangis bahagia. Karena hingga detik ini masih bisa memeluk Clarissa seperti ini. Namun pasti Clarissa lebih hancur, karena Kim-ibu kandung Clarissa telah pergi untuk selamanya. Clarissa merenggangkan pelukan. Jari mungil itu menghapus air mata yang mengalir deras di mataku. "Bunda jangan nangis ...!" lirihnya pelan. Aku yang tadi membungkuk, kini berjongkok mensejajarkan tubuhku dengan Clarissa. Aku kembali memeluk erat tubuh gadis itu. "Maafin, Bunda ... Bunda nggak bisa selamatin Mommy Kim. Maafin Bunda, Sayang ...!" Aku semakin tergugu dan merasa bersalah. Clarissa kembali melepaskan pelukanku. Gadis itu kembali mengulurkan tangannya untuk menghapus air mataku. "Bunda nggak salah. Mommy Kim jahat. Mommy Kim udah sakitin Aku!" "Tidak, tidak! Jangan bicara seperti itu Sayang. Mommy sangat sayang sama Clarissa. Mommy tidak mau kehilangan Clarissa. Sekarang Mommy sudah tenang di sana. Kita doakan Mommy ya, Sayang!" Aku membingkai wajah mungil bermata coklat itu dengan ke

  • Air Mata Maduku   Cuma Karyawan Biasa

    Aku masih tergugu di hadapan pria yang telah mengorbankan jiwanya untukku. Pria yang tak peduli jika nyawanya akan hilang, demi menolongku. Pria yang tak pernah berpikir panjang jika menyangkut hal tentang diriku. Pria yang selama ini aku anggap lebay, bucin dan pencemburu, kini aku tau alasannya kenapa pria tampan ini seperti itu. Alasan yang justru membuatku tak sanggup untuk meninggalkannya saat ini. Kenapa dada ini begitu nyeri ketika melihatmya tak berdaya? Kenapa rasanya begitu sakit melihatnya terbaring dengan selang infusan di tangannya. Kenapa bukan aku saja yang berada di atas brankar itu? Kenapa harus Dia? Oh Astaga! Kenapa aku jadi berpikir seperti ini? Kenapa aku seperti tak rela jika dia terluka? Apakah aku sudah jatuh cinta pada pria ini? "Sudah dong, jangan nangis terus, Aku nggak apa-apa." Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Devan meraih jemariku yang sejak tadi tak henti-hentinya mengusap lembut kepala pria tampan itu. Entah mengapa Aku sangat merasa bersala

  • Air Mata Maduku   Demi Cinta

    POV IvanMobilku melambat saat melihat keramaian di depan sana. Jalanan penuh oleh orang-orang yang ingin melihat sesuatu di sungai itu Aku menepikan mobilku dan membuka kaca. "Maaf, Bu. Ada apa rame-rame di sana?" "Ada mobil jatuh ke sungai, Pak! Katanya sih yang bawa perempuan!" Ya Tuhan. Jantungku langsung berdetak cepat setelah mendengar berita dari ibu-ibu itu. Jangan-jangan ... Astaga! Bukankah itu mobil Devan? Aku segera turun dan berlari menghampiri Devan. "Dev ... Devan!" Devan tak mempedulikan panggilanku. Aku tersentak saat melihatnya hendak bersiap-siap turun ke sungai. "Stop, Dev! Mau apa kamu?" "Zahra di bawah sana. Mana mungkin aku hanya diam!" geram Devan melotot padaku. Mataku membelalak melihat mobil Kim yang saat ini sudah terjun hingga berada disungai. "Jangan nekad, Pak. Sangat berbahaya! Kita tunggu bantuan!" Beberapa warga mencoba mencegah Devan. Namun kakakku itu tidak menghiraukan. Devan melepaskan jasnya, kemudian tanpa ragu kakakku itu melompat

  • Air Mata Maduku   Diculik

    Pov Ivan Cahaya yang menyilaukan mata menembus jendela kaca besar yang berada di kamarku ini. Aku menghempas napas kasar memandang tirai jendela yang terbuka lebar sejak semalam. Ternyata sudah siang. Aku melirik arloji yang menempel ditanganku. Sepertinya masih ada waktu untuk bersiap-siap ke kantor. Rasa nyeri di sekujur tubuhku sudah mulai berkurang. Perlahan aku bangkit menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan berpakaian, Aku melangkah keluar dari kamar. Sepiring nasi goreng dan segelas jus buah tersaji di atas meja makan. Siapa yang memasak? Mungkin pelayan Devan yang mengantarnya ke sini. Kebetulan, Aku memang sangat lapar. Sambil menikmati nasi goreng sosis ini, kubuka ponselku. Memeriksa pesan dan email yang masuk. Sebuah senyum terbit dibibirku saat membaca pesan dari Zahra. [ Makan yang banyak, semoga nasi goreng buatanku mampu menyembuhkan lukamu] Ternyata Zahra yang masak. Pantas rasanya sangat enak. Kunikmati setiap suapan yang masuk ke mulutku. Hatiku berd

  • Air Mata Maduku   Ancaman Kim

    "Astaga, Kim! Untuk apa dia menemuiku? "Zahra, Aku hanya ingin bicara sebentar!" Aku mendengar teriakan Kim dari balik pintu ini. "Kamu mau bicara apa ?" Karena penasaran, aku memutuskan untuk keluar dan menghampiri mantan istri Devan itu. "Jika kamu takut aku macan-macam, bagaimana jika kita bicara di cafe bawah saja?" ajak Kim. Aku berpikir sejenak. Kalau aku tidak mengikuti kemauan Kim. Wanita itu pasti akan terus berusaha. Aku khawatir dia akan nekad nantinya. Mungkim sebaiknya aku ikuti saja dulu kemauannya.. "Oke. Sebentar aku ambil tas dulu!" sahutku membuat para penjaga melotot "Bu Zahra! Tuan Devan melarang ibu untuk keluar." Salah seorang penjaga mengingatkanku "Saya hanya ke cafe bawah, Pak. aku khawatir Kim akan nekad jika aku tak mengikuti kemauannya." Penjaga itu tak lagi membantahku. Setelah meraih tas dan ponselku di meja tamu, aku segera kembali keluar dan menghampiri wanita cantik itu. "Ayo!" ajakku pada Kim yang kemudian melangkah bersisian denganku. Tubu

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status