Mas Dewa tak menjawab. Suamiku itu masih menatapku tak berkedip dari atas ke bawah. Jakunnya naik turun. Tampak ia susah payah menelan salivanya. Napasnya pun mulai memburu. Matanya berkabut menatapku penuh damba.
Ini pertanda tidak baik untukku.
Ada apa dengan dirimu, Mas? Kenapa kamu menatapku bagai melihat seorang bidadari? Kenapa baru sekarang kamu memandangku dengan tatapan mendamba seperti itu? Bukankah selama ini kamu tak pernah melirikku?
Tanpa berkata apapun, aku melangkah perlahan melewatinya. Sementara tatapan Mas Dewa terus mengikuti langkahku.
"Bajumu sudah kuserahkan pada Liana," ujarku saat telah melewatinya beberapa langkah.
"Zahra ..." Aku tersentak saat tiba-tiba Mas Dewa membalikkan tubuhnya, lalu mendekatiku dan mencengkeram kedua lenganku.
"Lepaskan aku, Mas!" ujarku pelan, namun penuh penekanan. Aku berusaha menarik paksa kedua lenganku.
Mas Dewa hanya menggeleng di sela-sela deru napasnya.
"Tolong lepasin, Mas! Jangan seperti ini!" tegasku lagi.
Mas Dewa tak menghiraukan perkataanku. Genggaman tangannya justru semakin erat.
Bagai magnit, mata kami bertemu dan saling menatap cukup lama. Aku pernah merindukan tatapan itu. Aku pernah mengagumi wajah tampan itu. Mata tegas dengan manik kecoklatan milik Mas Dewa yang pernah membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Hingga aku tak kuasa menolak perjodohan itu. Pesona Mas Dewa memang luar biasa. Apalagi dengan kariernya sebagai manager diperusahaan tempat dia bekerja sekarang. Tentunya banyak wanita yang menginginkannya. Namun sayang, pria tampan ini tak mampu menjaga hatinya. Dengan mudahnya berbagi cinta dan ranjang dengan wanita lain di luar sana. Kembali hatiku memanas. Bara api itu mulai kembali bersemayam di relung hati yang terluka.
"Lepaskan Aku, Mas!" pintaku lagi. Kali ini ucapanku lebih pelan.
"Aku masih berhak atas dirimu, Zahra," tegasnya.
Memang benar. Aku masih sah sebagai istri Mas Dewa. Dia juga masih berhak atas diri ini. Akan tetapi apa aku masih sanggup menganggapnya sebagai suamiku? Setelah penghianatan yang dia lakukan?
Cengkraman tangannya mulai melonggar, namun tak juga dilepaskan. Kami masih saling bertatapan.
"Ehheemmm ..."
Cengkraman tangan Mas Dewa terlepas begitu saja ketika mendengar suara Liana. Begitu takutnya dia jika ketahuan oleh istri keduanya itu. Bukankah aku ini juga masih istrinya? Bukankah kami masih memiliki hak dan kewajiban sebagai istri?
Astaga! Apa yang sudah aku pikirkan?
Buru-buru kutepis pikiran-pikiran yang seharusnya tidak boleh muncul dibenakku.
"Kamu ngapain, Mas?" ketus Liana dengan tatapan menyelidik pada kami. Seakan memergoki pasangan yang sedang selingkuh. Tampak wajahnya merah padam karena emosi. Matanya berkilat-kilat memandang suamiku.
Mas Dewa tampak sangat gugup. Keringat dingin mengalir di sekitar dahinya. Bodohnya suamiku ini. Kenapa juga harus takut dengan wanita seperti Liana.
Istri baru Mas Dewa itu terlihat sangat gusar. Dadanya naik turun karena emosi. Matanya menatap nyalang pada Mas Dewa dengan penuh curiga.
Sementara aku tersenyum puas telah membuat maduku itu cemburu dan merasa kepanasan di pagi yang sejuk ini.
"Kamu ngapain di sini, Mas?" bentak liana lagi.
"Aku ... aku ..." Mas Dewa tergagap dan gemetar.
"Cepat jawab, Mas!" jerit Liana lagi.
"A-aku ... tadi aku ... cari sesuatu. Tapi apa, ya ...?" Suamiku itu menggaruk-garuk kepalanya yang sepertinya tidak gatal.
Astaga! Kenapa Mas Dewa jadi seperti ini? Kemana Mas Dewa yang dulu begitu tegas dan berrwibawa?
Liana benar-benar telah merubahnya. Begitu cintakah Mas Dewa pada wanita ini? Sampai-sampai Suamiku bertekuk lutut padanya?
Mata Liana beralih padaku. Emosi pada wajahnya sudah jelas terlihat. Tatapan tajamnya menelisik penampilanku.
"Kamu mau kerja apa, sih? Kalau cuma reseptionis atau cleaning service, nggak usah lebay gitu dandannya!" hardiknya dengan nada tinggi.
Aku tau dia sedang kesal, karena Mas Dewa masih terus curi-curi memandangku. Sementara penampilannya pagi ini sangat berantakan. Lihat saja, daster buntungnya masih yang semalam. Sepertinya maduku itu juga belum cuci muka karena masih ada jejak berwarna putih yang menempel dekat pipinya, serta rambut yang belum disisir sama sekali.
"Aku mau dandan seperti apa, mau kerja di mana, itu urusanku. Sudah ya, aku berangkat dulu. Jangan lupa cucian sudah numpuk di belakang!" bisikku seraya tersenyum puas saat melewatinya. Aku pun melangkah hendak menuju kamar Ibu.
Liana melotot padaku. Namun dia tak mampu berkata-kata. Dadanya kembang kempis. Pasti saat ini dadanya yang besar itu akan meledak karena emosi yang tertahan.
Aku terkikik dalam hati, membayangkan wajah kesal Liana dalam menghadapi banyaknya pekerjaan rumah yang menumpuk. Cucian baju Ibu dan Mas Dewa, rumah yang masih berantakan, memasak dan yang paling penting adalah mengurus ibu.
Selamat menikmati hari-harimu di rumah, maduku. Rasanya sudah tidak sabar melihat keadaanmu sore nanti. Apakah sektetaris cekatan dan pintar seperti yang dikatakan suamiku semalam, akan terbukti kebenarannya?
Ibu ternyata sedang terlelap saat aku masuk. Aku tak tega membangunkannya. Semoga saja Liana bisa mengurus beliau dengan sabar. Karena sikap ibu masih tidak ramah pada maduku itu. Aku sempatkan mengecek segala keperluan ibu di lemari. Agar Liana tidak kesulitan jika ada yang habis. Hingga saat aku keluar kamar, ibu masih terlelap. Hmm ..., tidak biasanya. Segelas teh masih hangat yang sudah tinggal setengah nampak di atas nakas. Sejak kapan ibu minum teh manis? Bukankah setiap pagi ibu selalu minum air putih? Apakah Liana yang membuatkan teh untuk Ibu?
Aku melirik arloji di tanganku sudah hampir pukul tujuh. Segera kuraih ponselku dan memesan taksi online. Kemudian kembali melangkah menuju pintu keluar.
Saat hendak melewati meja makan, aku melihat Mas dewa sedang menikmati sarapan nasi goreng buatanku. Bukannya aku sengaja membuatkan untuknya. Tapi suamiku itu ternyata menghabiskan sisa sarapanku tadi pagi, karena tak ada sarapan apapun di atas meja. Miris sekali nasibmu, Mas. Entah kenapa pagi ini aku tak nafsu makan. Mungkin karena hari ini pertama kali aku kembali bekerja setelah sekitar dua tahun yang lalu.
Mas Dewa sarapan sendirian. Padahal biasanya dia pantang jika aku tak menemaninya. Disaat punya dua istri seperti sekarang ini, malah nggak ada satupun yang menemani. Lagi-lagi miris banget nasibmu, Mas. Padahal aku lihat Liana kembali merebahkan tubuhnya di kasur, ketika aku melewati kamarnya yang terbuka.
Perlahan aku melangkah mendekati mas Dewa.
"Aku pergi dulu, Mas," pamitku seraya mengulurkan tangan padanya yang juga sudah rapi dengan pakaian kantornya. Bagaimanapun juga laki-laki ini masih suamiku.
"Eh ... Iy-iyaa." Spontan suamiku memberikan punggung tangannya untuk aku cium.
Hatiku terasa diremas saat mengingat tangan kokoh itu telah menjamah tubuh wanita lain sampai menghamilinya.
Buru-buru kulepaskan tangannya setelah menempelkan sekejap pada keningku. Tak sanggup jika harus mencium atau mengecupnya lagi.
Mas Dewa terus menatapku dengan wajah yang sulit aku artikan. Seperti ada raut penyesalan yang tampak dari matanya.. Mungkinkah dia menyesal? Jika benar, tentu saja sudah tidak ada artinya lagi saat ini. Luka yang dia ciptakan sudah begitu dalam. Rasanya begitu sakit walau tak berdarah. Rasanya begitu nyeri walau tak berbekas.
Tanpa berkata lagi, gegas aku keluar hendak menghampiri taksi online yang sudah aku pesan. Tak ingin berlama-lama berada di hadapannya seperti ini.
"Zahra ..., ayo aku antar!" Tiba-tiba Mas Dewa sudah berdiri tepat disebelahku.
Zahra ..., ayo Aku antar!" Tiba-tiba Mas Dewa sudah berdiri tepat disebelahku. "Tidak usah, Mas. Aku sudah pesan taksi online," sahutku seraya mencari keberadaan taksi yang sudah aku pesan. Namun setelah kulihat sekeliling, taksi itu tak kunjung datang. Kembali kubuka aplikasi taksi online di ponselku, ternyata pesananku dicancel. Segera aku memesannya kembali, mengingat hari semakin siang. Mas Dewa masih berdiri di sebelahku. Laki-laki itu masih mencuri-curi pandang padaku. Aneh, kenapa seperti sedang mencuri pandangan dengan wanita lain? Bukankah aku ini istrinya? "Zahra ... kamu ... kamu ..." Nampaknya ada sesuatu yang hendak dia tanyakan. Namun sepertinya suamiku itu ragu. "Kenapa, Mas?" "Kamu beda ..." lirihnya nyaris tak terdengar. "Apa? Kenapa? Aku nggak denger, Mas."Aku pura-pura tidak mendengar. "Kamu ..." Mas Dewa gelagapan ketika tiba-tiba Liana muncul dań dalam rumah. Laki-laki yang sebenarnya masih halal untukku itu segera masuk ke dalam mobilnya, diikuti tatapa
Lalu lintas menuju kantor Ivan macet. Bisa-bisa aku telat tiba di sana. "Pak, Pak. Bisa nyalip, nggak? Saya sudah telat, nih!" "Maaf, Mbak. Kita lewat jalan kampung aja gimana?" usul supir taksi. "Boleh, Pak. Cepetan ya, pak!" Pak supir itu mengangguk, kemudian berbelok ke salah satu jalan kampung. Beruntung pak supir itu sangat memahami jalan. Hingga perjalanan kami kembali lancar. Mulai besok aku harus berangkat lebih pagi. Aku harus lebih disiplin dan profesional. Taksi yang aku tumpangi berhenti di depan sebuah gedung yang menjulang tinggi. Menurut Ivan, kantornya berada di lantai dua belas. Setelah turun dari taksi, gegas aku melangkah masuk dan menuju lift. Ternyata di depan dua lift yang saling berhadapan ini penuh oleh karyawan yang sedang mengantri hendak menuju kantornya masing-masing. Gedung ini memang terdiri dari beberapa perusahaan yang berbeda di setiap lantainya. Sesaat melirik arloji ditanganku, ternyata waktuku tinggal sepuluh menit lagi. Berdecak kesal, k
POV DEWA "Mas, Aku hamil." Bagaikan mendengar petir di siang bolong, Liana sekretarisku itu mengabarkan kehamilannya. "A-apa? Hamil?". Wanita seksi itu mengangguk cepat. Aku terduduk pada kursi kebesaranku di ruangan ini. Beruntung hanya aku berdua berada dalam ruangan khusus manager ini. Tubuhku terasa lemas. Seharusnya aku bahagia mendengar kabar ini. Bukankah aku akan memiliki seorang anak? Setelah selama hampir dua tahun menunggu. Namun saat ini yang mengatakan hamil bukanlah istriku. Tapi sekrerisku, Liana. Wanita yang sering menemaniku tidak hanya di kantor, tapi juga saat aku dinas ke luar kota, bahkan diranjang hotel. Setiap hari Liana selalu berpakaian seksi jika di kantor. Sepertinya wanita ini memang sengaja memancing hasrat kelaki-lakianku. Setengah mati aku mencoba untuk menahan. Namun, siapa yang tahan jika setiap saat disuguhkan pemandangan yang indah dan sangat menggoda itu. Berbeda dengan Zahra, istriku. Dirumahpun dia tak pernah berpakaian yang memancing has
"Siang ini Mas Dewa harus ikut aku bicara pada papi dan mami!" "Jangan sekaranglah, Lee. Aku belum siap." Tiba-tiba wanita manja itu menangis tergugu di depanku. Apa kata karyawan lain nanti, jika Liana menangis seperti ini di depanku. Bisa buruk reputasiku di depan semua orang. "Liana, tolong jangan menangis seperti ini! Apa kata orang nanti." "Kalau begitu sekarang juga Mas Harus menghadap orang tuaku!" Sial! Apes aku! "Ya sudah, Ayo!" Sontak aku bangkit dan melangkah ke pintu. "Kamu tunggu di mobil. Aku izin Pak Devan dulu!" Semoga saja Pak Devan sedang tidak ada tamu. Bos besarku itu, walau masih muda, memiliki banyak perusahaan. Hingga harinya selalu sibuk. Walau demikian tak pernah sekalipun aku melihatnya dekat dengan wanita. Apa dia normal? Sudahlah, bukan urusanku. "Selamat siang Pak Devan, saya izin keluar kantor ada urusan keluarga!" "Urusan keluarga? Apa tidak bisa ditunda? Ini masih jam kantor," tegasnya. Tau apa laki-laki ini tentang keluarga. Menikah saja be
"Selamat pagi, Mbak. Saya ingin bertemu dengan Bapak Ivan Nick. "Selamat pagi. Dengan Mbak siapa?" tanya wanita yang bertugas sebagai reseptionis itu dengan ramah. "Saya Zahra Fatma." "Oh, Ibu Zahra sudah ditunggu Bapak Ivan. Mari saya antar!" Aku mengikuti langkah kaki wanita ituhingga berhenti didepan pintu bertuliskan CEO. Terdengar sahutan dari dalam setelah beberapa kali ketukan pintu. "Silakan Bu Zahra." Wanita itu mengantarku masuk ke dalam. Dua orang pria sedang berbincang saling berhadapan. Sesekali mereka tertawa. Aku berdecak kagum melihat ruangan yang besar dan nyaman serta terisi oleh barang-barang mewah dan canggih. Ivan berdiri menyambutku. Sementara laki-laki yang tadi berbicara dengannya masih duduk di hadapannya dengan posisi membelakangiku. "Zahra ... Zahra ..., masih seperti dulu. Selalu tampil memukau dan mempesona." Aku tersipu malu mendengar pujian dari sahabatku itu. Ivan banyak berubah. Kini tampak semakin berwibawa dan semakin tampan. Aura kepem
"A-apa?Aku?" Aku ternganga, seakan tak percaya dengan apa yang aku dengar barusan. Ivan mengangguk. "Kamu yakin?" lagi-lagi aku ragu. "Tentu. Sangat yakin." "Tapi aku belum berpengalaman mengelola perusahaan, Van." "Aku tau kemampuan yang kamu miliki, Zahra." Ivan mencoba meyakinkanku. "Tenang, Non. Untuk sementara kamu boleh belajar di kantorku selama satu bulan." Devan menawarkan diri. "Betul, sebaiknya selama sebulan ini kamu training dengan Devan. Karena aku sering keluar kota." sanggah Ivan. "Baiklah. Aku coba," sahutku mulai yakin. Setelahnya kami banyak membahas tentang perusahaan dan produk yang kami pasarkan. Ivan banyak meminta ide-ide dariku untuk menaikkan omzet penjualan perusahaan. Pengalamanku sebagai manager pemasaran di perusahaanku dulu membuatku mampu menciptakan metode-metode jitu dalam memasarkan produk. "Luar biasa kamu Zahra! Aku yakin kantor cabang kita nanti akan berkembang pesat ditanganmu." Kali ini Devan mencoba memujiku. Sungguh ini menjadi sat
Aku menolak dengan halus ketika Devan hendak mengantarku pulang. Aku tak ingin menjadi pusat perhatian oleh tetangga sekitar rumahku. Apalagi jika Liana nanti melihatku diantar oleh mobil pajero sport milik Devan. Bisa kejang-kejang maduku itu. Aku kembali memesan taksi online untuk pulang. Sebelum pulang, Aku sempatkan untuk mampir ke atm. Aku tersenyum puas melihat saldo tabunganku. Sejak menikah dengan Mas Dewa, sedikitpun aku tak pemah menggunakan uang tabungan yang aku kumpulkan selama aku bekerja dulu. Mas Dewa selalu memberikan uang bulanan yang cukup. Ya, hanya cukup untuk keperluan sehari-hari aku dan Ibu. Aku pindahkan sebagian uangku ke dompet digital yang aku punya. Aku harus membeli beberapa pakaian kerja dengan model-model terbaru juga ponsel keluaran terbaru. Sepanjang jalan aku terus membuka-buka gambar-gambar pakaian kerja dengan model kekinian di beberapa online shop dengan brand ternama, pada ponselku. Rasanya sudah lama sekali aku tidak berbelanja. Karena jika u
Aku keluar menuju kamarku. Ketika melewati meja makan, aku tercengang melihat tidak ada satu makanan pun di sana. Apa perempuan itu tidak masak? Lalu makan apa dia? Bagaimana jika Mas Dewa pulang nanti ? Aku mengintip perempuan itu dari pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Tampak Liana sedang berbaring di ranjangnya seraya membuka ponselnya. Sesekali dia terkikik. Apa seperti ini kerjaannya di rumah? Aku menyelesaikan ritual mandiku dan memakai dress lengan pendek dengan panjang selutut. Kemudian mengecek pesan-pesan yang masuk pada ponselku. Ternyata pesananku sedang dalam perjalanan. Aku juga memesan makanan via online untukku nanti malam. Ya, hanya untukku dan Ibu. Aku kembali ke kamar ibu. Liana masih bermalas-malasan di depan televisi. Padahal rumah terlihat berantakan. Gemas aku. Ternyata Ibu tertidur lagi. Aku pun kembali ke kamarku sendiri. Menghubungi salah satu temanku yang bekerja di rumah sakit. Ada yang aku konsultasikan pada temanku itu tentang keanehan yang terja