Share

Selamat Menikmati Harimu

"Kamu cari apa, Mas?"

Mas Dewa tak menjawab. Suamiku itu masih menatapku tak berkedip dari atas ke bawah. Jakunnya naik turun. Tampak ia susah payah menelan salivanya. Napasnya pun mulai memburu. Matanya berkabut menatapku penuh damba.

Ini pertanda tidak baik untukku. 

Ada apa dengan dirimu, Mas? Kenapa kamu menatapku bagai melihat seorang bidadari? Kenapa baru sekarang kamu memandangku dengan tatapan mendamba seperti itu? Bukankah selama ini kamu tak pernah melirikku?

Tanpa berkata apapun, aku melangkah perlahan melewatinya. Sementara tatapan Mas Dewa terus mengikuti langkahku.

"Bajumu sudah kuserahkan pada Liana," ujarku saat telah melewatinya beberapa langkah.

"Zahra ..." Aku tersentak saat tiba-tiba Mas Dewa membalikkan tubuhnya, lalu mendekatiku dan mencengkeram kedua lenganku. 

"Lepaskan aku, Mas!" ujarku pelan, namun penuh penekanan. Aku berusaha menarik paksa kedua lenganku. 

Mas Dewa hanya menggeleng di sela-sela deru napasnya.

"Tolong lepasin, Mas! Jangan seperti ini!" tegasku lagi. 

Mas Dewa tak menghiraukan perkataanku. Genggaman tangannya justru semakin erat.

Bagai magnit, mata kami bertemu dan saling menatap cukup lama. Aku pernah merindukan tatapan itu. Aku pernah mengagumi wajah tampan itu. Mata tegas dengan manik kecoklatan milik Mas Dewa yang pernah membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Hingga aku tak kuasa menolak perjodohan itu. Pesona Mas Dewa memang luar biasa. Apalagi dengan kariernya sebagai manager diperusahaan tempat dia bekerja sekarang. Tentunya banyak wanita yang menginginkannya. Namun sayang, pria tampan ini tak mampu menjaga hatinya. Dengan mudahnya berbagi cinta dan ranjang dengan wanita lain di luar sana. Kembali hatiku memanas. Bara api itu mulai kembali bersemayam di relung hati yang terluka. 

"Lepaskan Aku, Mas!" pintaku lagi. Kali ini ucapanku lebih pelan. 

"Aku masih berhak atas dirimu, Zahra," tegasnya.

Memang benar. Aku masih sah sebagai istri Mas Dewa. Dia juga masih berhak atas diri ini. Akan tetapi apa aku masih sanggup menganggapnya sebagai suamiku? Setelah penghianatan yang dia lakukan?

Cengkraman tangannya mulai melonggar, namun tak juga dilepaskan. Kami masih saling bertatapan. 

"Ehheemmm ..." 

Cengkraman tangan Mas Dewa terlepas begitu saja ketika mendengar suara Liana. Begitu takutnya dia jika ketahuan oleh istri keduanya itu. Bukankah aku ini juga masih istrinya? Bukankah kami masih memiliki hak dan kewajiban sebagai istri?

Astaga! Apa yang sudah aku pikirkan? 

Buru-buru kutepis pikiran-pikiran yang seharusnya tidak boleh muncul dibenakku. 

"Kamu ngapain, Mas?" ketus Liana dengan tatapan menyelidik pada kami. Seakan memergoki pasangan yang sedang selingkuh. Tampak wajahnya merah padam karena emosi. Matanya berkilat-kilat memandang suamiku.

Mas Dewa tampak sangat gugup. Keringat dingin mengalir di sekitar dahinya. Bodohnya suamiku ini. Kenapa juga harus takut dengan wanita seperti Liana. 

Istri baru Mas Dewa itu terlihat sangat gusar. Dadanya naik turun karena emosi. Matanya menatap nyalang pada Mas Dewa dengan penuh curiga. 

Sementara aku tersenyum puas telah membuat maduku itu cemburu dan merasa kepanasan di pagi yang sejuk ini. 

"Kamu ngapain di sini, Mas?" bentak liana lagi.

"Aku ... aku ..." Mas Dewa tergagap dan gemetar.

"Cepat jawab, Mas!" jerit Liana lagi. 

"A-aku ... tadi aku ... cari sesuatu. Tapi apa, ya ...?" Suamiku itu menggaruk-garuk kepalanya yang sepertinya tidak gatal.

Astaga! Kenapa Mas Dewa jadi seperti ini? Kemana Mas Dewa yang dulu begitu tegas dan berrwibawa? 

Liana benar-benar telah merubahnya. Begitu cintakah Mas Dewa pada wanita ini? Sampai-sampai Suamiku bertekuk lutut padanya? 

Mata Liana beralih padaku. Emosi pada wajahnya sudah jelas terlihat. Tatapan tajamnya menelisik penampilanku. 

"Kamu mau kerja apa, sih? Kalau cuma reseptionis atau cleaning service, nggak usah lebay gitu dandannya!" hardiknya dengan nada tinggi.

Aku tau dia sedang kesal, karena Mas Dewa masih terus curi-curi memandangku. Sementara penampilannya pagi ini sangat berantakan. Lihat saja, daster buntungnya masih yang semalam. Sepertinya maduku itu juga belum cuci muka karena masih ada jejak berwarna putih yang menempel dekat pipinya, serta rambut yang belum disisir sama sekali.

"Aku mau dandan seperti apa, mau kerja di mana, itu urusanku. Sudah ya, aku berangkat dulu. Jangan lupa cucian sudah numpuk di belakang!" bisikku seraya tersenyum puas saat melewatinya. Aku pun melangkah hendak menuju kamar Ibu.

Liana melotot padaku. Namun dia tak mampu berkata-kata. Dadanya kembang kempis. Pasti saat ini dadanya yang besar itu akan meledak karena emosi yang tertahan.

Aku terkikik dalam hati, membayangkan wajah kesal Liana dalam menghadapi banyaknya pekerjaan rumah yang menumpuk. Cucian baju Ibu dan Mas Dewa, rumah yang masih berantakan, memasak dan yang paling penting adalah mengurus ibu. 

Selamat menikmati hari-harimu di rumah, maduku. Rasanya sudah tidak sabar melihat keadaanmu sore nanti. Apakah sektetaris cekatan dan pintar seperti yang dikatakan suamiku semalam, akan terbukti kebenarannya? 

Ibu ternyata sedang terlelap saat aku masuk. Aku tak tega membangunkannya. Semoga saja Liana bisa mengurus beliau dengan sabar. Karena sikap ibu masih tidak ramah pada maduku itu. Aku sempatkan mengecek segala keperluan ibu di lemari. Agar Liana tidak kesulitan jika ada yang habis. Hingga saat aku keluar kamar, ibu masih terlelap. Hmm ..., tidak biasanya. Segelas teh masih hangat yang sudah tinggal setengah nampak di atas nakas. Sejak kapan ibu minum teh manis? Bukankah setiap pagi ibu selalu minum air putih? Apakah Liana yang membuatkan teh untuk Ibu? 

Aku melirik arloji di tanganku sudah hampir pukul tujuh. Segera kuraih ponselku dan memesan taksi online. Kemudian kembali melangkah menuju pintu keluar.

Saat hendak melewati meja makan, aku melihat Mas dewa sedang menikmati sarapan nasi goreng buatanku. Bukannya aku sengaja membuatkan untuknya. Tapi suamiku itu ternyata menghabiskan sisa sarapanku tadi pagi, karena tak ada sarapan apapun di atas meja. Miris sekali nasibmu, Mas. Entah kenapa pagi ini aku tak nafsu makan. Mungkin karena hari ini pertama kali aku kembali bekerja setelah sekitar dua tahun yang lalu. 

Mas Dewa sarapan sendirian. Padahal biasanya dia pantang jika aku tak menemaninya. Disaat punya dua istri seperti sekarang ini, malah nggak ada satupun yang menemani. Lagi-lagi miris banget nasibmu, Mas. Padahal aku lihat Liana kembali merebahkan tubuhnya di kasur, ketika aku melewati kamarnya yang terbuka. 

Perlahan aku melangkah mendekati mas Dewa.

"Aku pergi dulu, Mas," pamitku seraya mengulurkan tangan padanya yang juga sudah rapi dengan pakaian kantornya. Bagaimanapun juga laki-laki ini masih suamiku. 

"Eh ... Iy-iyaa." Spontan suamiku memberikan punggung tangannya untuk aku cium. 

Hatiku terasa diremas saat mengingat tangan kokoh itu telah menjamah tubuh wanita lain sampai menghamilinya.

Buru-buru kulepaskan tangannya setelah menempelkan sekejap pada keningku. Tak sanggup jika harus mencium atau mengecupnya lagi. 

Mas Dewa terus menatapku dengan wajah yang sulit aku artikan. Seperti ada raut penyesalan yang tampak dari matanya.. Mungkinkah dia menyesal? Jika benar, tentu saja sudah tidak ada artinya lagi saat ini. Luka yang dia ciptakan sudah begitu dalam. Rasanya begitu sakit walau tak berdarah. Rasanya begitu nyeri walau tak berbekas. 

Tanpa berkata lagi, gegas aku keluar hendak menghampiri taksi online yang sudah aku pesan. Tak ingin berlama-lama berada di hadapannya seperti ini. 

"Zahra ..., ayo aku antar!" Tiba-tiba Mas Dewa sudah berdiri tepat disebelahku. 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Icha Qazara Putri
Hahaha terpesona kan loe makanya kalau liat istri tuh bener-bener bukan cuma sekilas. terus bersikap cuek Zahra biarkan Dewa menyesali kesalahan nya.
goodnovel comment avatar
Isabella
abaikan aja Zahra suami model gitu
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ayo Zahra abaikan suami pengkhianat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status