共有

Ajari Aku Bercinta, Dokter Nate!
Ajari Aku Bercinta, Dokter Nate!
作者: J Shara

Bab 1 Naskah yang Ditolak

作者: J Shara
last update 最終更新日: 2025-10-05 10:48:36

“Tulisan kamu ini bahkan tidak menggairahkan sama sekali!”

Ariel terlonjak. Naskah yang beberapa menit lalu ia berikan pada George seketika berserakan. Dengan panik, wanita itu kembali memunguti kertas-kertas yang bertebaran itu.

“Aku tidak merasakan apa-apa, Riel. Tidak ada denyut, tidak ada gairah. Kalau begini terus, kerja sama kita selesai!”

Ariel menatap naskah itu, jemarinya gemetar di atas pangkuan. “Tapi, Pak... saya sudah memperbaiki bab awal. Saya baca ulang, bahkan mempelajari gaya Anny Arrow seperti yang Bapak sarankan.”

“Kau pikir cuma dengan membaca, kau bisa menulis adegan bercinta yang terasa hidup?” potong George, sinis. “Tulisanmu dingin. Seperti dibuat orang yang bahkan belum tahu rasanya disentuh.”

Kata-kata itu menusuk. Ariel menunduk, wajahnya memanas menahan malu.

Setiap kali mengajukan naskah, komentar yang sama selalu datang darinya—tidak ada feel-nya!

Tapi bagaimana mungkin ia bisa menulis dengan ‘rasa’ jika bahkan ia belum pernah merasakannya sendiri?

“Kau punya waktu seminggu,” lanjut George, menyalakan rokok. “Kalau revisimu masih hambar, aku putus kontrak. Jangan harap bisa kirim naskah ke penerbit mana pun lewatku.”

Asap rokok melingkari wajahnya yang penuh guratan keras. “Industri ini butuh tulisan yang membuat pembaca terhenti di tengah halaman karena napasnya ikut naik. Bukan paragraf steril tanpa roh.”

Ariel menelan ludah. Suaranya serak ketika mencoba bicara, “Kalau saya... coba perbaiki adegan intinya?”

“Kalau kau tidak bisa membuatku merasa terangsang hanya dengan membaca dua halaman pertama, maka semua usaha itu percuma.” George menyemburkan asap terakhirnya.

"Tulisan dewasa harus terasa hidup, bukan sekadar imajinasi belaka.”

Mendengar omelan itu, Ariel hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Kepalanya penuh oleh rasa penasaran yang menumpuk.

Memangnya, seperti apa sih rasanya bercinta itu?

Asap rokok terakhir George masih berputar di udara saat Ariel melangkah keluar. Bau tembakau, kata-kata sinis, dan rasa malu bercampur jadi satu di tenggorokannya.

Ia tak ingat bagaimana bisa sampai ke ruang tunggu—hanya tahu tangannya telah mengepal saat melihat Silvi menatap dari sofa.

“Bagaimana, Ariel?” tanya Silvi penuh harap.

Ariel hanya mengembuskan napas panjang lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa.

“Yah... revisi naskahku ditolak lagi. Pak George bilang kalau tulisanku itu kayak tulisan bocil pertama kali coba-coba nulis cerita dewasa. Aku bahkan terancam dipecat kalau revisi mendatang gagal lagi.”

Nada putus asa itu membuat Silvi meringis. Ia ikut duduk, menatap Ariel dengan khawatir.

Ariel meraih sebuah majalah dewasa yang tergeletak di meja, membuka-buka tanpa fokus.

“Entah sampai kapan aku bisa bertahan kayak gini...”

“Kau bisa mencobanya lagi, Riel. Atau... bagaimana kalau kau kembali menulis teenlit saja?” ucap Silvi lembut, mencoba menghibur sekaligus memberi solusi.

Namun Ariel mendengus sinis.

“Silvi, kau sendiri tahu... Buku teenlit satu-satunya yang terbit pun tidak laku. Kira-kira... apa yang harus kulakukan, ya?”

Silvi menatapnya lama, lalu matanya melirik ke majalah di tangan Ariel. Bibirnya tersenyum kecil, penuh ide.

“Pria itu bisa membantumu.”

Ariel mengangkat wajah.

“Siapa?”

Silvi mencondongkan tubuh, lalu menunjuk sampul majalah dengan dagunya.

“Itu, pria di sampul majalah itu.”

Ariel menurunkan pandangan. Di sampul majalah itu tampak seorang pria tampan, gagah, dengan jas putih lengan panjang. Rambut hitamnya disisir rapi, senyum tipisnya menawan.

“Apa-apaan ini? Seorang dokter? Ngapain jadi sampul majalah dewasa? Majalah aneh!” Dengan kesal, Ariel langsung melempar majalah itu ke tong sampah.

“Riel!” Silvi hampir terlonjak melihatnya. “Astaga, kau ini!”

Tapi Silvi tetap melanjutkan, meski meringis melihat kelakuan sahabatnya.

“Itu dr. Nathan Xander. Dia pakar seksologi, sangat terkenal. Mungkin... kau harus belajar darinya.”

Ariel sempat terdiam, keningnya berkerut.

“Tadi aku juga baca-baca majalah itu,” lanjut Silvi cepat. “Katanya malam ini dia membawakan seminar tentang bagaimana memuaskan pasangan... di St. Regis. Tapi...”

Ariel menoleh cepat, matanya berbinar penasaran.

“Tapi...?”

Silvi menghela napas panjang, suaranya pelan.

“Tapi seminar itu hanya untuk pasangan suami istri...”

Mata Ariel bergerak-gerak, wajahnya penuh pikiran. Tiba-tiba ia tersentak, seolah sebuah ide gila muncul di kepalanya. Ia buru-buru berdiri dan memungut kembali majalah dari tong sampah itu.

“Silvi, aku harus pergi!” katanya terburu-buru.

Silvi memandangnya dengan dahi berkerut.

“Kau baru saja keluar dari ruangan editor, mau ke mana lagi?”

“Ke seminar dokter seksologi itu!” jawab Ariel mantap.

“Tapi... itu hanya untuk pasutri! Kau dengar tidak?!” Silvi hampir berteriak.

Namun Ariel sudah melangkah cepat ke arah pintu.

“Ariel!” seru Silvi, tapi sahabatnya itu sudah lenyap di balik pintu, meninggalkan Silvi ternganga.

Silvi hanya bisa memegangi kepala, menggeleng pelan.

“Astaga... anak itu... selalu saja bikin masalah...”

---

Lampu-lampu hotel St. Regis berkilauan mewah, memantulkan cahaya keemasan di ruangan ballroom yang penuh dengan kursi tertata rapi. Puluhan pasangan suami istri duduk berjejer, sebagian besar tampak serius memperhatikan slide presentasi di layar besar. Suara dr. Nathan Xander terdengar berat namun tenang, penuh wibawa, setiap kali ia menjelaskan materi.

“Cara pertama yang bisa dilakukan untuk menaikkan gairah pria,” ujarnya sambil menatap hadirin dengan tatapan tajam namun menenangkan, “adalah dengan menggoda melalui bahasa tubuh. Tubuh kita berbicara lebih cepat daripada kata-kata. Sebuah sentuhan kecil, tatapan mata yang tepat, bahkan cara berjalan... bisa membangkitkan gairah lebih dari seribu kalimat rayuan.”

Para peserta tampak mengangguk-angguk. Beberapa istri menoleh ke suami mereka sambil tersenyum nakal, membuat suasana ruangan sesekali terdengar tawa kecil.

Di sudut kursi belakang, Ariel duduk dengan wajah setengah bingung. Matanya menatap layar, tetapi pikirannya melayang. Ia memiringkan kepala, mencoba memahami penjelasan yang tampak sederhana bagi yang berpengalaman, namun terasa asing baginya.

Bahasa tubuh... tatapan mata... sentuhan kecil? Ariel menghela napas panjang. Tapi bagaimana kalau aku bahkan belum pernah melakukannya sama sekali? Bagaimana aku bisa menulis cerita dewasa kalau hanya mengandalkan teori seperti ini?

Ia menggigit bibirnya, lalu menunduk menatap buku catatan yang dibawanya. Hanya ada coretan singkat—lebih banyak tanda tanya daripada jawaban.

“Apa kau baik-baik saja?” bisik seorang wanita paruh baya di sebelahnya.

Ariel tersentak, lalu tersenyum kikuk. “Ah... iya, Bu. Saya hanya... banyak berpikir.”

Wanita itu mengangguk maklum lalu kembali fokus ke layar. Sementara Ariel justru makin resah.

Presentasi berlanjut. Slide demi slide menampilkan ilustrasi, kalimat-kalimat sugestif, dan tips praktis. Tapi semua itu terasa seperti bahasa asing bagi Ariel.

Tidak bisa. Aku butuh lebih dari sekadar teori, batinnya. Kalau aku ingin tulisanku hidup, aku harus tahu langsung dari sumbernya... dari dr. Nathan sendiri.

Matanya spontan melirik ke arah panggung. Sosok pria itu berdiri tegak, jas putih panjangnya membuatnya terlihat berwibawa sekaligus memancarkan aura dingin. Rambut hitamnya tersisir rapi, suaranya dalam dan tenang. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Ariel sulit berpaling.

Ketika seminar berakhir, para peserta bertepuk tangan. Dr. Nathan menutup presentasi dengan senyum tipis dan ucapan,

“Terima kasih sudah hadir. Semoga malam ini membawa manfaat bagi kehidupan rumah tangga Anda.”

Ariel ikut bertepuk tangan, meski dalam hatinya ada kegelisahan yang semakin membuncah. Ia tahu ini saatnya bertindak.

Orang-orang mulai keluar dari ballroom, sibuk mengobrol sambil menggandeng pasangan masing-masing. Ariel, yang datang sendirian, justru menunduk agar tidak terlalu mencolok. Tangannya meremas tas kecil yang dibawanya, sementara langkahnya melambat, mengamati ke arah panggung.

Di belakang panggung, terlihat beberapa panitia sibuk merapikan peralatan. Seorang staf perempuan mendekati Nathan dan berbicara sebentar, lalu menyerahkan map berisi catatan. Nathan mengangguk singkat, wajahnya tetap datar.

Ariel menelan ludah. Dadanya berdebar keras.

Sekarang... atau tidak sama sekali.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Ajari Aku Bercinta, Dokter Nate!    Bab 8 Seminar Keintiman

    Ariel menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Cahaya putih dari monitor memantul di wajahnya, menyoroti ekspresi serius namun lelah. Jari-jarinya menari di atas keyboard, mengetik cepat beberapa kalimat untuk outline novel barunya.Ia berhenti mengetik, menatap kalimat itu dengan pandangan kosong. Kursor di layar berkedip-kedip seperti mengejek kebuntuannya.“Hhh… apalagi ya?” gumam Ariel pelan, menopang dagunya dengan tangan kiri.Di mejanya, segelas kopi sudah dingin. Di layar lain, notifikasi media sosial muncul—Cindy, rival sesama penulisnya, baru saja mengunggah postingan: ‘Launching my new book! Thank you for everyone’s support’Ariel menatap postingan itu dengan senyum miris.“Cindy meluncurkan buku barunya dan langsung booming… sementara aku di sini, masih memikirkan outline dan—” ia menatap layar laptopnya sejenak, lalu mendesah, “—dan pelajaran dari dr. Nathan…”Tiba-tiba, ting!Suara notifikasi dari ponselnya membuat Ariel tersentak. Ia meraih ponselnya yang tergelet

  • Ajari Aku Bercinta, Dokter Nate!    Bab 7 Sarung Penyelamat

    Ariel mengangguk gugup sebelum bersuara. “Lalu... apa hubungannya, Dok?”Tatapan Nathan yang tajam namun bukan menakutkan ─ lebih seperti seseorang yang menilai kesiapan lawan bicaranya. “Kau tahu gunanya kondom?” Nathan malah bertanya balik.Ariel mengangkat wajahnya perlahan, sedikit terkejut oleh pertanyaan yang tiba-tiba itu. Ia mengangguk, tapi nada suaranya ragu. “Ya... biar nggak hamil.”Nathan menatapnya tanpa ekspresi selama beberapa detik. “Apalagi?”Ariel menggigit bibirnya. “Hmm... apa ya...” ia menatap ke bawah, menatap ujung jarinya sendiri. “Kayaknya cuma itu deh.”Nathan menghela napas pendek, lalu tersenyum kecil. “Itu memang fungsi utamanya yang paling banyak dikenal. Tapi bukan satu-satunya.”Nathan merebut pulpen milik Ariel dan menarik buku catatan gadis itu, memulai menggambar garis sederhana di depan Ariel. “Kondom juga berfungsi sebagai pelindung dari penyakit menular sex seperti HIV, sifilis, gonore, klamidia... dan banyak lagi.”Ariel menatap serius. “Jadi, b

  • Ajari Aku Bercinta, Dokter Nate!    Bab 6 Safety

    “Ariel.. kau tahu, kemarin Cindy launching lagi buku terbarunya.”Ariel menahan sendok sereal di udara. “Cindy?” alisnya terangkat. “Launching buku baru lagi? Bukannya bulan lalu dia baru launching? Kok—kok sudah launching lagi?”Silvi memasang wajah takjub sembari mengusap cover buku yang ia pegang seperti mengelus kucing. “Ya, dan kau tahu, Riel… penjualannya langsung membludak dan—”“—dan kamu udah beli,” sela Ariel setengah manyun.Silvi tertawa kecil sambil memutar bola mata. “Aku membelinya dan memang ceritanya sangat bagus dan bikin penasaran tiap babnya. Lihat deh.” Ia mengayun-ayunkan buku itu seperti piala.Ariel memerhatikan judul di sampul dengan raut cemberut. Dadanya menghangat oleh sesuatu yang bukan kopi. “Cindy… penulis seangkatanku… editor George juga… kok bisa secepat itu?” gumamnya, lebih kepada diri sendiri.Silvi menyandarkan punggung ke sandaran ranjang. “Kayak gimana sih ceritanya? Penasaran nggak? Eh.. siapa tau kalau kau baca bisa membantu jadi referensimu, R

  • Ajari Aku Bercinta, Dokter Nate!    Bab 5 Pengetahuan

    “Jadi.. apa yang harus aku ketahui sebelum aku menulis adegan intim, dok?” Ariel begitu penasaran, tangannya yang memegang pulpen siap menulis di buku catatan yang sudah ia siapkan sendiri. “Pertanyaan yang bagus dan terlalu to the point...” kata Nathan dengan alis terangkat. “Untuk menulis adegan intim agar pembacamu bisa larut dalam tulianmu, tentu yang pertama kau harus tahu rasanya berhubungan intim, Ariel,” tambahnya dengan raut wajah serius. “Aku siap, Dok!” koar Ariel begitu semangat. Nathan mengangguk-ngangguk kecil. “Tapi... sebelum kamu mengenai praktik bercinta lebih lanjut, kau harus tahu urutan yang mesti kau pelajari.” “Apa saja itu, dok?” Ariel bertanya antusias. “Yang pertama pengetahuan, kedua keamanan, ketiga komunikasi, keempat kesiapan emosional, kelima foreplay, dan yang terakhir...” Nathan mendekatkan wajahnya ke Ariel hingga gadis itu menarik punggungnya, wajah Nathan begitu serius menatap mata Ariel. “Intercourse itu sendiri,” tambah Nathan. Ar

  • Ajari Aku Bercinta, Dokter Nate!    Bab 4 Deal

    “Maaf, aku sudah mengatakan pada nona ini kalau dokter Nathan sudah selesai dengan pasien hari ini,” ucap perawat berparas manis itu, sedikit khawatir melihat tamunya yang tampak keras kepala. Belum sempat Ariel membalas, suara berat nan tenang terdengar dari mulut Nathan. “Tidak apa-apa, Laura. Nona ini hanya sebentar saja,” kata dr. Nathan, langkahnya mantap dan wajahnya tetap tenang seperti biasanya. Perawat bernama Laura menatap heran, tapi segera mengangguk hormat. “Baik, dokter.” Ia lalu meninggalkan ruangan, menutup pintu dengan lembut di belakangnya. Ariel menelan ludah. Suara detak jantungnya seolah menggema di ruang hening itu. “Dr. Nathan…” ucapnya pelan sambil melangkah maju. “Aku penulis… penulis yang waktu itu datang ke seminar dokter hari Sabtu lalu. Aku sempat memperkenalkan diri—” Nathan menyandarkan punggungnya ke kursi empuk, matanya menatap lekat perempuan muda di hadapannya. “Ya, aku ingat,” katanya singkat. “penulis cerita dewasa itu, kan?” Ariel

  • Ajari Aku Bercinta, Dokter Nate!    Bab 3 Pertemuan Tanpa Janji

    Ariel masih berdiri terpaku di ujung lorong hotel, napasnya belum juga tenang meski punggung dokter itu telah lama menghilang dari pandangan. Jantungnya berdetak keras, tidak hanya karena malu atau panik—tapi karena sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Ada sesuatu di mata Nathan tadi, sesuatu yang membuatnya yakin kalau pria itu tidak sepenuhnya menolak dirinya. Ia mengusap bibirnya pelan. “Aku gila,” gumamnya dengan suara bergetar. Tapi senyum kecil justru muncul di wajahnya. “Setidaknya… dia tidak akan lupa padaku.” Langkah-langkah cepat terdengar mendekat. Ariel buru-buru menegakkan tubuh, bersiap kalau-kalau Nathan kembali untuk menegurnya lagi. Tapi ternyata yang muncul adalah pria berkacamata dengan wajah ramah—orang yang tadi ia lihat berdiri di dekat dokter Nathan saat seminar berlangsung. “Permisi, Nona Penulis, benar?” tanya pria itu sopan. Ariel mengangguk bingung. “Iya, saya memang seorang penulis. Ada apa, Pak?” Pria itu tersenyum kecil, lalu mengeluarkan sesuat

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status